Share

Bab 3

Author: Kanza-Azzahra
last update Last Updated: 2025-08-27 19:16:11

"Bik, bangun udah sampai"

Bik Jani bangun dan membuka mata tanpa drama sama sekali.

Ia menguap kemudian menatap sekitar.

"Udah sampai toh?"

"Udah, ayo turun"

Bik Jani menoleh ke belakang dan membangunkan Raras.

"Nduk, bangun kita udah sampai"

Raras langsung membuka mata, ia menatap ke sekitar dengan pandangan linglung. Malam begitu pekat, namun lampu-lampu jalan perkotaan masih menyala terang. Suara mesin mobil yang perlahan berhenti membuat jantungnya berdebar. Gadis itu baru sadar kalau ia sudah benar-benar jauh dari kampungnya.

“Ndak, ayo turun. Kita udah sampai,” ujar Bik Jani sembari menepuk pelan lengan Raras.

Pintu mobil dibuka dari luar oleh seorang pria muda cukup ramah. Ia sopir pribadi keluarga majikan Bik Jani, wajahnya tegas namun ramah. Raras hanya mampu menunduk, menahan rasa canggung. Bukan hanya karena laki-laki itu asing baginya, melainkan juga karena tempat ini benar-benar jauh dari kehidupannya yang sederhana.

Begitu melangkah turun, pandangan Raras langsung tertuju pada bangunan megah bercat putih dengan pilar-pilar tinggi menjulang. Lampu taman berkelap-kelip, memantulkan bayangan anggun di halaman luas yang dipenuhi tanaman hias. Gerbang besi besar baru saja menutup kembali setelah mobil masuk. Semua terasa bagai dunia lain.

“Ya Allah, Bik… gede banget rumahnya,” bisik Raras tanpa sadar.

Bik Jani hanya tersenyum kecil, lalu menggenggam tangan gadis itu. “Iya, Nduk. Inilah rumah majikan bibik. Mulai malam ini, kamu akan tinggal di sini. Jangan takut, orang-orangnya baik. Yang penting kamu nurut dan rajin, pasti betah.”

Raras menelan ludah. Jantungnya masih berdebar, ada rasa kagum sekaligus gentar. Bagaimana mungkin dirinya, gadis kampung yang sehari-hari terbiasa dengan sawah, kebun, dan rumah sederhana, kini berdiri di depan rumah megah layaknya istana?

Sopir tadi membantu mereka membawa dua tas besar milik Bik Jani dan satu tas sederhana milik Raras. Pintu utama rumah terbuka, memperlihatkan bagian dalam yang lebih menakjubkan lagi. Lantai marmer berkilau, lampu kristal menggantung di langit-langit, dan aroma harum ruangan begitu menusuk hidung Raras.

“Nduk, ayo jalan. Jangan bengong di sini,” ujar Bik Jani sembari menarik pelan lengan gadis yang mulai sekarang ia anggap sebagai keponakannya itu.

Mereka melangkah masuk. Seorang perempuan setengah baya dengan seragam rapi sudah menunggu di ruang tamu. Wajahnya ramah, meski terlihat sedikit lelah karena malam sudah larut.

“Lho, Bik Jani sudah datang. Ini yang bibi bawa siapa?” tanyanya sambil menatap gadis itu.

“Oh iya, Rat. Ini keponakan saya yang mau ikut bantu-bantu di sini,” jawab Bik Jani dengan nada hormat.

Raras cepat-cepat menunduk, lalu menyatukan kedua tangan di depan dada. “Selamat malam, Bu…” ucapnya pelan.

Wanita bernama Ratna itu tersenyum, lalu mengangguk kecil. “Selamat malam juga, Nak. Jangan canggung, anggap saja rumah sendiri. Nanti kau bisa tidur di kamar sebelah Bik Jani dulu. Besok pagi kita bicara lagi soal pekerjaanmu bersama nyonya besar.”

Raras hanya mengangguk tanpa suara. Hatinya campur aduk antara lega dan cemas.

Bik Jani menuntunnya menuju koridor panjang. Sepatu mereka menimbulkan gema halus di lantai marmer. Di setiap sisi dinding tergantung lukisan besar, wajah-wajah orang asing yang seolah menatap ke arah mereka. Raras menunduk, mencoba tidak terlalu memperhatikan, tapi bulu kuduknya sempat meremang.

“Tenang, Nduk. Rumah ini memang besar dan kadang bikin aneh rasanya. Tapi nanti lama-lama terbiasa,” ujar Bik Jani seakan tahu isi hati Raras.

Mereka tiba di sebuah kamar sederhana di lantai bawah. Meski jauh lebih kecil dibanding ruangan lain, tetap saja terasa mewah di mata Raras. Ada ranjang empuk dengan seprai putih bersih, lemari kayu mengilap, dan kipas angin di langit-langit.

“Tidur di sini dulu, ya. Besok pagi kita mulai bicarakan semuanya bersama Nyonya” kata Bik Jani sembari menaruh tas Raras di sudut kamar.

Raras duduk di ranjang itu, merasakan betapa empuknya. Perasaannya campur aduk, masih ada bayangan wajah ibunya di desa yang menangis ditinggal dirinya, masih ada ketakutan juragan kejam yang mengamuk karena gagal mendapatkan dirinya. Namun, di saat bersamaan ada sedikit rasa aman di rumah megah ini, seolah ia sudah jauh dari kejaran bayangan hitam yang siap menghancurkannya.

Bik Jani duduk di sampingnya. “Nduk, kamu harus kuat. Ingat, kita ke sini bukan untuk main-main. Kamu bisa tenang disini, majikan dan semua orang disini sangat baik. Nanti kita bicarakan dengan nyonya, beliau pasti nerima kamu asal kamu nurut"

Mata Raras memanas, hampir berkaca-kaca. Ia mengangguk pelan, menahan air mata agar tidak jatuh. “Iya, Bik. Aku bakal nurut.”

“Bagus. Sekarang tidur. Besok kita cerita-cerita lagi.”

Bik Jani lalu berdiri, mematikan lampu utama dan menyisakan lampu tidur kecil di sudut kamar. Setelah pintu ditutup, Raras merebahkan diri. Pandangannya menatap langit-langit, hatinya masih berdegup kencang.

Malam itu, di tengah keheningan rumah megah, Raras sadar bahwa perjalanan hidupnya baru saja memasuki babak baru. Babak yang entah akan membawanya pada keberuntungan, atau justru masalah yang lebih besar.

Namun satu hal pasti, ia sudah jauh dari desa, jauh dari juragan kejam itu. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada secercah harapan.

*******

Sementara di tempat lain

Di rumah sederhana itu, lampu teplok masih menyala redup. Bayang-bayang api menari di dinding bambu, seolah ikut menertawakan nasib keluarga kecil itu. Aryo duduk bersila di hadapan ibunya yang masih terisak. Perempuan paruh baya itu menggenggam selendang lusuh, menutup wajahnya yang sudah basah oleh air mata.

“Bu, sudahlah. Jangan nangis lagi,” ucap Aryo dengan suara parau. Tangannya mencoba menepuk pelan punggung ibunya, memberikan ketenangan meski hatinya sendiri penuh resah.

“Bagaimana Ibu bisa tenang, yo? mbak mu anak perempuan satu-satunya, Ibu khawatir yo. Sekarang dia harus pergi jauh di malam buta, Ibu takut… Semua ini gara-gara juragan keparat itu!” tangis sang ibu pecah lagi.

Aryo mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Ia tahu betul siapa juragan yang dimaksud ibunya. Lelaki kaya itu sudah lama menaruh hati pada Raras, tapi caranya kotor. Dengan uang dan kekuasaan, ia merasa bisa membeli apa pun, termasuk seorang gadis desa yang jauh lebih muda.

“Ibu jangan khawatir. Mbak Raras aman sama Bik Jani. Aku percaya Bik Jani bisa jagain dia di kota. Lagipula, kita nggak punya pilihan lain. Kalau mbak tetap di desa, cepat atau lambat orang suruhan juragan itu pasti bakal nyeret dia untuk dinikahi.”

Sang ibu terdiam, tangisnya mereda meski sesekali masih terdengar isakan kecil. Matanya sembab, memandang wajah putranya dengan tatapan penuh duka. “Tapi bagaimana kalau juragan itu tahu? Bagaimana kalau dia dendam sama kita? Kamu, Yo… kamu yang dia incar berikutnya jadi korban kayak bapakmu”

Aryo menarik napas dalam-dalam. Ia memang sudah menyiapkan diri untuk semua kemungkinan. Sejak saat ia memutuskan membawa Raras kabur lewat jalan persawahan, ia sudah tahu resikonya. Juragan kejam itu pasti tak akan tinggal diam.

“Biar aku yang hadapi, Bu. Selama aku masih bisa berdiri, aku nggak bakal biarin juragan itu menyentuh Ibu, apalagi mbak Raras.” Suaranya tegas, meski ada getaran halus yang menunjukkan kegelisahan.

Suasana rumah kembali hening. Hanya suara jangkrik dan sesekali gonggongan anjing dari kejauhan yang terdengar. Sang ibu kemudian meraih tangan Aryo, menggenggam erat seolah takut kehilangan.

“Yo, Ibu cuma punya kamu sekarang. Jangan ceroboh. Jangan nekat melawan juragan sendirian. Orang itu punya banyak kaki tangan, punya uang, punya kuasa. Kamu cuma anak muda biasa.”

Aryo menunduk, menatap telapak tangannya sendiri yang kasar karena sering membantu di sawah sepulang sekolah semenjak bapak di penjara. Ia tahu ibunya benar. Tapi ia juga sadar, kalau mereka tidak melawan, hidup mereka akan terus diinjak-injak.

“Ibu, kita memang orang kecil. Tapi bukan berarti kita harus tunduk begitu saja. Aku percaya, selama niat kita baik, Tuhan pasti kasih jalan.”

Air mata sang ibu kembali jatuh, kali ini bukan hanya karena sedih, melainkan juga rasa bangga. Anak lelakinya, meski masih muda, sudah berani berdiri menghadapi badai sebesar itu.

Malam semakin larut. Angin dingin menyusup lewat celah jendela rumah, membuat tubuh mereka menggigil. Aryo kemudian berdiri, mengambil kayu bakar dan menambahkan ke tungku agar api tetap menyala. Setelah itu, ia duduk kembali di samping ibunya.

Malam ini sangat dingin, minum teh hangat mungkin akan sangat baik bagi ibunya.

“Besok pagi, Yo… apa yang akan kita lakukan?” tanya sang ibu lirih.

“Kita jalani seperti biasa, Bu. Pergi ke sawah, aku sekolah, dan jangan tunjukkan rasa takut. Kalau juragan tanya tentang mbak, bilang saja kita gak tau. Kita harus pintar ngulur waktu. Yang penting, mbak jangan sampai ketahuan di mana keberadaannya.”

Ibunya mengangguk pelan. Meski hatinya masih dipenuhi rasa cemas, ada secercah keteguhan dalam suara Aryo yang membuatnya sedikit lega.

Namun jauh di lubuk hati, mereka berdua tahu bahwa bahaya belum benar-benar berlalu. Juragan itu bukan orang yang mudah menyerah. Malam ini ia mungkin sedang mengamuk, tapi esok hari, ia pasti akan mencari cara untuk membalas.

Aryo menatap keluar jendela, ke arah jalan desa yang sunyi. Bulan sabit menggantung di langit, seolah menjadi saksi bisu perjuangan mereka. Dalam hati, ia berjanji, apa pun yang terjadi, ia akan melindungi keluarganya, meski harus mengorbankan diri.

Dan di tempat lain, jauh dari desa, Raras sedang berjuang menyesuaikan diri dengan dunia baru yang asing bersamanya Bik Jani. Dua dunia yang berbeda kini berjalan beriringan, terikat oleh satu hal yang sama yaitu keinginan untuk terbebas dari cengkeraman juragan kejam itu.

"Semoga mbak, baik baik saja" Batin Aryo

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PEMBANTU CANTIK TUAN MAXIME   Bab 6

    Sore menjelang malam, rumah besar itu kembali ramai. Tuan dan nyonya besar sudah kembali kerumah. Di dapur Raras membantu Bik Jani bersama Yuni dan Ratna yang ia panggil mbak untuk memasak menu makan malam. Udang tepung dan berbagai menu lainnya. "Semoga kamu betah disini ya ras" Ucap Ratna yang berdiri disamping Raras Raras yang sedang memotong bawang menoleh kemudian tersenyum. "Kalau ada yang gak paham atau dipertanyakan, tanya aja sama Bibik atau sama mbak Yuni atau Ratna" Bik Jani ikut bicara "Kamu itu cantik banget dek, aku penasaran loh sedari tadi mau nanya. kamu ada keturunan bule ngak sih? cantik banget kamu" Yuni gak berhenti memuji Raras dan itu membuat Raras menggeleng heran. "Aku gak cantik ah mbak, cantikan juga mbak" Yuni tertawa mendengarnya. "Kamu benar dek, mbak cantik. Sangking cantiknya mbak ditinggal selingkuh " Tawa Yuni terdengar sumbang dan pilu. Raras jadi gak enak hati mendengarnya, gadis itu mendekati Yuni memegang pundaknya kemud

  • PEMBANTU CANTIK TUAN MAXIME   Bab 5

    Hari pertama yang cukup baik bagi Raras, masakannya ternyata disukai majikan barunya. Bik Jani juga banyak membantunya, wanita itu sangat baik sekali. Disini Raras bertemu Yuni, ia juga pekerja dirumah konglomerat ini sama seperti Jani dan Raras. Yuni, seorang janda muda, bercerai dari suaminya karena sang suami selingkuh. Janda muda itu berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Siang itu setelah majikan mereka pergi bekerja dan sibuk dengan rutinitas aktivitas masing-masing. Raras duduk bersama Yuni di meja belakang khusus buat para pekerja. Menikmati segelas coklat dingin dan seblak yang baru saja dibuat Yuni untuk mereka berdua. "Semoga betah disini ya dek" Yuni menyeruput Coklat sembari menatap Raras. Senyum Raras terkembang di wajah cantiknya, ia menganggukkan kepalanya. "Kamu cantik banget loh dek, gak cocok jadi Art tapi cocok jadi nyonya, mungkin bisa jadi nona muda rumah ini" Yuni cekikikan menutup mulut dengan wajah yang berbinar. Raras hanya tersenyum

  • PEMBANTU CANTIK TUAN MAXIME   Bab 4

    Maxime Yudhanegara bukanlah nama asing di kalangan pengusaha muda di negara ini. Di usia tiga puluh empat tahun, ia sudah berhasil membawa perusahaan keluarganya ke level yang lebih tinggi. Perusahaan kosmetik yang dulu hanya beroperasi dalam lingkup kecil, sebuah usaha rumahan yang dirintis oleh kakeknya puluhan tahun lalu kini berkembang menjadi salah satu brand kecantikan lokal ternama dengan pasar yang menjangkau hampir seluruh Indonesia bahkan luar negeri. Meski banyak yang melihatnya sebagai sosok sempurna muda, mapan, tampan, dan karismatik. Maxime tahu betul bahwa apa yang ia capai tidak datang dengan mudah. Ada kerja keras yang tak pernah henti, ada malam-malam panjang tanpa tidur, ada juga tanggung jawab besar yang menempel erat di pundaknya sejak ia memutuskan untuk meneruskan usaha keluarga. Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar meninggi, Maxime sudah berada di kantor pusat perusahaannya. Gedung berlantai puluhan itu berdiri megah di pusat kota, dikelilingi gedung

  • PEMBANTU CANTIK TUAN MAXIME   Bab 3

    "Bik, bangun udah sampai" Bik Jani bangun dan membuka mata tanpa drama sama sekali. Ia menguap kemudian menatap sekitar. "Udah sampai toh?" "Udah, ayo turun" Bik Jani menoleh ke belakang dan membangunkan Raras. "Nduk, bangun kita udah sampai" Raras langsung membuka mata, ia menatap ke sekitar dengan pandangan linglung. Malam begitu pekat, namun lampu-lampu jalan perkotaan masih menyala terang. Suara mesin mobil yang perlahan berhenti membuat jantungnya berdebar. Gadis itu baru sadar kalau ia sudah benar-benar jauh dari kampungnya. “Ndak, ayo turun. Kita udah sampai,” ujar Bik Jani sembari menepuk pelan lengan Raras. Pintu mobil dibuka dari luar oleh seorang pria muda cukup ramah. Ia sopir pribadi keluarga majikan Bik Jani, wajahnya tegas namun ramah. Raras hanya mampu menunduk, menahan rasa canggung. Bukan hanya karena laki-laki itu asing baginya, melainkan juga karena tempat ini benar-benar jauh dari kehidupannya yang sederhana. Begitu melangkah turun, pandangan R

  • PEMBANTU CANTIK TUAN MAXIME   Bab 2

    Malam itu, rumah sederhana keluarga Raras berubah menjadi lautan ketakutan. Angin malam berhembus dingin, tapi hawa panas amarah juragan Warto jauh lebih menusuk dada semua orang yang ada di dalam rumah termasuk ibu. Lelaki itu berdiri dengan dada membusung, wajahnya memerah, urat-urat di lehernya menonjol, matanya melotot bagai harimau kelaparan yang kehilangan buruannya. “Di mana anak mu?! Di mana calon istri ku?!” teriaknya dengan suara menggelegar, membuat dinding kayu rumah bergetar. Tongkat kayu yang selalu menemaninya dihantamkan keras ke lantai, menimbulkan suara menggetarkan jantung. Ibu Raras yang sudah berumur separuh baya hanya bisa berlutut di sudut ruangan. Air matanya jatuh tanpa henti, membasahi gamis biru yang ia kenakan. Ia menangis, bukan hanya karena takut pada juragan yang berangasan itu, tetapi juga karena hatinya teriris melihat putrinya harus berlari menyelamatkan diri dari pernikahan yang dipaksakan, dari pria seperti juragan mata keranjang ini. “Ma

  • PEMBANTU CANTIK TUAN MAXIME   Bab 1

    "Lari nak, pergilah" Bisik seorang wanita dengan kulit kuning langsat pada gadis cantik dengan kulit putih dan bibir merah bak delima. "Gak buk, Raras gak mau" "Dengarkan ibuk nak, pergilah dari sini demi keselamatanmu" ibu terlihat bersimbah air mata tapi gadis dua puluh satu tahun itu masih tetap menggeleng. "Dengarkan ibu Raras!" Wanita paruh baya itu berteriak keras, nafasnya tersengal menahan amarah Raras Sekarini namanya, Terlahir dari keluarga sederhana namun bahagia menjadi sebuah syukur bagi Raras. Tapi semua tak seindah yang ia harapkan. Saudara laki-laki tertuanya merantau ke luar negeri dan tak ada kabar sampai sekarang, Raras terlahir sebagai anak tengah dan perempuan Satu-satunya, ia memiliki Adik laki-laki yang sekarang masih Sma. Ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga dahulu tapi sekarang? tidak lagi tepatnya semenjak ayahnya di jebloskan ke penjara oleh juragan Warto. Ibu harus mengantikan ayah di sawah dan kebun milik mereka. Juragan itu bisa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status