"Nak, apakah sudah saatnya kamu tahu siapa bapak kandungmu?" gumamku, mengecup pucuk kepala bocah yang sudah tidur pulas itu.
Aku menyimpan ponsel agak jauh, lalu merebahkan badan di samping anak lelakiku.
Semoga kisah cintamu kelak tidak serumit kisah mamamu, Nak.
*
Inayah masih terus memamerkan kebaikan atau sikap romantis suaminya di media sosial, bahkan acapkali seperti menyindir para jomblo. Di story WA lebih intens lagi, baik menggunakan nomornya ataupun kontak yang katanya milik Bian.
Aku jadi teringat ucapan Inayah. Katanya dia mengenalku melalui foto di rumah Bu Ranti yang merupakan ibunya Bian. Wanita yang sayang padaku itu juga masih mengingat diri ini. Benarkah begitu? Mungkin tak ada salahnya aku berkunjung ke sana.
Boy sudah mendingan dan bisa kutinggal, makanya aku sekarang sedang ada di kantor. Setelah makan siang, aku bisa mengunjungi mantan calon mertuaku itu. Mungkin saja mereka masih tinggal di rumah yang sama.
Kami memang tinggal di kota yang sama, tapi hari itu Bian kerja di luar kota. Rencananya ia akan memboyongku ke tampat kerjanya yang lumayan bagus. Aku pun heran, kenapa dia sekarang tinggal di kota ini lagi. Dan saat aku memutuskan kembali ke sini beberapa bulan lalu, tak pernah terpikirkan olehku akan bertemu dia lagi.
Pernah aku berniat meminta maaf pada lelaki yang pernah terluka karena ulahku dan keluarga, ingin menjelaskan segalanya. Tapi jejaknya telah hilang total. Sosial medianya sudah nonaktif dan tidak menyisakan apa pun untuk bisa kucari. Lalu kenapa takdir seperti mendukung kami untuk bersua lagi?
Ah, andai saja dia masih sendiri, mungkin aku tak akan menolak bila ia melamarku kembali.
Aku menyelesaikan pekerjaanku dengan cepat, memerikasa laporan bagian keuangan dengan teliti. Setelah memastikan semuanya beres dan tidak ada terdeteksi indikasi kecurangan, aku pun meraih kunci mobil dan bergerak menuju rumah masa kecil Bian.
Sedikit ragu, aku belum turun dari mobil saat melihat banyak rumah yang berubah. Tapi hanya rumah milik Bu Ranti yang masih mempertahankan keasliannya. Warna catnya juga masih sama, hanya dicat ulang biar lebih cerah.
"Itu mobil temanmu, ya, Nis?" tanya seseorang yang baru keluar dari rumah yang pintunya terbuka lebar itu. Wanita paruh baya keluar bersama dengan seorang gadis yang tak lain Anisa Humairah, adiknya Bian.
Aku menarik napas panjang dan keluar dari mobil. Berjalan dengan pasti, menyongsong dua wanita itu dengan senyuman lebar.
"Kak Caca? Ini Kak Caca, kan?"
Aku mengangguk. Gadis itu berlari dan memelukku.
"Caca? Maksudnya calon kakak iparmu, Nis?"
"Iya, Bu. Ini Kak Carisa alias Kak Caca," jelas Nisa. Bu Ranti mengerjap dan mendekatiku. Kupeluk tubuh yang tak lagi muda itu. Sambutan mereka sama seperti lima tahun yang lalu.
"Dari mana saja kamu, Nak? Kenapa baru sekarang datang ke sini? Apa kamu tak kangen sama Ibu?"
"Tamu itu disuruh masuk dulu, Bu. Jangan langsung ditodong dengan pertanyaan," kekeh gadis yang berusia dua tahun lebih muda dariku itu.
Bu Ranti juga tertawa, lalu menarik tanganku, masuk dan duduk di sofa. Nisa langsung ke belakang dan meninggalakanku dengan wanita penyayang ini. Beliau menganggapku seperti putrinya sendiri. Tapi kenapa sikap mereka masih sehangat dulu? Seolah tidak pernah terjadi hal buruk di antara kami.
Pandanganku tertuju pada dinding rumah permanen ini, banyak dihiasi bunga dan juga berbagai foto kebersamaanku dengan keluarga ini. Namun, fotoku berdua dengan Bian tidak ada. Ah, tentu saja, karena dia sudah memiliki istri.
"Kenapa masih memajang fotoku, Bu? Caca kan, tidak jadi menantu Ibu," ujarku.
"Siapa bilang? Kamu itu menantu Ibu, Caca. Kamu menantu pertama Ibu," lirihnya dengan linangan air mata.
Napasku tercekat. Menantu pertama?
"Kami tak jadi menikah, Bu," sangkalku.
"Ibu sudah tahu segalanya. Setelah pertunangan kalian, kamu dan Bian sudah menikah siri untuk menghindari fitnah. Kalian harus sering bertemu untuk membicarakan rencana pernikahan dan mengurus segalanya. Secara agama kalian sudah sah menikah, meskipun belum diresmikan ke khalayak ramai."
Aku menggigit bibir bawah, memejamkan mata berkali-kali agar bulir bening itu tak ikut keluar. Namun semakin ditahan, cairan yang sedikit asin itu turun lebih cepat.
Pernikahan siri kami berlangsung tertutup, takut jadi bahan gunjingan karena belum lumrah hal seperti itu di lakukan di lingkungan rumah Bian. Bahkan keluarga Bian tak diberitahu, hanya antara aku, Bian, walimu dan empat orang saksi lainnya.
"Dari mana Ibu tahu tentang itu?" tanyaku sambil mengusap pipi yang basah.
"Papamu yang mengatakan segalanya!"
"Papa?" gumamku, kurang percaya dengan apa yang kudengar. Sosok lelaki egois itulah yang telah memaksaku meninggalkan Bian, seminggu sebelum rencana akad resmi dan sekaligus resepsi. Perusahaan Papa hampir gulung tikar karena ditipu rekan bisnis dan aku dijadikan tumbal, dipaksa menikah dengan Reno, lelaki berhati malaikat yang tidak pernah mendapatkan cintaku sampai ajal mendahuluinya.
Papa, lelaki egois yang takut miskin itu telah memisahkanku dari pria yang kucintai. Harta telah mengubah keputusan Papa akan masa depanku. Terpaksa mempermalukan Bian dan keluarganya yang telah menyebar undangan.
Melalui sambungan telepon, aku mengatakan kalau tidak mencintai Bian setelah diriku dibawa entah ke belahan bumi yang mana.
"Aku talak kamu, Carisa binti Harapan Sentosa. Semoga aku tak pernah bertemu kamu lagi," seru Bian kala itu. Aku tahu dia terluka, sama sepertiku. Setelah itu, semuanya senyap.
Cinta yang begitu rumit.
"Kapan Papa bercerita, Bu? Dan apakah Inayah sudah tahu kalau aku dan Bian pernah menikah?" tanyaku cemas. Jangan-jangan Inayah ....
"Kamu kenal istri Bian?" Bu Ranti gantian terkejut. Aku mengangguk.
"Dia tidak tahu dan tak perlu tahu. Ibu harap, kamu tidak usah berurusan dengan Inayah," tegas ibunya Bian yang membuatku semakin penasaran dengan sosok yang mempertemukan aku kembali dengan pria masa laluku itu.
Bu Ranti bukanlah perempuan yang dengan mudah menjelekkan orang lain. Tapi aku juga penasaran dengan motif Inayah.
Ah, Inayah, apakah kamu sudah tahu semuanya?
"Bi, gak nyangka ya, kalau Inayah udah berubah drastis? Padahal kan dulu dia ….""Sst! Jangan mengungkit masa lalu orang lagi, Sayang. Kalau dia sudah bertaubat, cukup diingat kebaikannya yang sekarang," potong Bian, meletakkan telunjuk di depan bibirku. Aku mengerucutkan bibir dan memiringkan badan. "Jadi Bibi belain dia? Jangan-jangan kecewa saat tahu Inayah akan menikah lagi," balasku pura-pura kesal. Aku yakin kok kalau dia hanya mencintaiku sekarang. "Loh, ada yang lagi cemburu ni ye. Aku malah senang kalau dia nikah, Sayang. Dengan begitu, tiada lagi yang harus kita cemaskan jika sering kembali ke kota ini. Gak ada pengganggu. Mantan itu tak harus bermusuhan," balas Bian, menjadi lebih pipiku. "Iya iya, Bi aku cuma bercanda kok," balasku tersenyum lebar. Netra Bian melebar, menatapku tajam. "Jadi kamu gak cemburu, Ca? Ah, aku kecewa.""Ihhh, pakai merajuk segala," kekehku dan memeluk pinggang Bian. Merebahkan kepala di punggungnya yang kokoh. "Enggak juga sih, Sayang. Tap
Aku menarik napas panjang. "Temani aku bertemu Bang Bian, Nah. Dia lagi di kota ini," lanjutku.Aminah tersenyum hambar. Gurat kecewa tak bisa ia sembunyikan. "Aku tak akan sekecewa ini bila kamu menolak tawaranku, In. Namun aku tak menduga kalau kamu masih mengharapkan mantanmu. Aku kira kamu sudah ikhlas melepas dia berbahagia dengan wanita itu."Aminah membuang muka, tak sudi menatap wajahku lagi. Aku berjalan dan berdiri di hadapannya, membingkai wajah yang jarang putus dari wudhu itu. "Hey, siapa yang sering mengajarkanku agar tidak berprasangka buruk? Aku tidak bilang kalau ingin kembali dengan mantan suamiku loh."Aminah menggenggam kedua tanganku seraya tersenyum. "Lalu apa maksudmu ingin menemuinya dan sampai mengajakku?" cecarnya. "Aku ingin bertemu untuk terakhir kalinya. Murni untuk minta maaf saja, sekalian mengabarkan kalau aku akan menikah dengan lelaki pilihan sahabatku," balasku tersenyum lebar. "Alhamdulillah ya, Allah. Kamu beneran mau jadi temanku bahu-membah
"Apa benar kamu masih mencintai mantan suamimu? Atau kamu hanya takut kalau tak ada yang mengurus di usia senja, In?" cecar Aminah dengan lembut. Dia adalah teman sekampungku dan tak sengaja bertemu di warung makan tempatku bekerja. Saling tukar kontak dan bertemu keesokan harinya karena aku libur kerja. Dia datang ke kosanku dan aku banyak bercerita padanya tentang kehidupan rumah tangga yang sudah kandas. Semuanya kuceritakan dengan detail meskipun aku tahu tindakanku akan salah dalam pandangannya. Aku butuh orang untuk mengeluarkan semua uneg-uneg.Perempuan berkulit hitam manis itu mendengarkan dengan baik, terkadang tersenyum dan sesekali mengelus dada. Setelah aku bercerita, barulah hati ini plong. Aku tak punya teman berbagi kisah karena memang tak punya teman akrab di sini.Sebagai anak yatim piatu, jelas saja aku cemas akan nasibku di hari tua. Tiada anak, suami, maupun keluarga. Aku sebatang kara, mencari uang sendiri dengan mengandalkan tenaga dengan gaji tak seberapa. Aku
"Sialan lo, Baron. Itu cewek lo pakai nempel-nempel segala sama gue. Apa gak lo tatar dulu agar dia fokus menggoda?" bentakku pada salah satu teman dekat sainganku.Baron memang playboy dan gila harta. Dengan iming-iming uang, dia rela menusuk Bian dari belakang dengan menyuruh pacarnya pura-pura jadi mantan pacar Bian. Tujuanku cuma satu, menghacurkan kepercayaan Carisa kalau suaminya adalah orang yang setia. Aku tahu, seorang wanita itu pencemburu dan bisa memicu pertengkaran dasyat dalam rumah tangga.Aku terlalu percaya dengan omongan Baron yang optimis, bicara layaknya orang yang bisa dipercaya. Apa balasannya? Uangku melayang, sedangkan Carisa tetap lengket dengan suaminya. Itu karena cewek Baron itu tidak profesional. Dia malah mengejar-ngejar aku. Belum lagi aku kena omel sama Papi karena dinilai mencari pacar yang gak jelas. Akibatnya, Papi berencana mau mencari calon istri buatku.Argh, rasanya mau pecah kepalaku memikirkan semua ini. Selama ini, aku belum pernah jatuh cinta
"Bi, apa benar Rino mengancam akan melakukan segala cara untuk memisahkan kita?" cecarku setelah semuanya agak tenang. Bian tersenyum hambar, lantas mengusap wajah dengan cepat. "Maafkan aku, Ca. Apa Ibu yang cerita?" tanyanya dengan wajah bersalah. Aku mengangguk. Kuambil kedua tangan Bian, lantas meletakkannya di dadaku. "Hingga saat ini, kamu lah lelaki yang bertahta di hati ini, Bi. Terlebih kamu adalah suamiku, tentu makin istimewa posisimu di sini," lirihku. Mata ini mulai berembun yang membuat pandangan sedikit buram. "Aku tahu, mungkin ada beberapa hal yang tak bisa dibagi dengan siapapun, termasuk pasangan. Namun, jika ada masalah yang membuatmu cemas, kumohon jangan pendam sendiri. Kita cari solusinya bersama. Aku tahu kamu lelaki terbaik yang pernah kukenal, jadi jangan pernah nodai kepercayaan ini," imbuhku.Bian melepaskan tangannya, lalu merangkulku dengan erat. "Maafkan aku, Ca. Aku memang hanya pria bodoh yang berkesempatan menjadi pendampingmu. Aku hanya lelaki ba
"Kamu sudah pulang, Bi?" tanyaku, tersenyum getir melihat ekspresi Bian yang tak bersahabat. Dia berjalan menghampiri adik dari almarhum mantan suamiku.Bugh.Aku menutup mulut dan mata membeliak melihat Bian memukul perut Rino bener apa kali. Aku berteriak histeris, lalu menghampiri."Kamu kenapa sih, Bi? Kok main pukul-pukul saja?" seruku, syok melihat Rino terjengkang ke tanah. Aku membantunya berdiri dan meminta maaf.Bagaimana bisa suamiku yang biasanya pandai meredam emosi, tapi sekarang malah diperbudak setan. Melakukan pemukulan tanpa ada salah. Andai pun ada yang menurutnya salah, apa tak bisa tabayyun terlebih dahulu?"Nak, kenapa kamu pukuli dia? Jaga sikapmu, Bian," sentak Ibu, tergopoh datang dari dalam. Untung saja Boy tidak kelihatan batang hidungnya. Semoga saja buah cintaku itu tidak melihat kejadian memalukan ini. Bukan contoh yang baik buat perkembangan mentalnya.Aku menarik tangan Bian agar duduk di kursi teras. Rino terlihat santai, bersandar di pintu mobilnya."