Yusuf mungkin sudah terbiasa dipandang rendah orang. Tapi dia tak pernah bisa tahan menerima ibunya dipermalukan. Apa lagi setelah melihat ibunya menangis seperti itu. Semua pengunjung warung kopi pun langsung tersentak. Begitu juga dengan Rendy yang langsung gamang melihat Yusuf dengan wajah yang begitu mengerikan. Dia sadar, tak mungkin lagi situati seperti itu akan selesai dengan pembicaraan baik-baik. “Yusuf!” tegur Joni panik. Namun dia dan juga Andra nampak terlambat untuk menghentikan Yusuf karena berada di balik meja. Untungnya dua orang pria lain sudah lebih dulu menahan Yusuf. Mereka nampak kesulitan menahannya. Sementara Yusuf tak juga berkata apa-apa. Dia sama sekali tak meminta orang-orang itu melepaskannya, hanya terus meronta berusaha membebaskan diri. “Sabar, Suf! Sabar! Jangan bikin gaduh di warung orang. Tak enak sama Pak Saidi, Suf.” Yusuf masih tak menjawab. Hanya ada suara erangan nafas yang begitu berat terdengar, karena emosi yang sudah begitu memuncak. Ke
Seperti kebanyakan laki-laki, tidur semalaman tak cukup meredakan semua rasa kesal dalam diri Yusuf. Dia masih belum bisa lepas dari apa yang terjadi di warung Pak Saidi.Sesaat sebelum habis waktu subuh, Yusuf berdiri di teras rumah di saat kabut putih masih cukup tebal menutupi pandangan. Dia berdiri di sana menatapi ladang. Meski udara di luar begitu dingin, namun dadanya masih panas.“Sudah hampir satu jam kamu berdiri sendirian di sini,” ujar Rayna tiba-tiba dari belakang.Pikiran Yusuf tersentak dan sedikit menoleh ke belakang. Namun setelah itu dia kembali menatap lurus ke arah ladang.“Aku tahu ada yang sedang kamu pikirkan. Apa terjadi sesuatu?” tanya Rayna.Yusuf pun menghela nafas sesaat. “Aku sedang memikirkan untuk membuat greenhouse untuk ladang ini. Tapi ragu, apa hitung-hitungannya masuk nanti.” Yusuf mencoba mengalihkan perhatian Rayna.“Ladang seluas ini? Bisa makan banyak biaya juga ini,” balas Rayna menimpali.“Itulah. Aku masih punya dana simpanan untuk itu. Aku p
Harmoko terkejut, nampak sangat tidak senang. Namun Rosdiana memasang wajah cuek bebeknya. HP itu kembali berdering dan tentu saja langsung ditolak oleh Rosdiana. “Kenapa kau tutup teleponnya?” tanya Harmoko lirih berbisik. “Kita sudah tak ada hubungan lagi dengannya,” jawab Rosdiana ketus memasukkan HP suaminya itu ke dalam tas. “Kita? Terserah jika kau berpikir tak ada hubungannya. Jangan bawa-bawa aku juga,” sergah Harmoko dengan suara tertahan, mencoba mengambil kembali HP itu. Rosdiana menjauhkan tasnya, dan dua orang suami istri itu mulai nampak sibuk seperti dua remaja sejoli yang sedang ribut. Begitu berhasil merebut HP itu, Harmoko langsung pergi menjauhkan dirinya dari istrinya itu. Nampak dia bersegera melakukan panggilan sembari berjalan cepat di antara keramaian di gedung pasar inpres tersebut. Tinggallah Rosdiana bersama dua orang anak buahnya yang mengiringi di belakang. Sejak Yusuf tak lagi bekerja dengan mereka, David cukup sering terpaksa ikut turun ke ladang-la
Yusuf yang kaget tak siap bereaksi, menjadi kehilangan keseimbangan. Dia tak sempat menahan gerobak yang penuh itu. Dua orang suami-istri itu, gerobak beserta muatannya, terjatuh di pinggir jalan. Beberapa ibu-ibu yang kebetulan ada di sekitar lokasi kejadian begitu terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. “Hoi, Anak Setan! Siampa! Asal saja kau bawa motor! “Tak lihat kau jalanan sempit, ramai orang berjalan kaki!” Mereka beramai-ramai meneriaki si pengendara motor. Namun tak satu pun yang tahu kalau sebenarnya si pengendara itu benar-benar sengaja menendang gerobak Yusuf. Yusuf bersegera menghampiri Rayna dan membantunya berdiri. Kedua telapak tangan Rayna lecet karena refleks untuk menahan diri saat terjatuh. Yusuf murka dan mengalihkan perhatiannya pada motor yang baru saja lewat. Motor yang sangat begitu familiar baginya. Apa lagi, si pengendar menyempatkan menoleh ke belakang, memperlihatkan seringai buruk yang penuh rasa kepuasan. “Dia lagi? Dasar kunyuk tak tahu diuntu
Esok paginya, Mak Leni langsung keluar dari rumah dan menggedor-gedor rumah anak dan menantunya itu. “Ada apa, Mak?” tanya Mila menyambut kedatangan ibunya itu. “Mana suamimu?” tanya Mak Leni lirih dengan raut wajah panik, bersegera masuk ke dalam rumah. Mila menyipitkan mata, nampak kebingungan dengan reaksi ibunya itu. Hingga Rendy pun muncul dari dalam kamar. “Ada apa Mak mencariku?” Dia keluar dengan sedikit memiringkan wajah ke arah kamar, agar pelipis matanya yang lebam di sebelah kiri tak kelihatan oleh mertuanya itu. “Apa yang sudah kamu perbuat pada Yusuf?” tanya Mak Leni. “Tak ada! Cuma iseng-iseng kecil doang,” jawab Rendy dengan raut wajah nampak tak tertarik untuk bercerita. “Iseng-iseng kecil? Kamu juga sudah menghina istri dan ibunya di warung orang, kamu sebut itu iseng-iseng kecil?” Rendy langsung terdiam, terkejut karena menyadari bahwa ternyata isu yang beredar tak hanya soal kejadian kemarin sore. “Jangan asal tuduh dulu, Mak!” Mila menyela, mencoba membel
Beberapa tetangga sempat melihat sekelumit perkelahian antara Yusuf dan Rendy. Sebagian ada yang nampak mencoba untuk menghampiri. Namun karena Yusuf langsung pergi, tetangga itu pun mengurungkan niat mereka.Lagi pula, rata-rata dari mereka sudah dengar juga isu keributan antara dua orang itu. Mereka juga tahu soal hubungan kekerabatan antara Yusuf dan Mak Leni.“Ada apa lagi ini?”“Paling ini ulah si songong itu juga. Tahu sendiri lah lagaknya. Selalu tinggi buihnya dari pada botol.”“Eh, tapi kan dia emang terbilang kaya juga di sini. Tak bisa juga dibilang buih yang tinggi dari botol.”“Kaya pun, tetap ada yang lebih kaya! Tak ada alasan untuk sombong meski kau itu berada.”“Lah, kenapa juga bentaknya ke aku?”“Sudah, sudah! Jangan sampai kalian berdua ribut-ribut juga seperti mereka.”Sementara itu, Mak Leni masih duduk terdiam di ruang tamu rumahnya. Dia masih mematung dengan pikiran kosong, hingga kemudian perhatiannya teralihkan oleh kedatangan anak dan menantunya.“Mak! Apa y
Saat ini, Yusuf pun baru sampai di tepi ladang hendak masuk ke perkarangan rumahnya. Mak Sannah langsung menegakkan kepala menoleh ke arah jendela begitu mendengar suara motor tersebut. Dia langsung bergegas bangkit, dan kemudian berdiri menanti di pintu rumah.Yusuf menangkap kegundahan dari raut wajah ibunya itu. Namun dia mencoba untuk mengabaikan sebentar dan memarkir motor tersebut.Tiba-tiba Aisyah keluar dari rumah bersama Rayna yang menggendong bayinya . Mereka nampak ceria seperti sudah lama menantikan kedatangan Yusuf. Atau lebih tepatnya, menantikan motor matic yang biasa dipakai Aisyah ke sekolah.“Akhirnya,” ujar Aisyah. “Kok lama sekali Abang pakai motornya? kan tadi cuma bilang sebentar.”“Semangat begitu, emangnya kalian mau ke mana?” tanya Yusuf datar.“Kan hari balai sekarang, Bang. Kak Rayna minta diajak main ke pasar,” jelas Aisyah.“Boleh, kan?” sela Rayna singkat, bertanya dengan wajah nampak bersemengat.Yusuf mengangguk pelan dengan senyuman, dan menyerahkan k
Laki-laki dengan jenggot tipis nan rapi itu mondar-mandir di kamarnya, tampak tak sabaran dengan peluang yang ada di depan mata. Dia terus memikirkan ke mana bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dalam lima hari. Rendy tak terlihat seperti orang kepepet. Justru saat ini dia seperti seseorang yang menantikan durian jatuh, nampak tak sabaran untuk segera menebus tanah itu sebelum Yusuf berubah pikiran. Tak kunjung dapat ide, dia pun melakukan panggilan, menghubungi seseorang untuk berkonsultasi. “Bram, kamu ada di rumah sekarang?” [Hmm? Ya!] “Jam segini masih tidur? Hey, aku akan ke tempatmu saat ini.” [Sepagi ini?] Rendy langsung saja memutuskan panggilan itu dan meraih kunci motornya. Dia mengeluarkan motor, menyempatkan diri sesaat masuk kembali ke rumah sebelah, dan kemudian cabut tanpa berkata apa-apa. Tak lama setelah itu, Mila langsung sibuk mengumpulkan barang-barang pribadi miliknya. Dia sempat terhenti sesaat hendak mengumpulkan peralatan rias dan kosmetiknya. Namun akhir