Maxime Yudhanegara bukanlah nama asing di kalangan pengusaha muda di negara ini. Di usia tiga puluh empat tahun, ia sudah berhasil membawa perusahaan keluarganya ke level yang lebih tinggi. Perusahaan kosmetik yang dulu hanya beroperasi dalam lingkup kecil, sebuah usaha rumahan yang dirintis oleh kakeknya puluhan tahun lalu kini berkembang menjadi salah satu brand kecantikan lokal ternama dengan pasar yang menjangkau hampir seluruh Indonesia bahkan luar negeri.
Meski banyak yang melihatnya sebagai sosok sempurna muda, mapan, tampan, dan karismatik. Maxime tahu betul bahwa apa yang ia capai tidak datang dengan mudah. Ada kerja keras yang tak pernah henti, ada malam-malam panjang tanpa tidur, ada juga tanggung jawab besar yang menempel erat di pundaknya sejak ia memutuskan untuk meneruskan usaha keluarga.
Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar meninggi, Maxime sudah berada di kantor pusat perusahaannya. Gedung berlantai puluhan itu berdiri megah di pusat kota, dikelilingi gedung-gedung perkantoran lain. Di lantai tertinggi, ruang kerjanya dipenuhi cahaya alami dari kaca besar yang memanjang dari lantai ke langit-langit. Dari sana, ia bisa melihat lalu lintas kota yang tak pernah sepi.
Namun, bagi Maxime, pemandangan itu tak lebih dari pengingat bahwa dunia di luar sana bergerak cepat, sama cepatnya dengan industri yang ia geluti.
"Pak Maxime, rapat dengan tim riset akan dimulai lima belas menit lagi," ucap sekretaris pribadinya pagi itu.
Ini hari terakhirnya di luar kota, memantau cabang perusahaan di setiap daerah yang mengalami masalah.
Maxime hanya mengangguk sambil memeriksa tablet yang penuh dengan data penjualan. Tatapannya tajam, sorot matanya menunjukkan fokus yang tak mudah diganggu. Itulah yang membuat banyak orang segan padanya. Ia bukan tipe pemimpin yang hanya duduk di kursi empuk, melainkan turun langsung, meneliti, mendengarkan, bahkan tak jarang ikut memikirkan detail kecil yang dianggap penting.
Namun di balik kesibukannya, Maxime tetaplah seorang anak dari keluarga besar Yudhanegara. Ia masih tinggal bersama orang tuanya di rumah keluarga yang megah di pinggiran kota. Rumah itu sudah berdiri sejak zaman kakeknya, sebuah bangunan bergaya kolonial dengan pilar-pilar kokoh dan halaman luas yang ditanami pohon yang membuat suasana sejuk.
Ah rumah itu sudah dibuat sedikit lebih besar dan modern dari sebelumnya.
Setiap kali pulang dari kantor, Maxime akan menemukan ibunya, Nara, yang sudah menunggu dengan senyum hangat di ruang makan. Meski anaknya sudah dewasa dan sukses, Nara tetap memperlakukan Maxime sebagai "anak sulung kebanggaan keluarga."
"Maxime, jangan terlalu memaksa diri. Wajahmu pucat sekali," ujar ibunya suatu malam saat makan bersama.
Maxime hanya tersenyum kecil. "Semua baik-baik saja, ma. Hanya banyak rapat hari ini."
Di sisi lain, ayahnya, Pak Hutomo Yudhanegara, lebih sering bersikap tenang. Ia adalah sosok yang bijaksana, mantan penerus perusahaan sebelum menyerahkannya pada Maxime. "Kamu memang sudah seharusnya bekerja keras, Nak," katanya sambil menepuk pundak Maxime. "Tapi jangan lupakan kehidupan pribadi. Perusahaan ini bisa berkembang kalau kamu sehat dan bahagia."
Kalimat itu terdengar sederhana, tapi Maxime tahu maksud ayahnya lebih dalam. Ada harapan besar agar Maxime segera memikirkan keluarga kecilnya sendiri. Usia yang kian matang, ditambah status sebagai pengusaha muda yang sukses, membuat banyak orang tua tentu berharap putranya segera menikah.
Namun bagi Maxime, urusan hati tidaklah semudah menandatangani kontrak bisnis. Ia terlalu sibuk hingga jarang memberi ruang bagi dirinya untuk benar-benar dekat dengan seseorang. Lagi pula, setelah sebuah kisah cinta di masa lalu yang berakhir pahit, Maxime cenderung menutup diri. Luka itu masih ada, meski tak tampak di permukaan.
Malam-malam di rumah keluarga besar sering kali menjadi waktu refleksi bagi Maxime. Setelah makan malam, ia biasanya berjalan di halaman belakang yang tenang. Lampu taman menyala redup, sementara angin malam berhembus lembut. Di tempat itu, ia sering mengingat kakeknya yang dulu memulai segalanya dari nol.
"Apa yang Kakek lakukan dulu bukan hanya tentang bisnis," Maxime pernah mendengar ayahnya bercerita.
"Tapi tentang kepercayaan orang, tentang kerja keras, dan tentang niat baik. Itulah yang membuat usaha ini bisa bertahan hingga sekarang."
Ah kalau di luar kota seperti ini, ia merindukan keluarganya.
Kalimat itu selalu membekas di benak Maxime. Ia ingin memastikan bahwa warisan yang ia terima tidak berhenti hanya sebagai perusahaan, melainkan tetap hidup sebagai simbol perjuangan keluarganya.
Hari-hari Maxime selalu padat. Pertemuan dengan investor, kunjungan ke pabrik, peninjauan produk baru, hingga acara peluncuran kosmetik yang selalu ramai dihadiri publik figur. Namun di sela-sela kesibukan itu, Maxime tak pernah lupa menyempatkan waktu untuk keluarganya. Ia tahu, tanpa mereka, mungkin ia tak akan berdiri sejauh ini.
Kadang, ketika rasa lelah menumpuk, Maxime memilih pulang lebih cepat hanya untuk duduk di ruang keluarga sambil mendengarkan ibunya bercerita tentang hal-hal sepele. Hal itu membuatnya merasa tetap manusia, bukan sekadar mesin kerja.
Namun, ia juga sadar bahwa kehidupannya yang teratur ini suatu saat akan terusik. Dunia luar begitu luas, dan Maxime tahu cepat atau lambat, ia akan bertemu pada titik persimpangan di mana urusan hati, keluarga, dan bisnis akan saling bersinggungan.
Bagi Maxime si tuan muda, perjalanan ini masih panjang. Ia baru saja memasuki babak penting dalam hidupnya, menjadi pemimpin sekaligus pengusaha yang disorot banyak orang. Ia kuat, tegas, dan penuh dedikasi. Tapi di balik itu, ada sisi lain dirinya yang masih menunggu, seorang lelaki biasa yang diam-diam mendambakan cinta dan kehidupan sederhana, jauh dari hingar-bingar kesibukan.
Dan mungkin, di luar sana, takdir sudah menyiapkan seseorang yang kelak akan masuk ke dalam kehidupannya, mengubah keseimbangan yang selama ini ia jaga rapat-rapat.
"Rangga, apa kau sudah memesankan tiket kepulanganku setelah aku rapat? aku rindu mama ku"
"Sudah pak"
"Bagus"
'Aneh ini orang, kenapa gak pakai jet pribadi nya aja kalau bepergian' Batin Rangga sang sekretaris.
Ah hanya maxime yang biasa di panggil Max yang tau jawabannya.
Sementara di pagi yang sama dan Kota berbeda.
Raras duduk menundukkan kepala di depan Nara, nyonya besar rumah ini.
"Jadi kau ingin bekerja di rumah ini?"
Raras menganggukkan kepalanya "iya nyonya"
Nata tersenyum, gadis di depannya sangat cantik dan sepertinya baik.
Ia terdiam memikirkan apa gerangan pekerjaan yang bisa ia berikan pada gadis ini, mengingat semua pekerjaan sudah penuh dan terisi.
"Kau bisa memasak?"
Raras tentu saja mengangguk cepat.
"Tapi hanya menu Indonesia nyonya"
Nara memicingkan mata, gadis ini sepertinya ada keturunan asing tapi biarkan ia bertanya nanti.
"Baiklah, Untuk menu pagi ini bisakah kau yang memasak? kalau makanan mu diterima keluarga ku mungkin kau bisa bekerja disini"
Raras tersenyum dalam diam, wanita berpenampilan cantik di depannya cukup ramah dan baik, tidak seperti bayangannya atau yang ia lihat dalam televisi.
"Kalau begitu kau boleh pergi"
Raras pun keluar dari kamar sang nyonya besar.
Sesampainya di dapur Bik jani dan beberapa asisten rumah tangga yang cukup baik melontarkan banyak pertanyaan pada Raras.
"Gimana, nyonya menerima mu nak?" Tanya bik Jani
Raras menatap satu persatu mata wanita di depannya yang mungkin mulai dari sekarang ia anggap keluarga.
Gadis cantik dengan mata coklat itu mengangguk dan tersenyum.
"Alhamdulillah, akhirnya" Seru mereka bersamaan.
"Tapi sebagai syarat, aku harus memasak sarapan pagi ini. Kalau enak mungkin aku akan diterima"
Mereka tersenyum.
Kalau begitu ayo memasak yang enak" ucap Bik Jani.
Raras berdiri di tengah dapur besar itu, matanya menatap sekeliling. Semua begitu berbeda dengan dapur rumahnya di desa. Kompor modern berjejer, lemari pendingin besar berdiri di sudut, dan rak penuh dengan bahan makanan tertata rapi. Namun aroma rempah-rempah yang tersimpan di toples-toples kaca itu seolah memberinya sedikit kenyamanan, mengingatkan pada masakan almarhum neneknya dulu.
“Raras, kau ingin masak apa?” tanya Bik Jani, menyerahkan celemek bersih.
Raras tersenyum kecil, lalu mengenakan celemek itu dengan hati-hati. “Aku ingin masak sesuatu yang sederhana, tapi mengenyangkan. Mungkin… nasi goreng kampung dengan tambahan telur dadar dan sambal terasi. Itu masakan kesukaan ibuku.”
Para asisten rumah tangga lain saling pandang lalu tersenyum. Meski sederhana, mereka tahu bahwa sering kali kesederhanaan justru bisa menghadirkan cita rasa yang paling tulus.
Raras pun mulai bergerak. Ia menyalakan kompor, menuangkan minyak ke wajan, lalu menumis bawang putih dan bawang merah hingga harum semerbak memenuhi ruangan. Sesekali ia menutup mata, membiarkan aroma itu menuntunnya kembali pada masa kecil ketika ia membantu ibunya di dapur bambu sederhana.
“Wangi sekali…” bisik salah satu asisten rumah tangga sambil menelan ludah.
Raras hanya tersenyum sambil terus mengaduk. Tangannya cekatan menambahkan cabai merah, irisan daun bawang, dan sedikit kecap manis. Ia tidak perlu resep tertulis; semua sudah tertanam dalam ingatannya. Tak lupa, ia menggoreng kerupuk sebagai pelengkap.
Saat nasi goreng hampir matang, Raras menyiapkan telur dadar. Ia memecahkan beberapa butir telur, menambahkan garam, lada, dan sedikit irisan cabai hijau. Dengan lihai, ia menuangkan adonan ke wajan, membiarkannya mengembang tipis dan harum.
“Telur dadarnya seperti buatan orang tua zaman dulu, lebar dan tipis,” komentar Bik Jani dengan kagum.
Raras tersenyum. “Itu resep ibu saya. Beliau selalu bilang, makanan sederhana yang dimasak dengan hati akan terasa nikmat.”
Tak berhenti di situ, Raras menyiapkan sambal terasi. Ia mengulek cabai merah, tomat, bawang, dan terasi bakar dengan cobek batu besar. Suara ulekan bercampur dengan aroma pedas menyengat membuat beberapa asisten terbatuk pelan.
“Wah, ini pasti luar biasa pedasnya,” celetuk salah satu dari mereka sambil tertawa kecil.
Raras pun menata semuanya di meja panjang, sepiring nasi goreng kampung yang mengepul, telur dadar yang digulung rapi, kerupuk renyah di sisi piring, dan sambal terasi di mangkuk kecil. Meski sederhana, penampilannya memikat.
Tak lama, langkah-langkah kaki terdengar dari arah ruang makan. Beberapa anggota keluarga besar rumah itu mulai berdatangan, termasuk nyonya besar yang semalam menanyai Raras.
“Apa ini?” tanya sang nyonya sambil menatap hidangan di meja.
“Nasi goreng kampung, Bu,” jawab Bik Jani cepat. “Dimasak oleh Raras sendiri, sebagai syarat untuk diterima bekerja.”
Sang nyonya mengangkat alis, lalu duduk di kursi utama. Ia mengambil sendok, menyendokkan nasi goreng ke piringnya, lalu mencicipinya perlahan. Hening sejenak. Semua orang menunggu dengan tegang.
Raras menunduk, jantungnya berdegup kencang.
Lalu bibir sang nyonya melengkung. “Hmm… rasanya sederhana, tapi sangat enak. Tidak terlalu manis, tidak terlalu asin. Pas.”
Raras menghela napas lega, hampir tak percaya telinganya mendengar pujian itu.
Hutomo selaku Tuan besar pun ikut mencicipi, dan wajah-wajah nya berubah cerah. “Sambalnya pedas sekali, tapi enak! Telur dadarnya juga lembut,” Puji ayah Maxime itu
“Sudah lama aku tidak makan nasi goreng seenak ini. Membuatku teringat masakan ibuku dulu.”
Air mata hampir menetes di sudut mata Raras mendengar itu. Ia tak pernah menyangka, masakan yang diwariskan ibunya bisa menghadirkan rasa rindu bagi orang lain.
Sang nyonya lalu menatap Raras. “Kau bisa memasak dengan hati. Itu lebih penting daripada sekadar mengikuti resep. Mulai hari ini, kau resmi bekerja di rumah ini.”
Raras tertegun, lalu menunduk dalam-dalam. “Terima kasih, Nyonya. Saya akan berusaha sebaik mungkin.”
Tepuk tangan kecil terdengar dari para asisten rumah tangga, membuat suasana terasa hangat. Raras merasa seakan ia benar-benar telah menemukan tempat baru, meski jauh dari desa dan keluarganya.
Dalam hati, ia berbisik lirih, “Ibu, aku akan baik baik saja "