Setelah menutup telepon dari Mita, aku segera memasukkan ponsel ke dalam tas. Kemudian bersiap pamit pada Bu Wulan dan Pak Rayhan."Ada apa, Mir?" tanya Bu Wulan, raut wajahnya terlihat prihatin dan juga khawatir padaku. Begitu juga dengan Pak Rayhan, dia menatapku dengan pandangan yang sulit ku artikan."Nggak ada apa-apa, Bu. Tapi maaf Mira harus pulang sekarang," ucapku sambil mengambil totebag yang berisi cream wajah dari Bu Wulan, kemudian aku berdiri."Makasih banyak Bu Wulan. Mira pamit ya, Bu, Pak Rayhan. Assalamualaikum ...." ucapku kemudian mencium punggung Bu Wulan. Lalu bergegas berjalan ke luar.Aku memacu motor dengan kecepatan sedang. Walaupun pikiranku sedang kacau, tapi aku tetap tidak mau gegabah. Berkendara dengan kecepatan tinggi apalagi dengan pikiran yang sedang tidak menentu, hanya akan mendatangkan masalah baru. Selain memikirkan keselamatan diri sendiri, tentu aku juga memikirkan keluargaku, orang-orang yang menyayangiku.Aku memilih langsung pulang ke rumahku
"Assalamualaikum ...." Terdengar suara seorang wanita mengucapkan salam dari depan rumah. Aku menghentikan aktivitas, kemudian berjalan ke pintu depan yang masih dalam keadaan terbuka lebar."Walaikumsalam ..., masya Allah Bu Wulan, silahkan masuk, Bu," ucapku walaupun sedikit terkejut. Tapi setelahnya aku bingung, karena aku lupa tidak ada sofa atau pun kursi yang tersisa untuk duduk. Karena semua sudah diangkut oleh Mas Haris.Bu Wulan masuk ke dalam rumah, tak lama muncul Pak Rayhan menyusul ibunya. Setelah mengucapkan salam dan aku mempersilahkannya masuk, dia pun ikut masuk kedalam rumah. Melihat keadaan rumahku yang kosong dan berantakan, membuat Bu Wulan dan Pak Rayhan terkejut."Mira, ada apa ini? Kemana semua barang-barangmu?" tanya Bu Wulan masih dalam mode terkejut."Di bawa oleh mantan suami saya, Bu Wulan," jawabku sambil tersenyum getir."Astagfirullah, kamu yang sabar ya, Mir," ucap Bu Wulan prihatin sambil memegang dadanya sendiri, aku cuma mengangguk menanggapinya. Bu
Pagi ini aku berangkat bekerja dengan semangat. Apa lagi siang nanti aku sudah membuat janji dengan Pak Rayhan, untuk melakukan transaksi jual-beli.Tak lupa aku membawa cream wajah pesanan teman-teman seprofesiku ke sekolahan. Semoga saja bisnis ini bisa berjalan lancar dan akan terus berkembang.Di sosmed sudah mulai ada beberapa orang yang order, walaupun belum begitu banyak, karena aku baru mulai promosi beberapa hari ini. Untuk packing aku meminta tolong pada Mita, dia juga yang mengantarkan orderan ke ekspedisi terdekat. Tentu saja aku membayar jasa adikku, karena ini adalah sebuah bisnis. Ya, bisnis tetap bisnis, kita harus menghargai tenaga orang yang membantu kita walaupun itu adalah saudara kita sendiri. Justru karena masih saudara, kita harus memberi upah lebih karena ia bukan orang lain. Terhadap orang lain saja kita harus baik, apa lagi kepada keluarga sendiri.Setelah semua pekerjaanku selesai, aku langsung menghubungi Pak Rayhan dan mengirimkan tempat kami bertemu siang
Saat aku sampai di depan rumah ibu, terlihat mobil Mas Haris parkir di depan gerbang yang setengah terbuka. Aku segera masuk kedalam halaman, kemudian turun dari motor. Pandanganku langsung tertuju pada sosok laki-laki yang sedang berdiri di halaman menghadap ibu dan Mita yang berdiri di teras.Melihatku yang baru saja datang, Mas Haris langsung menoleh kemudian menghampiriku. Dia masih mengenakan pakaian kerjanya tapi penampilannya tampak kusut, tidak seperti biasanya yang selalu terlihat rapi. Dan dari wajahnya, aku tahu dia sedang kesal dan marah."Jadi maksud kedatanganmu waktu itu ke kantorku, karena kamu mau melaporkan perselingkuhanku dan Linda pada Pak Wahyu?!" bentak Mas Haris saat sudah berada di depanku.Mendengar perkataan Mas Haris, aku malah tertawa. Sekarang aku tahu kenapa dia marah-marah di rumah ibuku. Aku yakin telah terjadi sesuatu pada pekerjaannya. Dan menurutku dia memang pantas mendapatkannya."Jadi itu yang menyebabkanmu datang jauh-jauh dari Jakarta ke sini.
Aku mengambil gunting, kemudian mulai membuka kotak persegi panjang yang ukurannya lumayan besar itu. Dan saat pembungkus paket sudah terbuka, ternyata kardus di dalamnya bertuliskan mainan edukasi versi terbaru."Ya Allah, Smart hafiz? Ini Smart hafiz versi 6," ucapku terkejut, lalu mulai membuka kardus mainan itu. Sedangkan Clarissa yang masih menonton tv, menoleh kemudian menghampiriku. Mita juga ikut memperhatikan kardus yang sudah terbuka."Bunda beliin Smart hafiz baru buat Clarissa?" tanya Clarissa dengan mata berbinar."Nggak, sayang. Bukan Bunda yang beliin. Bunda juga nggak tahu siapa yang beliin dan kirim paket kesini," jawabku yang juga masih bingung.Siapa yang sudah membelikan mainan edukasi yang harganya lumayan mahal ini untuk putriku?Tiba-tiba aku teringat saat Mas Haris mengambil Smart hafiz Clarissa. Smart hafiz itu memang Mas Haris yang membelikan dengan sistem arisan pada temannya. Itu adalah Smart hafiz keluaran pertama atau versi 1 dan layarnya belum touchscree
Akhirnya Bu Wulan dan Pak Rayhan ikut bergabung bersama kami. Makan bubur ayam di stadion PCB ternyata seru juga, apalagi diselingi dengan obrolan ringan.Clarissa tampak sangat senang bertemu dengan Pak Rayhan, sedari tadi nempel terus seperti perangko. Pak Rayhan yang tahu Clarissa kurang kasih sayang dari ayahnya, tampak senang dan tidak keberatan Clarissa bermanja-manja kepadanya.Sesekali kami tergelak oleh tingkah lucu Clarissa. Suasana jadi semakin hangat dan akrab. Kulihat Mas Haris dan Mba Linda makan dalam diam, hanya sesekali menyahuti pertanyaan dari putri mereka. Beberapa kali aku juga mendapati Mas Haris mencuri pandang ke arah kami. Raut wajahnya terlihat tidak senang melihatku yang malah lebih bahagia dibandingkan saat masih menjadi istrinya dulu.Apalagi saat melihat bagaimana Pak Rayhan memperlakukan Clarissa. Seketika wajahnya semakin tampak kesal, lalu dia buru-buru menyelesaikan makannya."Mas, tungguin dong. Kenapa sih buru-buru banget. Ini bantu gendong Dila, ak
Akhirnya jadwal sidang pertama tiba. Aku datang ke pengadilan dengan ditemani oleh Mita dan juga Bagus. Mereka berdua juga bersedia menjadi saksi atas perselingkuhan dan perz*nahan yang telah di lakukan oleh Mas Haris.Tak lama setelah kami sampai, Mas Haris juga datang dengan ditemani ibunya. Saat bertemu kami tidak saling bertegur sapa. Bahkan dari pandangan ibu Mas Haris terlihat dia sangat membenciku. Tapi aku tak peduli, toh sebentar lagi dia bukan siapa-siapa bagiku.Saat tiba giliran kami masuk ke dalam ruangan sidang, aku mengatakan semua tanpa ada yang ditutupi. Aku juga menunjukkan bukti video penggerebekan di hotel. Aku bahkan bersedia menghadirkan saksi lain bila memang dibutuhkan.Mas Haris tidak membantah sedikit pun atas apa yang aku katakan, karena semua itu memang kenyataan. Dan sepertinya sama sepertiku, dia pun ingin secepatnya lepas dari ikatan pernikahan ini.Dan sesuai dengan permohonanku, hak asuh Clarissa jatuh ke tanganku. Mas Haris terbukti telah berz*nah, se
Hening. Aku masih terdiam tanpa sepatah kata pun keluar dari bibir ini. Semesta pun seolah menjadi saksi, ketika mata saling menatap, meskipun bibir tak berucap namun hati seolah saling bicara."Mira, aku ingin mengkhitbahmu. Bolehkah aku datang ke rumah orang tuamu?" tanya Pak Rayhan membuyarkan lamunanku."Maaf, Pak Rayhan, bisakah saya minta waktu untuk berpikir. Saya harus bicara dengan Clarissa dan Ibu dulu. Saya juga harus shalat istikharah untuk meminta petunjuk. Karena seperti yang Pak Rayhan ketahui, sebelumnya saya sudah pernah gagal berumah tangga. Jadi saya tidak mau gegabah mengambil keputusan," jawabku akhirnya."Oke, Mir. Aku akan menunggu jawabanmu. Dan apapun jawabanmu nanti, semoga itu yang terbaik untuk kita berdua," sahut Pak Rayhan seraya tersenyum."Bagaimana keadaan kakimu, apa masih sakit?" tanya Pak Rayhan sambil melihat ke arah kakiku, padahal kakiku tidak kenapa-kenapa. Yang sakit tadi bokong, tapi sekarang sudah mendingan."Nggak kok, udah sembuh," jawabku s