Li Feng berdiri di puncak bukit yang menghadap ke lembah yang luas. Di bawah sana, angin dingin berhembus keras, menggoyangkan pepohonan yang tinggi. Kegelapan malam tak mampu menyembunyikan cahaya yang memancar dari Pedang Naga Langit yang kini ia pegang erat. Pedang itu, meskipun sudah kehilangan sebagian besar kekuatannya, masih memiliki pancaran cahaya yang cukup untuk menandai kehadirannya di dunia ini. Keberadaan pedang ini, yang kini menjadi penjaga dunia, terasa berat, seperti sebuah takdir yang tak bisa dihindari.
Di sampingnya, Mei Yue, wanita yang telah menemani perjalanan panjang ini, berdiri dengan wajah cemas. "Apakah kau yakin, Li Feng?" tanya Mei Yue dengan suara yang penuh kekhawatiran. "Tian Yi masih sangat muda. Apa yang bisa dia lakukan dengan beban sebesar itu?" Li Feng menatap Mei Yue, matanya yang kini tampak lebih lelah dari sebelumnya, penuh dengan pengalaman dan penderitaan. Namun, di balik kelelahan itu, ada secercah harapan yLangit senja membakar keemasan, menandai berakhirnya hari yang penuh keheningan. Di tengah kesunyian itu, Li Feng berdiri di atas batu besar, matanya yang tajam menatap ke arah hutan yang terbentang jauh di depan. Angin yang berhembus lembut membawa desiran dedaunan, namun tidak mampu menenangkan kegelisahan di hatinya. Hatinya dipenuhi rasa cemas dan takut, meski ia berusaha keras untuk menyembunyikannya. Tian Yi, murid yang telah ia anggap seperti anak sendiri, telah pergi. Tiada kabar, hanya jejak langkah yang menuju ke tempat yang tak bisa lagi diikuti. Li Feng merasa seolah-olah dunia di sekitarnya berputar lebih lambat, seolah-olah ia sedang melawan aliran takdir yang tak dapat dihindari. Setiap inci jalan yang telah ditempuh bersama Tian Yi, kini terasa hampa dan penuh penyesalan. Mengapa Tian Yi harus meragukan dirinya? Mengapa murid yang begitu dekat dengan hatinya malah memilih jalan yang lebih gelap? "Tian Yi..." Li Feng berbisik pelan, suara
Angin berhembus kencang, membawa suara-suara aneh yang seperti berbisik di telinga Li Feng. Di hadapannya, Tian Yi tampak terhuyung-huyung, matanya kosong seakan ada sesuatu yang mengendalikan dirinya. Di tangan kanannya, Pedang Kegelapan berkilau dengan aura gelap yang tak bisa disangkal. Bahkan dalam kegelapan malam yang pekat, pedang itu memancarkan cahaya yang menakutkan, seolah mengundang kehancuran. "Jangan biarkan itu menguasaimu!" seru Li Feng dengan suara yang penuh kekhawatiran, meski ia sendiri merasa terhimpit oleh rasa takut yang dalam. "Kau tahu betul apa yang bisa terjadi jika Pedang Kegelapan menguasai pikiranmu." Tian Yi terhuyung ke depan, matanya semakin kosong. "Aku... aku merasakannya, Guru... ada sesuatu yang memanggilku. Sesuatu yang lebih kuat dari apapun yang pernah kubayangkan." Suaranya serak, seperti berusaha menahan sebuah kekuatan yang begitu besar. Li Feng merasa darahnya berdesir. Sejak Tian Yi memegang Ped
Li Feng berdiri di puncak bukit yang menghadap ke lembah yang luas. Di bawah sana, angin dingin berhembus keras, menggoyangkan pepohonan yang tinggi. Kegelapan malam tak mampu menyembunyikan cahaya yang memancar dari Pedang Naga Langit yang kini ia pegang erat. Pedang itu, meskipun sudah kehilangan sebagian besar kekuatannya, masih memiliki pancaran cahaya yang cukup untuk menandai kehadirannya di dunia ini. Keberadaan pedang ini, yang kini menjadi penjaga dunia, terasa berat, seperti sebuah takdir yang tak bisa dihindari. Di sampingnya, Mei Yue, wanita yang telah menemani perjalanan panjang ini, berdiri dengan wajah cemas. "Apakah kau yakin, Li Feng?" tanya Mei Yue dengan suara yang penuh kekhawatiran. "Tian Yi masih sangat muda. Apa yang bisa dia lakukan dengan beban sebesar itu?" Li Feng menatap Mei Yue, matanya yang kini tampak lebih lelah dari sebelumnya, penuh dengan pengalaman dan penderitaan. Namun, di balik kelelahan itu, ada secercah harapan y
Li Feng berdiri di depan Pedang Cahaya Sejati yang tergeletak di atas altar, cahaya pedang itu memancarkan kilauan seperti matahari yang membakar malam. Di tangannya, rasa lelah dan hampa menyelubungi seluruh tubuhnya. Perjalanan yang begitu panjang, penuh penderitaan, kehilangan, dan pengorbanan, kini membawanya ke titik ini—di mana takdir dunia ini bergantung pada pilihan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Mei Yue, yang telah kembali ke kehidupannya, berdiri di belakangnya dengan tatapan penuh kekhawatiran. “Li Feng… jika pedang itu memilihmu, apa yang akan terjadi?” tanyanya pelan, suaranya sedikit gemetar. Li Feng tidak menjawab langsung. Matanya tertuju pada pedang yang tergeletak di hadapannya. Rasa takut bercampur dengan harapan muncul di dalam dadanya. Selama ini, ia telah berjuang dengan Pedang Naga Langit yang penuh kutukan, dan kini ia harus menjadi penjaga pedang baru yang lebih kuat—Pedang Cahaya Sejati, yang konon mampu mengubah nasi
Udara di sekitar altar Warisan Langit membeku. Suasana senyap menyelimuti semua orang yang hadir di sana—Mei Yue, para pemuda pelindung desa, para biksu penjaga naskah langit, hingga para tetua yang diam-diam bersembunyi di balik pilar batu tua. Tapi satu sosok berdiri di tengah lingkaran cahaya pedang yang belum sempurna: Li Feng. "Jangan..." Mei Yue memekik lirih, suara gemetar. Ia menggenggam lengan Li Feng dengan tubuhnya yang masih setengah rapuh. Matanya menatap lurus ke mata lelaki itu, yang kini sudah tak bersinar seperti dulu, tapi menyimpan bara kecil—bara yang tetap menyala meski badai menghantam. Li Feng menunduk perlahan. "Mei Yue... kita sudah kehilangan terlalu banyak... Kalau aku bisa memberikan sedikit harapan, bahkan hanya untuk satu hari... aku rela." "Tidak!" serunya, mengguncang tubuh Li Feng, tangannya bergetar. "Kau sudah kehilangan kekuatanmu! Tubuhmu pun—apa kau pikir aku akan membiarkanmu... membiarkanmu pergi be
Angin pegunungan menggigit kulit, membawa kabut tipis yang membungkus desa kecil di kaki Lembah Suci. Fajar belum sepenuhnya muncul, namun cahaya samar menyinari halaman tanah liat tempat puluhan pemuda desa tengah berlatih. Keringat mengucur, napas berat menguap di udara dingin, dan suara derap kaki yang menapak tanah bergema seirama. Di tengah lingkaran itu berdiri Li Feng. Bukan lagi pendekar dengan aura naga atau pedang sakti di punggungnya. Ia hanyalah seorang lelaki biasa dengan tatapan tegas dan sorot mata yang menyimpan seribu luka. Tangannya, meski tak lagi mengalirkan tenaga dalam, tetap mantap saat membetulkan posisi tangan salah satu muridnya. "Jangan hanya mengangkat tanganmu," katanya lembut namun tegas. "Bayangkan ini tameng bagi keluargamu. Kalau kau goyah, mereka terluka. Paham?" "Paham, Guru Li!" jawab para pemuda serentak. Namun pagi itu, satu pemuda memisahkan diri. Nafasnya tersengal. Matanya—menyimpan
Angin musim gugur berembus lembut di atas perbukitan yang mengelilingi Desa Ping An. Daun-daun berwarna merah bata dan kuning keemasan berguguran seperti serpihan langit yang terjatuh perlahan, menyelimuti tanah dengan nuansa hangat sekaligus muram. Langit menjingga, mentari mulai bersembunyi di balik cakrawala, meninggalkan bias cahaya lembut yang menari di wajah para pemuda desa yang berkumpul di lapangan utama. Li Feng berdiri di tengah kerumunan itu, tanpa pedang di punggungnya, tanpa baju zirah, hanya dengan jubah sederhana berwarna kelabu yang berkibar tertiup angin. Sorot matanya tajam, namun damai. Matanya tidak lagi menyimpan amarah, hanya harapan. “Dengarkan baik-baik!” serunya dengan suara lantang, memecah keheningan senja. “Kita mungkin tidak memiliki tenaga dalam, kita mungkin tidak memiliki senjata sakti seperti para pendekar besar… tetapi kita punya sesuatu yang jauh lebih kuat—tekad dan keberanian!” Beberapa pemuda menundu
Li Feng berdiri di puncak bukit, matanya menatap lekat pada horizon yang membentang. Di sana, di bawah awan kelabu yang menggantung berat, kota pertama yang jatuh ke tangan Penerus Pedang Kegelapan terhampar. Kota yang selama ini menjadi garis depan pertahanan Kekaisaran kini hanya tinggal puing-puing dan kehancuran. Keheningan yang mencekam menyelimuti kawasan itu, seakan seluruh dunia sedang menahan napas, menunggu kehancuran yang lebih besar. Dulu, tempat ini penuh kehidupan. Pasar yang ramai, suara pedagang yang memanggil pembeli, dan rumah-rumah yang berdiri kokoh, kini telah berubah menjadi lautan abu dan reruntuhan. Api yang tak terpadamkan membakar sisa-sisa bangunan yang hancur, menghanguskan semuanya, bahkan harapan yang pernah ada. Li Feng menggenggam tangannya, bukan karena dinginnya udara, tapi karena ada sesuatu yang lebih beku di dalam dadanya. Hatinya, yang dulunya penuh dengan semangat dan keyakinan, kini terasa rapuh dan ha
Li Feng berdiri di tengah hutan yang gelap. Tidak ada suara angin, tidak ada burung yang berkicau. Semuanya terasa sepi, sunyi, seperti dunia yang membeku, menghentikan waktu untuk memberi ruang bagi ketakutan yang bergejolak dalam hati. Tangan kanannya, yang dulunya memegang Pedang Naga Langit dengan penuh kekuatan, kini terkulai lesu di samping tubuhnya yang lelah. Kekuatan yang pernah ada dalam dirinya, yang memampukannya menghadapi musuh-musuh terberat, kini menghilang, tak tersisa. Tubuhnya lemah. Setiap langkah terasa berat, seperti beban dunia yang menekan punggungnya. Tidak ada lagi energi mistik yang mengalir melalui tubuhnya, tidak ada lagi aliran chi yang menguatkan setiap gerakannya. Ia bukan lagi Li Feng sang pendekar, bukan lagi penjaga pedang legendaris. Ia hanyalah manusia biasa—manusia yang tidak memiliki apa-apa selain kenangan akan kekuatan yang hilang. Di hadapannya, Mei Yue berdiri, wajahnya pucat namun penuh keyakinan. Mata mereka