Suara itu begitu menyeramkan, siapa pun yang mendengar pasti bergidik ngeri. Bik Jum dan Pak Dirman sampai gemetaran.
"Tak usah didengarkan, dia sengaja ingin membuat kita takut dengannya. Sehingga lupa, bahwa ada Zat yang jauh lebih kuat darinya," kata Solihin.
Terdengar suara ringtone berdering. Ternyata panggilan masuk di ponsel Iwan. Dia cepat mengambil gawai dari dalam saku celananya.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Iwan mengucapkan salam pada orang yang meneleponnya.
[Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Ana sama Ustad Imam sudah sampai di depan rumah yang ente maksud] jawab Ustad Faruk, orang yang menghubungi ponsel Iwan.
"Ron, ini Ustad Faruk dan Ustad Imam. Pemilik pesantren tempatku belajar ilmu tauhid juga kebatinan. Insha Allah beliau bisa membantu kita." Iwan mengenalkan Ustad Faruk dan Ustad Imam. Roni menundukkan kepalanya sebagai salam perkenalan. Di situasi seperti ini, Roni tak.bisa menyambut kedatangan dua Ustad itu terlalu formal."HAHAHAHAHA KALIAN TAK SANGGUP MELAWANKU! SAMPAI MEMINTA BANTUAN HAHAHAHA. TAK AKAN ADA YANG SANGGUP MENGUSIRKU HAHAHAHAH." Suara menyeramkan itu terdengar lagi, seakan mengejek kehadiran Ustad Faruk dan Ustad Imam."Astaghfirullah." Ucapan istighfar serentak keluar dari mulut Ustad Faruk dan Ustad Imam."Semuanya harap tenang. Selain kami jangan ada yang masuk," kata Ustad Faruk."Wan, k
Bik Jum semakin ketakutan, meringkuk ke dekat Dewi. Begitupun dengan Pak Dirman."Bik, terus zikir," bisik Dewi. Bik Jum melanjutkan zikirnya dengan mata terpejam."Dewiiii ikut kami." Dewi tiba-tiba mendengar suara bisikan. Kepalanya menoleh ke asal suara, tak ada siapa-siapa."Ayo ikut kami." Suara itu terdengar lagi.Kembali Dewi menoleh, tetap kosong. Dewi mencoba mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, tetap kosong. Hah, kosong!"Kemana Mas Roni? Kemana Bang Iwan? Kemana Bapak? Dimana Bik Jum dan Pak Dirman? Bukankah tadi mereka di sini. Bahkan tadi Bik Jum mendekat denganku." Dewi bergumam sendiri.
Roni dan Iwan saling pandang, mendengar suara teriakan itu. Bersamaan dengan itu, Pak Darma pun berhenti menggeliat dan mengerang."Pak, Bapak!" Roni berusaha memanggil dan mengguncang bahunya. Beliau masih saja terdiam ditempatnya.Iwan cepat memeriksa keadaan Pak Darma, "Bapakmu hanya pingsan Bung." Roni lega mendengar perkataan Iwan."Bantu aku mengangkat Bapak ke atas," kata Iwan. Berdua mereka membopong tubuh Pak Darma dan membaringkannya ke atas sofa.Dikamar, Solihin langsung memeriksa keadaan Bu Wati. "Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun," kata Solihin, dia menunduk. Hatinya sangat sedih, kali ini harus ada nyawa yang melayang."Inn
Tiba-tiba tubuh Dewi terangkat ke atas, dia terkekeh-kekeh mengerikan. Ayat-ayat ruqyah terus saja di lantunkan. Semakin keras juga kencang."DIA BAGIAN DARI KAMI. KAMI TAK AKAN MELEPASKANNYA!" Dewi terus saja meracau."KAMI BENCI BAPAK DAN IBU. KENAPA KAMI YANG HARUS DIKORBANKAN!""Siapa kau? Kenapa mengganggu istriku?!" Roni bertanya pada Dewi. Bukan! Tapi ke makhluk yang merasuki tubuh Dewi. Dewi menyeringai menatap Roni, tatapannya membuat Roni bergidik ngeri."AKU? KAMI! KAMI ANAK DARMAA HIHIHIHI.""Jangan bertanya dan jangan di dengar Bung, setan itu berusaha menyesatkan kita dengan tipu dayanya. Jangan percaya apa pun yang dikatakannya," ucap Iwan setengah berbisik.
"Bu." Roni berusaha memanggil Bu Wati dan mengguncang-guncang tubuhnya yang tergeletak di lantai. Walaupun dia tahu, Bu Wati sudah dinyatakan meninggal. Tapi tetap saja, dia berharap Ibunya masih hidup.Roni menangis tersedu melihat keadaan Bu Wati. Meskipun dia baru mengetahui kenyataan, bahwa dia bukan anak kandung Bu Wati. Tapi Bu Wati yang sudah membesarkan Roni dengan kasih sayang sejak dia kecil. Pak Darma dan Bu Wati memang menyayangi Roni dengan tulus. Sehingga Roni tak menyadari kalau dia bukan anak kandung mereka. Dipeluknya erat tubuh Bu Wati, diabaikannya bau gosong yang menusuk hidungnya."Sabar Bung. Jangan terlalu diratapi. Banyak-banyak memohon ampunan untuk orangtua terutama Ibumu." Iwan berusaha menasehati Roni. Ditepuknya lembut punggung sahabatnya itu.Ro
"Nah Pak. Kuncinya." Roni menyerahkan kunci itu ke tangan Pak Dirman. Dengan ragu dan tangan agak bergetar Pak Dirman menerimanya. 'Mati aku! Seharusnya bilang takut aja tadi' Pak Dirman bersungut di dalam hatinya."Maaf, sebaiknya jenazah Ibu, biarkan di kamar saja. Jangan izinkan pelayat untuk melihatnya, dikhawatirkan akan ada banyak argumen dari para pelayat nantinya." Pendapat Ustad Imam. Roni berpikir, ada benarnya kekhawatiran Ustad Imam."Ya sudah Pak, gak usah jadi. Nanti tolong bantu bereskan ruangan ini saja ya," kata Roni. Senyum langsung mengembang di bibir Pak Dirman. "Iya Mas," sahutnya."Selamet selamet," gumam Pak Dirman seraya mengelus dadanya sendiri."
Segera Roni ke kamarnya. Dewi, sudah selesai mandi dan tampak segar."Mas, aku bantu Bik Jum ya.""Tinggal ngepel kok. Apa kamu sudah merasa sehat?""Alhamdulillah, sudah Mas.""Ya sudah, bantu saja membereskan ruangan tengah. Mas mau mandi. Habis sholat Subuh, mau ke rumah Pak Rt memberi tau tentang kabar meninggalnya Ibu.""Apa Mas! Ibu meninggal!" Dewi sangat terkejut, mendengar Bu Wati meninggal. Roni lupa, tadi Dewi dalam keadaan tak sadar. Jadi dia belum mengetahui kondisi Bu Wati.Dewi langsung berlari ke kamar Bu Wati, Roni mengejarnya. Begitu melihat jenazah B
"Saya takutnya, bila kita melaporkan hal ini ke polisi. Akan banyak beredar berita simpang siur. Tau sendiri zaman sekarang. Takutnya akan ada oknum yang memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadi," sambung Ustad Faruk, seraya meletakkan gelas tehnya ke hadapannya. Pendapat Ustad Faruk ada benarnya. Hal seperti ini, bila sampai ke media, pasti akan menimbulkan banyak opini yang berseliweran tak jelas. Yang dikhawatirkan justru akan memperburuk situasi yang ada."Baiklah Ustad, kalau begitu saya ke rumah Pak Rt dulu." Roni berpamitan. Lalu mempercepat langkahnya untuk ke rumah Pak Rt.Dewi segera ke dapur membantu Bik Jum menyiapkan sarapan buat mereka semua. Walaupun dalam keadaan berduka. Mereka juga butuh tenaga. Apalagi tadi malam, mereka tak sempat menyambut tamu mereka dengan baik.