Kak Daffa berlari mendekat. Dia membuka pintu mobil dan sedikit mendorong tubuhku. Detik kemudian, terdengar suara kendaraan terkunci.
Aku duduk gusar. Nengok ke belakang melihat keadaan. Tampak dua wanita yang turun dari Lamborghini—Tamara dan maminya Kak Daffa.
Tamara pasti sudah bilang kejadian malam ini. Kalau saja Kak Daffa tidak membuat skenario kehamilan, aku mungkin tidak akan sepanik ini.
Dua hal yang bisa kuprediksi mungkin akan terjadi. Pertana, mami Kak Daffa memakiku dengan sebutan jalang, wanita murahan, dan hal semacamnya. Lalu memintaku menggugurkan kandungan.
Atau yang ke dua, bisa saja kami dinikahkan secara paksa. Ini yang gak boleh terjadi.
Aku menggigit bibir. Membayangkan bagaimana hancurnya hidupku kedepannya nanti.
Kak Daffa terlihat berdebat dengan maminya. Sesekali Tamara ikut menimpali. Apa yang mereka katakan? Aku tidak tahu. Suaranya di dalam sini kedap.
Aku pernah bertemu dua kali dengan maminya Kak Daffa. Entah dia kenal aku atau tidak. Yang pasti dia tahu Kak Mandala.
Tamara mendekati mobil. Dia tepat berada di sisi kiriku.
“Ini wanita jalang itu, Tante.” Suaranya samar.
Tamara berkali-kali berusaha membuka pintu mobil, tapi gagal.
Maminya Kak Daffa ikut mendekat. Melakukan hal yang sama seperti Tamara. Kak Daffa tetap tidak membuka kuncinya.
Sepertinya mami Kak Daffa ingin tahu siapa aku. Wanita paruh baya itu mendekatkan wajah ke kaca. Mengintip. Kedua irisnya menyipit.
Harap-harap cemas, aku menutup rambut lalu melirik kaca samping.
“WWWAAAAAAAA!” Wanita paruh baya itu teriak. Mundur sambil memegangi dadanya.
Semoga Tante tidak serangan jantung.
Aku mengusap dada. Rasanya serupa dihempas turun dari roller coaster. “Selamet ... selamet.”
Kak Daffa memanfaatkan keterkejutan maminya dengan segera memasuki mobil. Dia langsung tancap gas. Meninggalkan dua wanita beda usia itu.
“Masalah gak ini?” Aku masih nengok ke belakang.
“Enggak!” serunya santai.
“Suer? Kita gak akan dikawinin, ‘kan?”
Kak Daffa malah tertawa. “Kagak, lah.”
Aku menghela napas sesering mungkin. Setiap kali mencari gara-gara dengan orang lain, aku merasa dunia ini semakin sempit.
“Gue berharap besok bumi ini membesar!” ucapku pasrah.
“Kenapa?”
“Lo gak tahu gimana was-wasnya gue, takut ketemu sama orang-orang yang gue kerjain?”
“Ellah, cuek aja kali.”
“Cuek gundulmu!” Aku memukul lengan kiri Kak Daffa.
“Dijanjiin duit berapa lo sama Mandala?”
“Tiga juta.”
“Pantes. Gue kan mintanya yang lain bukan lo.”
“Emang lo ngasih berapa, Kak?”
“Empat.”
“Empat? Gila! Dikorup ternyata.”
“Si Mandala maunya simpel terus,” umpatnya.
“Masalah, ya, ini?”
“Enggak. Tapi usahakan lo jangan ketemu bokap dulu.”
“Rencana lo apa, sih, sebenernya?”
Kak Daffa melirik sekilas. “Anak kecil gak akan ngerti.”
Aku menghempaskan punggung pada sandaran kursi. Mendelik dan mengumpat pelan.
“Baru saja lo bilang gue hamil. Masih bilang anak kecil?”
“Oh, iya, ya. Sejak kapan lo gedenya. Gak nyadar gue.”
“Ish.” Aku melipat tangan di dada lalu menyetel musik dan kembali duduk rileks.
Jalanan malam lumayan lengang. Kendaraan melaju teratur. Aku seperti ada dalam gendongan.
Tak tahu berapa menit berlalu, tepukan terasa di pipi. Wajah Kak Daffa terlihat cukup dekat saat aku membuka mata.
“Udah sampe rumah,” katanya pelan.
“Ketiduran, ya, gue?” Aku merentangkan tangan sambil melihat suasana. Ternyata kami sudah ada di halaman rumah. Mesin mobil tak bersuara dan bahkan Kak Daffa sudah turun. Ada kain hitam menyelimuti setengah tubuh. Segera kubuang jas itu ke sembarang arah.
“Cepet turun!”
“Hmmm.”
Aku sedikit limbung karena nyawa belum terkumpul. Kak Daffa menahanku dengan memegang dua pundak.
“Eh, ni anak. Jalan yang bener!”
“Iya, ah!”
Mama dan Kak Mandala berdiri di teras. Aku mencium tangan Mama lalu menunjukkan telunjuk pada Kak Mandala. “Urusan kita belum selesai, Mandala Hiraki!” Kuakhiri kalimat dengan mengepalkan tangan sebagai ancaman.
“Udah tidur sana! Mata merah begitu.”
“Cuci tangan kaki dulu, Risa.” Mama mengingatkan.
Aku langsung masuk rumah dan menghempaskan diri di kasur.
***
Hari Minggu adalah hari santai. Pagi-pagi, Kak Mandala sudah nongkrong di belakang rumah sambil main gitar.
Kakakku sedang menyanyikan lagu grup band Noah sambil duduk bersila di gazebo. Segelas kopi menemani waktu luangnya.
Suara Kak Mandala terdengar lirih dan merdu.
“Masih kumerasa angkuh. Terbangkan anganku jauh. Langit kan menatapku. Walau ku terjatuh. Dan bila—”
“Lo bener-bener keterlaluan, Mandala!” Aku menggebrak lantai kayu gazebo, membuat Kak Mandala menghentikan lagu.
Pria yang katanya cool itu meneguk kopi dengan santainya. “Semalam sukses, ‘kan? Ambil duitnya di laci kerja gue!”
“Sukses? Ck!” Aku melotot. Duduk di dekat tangga gazebo. Meruncingkan bibir sambil melihat kebun sayur belakang rumah yang tertata rapi.
Ekspresi cueknya Kak Mandala membuatku benar-benar kesal. Mimik datarnya tak pernah berubah dalam situasi apa pun.
“Kenapa, sih, mesti ada adegan pura-pura hamil. Ide siapa itu?” tanyaku dengan nada tinggi. Menengok pada tersangka yang bersila di sudut dalam gazebo.
“Oh, gue.” Dia kembali menatap senar-senar gitar dengan sorot fokus.
“Lo! Parah, ih. Gak bisa apa, biasa aja?”
“Si Daffa lagi pengin bikin ulah.”
“Emang dasar kalian! Tau enggak, semalem nyokapnya ampe ngejar.”
“Itu nyokap tiri. Bukan nyokap asli.”
“Oh, ya?” Aku mengernyit lalu memperbaiki duduk agar bisa melihat Kak Mandala dengan benar.
“Nyokapnya udah gak ada,” jelasnya.
“Lah, baru tahu gue.”
“Santai aja, lo gak bakal dikawinin,” ucapnya seperti tahu apa yang ada di kepalaku. Perkataannya lumayan menenangkan, sih.
“Lo tuh bikin skenario, coba yang mengangkat harga diri gue. Bukan selalu menjatuhkan.”
“Entar gue kasih peran lagi kalo ada.”
“Males, lah. Mana duitnya dikorup juga.”
“Itu bukan korup, tapi upah penyalur.”
“Penyalur apaan, lo gak keluar modal sama sekali. Lo cuma modal memelas doang. Please ... sekali saja. Preeettt ....” Aku meniru cara bicaranya tempo hari.
“Lo juga mau.”
“Dan bila semua tercipta ....”
Kak Mandala melanjutkan nyanyiannya.Aku berlari ke kamar Kak Mandala. Ambil duit. Uhuy, tiga jeti.
Meskipun kerjaannya menyebalkan. Duitnya tetep maniiiiiis.
***
Senin pagi. Jadwal mata kuliah pertama hari ini jam sembilan. Namun, aku sedang disibukkan penggarapan film pendek. Jadi, harus berangkat pagi.
Celana jeans dan kaus putih adalah pakaian yang kukenakan hari ini. Kupoles bedak tipis dan sedikit lipgloss merah muda. Jangan lupakan eyeliner biar ada yang on point.
“Cantik!” seruku setelah memastikan semua beres. Kutata kembali alat kecantikan pada laci meja rias. Mengambil tas dan hoodie BTS hitam lalu melenggang santai ke luar kamar.
“Kak Mandala mana, Ma?” tanyaku di ruang makan.
“Itu ... udah mau berangkat kerja.” Mama menyendokkan nasi ke piring, sepertinya untukku.
“Hah? Udah mau berangkat? Mandala Hiraki! Tungguin gue!”
Hanya butuh waktu tiga detik untukku mencium pipi Mama dan mengambil dua biji wafer. Kemudian berlari ke depan sambil memakai hoodie.
Kurang sedetik saja, Kak Mandala pasti sudah berangkat. Pria itu sedang duduk di motor siap tancap gas.
“Gue nebeng, kak!” Kuambil helm yang ada di garasi. Kemudian segera naik motor.
“Lo naik angkot ajalah!”
“Ogah. Kuy, berangkat!” Aku menepuk pundaknya.
“Gue ada meeting hari ini.”
“Gue juga ada meeting.”
“Mahasiswa meeting apa?”
“Lo gak perlu tahu. Ayo cepet berangkat nanti lo makin kesiangan!”
Kak Mandala berdecak kesal. “Punya ade satu ngerepotinnya setengah mati.”
***
Ada suka dukanya kalau berangkat kuliah ditemani Kak Mandala. Sukanya, aku ngirit ongkos, gak perlu repot-repot naik turun angkot dan Busway. Tidak sukanya, tiap Kak Mandala masuk area kampus, cewek-cewek selalu rame. Udah kek kedatangan Ji Chang Wook aja.
Kak Mandala ... selamat pagi, Kak Mandala. Abaaaaang.
Kak Mandala yang dipanggil, aku yang geli.
Pagi ini pun, tak berbeda suasananya. Ketika Motor memasuki gerbang kampus lalu berhenti di depan gedung fakultas. Cewek-cewek itu langsung cari-cari perhatian.
Nih, ya, kalau aku datang jalan kaki, orang pasti nanya begini:
“Gak sama Kak Mandala, Ris?”
“Kak Mandalanya mana, Risa?”
Abis itu mereka cuek. Teman-teman dekatku tidak pernah menghampiri.
Lain hal kalau sama Kak Mandala. Motor berhenti di depan fakultas, di situlah teman-tamanku langsung berkumpul, bahkan kadang ada yang aku sendiri tak mengenali.
“Hai, Risa. Hai, Kak Mandala.” Natasya mendekat diikuti Mita dan Tania.
“Hai ..,” balasku dan Kak Mandala bersamaan.
“Sehat, Kak?” tanya Mita.
“Alhamdulillah.”
“Aku udah feeling, loh, Kakak nganterin Risa hari ini,” timpal Tania.
“Oh, ya? Bagus feeling kamu.”
“Iya dong ....”
”Eh, iya, aku bikinin ini buat Kakak.” Kali ini Natasya yang bicara. Wanita berambut panjang itu mengambil sesuatu dari tasnya. Itu Tupperware, Natasya memang selalu bawa bekal.
“Apa itu, Sya?”
“Buat makan siang. Ambil aja.”
“Buat gue?”
“Hu'um.”
“Thank you.”
Aku mengernyit saat Kak Mandala memasukkan kotak itu ke tasnya. Gak tahu diri banget, itu kan bekalnya Natasya.
“Ih, kok dikasih dia. Itu kan punya—” Aku tak bisa meneruskan kalimat karena mulut dibungkam Natasya.
“Emang aku bikin khusus buat Kakak, kok, aku loh yang bikin.” Natasya memperjelas.
“Double thanks, deh. Gue pergi, ya.” Kak Mandala merapikan tasnya dan segera menarik pedal gas.
“Bego banget, sih, kenapa dikasih Kakak gue?” Aku tahu Natasya tidak bisa makan sembarangan. Jadi, dia selalu bawa bekal.
“Gak apa-apa. Gue tahan lapar demi Kak Mandala.”
“Ish!”
Jika dua netra Natasya berbinar karena mengiringi kepergian Kak Mandala, aku berbinar karena seseorang baru saja datang.
Laki-laki itu memakai kacamata dan kemeja rapi. Bunga-bunga bak bermekaran mengikuti langkahnya.
“Andre!” Aku melambaikan tangan dan segera menghampiri pria yang baru saja mendekati gedung fakultas.Andre tersenyum manis dan memelankan langkah. “Hai, Risa.”Lima langkah, aku mendekatinya. “Aku udah ngerjain yang kemarin, loh.”“Oke nanti aku cek.”“Udah dapat ide film yang mau kita garap?”“Ada beberapa, nanti kita meeting lagi.” Raut ramah itu tak kehilangan senyuman.“Oke.” Aku tersenyum bersemu.Setiap kali melihat Andre dan sikap hangatnya, bunga-bunga seperti mengelilingiku.“Kita kumpul di dalam aja bahasnya. Duluan, ya.”“Hu'um.”“Cek, cek, cek. Apa, sih, yang lo lihat dari Andre?” seloroh Natasya tepat di sampingku.“Dia itu baik, ramah, lucu, terus pinter. Gemesin banget.” Mataku tak bisa beranjak dari punggung Andre. Dia sudah melewati tangga fakultas dan hilang di balik pintu kaca.Natasya membuang napas kasar.“Gue rasa mata lu bermasalah. Gara-gara tiap hari liat dua cowok ganteng.”“Kak Mandala sama Kak Daffa maksud lo?”“Siapa lagi,” selorohnya sambil jalan duluan.
“Gak mau.” Aku menggetok Kak Daffa dengan gagang sapu. “Eh!” Pria tinggi itu mengusap ubun-ubunnya. “Dikasih yang enak gak mau.” Kak Daffa balik kanan. Dia mendekati meja dapur lalu buat kopi sendiri. Emang dasar, tamu kurang asem. “Ngapain ke sini. Kak Mandala aja belum pulang.” “Mau nginep gue.” “Ih, kenapa? Udah gak punya rumah?” “Diusir gara-gara hamilin anak orang.” Aku ternganga. Lalu mendekati Kak Daffa dan melihat raut wajahnya. “Serius?” “Hm.” “Terus?” “Gak ada terus.” Pria itu sudah menuangkan air panas pada gelas kopi. Kepulan asapnya membuat ruangan ini harum. Seperti di rumah sendiri, Kak Daffa bawa kopi dan gitar ke belakang rumah. Apa cowok emang gitu? Diusir cuek aja. Ah, tapi peduli amat apa yang terjadi dengan hidup Kak Daffa. Toh, dia emang sengaja bikin ulah. Lebih baik lanjut nyapu biar cepet rebahan. Baru beres nyapu empat kamar, terdengar Mama masuk rumah sambil berucap salam. “Risa sudah pulang?” “Udah, Ma.” “Kakak kamu sudah pulang juga?” Mam
BAB 6Gara-gara gak bisa nebeng. Aku harus berangkat naik angkot lalu pindah ke busway. Dua kali naik turun busway, barulah sampai halte dekat kampus.Dari sini, jarak masih 200 meter. Itu baru sampai gerbang depannya saja, belum masuk fakultas.Jam delapan lebih sepuluh menit, aku terengah-engah di depan ruang berpintu kaca buram. Mengatur napas sebelum masuk kelas.Gara-gara Kak Daffa kurang asem, aku harus lari-larian begini.Aku hati-hati membuka pintu. “Permisi, Prof.”Lelaki beruban yang sebagian rambutnya sudah tak tumbuh itu menurunkan kaca mata. Dia sedang duduk di depan kelas. Melihat laptopnya dengan jarak begitu dekat. Sepertinya perkuliahan baru saja dimulai.“Ka ... Karisa?”“Klarisa, Prof.”Prof Hendo melirik jam. “Anak sekarang, diberi toleransi sepuluh menit harus dimanfaatkan. Kau pikir itu diskon?” Pria itu kembali pada laptopnya.Aku menghela napas lalu masuk dan duduk di kursi paling belakang.Baru menghela napas panjang tiga kali, seseorang menyodorkan minum.Aku
BAB 7Rabu pagi. Aku sudah melihat pemandangan tak mengenakkan. Rencana meeting hari ini harusnya jam sepuluh, tapi Natasya dan Mita sudah datang dari jam delapan.Lihatlah! Mita sibuk curi perhatian sama Mama. Dia bantuin buat kue segala. Kalau Natasya sibuk deketin Kak Mandala. Mereka lagi nyanyi-nyanyi berdua di belakang.Kesel kalau lihat Kak Mandala didekati cewek-cewek. Ini bukan hanya berlaku sekarang, tapi dari dulu. Semua teman yang dekat denganku bukan semata-mata ingin berteman, tapi ingin kenal sama kakakku.Heran. Kenapa Kak Mandala laku banget, tapi aku enggak. Padahal kan pengin dikejar-kejar cowok juga.Pesona Kak Mandala bukan hanya terlihat di mata teman-teman saja, tapi di mata keluarga juga. Setiap ada perkumpulan keluarga yang jadi perhatian ya Kak Mandala. Dia ditanya ini itu, kalau aku dicuekin. Enggak tahu kenapa. Perasaan aku gak jelek-jelek amat.Jam sepuluh, suasana mulai baik. Andre datang. Kami pun bisa serius mendiskusikan projek, tapi itu hanya berlaku s
BAB 8Saat tersadar, aku sedang berbaring di sofa hitam. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruang sambil mencoba duduk.Aku berada di ruang luas berdinding granit putih. Di belakang tempatku duduk ada jendela lebar tertutup tirai tipis. Sedikit sekali furnitur di ruang ini. Hanya ada lemari panjang menghiasi sisi kanan, tingginya tak lebih dari satu meter, bunga dan beberapa guci kecil menghiasi bagian atasnya. Empat sofa membentuk huruf U. Lampu kristal menggantung di tengahnya. Harum pewangi ruangan menyegarkan.Dua laki-laki bertubuh besar berdiri membelakangi. Mereka bersiaga di dekat pintu. Pakaiannya hitam-hitam, serupa bodyguard di film-film.Ah, baru ingat. Tadi sepertinya aku diculik. Tapi siapa yang melakukan ini? “Hai, kalian! Tidak salah membawaku ke tempat ini.” Aku coba mengorek informasi.Sekilas tadi berpikir, jika aku diculik mafia perdagangan manusia. Biasanya disekap di gudang-gudang, tapi ini bukan gudang, ini ruangan mewah.“Diam!” Suara bariton itu dingin. Dia hanya
BAB 9Malam yang gerah. Kipas angin berputar ke kanan dan kiri. Mama sedang membaca di ruang tamu. Kak Mandala terdengar memainkan piano di kamarnya. Tak perlu heran jika setiap waktu kakakku itu bermain musik. Selain hobi, dia juga bekerja sebagai sound effect di perusahaan media. Sering kali dia mengarang lagu untuk iklan, berita, atau yang lainnya.Aku mendekati Mama. Jarang-jarang beliau santai begini, biasanya kalau sedang ada pesanan kue, sampai malam menghabiskan waktu di dapur.“Ma, tadi aku ketemu sama papinya Kak Daffa.”“Kok, bisa ketemu. Ketemu di mana?”“Di rumahnya, tadi pulang sama Kak Daffa, mampir dulu ke rumahnya.” Aku mengarang cerita. Gak mungkin jujur diculik karena pura-pura hamil.“Dia bilang apa?” Mama masih fokus sama bukunya.”“Dia bahas papa, katanya papa orang yang jujur dan bijak.”Mama melepas kacamata lalu melihat bola lampu. Wanita yang tubuhnya seukuran denganku ini seperti sedang menerawang jauh.“Harimau mati meninggalkan belang. Gajah mati meninggal
BAB 10Mobil yang sudah dimodifikasi ini terlihat lebih mewah isinya. Aksesoris lengkap dengan kursi yang pastinya nyaman. Selain Om Handri, ada dua pria berseragam hitam di dalam sini.“Om pangling lihat kamu. Kirain tadi bukan Klarisa.”Aku melihat kerudung sendiri. Baru sadar kalau penampilan berbeda.Aku mengangguk dan tersenyum. Benak sibuk berpikir, mau apa Om Handri berkunjung ke rumah? Jangan-jangan naksir Mama.“Rajin sekali kamu, hari minggu masih sempat-sempatnya galang dana.”“Bukan kerajinan Om, emang gak ada kerjaan.”“Bukannya istirahat, cape kan setiap hari kuliah.”“Ah, kuliah cape apa, Om. Yang ada sok sibuk aja. Hehe ….”Om Handri ikut tertawa ringan. Sepanjang obrolan dia lebih banyak tersenyum.Pria dengan gestur berwibawa ini melirik kembali. “Daffa sering main ke rumahmu?”“Cukup sering.”“Beberapa hari lalu menginap di rumahmu bukan?”“Om, tahu?”“Tentu … menurutmu seperti apa Daffa?”“Kak Daffa baik, meski terlihat nakal dan sering bikin ulah.”Om Handri menga
BAB 11Kak Daffa diam. Pria berkemeja hitam yang dua kancingnya terbuka ini hanya melihat jalanan depan sekolah dengan tatapan kosong. Dia bersandar pada kursi. Sebelah tangannya di belakang kepala.Dari semerawut tampilannya, tidak akan ada orang yang menyangka dia anak pemilik perusahaan multimedia, bahkan pada salah satu chanel televisi tersemat namanya, “DaffaTv”. Dia lebih terlihat seperti karyawan biasa yang kerjaannya kabur-kaburan di jam kerja. Apa lagi dibilang santri, sungguh tak ada muka santri sama sekali.Ponsel terasa bergetar di dalam tas. Sambil menunggu Kak Daffa kembali bicara, aku merogoh dan membuka pesan masuk.Andre:[Mr. Richard sudah masuk kelas, kamu tidak kelihatan. Di mana?]Aku mengetik balasan cepat, tapi urung mengirim karena Kak Daffa kembali bicara.“Hidup gue ada di telunjuk papi.” Kak Daffa mengacungkan telunjuk. “Di sini.” Dia menatap ujung telunjuknya. “Gue harus ikut semua yang dia tentukan. Gue bukan anak. Gue kacungnya dia.“Gue mengawali hari be