Keesokan harinya.
Raline bersiap seperti biasa. Mengubah wajah cantiknya menjadi jelek, sebelum keluar dari rumah. Lalu mengenakan seragam sekolah. Raline yang tengah berada sendirian di rumah, tidak sempat sarapan karena sudah hampir terlambat sekolah. Sudah biasa bagi Raline bangun tidur tidak melihat siapapun di rumahnya. Menyiapkan segala sesuatu sendirian, bagi Raline adalah hal mudah. Terlahir dengan perhatian dan pengertian yang baik, membuat Raline mengerti akan perjuangan Ibunya.
Setelah semua sudah beres, Raline berjalan menuju halte. Dengan langkah cepat Raline mengejar waktu agar tidak melewatkan gerbang yang segera tertutup dalam hitungan 30 menit lagi.
Beruntung hari ini, Raline tidak menunggu halte terlalu lama. Saat baru menginjakkan kaki di halte, Raline mengejar bus yang masih setia menanti para pelajar untuk diantarkan sekolah. Dengan langkah cepat, Raline masuk ke dalam bus.
“Huft … Hampir saja, aku terlambat,” gumam Raline memegangi dadanya. Di dalam bus, Raline mendapatkan bangku untuk duduk. Wajahnya terlihat lega, saat melirik ke arah jam tangan kecil berwarna silver. Jam tangan murah, dengan harga 30 ribu. Dimana jam tangan itu adalah hasil kerja paruh waktunya, di perpustakaan sekolah.
Sebenarnya sejak kecil, Laura sering membelikan banyak hadiah kepada anaknya, Raline. Namun seiring bertambah usia, Raline yang paham dan tidak ingin merepotkan Laura dengan memanjakannya. Beruntung Laura paham akan Raline, yang tidak ingin menggunakan uang hasil dari pekerjaannya sebagai seorang PSK.
***
SMA ELITE.
Raline bergegas memasuki gerbang sekolah yang sudah dihadang oleh, petugas keamanan. Saat sudah merasa aman, Raline berhenti sejenak untuk mengambil sesuatu di dalam tasnya. Sebuah buku, milik Devin yang ditemukan Raline di dalam bus. Senyum Raline tersungging, saat melihat buku pelajaran milik Devin.
“Aku harus segera mengembalikannya,” ucap Raline sambil memandangi buku di tangannya. “Seandainya wajahku tidak seperti ini. Ingin rasanya aku sedikit merias wajah dan penampilanku sebelum bertemu dengan Devin,” gerutu Raline sambil melihat jam tangannya.
Melihat masih ada waktu, Raline bergegas mencari Devin. Lebih tepatnya menuju kelas Devin. Wajah sumringah, dengan buku ditangan membuat Raline tidak sabar ingin mengembalikan buku milik Devin.
Namun saat Raline berbelok ke arah koridor sekolah, tiba-tiba saja Gavin menghalangi langkahnya.
Tapi Raline bersikap seolah tidak melihat keberadaan Gavin di depan. Namun tidak untuk Gavin. Wajahnya terlihat kesal. Gavin merebut buku di tangan Raline.
"Kamu lupa dengan kesepakatan kemarin?" ucap Raline datar. "Sini kembalikan bukunya," pinta Raline berusaha tenang.
Gavin tidak menghiraukan Raline sama sekali. Lelaki itu malah, membuka buku tulis yang direbutnya dari tangan Raline. "De-vin?" Gavin membaca nama pemilik buku tersebut.
"Kembalikan, gak?" pinta Raline dengan nada mulai meninggi.
"Nggak."
"Vin? Itu buku milik Devin, sini kembalikan." Rengek Raline.
Sikap Raline semakin membuat Gavin kekeh untuk tidak mengembalikannya.
"Aku yang akan kembalikan ini," ucap Gavin menyembunyikan buku di belakang punggungnya.
"Nggak. Buku itu ada padaku, jadi harus aku yang mengembalikannya." Raline bersikeras merebut buku dari tangan Gavin.
"Ngotot, amat?"
"Vin, please." Raline menelusup ke belakang tubuh Gavin. Hingga menghimpit Gavin ke arah tembok sekolah.
Gavin mengamati wajah Raline. Cantik. Seakan terbius, Gavin salah tingkah dibuatnya.
"Aku satu kelas dengan Devin. Biar aku yang kembalikan," ujar Gavin tidak kalah kekeh.
"Nggak! Aku mau ketemu sama De--" Raline menahan ucapannya.
Gavin yang mendengar jelas ucapan Raline dari jarak dekat, langsung membalikkan posisinya. Gavin menghimpit Raline ke arah tembok. Bola mata Gavin, mencermati tatapan Raline yang penuh kebencian kepadanya.
"Lepas!" Bentak Raline menjauhkan tubuh Gavin.
Gavin yang kesal, malah merobek buku Devin. Sret! Sret!
"Astaga, Gavin!?" Bentak Raline tidak percaya dengan sikap Gavin yang malah merobek buku Devin. "Jahat banget, sih? Apa salah buku ini," Wajah Raline jelas berubah jadi sedih. Raline memunguti buku milik Devin, namun dicegat oleh Gavin.
"Gak ada kerjaan ya, mungutin buku orang?" Gavin mencengkam tangan Raline. Tangan Raline memerah olehnya.
"Lepasin dia!" Teriak Devin, dari belakang. Dengan langkah yakin, Devin mendekati Raline dan melepaskan tangan Raline dari cengkraman Gavin.
Gavin menyeringai menatap ke arah Devin. "Wah, wah, wah! Drama apa ini," pekik Gavin menggelengkan kepala dengan tangan yang berada di pinggang.
"Kamu pergi saja ke kelas sana," titah Devin. Devin melepaskan tangannya dari tangan Raline.
"Tapi bukunya--"
"Udah, itu bukan masalah. Pergi sana," Devin memerintahkan Raline lagi.
Raline mengangguk patuh dengan Devin. Kemudian pergi dari koridor sekolah, yang memang jarang dilalui banyak orang.
Tinggalah Devin dan Gavin berdua. Mereka berbicara dengan santai, hanya saja tatapan keduanya terlihat saling menekan. Tidak menyukai satu sama lain. Devin memungut buku tulis yang dirobek Gavin, kemudian pergi meninggalkan Gavin yang terus mengumpat kesal. Devin tidak sama sekali membalas umpatan dari Gavin. Lelaki berkacamata itu, terus melenggang tanpa menghiraukan Gavin dan memilih untuk kembali ke dalam kelas.
"Argh, sial!" Gavin meluapkan emosinya dengan menendang tembok sekolah. "Apa si cupu itu, suka sama Devin?" Gumam Gavin sambil mengusap wajahnya kasar.
***
Pukul 15.00 sore.
Raline ingin rasanya menemui Devin, namun tidak ada keberanian dalam dirinya. Belum lagi rasa bersalah yang masih membenam di dalam hati seorang Raline. Rasa benci Raline semakin memuncak kala mengingat sikap Gavin. Kepala Raline rasanya ingin meledak saat ingat nama Gavin.
Karena ada janji bersama Laura, membuat Raline mengurungkan niat untuk menemui Devin. Gadis cupu itu memilih hari esok untuk meminta maaf secara langsung. Tanpa membuang waktu, Raline langsung bergegas pulang kerumah.
Satu jam di perjalanan, Raline akhirnya sampai di depan rumah. Seperti biasa, kepulangan Raline disambut sang Ibu, Laura.
"Halo, sayang?" Sapa Laura memeluk Raline di depan pintu masuk rumah.
"Ma, Raline laper. Mau mandi, makan terus kita langsung ke rumah sakit ya?" Raline langsung mencecar Laura sambil membalas pelukan Laura.
"Iya, iya. Tapi Mama mau ijin sebentar, sekalian mau bilang sama Tante Maria kalau mau pergi sama kamu." Jawab Laura menatap wajah lelah anak gadisnya.
Raline mengangguk patuh, kemudian bergegas masuk ke dalam rumah.
Dua jam berlalu, Raline sudah siap untuk pergi ke rumah sakit. Tinggal menunggu Laura, kembali dari rumah Mami Monalisa.
Raline mengenakan kemeja berwarna lilac dan jeans berwarna biru dongker dengan tas selempang kecil berwarna hitam. Duduk di depan teras, sambil menunggu kedatangan Mama nya.
Berselang beberapa menit kemudian, akhirnya yang ditunggu Raline datang. Laura memanggil Raline dari depan pagar rumah.
Senyum Raline mengembang melihat Laura memanggilnya. Raline bergegas keluar rumah dan berangkat bersama menuju rumah sakit.
***
Sesampainya di rumah sakit
Raline dan Laura tengah duduk mengantri untuk dipanggil. Ada kekhawatiran yang menyeruak di wajah Laura.
"Mama takut," ucap Laura khawatir.
Raline menahan tawanya, melihat Laura khawatir berlebihan. "Mama cuma periksa, bukan mau dimutilasi," goda Raline.
"Kamu menakut-nakuti Mama, ya?"
"Hahaha …" Raline tidak kuat untuk tidak tertawa. "Mama kayak anak kecil, gak malu apa? Itu lihat," Raline menunjuk ke beberapa anak kecil yang tengah menunggu diperiksa oleh dokter spesialis anak.
"Ini kali pertama Mama ke rumah sakit, seumur hidup. Dulu waktu kecil juga, Mama gak mau disuntik sama dokter pas sekolah. Mama memilih kabur," jelas Laura menceritakan masa lalunya.
"Udah, jangan takut ih! Malu dilihat orang. Lagian Mama pasti diperiksa dulu," Raline mencoba memberi pengertian. "Makanya kesehatan itu dijaga dong, Ma?"
Laura seketika murung.
Tidak lama nama Laura Ansara dipanggil oleh perawat yang duduk di samping pintu masuk ruang pemeriksaan.
"Nah, itu Mama dipanggil."
"Temani Mama, ya?"
"Raline ke toilet sebentar, nanti Raline nyusul. Mama masuk aja dulu. Jangan takut, Mama cuma diperiksa aja, kok."
Raline mengusap punggung tangan Laura. Menenangkan Ibunya yang takut diperiksa oleh dokter.
Laura mengangguk patuh, dan membiarkan Raline pergi ke toilet. Dengan tubuh gemetaran, Laura masuk ke dalam ruangan periksa sendirian.
******
Extra bab untuk my readers beloved, PAID LOVE. ___________ Di sebuah mall, Raline dan sang tante pergi ke sebuah store branded luar negeri. Dimana ada foto Raline yang terpampang lebar didepan store menggunakan pakaian branded tersebut dari atas hingga bawah. Ya, hari ini adalah hari tenang Raline sebelum berangkat pergi ke Australia minggu depan. Ia, mendapat black card untuk membelanjakan kartu hitam mewahnya dengan brand yang menjadikannya Brand Model Ambassador. “Ral, Tante mau ke toilet dulu sebentar. Kamu disini aja kan?” ijin Tante Maria pada san keponakan. Raline mengangguk sebagai jawaban. “Raline tunggu disini, ya, Tan.” Maria pun bergegas pergi dari store tersebut dan mencari toilet terdekat. Raline juga kembali diarahkan oleh salah satu retail sales berpengalaman pada produk terbaru mereka. Pada saat tangan Raline meraih salah satu tas yang terpanjang, tiba-tiba ada seseorang yang meraihnya terlebih dahulu. Lantas, wanita itu langsung menoleh dan menatap sosok lelak
Terima kasih sudah berkenan mampir di cerita sederhana ini. Tidak mewah memang, tetapi cerita ini aku tulis dengan hati dan cinta. Segenap hati aku menulis ini dalam keadaan tidak sempurna, karena authornya masih human. Bukan alien. Mhehehe :) Semua emosiku aku tuang di cerita PAID LOVE dari sedih, senang, gusar, bahagia bahkan tersedu-sedu seperti saat aku menuliskan sedikit ucapan untuk yang sudah singgah apalagi menetap bersama Author yang hobi makan remahan taro ini. Kiranya kalian kata-kata tidak puitis dan aneh ini bisa dong, kasih ulasan tentang cerita PAID LOVE, entah itu Raline, Gavin, Laura dan lain-lain. Singkat memang, tapi tidak ada cerita yang berakhir harus bahagia. Cerita ini memang menggantung, dan agak
"Luka itu tidak akan pernah bisa sembuh sekalipun bisa hilang dari pandangan mata ...."***Satu tahun kemudian ….Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Devin. Ia mencium bibir Raline dengan paksa. Berhasil wanita itu membalas dengan tamparan keras di wajah adik dari Gavin. Selama ini dia sangat mempercayai Devin. Tetapi sekarang semua kepercayaan itu hancur lebur."Kamu keterlaluan, Dev! Jadi semua itu kamu penyebabnya, huh!? Aku tidak menyangka kamu sejahat itu ternyata."Raline tidak menyangka jika semua yang terjadi adalah ulah Devin dan Lucy. Hubungan dia bersama Gavin hancur karena dengan sengaja lelaki itu mengadu domba keduanya sampai berpisah seperti sekarang.&nbs
Selama di dalam perjalanan menuju pulang, Laura terus membujuk Raline untuk menerima tawaran pemilik agensi model itu. Bahkan Raline kebingungan menolak tawaran itu saat Gasari memintanya lagi untuk menjadi model.“Ini bakal jadi pengalaman baru buat kamu. Siapa tahu uangnya bisa kamu tabung dan lanjut untuk kuliah. Daripada kamu di rumah terus, Nak. Coba baca dulu kontraknya, terus kamu bisa terima tawaran untuk berkunjung ke kantor agensi itu. Mama temani nanti, deh, ya?” bujuk Laura antusias.Dia juga sebenarnya tidak tega melihat anak kesayangannya itu hanya di rumah seperti dirinya tanpa memiliki aktivitas lain. Hanya Maria yang bekerja. Meski sebenarnya, Laura memiliki uang simpanan pemberian Gavin yang dirahasiakan olehnya dari Raline. Sepeserpun kartu gold pemberian dari menantunya itu tidak pernah disentuh olehnya.
Tiga puluh hari kemudian.Raline tinggal bersama Laura dan Maria. Sudah satu bulan wanita itu pergi dari rumah keluarga Gavin. Sebenarnya Raline ingin pergi dari rumah pemberian suaminya, namun Jamal sudah mewanti-wanti agar tidak perlu meninggalkan hunian mereka sekarang. Rumah yang menjadi tempat tinggal keluarga Raline saat ini, sudah atas nama dia sendiri.Laura dan Maria sampai detik ini tidak tahu kenapa anak kesayangan mereka itu pergi meninggalkan Gavin dan malah tinggal bersama-sama sekarang.Raline berubah menjadi lebih pendiam dan suka berada di dalam kamar setelah keluar dari kediaman mertuanya. Bahkan, tidak jarang dia bisa tahan seharian penuh tidak keluar dari kamar. Laura sempat khawatir, tapi selalu saja Raline bisa berkilah kalau dia akan baik-baik saja.
Raline terikat kedua tangannya salah satu tiang kamar. Gavin menyesapi setiap inci tubuhnya tanpa ada yang tertinggal. Kissmark di leher, dan bekas gigitan membekas di sela paha wanita itu. Ia terperanjat akan sentuhan kasar Gavin yang berada di titik intimnya. Tubuh putih itu sekarang tidak mulus karena lelaki itu menodainya dengan bekas-bekas kegilaannya.Disuruhnya paksa wanita itu menggeliat seksi. Gavin memperlakukan Raline sudah seperti wanita bayaran. Rasa trauma itu kembali muncul. Dia tidak menyangka di dalam hidupnya jika Gavin yang memperlakukannya seperti ini. Kasar dan brutal. Tubuhnya sudah tidak tahan akan kegilaan lelaki itu. Desahan, rintihan tidak hentinya lolos.Pandangan Raline sudah buram. Dia memang bergairah dan sudah mencapai puncak dua kali, namun lelaki itu tidak kunjung menuntaskannya. Malah Gavin hanya menjadikannya tonto
Raline terperanjat setiap kali Gavin mencumbu setiap inci tubuhnya dengan brutal dan kasar. Setitik kristal bening keluar di sudut mata Raline yang tertutup rapat. Saat mata itu terbuka, ia seakan memohon pada Gavin agar berhenti menyiksanya.Tangan Gavin meremas kasar dada Raline tanpa ampun yang masih tertutup bra namun terlihat berantakan. Wanita itu sudah basah dibawah sana, tapi dia tidak merasakan kehangatan sama sekali akan sentuhan yang diberikan Gavin. Lelaki itu menyiksa tubuhnya kasar.“Emmpphh!” rintih Raline. Dia membuka matanya yang sudah sayu berusaha menatap dan memelas belas kasih di mata Gavin. Namun, tidak ada pandangan hangat lagi di mata sang suami. Air mata jatuh tak tertahan lagi. Raline menangis sekarang.Setelah puas membasahi tubuh Raline dengan salivanya
Sesampainya Gavin di rumah, suasana sudah sangat sepi. Hanya ada pengawal yang tengah berjaga di kediaman Yudistoro. Tuan besar di rumah itu pun sedang tidak berada di tempat.Gavin turun dari mobil dengan amarah yang tertahan. Rahangnya mengeras dengan penampilannya yang berantakan. Darah masih bersimbah di jari tangan suami dari Raline itu.Gavin terlebih dahulu mencuci tangannya di kamar dia sebelumnya. Lelaki itu enggan masuk ke dalam kamarnya bersama Raline. Dia sangat gusar dan dalam keadaan tidak baik.Sebisa mungkin Gavin menghindari bertemu dengan istrinya. Dilepasnya kemeja putihnya dan meminum banyak air putih yang baru saja dibawakan oleh pekerja di rumahnya.Membasuh wajah dan rambutnya, Gavin berdiri di depan cermin kamar mandi sambi
"Kamu tunggu disini," pinta Gavin pada Jamal."Baik, Tuan." Jamal berdiri di depan pintu gudang dan menurut saja atas perintah Gavin.Dengan langkah berat, Gavin masuk ke dalam gudang yang temaram. Hanya ada lampu yang menyala tepat di bawah Edd tengah disekap mulutnya. Ada dua pengawal yang berjaga di samping kiri dan kanan.Gavin memberi isyarat dengan mengibaskan tangan pada dua pengawalnya yang berjaga standby. Mereka pergi karena bos mudanya meminta untuk pergi. Tinggallah Gavin sendiri bersama Edd.Edd dalam keadaan tertidur saat ini. Mulutnya dibekap lakban berwarna hitam. Wajahnya terlihat memar di beberapa sudut. Edd melawan saat dibawa paksa oleh dua pengawal Gavin ke gudang ini. Belum hilang bekas pukulan Devin saat itu, sekarang wajah