Hari pertama yang cukup baik bagi Raras, masakannya ternyata disukai majikan barunya.
Bik Jani juga banyak membantunya, wanita itu sangat baik sekali. Disini Raras bertemu Yuni, ia juga pekerja dirumah konglomerat ini sama seperti Jani dan Raras. Yuni, seorang janda muda, bercerai dari suaminya karena sang suami selingkuh. Janda muda itu berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Siang itu setelah majikan mereka pergi bekerja dan sibuk dengan rutinitas aktivitas masing-masing. Raras duduk bersama Yuni di meja belakang khusus buat para pekerja. Menikmati segelas coklat dingin dan seblak yang baru saja dibuat Yuni untuk mereka berdua. "Semoga betah disini ya dek" Yuni menyeruput Coklat sembari menatap Raras. Senyum Raras terkembang di wajah cantiknya, ia menganggukkan kepalanya. "Kamu cantik banget loh dek, gak cocok jadi Art tapi cocok jadi nyonya, mungkin bisa jadi nona muda rumah ini" Yuni cekikikan menutup mulut dengan wajah yang berbinar. Raras hanya tersenyum, Yuni sangat ramah dan baik di hari pertama ia bekerja. “Pedesssnya nyusss!” seru Yuni sambil nyolok kerupuk ke kuah seblak yang masih ngebul. “Kayak nyeseknya waktu liat mantan update status ‘bahagia bersama dia’.” Raras tersenyum malu, duduk di seberang Yuni di meja belakang rumah mewah itu. Suara burung dari taman dan gemericik air mancur kecil jadi latar alami siang itu. “Eh, Ras,” kata Yuni sambil ngelap keringat di jidatnya, “kamu udah tau belum soal anak-anaknya Nyonya besar?” Raras menggeleng pelan. “B-belum, Mbak…” “Wah! Harus tau, biar nanti nggak kaget kalau ketemu,” ucap Yuni semangat, matanya berbinar seperti mau buka gosip nasional. “Aku mulai dari yang paling bontot ya, si non Marisa. Duh, Ras… kalo kamu lihat orangnya, auto minder!” Raras menatap penasaran. “Kenapa, Mbak?” “Karena dia tuh kayak bidadari turun dari surga!” sahut Yuni cepat. “Umurnya baru tiga puluh tahun, tapi udah jadi dokter kandungan terbaik, lho! Tiap hari kerja ngurusin ibu hamil tapi mukanya tetep cling kayak abis facial tiap pagi. Bayangin, aku aja ngelap meja lima menit udah kayak abis ronda seminggu.” Raras terkikik kecil, menunduk malu. “Nah, suaminya itu, Pak Ray, pengusaha muda. Gantengnya tuh, aduh Gusti… kayak versi manusia dari kopi susu — manis tapi bikin deg-degan! Mereka berdua tuh bener-bener couple goals, Ras. Nggak pernah ribut, nggak pernah ngomel-ngomel, tiap ke rumah pasti gandengan tangan. Aku yang janda aja ngerasa ikut terberkahi ngeliatnya.” Raras tersenyum sopan, tapi pipinya mulai merona. “Romantis, ya, Mbak…” “Romantis banget!” Yuni menepuk dada, matanya melotot kecil. “Kamu bayangin ya, waktu non Marisa ulang tahun, Pak Ray tuh ngasih kejutan! Bukannya mobil, bukannya tas, tapi dibikin taman kecil di halaman belakang rumah mereka, isinya bunga melati kesukaan nona Marisa. Katanya, biar tiap pagi istrinya bisa lihat keindahan yang dia tanam sendiri. Duh, aku aja yang denger langsung pengen nyanyi ‘Cinta Luar Biasa’!” Raras menunduk sambil tersenyum, suaranya kecil, “So sweet banget ya mbak" “Sweet banget! Kayak teh manis kebanyakan gula! Mereka yang sweet, aku yang diabetes” Yuni terkekeh. “Makanya, kalo mereka ke rumah sini, aura bahagianya tuh kayak parfum, nyebar ke mana-mana. Non Marisa selalu nyapa semua orang, dari sopir sampai tukang kebun. Eh, pernah tuh, dia sama bik Jani bilang gini, ‘Makasih udah bantu Mama, ya.’ Lah, Bik Jani langsung nangis! Katanya, baru kali ini ada orang kaya yang baik banget makanya bik Jani betah disini " Raras ikut tertawa kecil. “Nah, mereka punya anak satu, namanya Aisyah. Lima tahun, cantik banget, kayak boneka Barbie deh. Tapi cerewetnya aduhai! Sekali ngomong bisa satu episode penuh. Tapi lucu, lho. Kemarin dia nyamperin aku, bawa stetoskop mainan, terus bilang, ‘Tante Yuni sakit apa? Aku dokternya, lho!’ Aku jawab, ‘Tante sakit hati,’ dia malah bilang, ‘Berarti tante butuh susu coklat!’” Raras langsung ketawa kecil, hampir menutup mulutnya dengan tangan. “Pintar ya anaknya…” “Pintar sekaligus bawel,” balas Yuni cepat. “Tapi emang anak dokter beda, Ras. Mainannya aja alat suntik! Aku takut, nanti dia beneran suntik aku pakai tusuk gigi!” Mereka berdua tertawa bareng. Udara siang yang panas terasa ringan oleh canda itu. “Pokoknya keluarga non Marisa tuh ideal banget,” lanjut Yuni sambil menyeruput kuah. “Non Marisa lembut tapi tegas, suaminya kalem tapi perhatian, anaknya lucu dan pintar. Tiap kali mereka datang ke rumah ini, semua orang langsung beres-beres. Aku aja kadang ikut ngaca dulu, takut dikira kunti penghuni dapur.” Raras menatap Yuni sambil tersenyum hangat. “Mereka pasti baik ya, Mbak?” “Baik banget!” sahut Yuni mantap. “Mereka nggak pernah marah sama pembantu. Malah kadang non Marisa suka bawain oleh-oleh buat kita. Waktu lebaran kemarin, aku dikasih set baju gamis! Aku kira baju biasa, eh ternyata bahannya halus banget, Ras. Sampe aku simpen di lemari, belum pernah dipakai. Sayang! Aku aja belum sanggup keliatan mewah di dapur.” Raras tertawa lagi, pelan tapi tulus. “Intinya,” kata Yuni sambil menatapnya dengan gaya guru motivator, “kalau nanti non Marisa datang, kamu tenang aja. Senyum, sopan, jangan gugup. Mereka suka orang yang kalem kayak kamu. Tapi jangan diem banget juga, nanti dikira kamu robot! Oh ya, kalau Aisyah ngajak main dokter-dokteran, pura-pura aja sakit perut. Jangan sakit hati, itu urusanku!” Raras tak kuasa menahan tawa, dan Yuni pun ikut terbahak. Yuni melanjutkan makannya kemudian melanjutkan obrolan. " Dan anak pertama nyonya besar itu, Tuan Max" "Udah nikah juga mbak?" Oke Raras mulai penasaran dengan keluarga ini. "No besar, jomblo sejak putus dari pacarnya yang seorang designer, Tuan muda itu masih sendiri. Entah karena sibuk kerja atau apa tapi bukan karena karena gak laku ya, karena dia itu lebih tampan dari suami nona Marisa menurutku ya" Raras hanya mengangguk, Rasa lezat dan gurih Seblak cukup membuat keringatnya membanjiri wajahnya, wajahnya memerah dan itu sangat terlihat dari kulit putihnya. "Aku tu berharap banget bisa jadi istrinya tapi mana mau dia sama janda, kalau sama kamu cocok deh kayaknya" Raras tersenyum kemudian menggeleng. "Mbak ini ada-ada saja, orang seperti kita mana bisa bersanding sama mereka, yang ada biasanya mereka mencari yang setara." "Jangan salah kamu, banyak kok kisah cinta Cinderella terjadi zaman sekarang" Raras tertawa. "Cinderella itu bukan Art kayak saya mbak, dia bangsawan makanya diundang Raja ke istana. Lagian saya gak kenal juga" Yuni terdiam menatap Raras lama, gadis ini sangat cantik dan ia tau cerita kenapa Raras bisa sampai kesini dari bik Jani. Ada rasa iba dalam hati Yuni pada teman barunya ini. “Udah, habisin seblaknya,” kata Yuni akhirnya sambil berdiri dan membawa mangkuknya ke wastafel. “Hidup tuh harus kayak seblak dek, kadang pedes, kadang panas, tapi tetep enak dijalani!” Raras memandang Yuni dengan mata berbinar. Ia tidak banyak bicara, tapi dalam hatinya merasa hangat. Di rumah besar yang asing ini, ternyata ada satu sosok yang bisa membuatnya tertawa tanpa takut salah bicara. Dan itu janda muda cerewet bernama Yuni. Sepertinya mereka cukup baik pada Raras, semoga saja.Sore menjelang malam, rumah besar itu kembali ramai. Tuan dan nyonya besar sudah kembali kerumah. Di dapur Raras membantu Bik Jani bersama Yuni dan Ratna yang ia panggil mbak untuk memasak menu makan malam. Udang tepung dan berbagai menu lainnya. "Semoga kamu betah disini ya ras" Ucap Ratna yang berdiri disamping Raras Raras yang sedang memotong bawang menoleh kemudian tersenyum. "Kalau ada yang gak paham atau dipertanyakan, tanya aja sama Bibik atau sama mbak Yuni atau Ratna" Bik Jani ikut bicara "Kamu itu cantik banget dek, aku penasaran loh sedari tadi mau nanya. kamu ada keturunan bule ngak sih? cantik banget kamu" Yuni gak berhenti memuji Raras dan itu membuat Raras menggeleng heran. "Aku gak cantik ah mbak, cantikan juga mbak" Yuni tertawa mendengarnya. "Kamu benar dek, mbak cantik. Sangking cantiknya mbak ditinggal selingkuh " Tawa Yuni terdengar sumbang dan pilu. Raras jadi gak enak hati mendengarnya, gadis itu mendekati Yuni memegang pundaknya kemud
Hari pertama yang cukup baik bagi Raras, masakannya ternyata disukai majikan barunya. Bik Jani juga banyak membantunya, wanita itu sangat baik sekali. Disini Raras bertemu Yuni, ia juga pekerja dirumah konglomerat ini sama seperti Jani dan Raras. Yuni, seorang janda muda, bercerai dari suaminya karena sang suami selingkuh. Janda muda itu berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Siang itu setelah majikan mereka pergi bekerja dan sibuk dengan rutinitas aktivitas masing-masing. Raras duduk bersama Yuni di meja belakang khusus buat para pekerja. Menikmati segelas coklat dingin dan seblak yang baru saja dibuat Yuni untuk mereka berdua. "Semoga betah disini ya dek" Yuni menyeruput Coklat sembari menatap Raras. Senyum Raras terkembang di wajah cantiknya, ia menganggukkan kepalanya. "Kamu cantik banget loh dek, gak cocok jadi Art tapi cocok jadi nyonya, mungkin bisa jadi nona muda rumah ini" Yuni cekikikan menutup mulut dengan wajah yang berbinar. Raras hanya tersenyum
Maxime Yudhanegara bukanlah nama asing di kalangan pengusaha muda di negara ini. Di usia tiga puluh empat tahun, ia sudah berhasil membawa perusahaan keluarganya ke level yang lebih tinggi. Perusahaan kosmetik yang dulu hanya beroperasi dalam lingkup kecil, sebuah usaha rumahan yang dirintis oleh kakeknya puluhan tahun lalu kini berkembang menjadi salah satu brand kecantikan lokal ternama dengan pasar yang menjangkau hampir seluruh Indonesia bahkan luar negeri. Meski banyak yang melihatnya sebagai sosok sempurna muda, mapan, tampan, dan karismatik. Maxime tahu betul bahwa apa yang ia capai tidak datang dengan mudah. Ada kerja keras yang tak pernah henti, ada malam-malam panjang tanpa tidur, ada juga tanggung jawab besar yang menempel erat di pundaknya sejak ia memutuskan untuk meneruskan usaha keluarga. Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar meninggi, Maxime sudah berada di kantor pusat perusahaannya. Gedung berlantai puluhan itu berdiri megah di pusat kota, dikelilingi gedung
"Bik, bangun udah sampai" Bik Jani bangun dan membuka mata tanpa drama sama sekali. Ia menguap kemudian menatap sekitar. "Udah sampai toh?" "Udah, ayo turun" Bik Jani menoleh ke belakang dan membangunkan Raras. "Nduk, bangun kita udah sampai" Raras langsung membuka mata, ia menatap ke sekitar dengan pandangan linglung. Malam begitu pekat, namun lampu-lampu jalan perkotaan masih menyala terang. Suara mesin mobil yang perlahan berhenti membuat jantungnya berdebar. Gadis itu baru sadar kalau ia sudah benar-benar jauh dari kampungnya. “Ndak, ayo turun. Kita udah sampai,” ujar Bik Jani sembari menepuk pelan lengan Raras. Pintu mobil dibuka dari luar oleh seorang pria muda cukup ramah. Ia sopir pribadi keluarga majikan Bik Jani, wajahnya tegas namun ramah. Raras hanya mampu menunduk, menahan rasa canggung. Bukan hanya karena laki-laki itu asing baginya, melainkan juga karena tempat ini benar-benar jauh dari kehidupannya yang sederhana. Begitu melangkah turun, pandangan R
Malam itu, rumah sederhana keluarga Raras berubah menjadi lautan ketakutan. Angin malam berhembus dingin, tapi hawa panas amarah juragan Warto jauh lebih menusuk dada semua orang yang ada di dalam rumah termasuk ibu. Lelaki itu berdiri dengan dada membusung, wajahnya memerah, urat-urat di lehernya menonjol, matanya melotot bagai harimau kelaparan yang kehilangan buruannya. “Di mana anak mu?! Di mana calon istri ku?!” teriaknya dengan suara menggelegar, membuat dinding kayu rumah bergetar. Tongkat kayu yang selalu menemaninya dihantamkan keras ke lantai, menimbulkan suara menggetarkan jantung. Ibu Raras yang sudah berumur separuh baya hanya bisa berlutut di sudut ruangan. Air matanya jatuh tanpa henti, membasahi gamis biru yang ia kenakan. Ia menangis, bukan hanya karena takut pada juragan yang berangasan itu, tetapi juga karena hatinya teriris melihat putrinya harus berlari menyelamatkan diri dari pernikahan yang dipaksakan, dari pria seperti juragan mata keranjang ini. “Ma
"Lari nak, pergilah" Bisik seorang wanita dengan kulit kuning langsat pada gadis cantik dengan kulit putih dan bibir merah bak delima. "Gak buk, Raras gak mau" "Dengarkan ibuk nak, pergilah dari sini demi keselamatanmu" ibu terlihat bersimbah air mata tapi gadis dua puluh satu tahun itu masih tetap menggeleng. "Dengarkan ibu Raras!" Wanita paruh baya itu berteriak keras, nafasnya tersengal menahan amarah Raras Sekarini namanya, Terlahir dari keluarga sederhana namun bahagia menjadi sebuah syukur bagi Raras. Tapi semua tak seindah yang ia harapkan. Saudara laki-laki tertuanya merantau ke luar negeri dan tak ada kabar sampai sekarang, Raras terlahir sebagai anak tengah dan perempuan Satu-satunya, ia memiliki Adik laki-laki yang sekarang masih Sma. Ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga dahulu tapi sekarang? tidak lagi tepatnya semenjak ayahnya di jebloskan ke penjara oleh juragan Warto. Ibu harus mengantikan ayah di sawah dan kebun milik mereka. Juragan itu bisa