Share

PGK 3

Kak Daffa berlari mendekat. Dia membuka pintu mobil dan sedikit mendorong tubuhku. Detik kemudian, terdengar suara kendaraan terkunci.

Aku duduk gusar. Nengok ke belakang melihat keadaan. Tampak dua wanita yang turun dari Lamborghini—Tamara dan maminya Kak Daffa.

Tamara pasti sudah bilang kejadian malam ini. Kalau saja Kak Daffa tidak membuat skenario kehamilan, aku mungkin tidak akan sepanik ini.

Dua hal yang bisa kuprediksi mungkin akan terjadi. Pertana, mami Kak Daffa memakiku dengan sebutan jalang, wanita murahan, dan hal semacamnya. Lalu memintaku menggugurkan kandungan.

Atau yang ke dua, bisa saja kami dinikahkan secara paksa. Ini yang gak boleh terjadi.

Aku menggigit bibir. Membayangkan bagaimana hancurnya hidupku kedepannya nanti.

Kak Daffa terlihat berdebat dengan maminya. Sesekali Tamara ikut menimpali. Apa yang mereka katakan? Aku tidak tahu. Suaranya di dalam sini kedap.

Aku pernah bertemu dua kali dengan maminya Kak Daffa. Entah dia kenal aku atau tidak. Yang pasti dia tahu Kak Mandala.

Tamara mendekati mobil. Dia tepat berada di sisi kiriku.

“Ini wanita jalang itu, Tante.” Suaranya samar.

Tamara berkali-kali berusaha membuka pintu mobil, tapi gagal.

Maminya Kak Daffa ikut mendekat. Melakukan hal yang sama seperti Tamara. Kak Daffa tetap tidak membuka kuncinya.

Sepertinya mami Kak Daffa ingin tahu siapa aku. Wanita paruh baya itu mendekatkan wajah ke kaca. Mengintip. Kedua irisnya menyipit.

Harap-harap cemas, aku menutup rambut lalu melirik kaca samping.

“WWWAAAAAAAA!” Wanita paruh baya itu teriak. Mundur sambil memegangi dadanya.

Semoga Tante tidak serangan jantung.

Aku mengusap dada. Rasanya serupa dihempas turun dari roller coaster. “Selamet ... selamet.”

Kak Daffa memanfaatkan keterkejutan maminya dengan segera memasuki mobil. Dia langsung tancap gas. Meninggalkan dua wanita beda usia itu.

“Masalah gak ini?” Aku masih nengok ke belakang.

“Enggak!” serunya santai.

Suer? Kita gak akan dikawinin, ‘kan?”

Kak Daffa malah tertawa. “Kagak, lah.”

Aku menghela napas sesering mungkin. Setiap kali mencari gara-gara dengan orang lain, aku merasa dunia ini semakin sempit.

“Gue berharap besok bumi ini membesar!” ucapku pasrah.

“Kenapa?”

“Lo gak tahu gimana was-wasnya gue, takut ketemu sama orang-orang yang gue kerjain?”

Ellah, cuek aja kali.”

“Cuek gundulmu!” Aku memukul lengan kiri Kak Daffa.

“Dijanjiin duit berapa lo sama Mandala?”

“Tiga juta.”

“Pantes. Gue kan mintanya yang lain bukan lo.”

“Emang lo ngasih berapa, Kak?”

“Empat.”

“Empat? Gila! Dikorup ternyata.”

“Si Mandala maunya simpel terus,” umpatnya.

“Masalah, ya, ini?”

“Enggak. Tapi usahakan lo jangan ketemu bokap dulu.”

“Rencana lo apa, sih, sebenernya?”

Kak Daffa melirik sekilas. “Anak kecil gak akan ngerti.”

Aku menghempaskan punggung pada sandaran kursi. Mendelik dan mengumpat pelan.

“Baru saja lo bilang gue hamil. Masih bilang anak kecil?”

“Oh, iya, ya. Sejak kapan lo gedenya. Gak nyadar gue.”

“Ish.” Aku melipat tangan di dada lalu menyetel musik dan kembali duduk rileks.

Jalanan malam lumayan lengang. Kendaraan melaju teratur. Aku seperti ada dalam gendongan. 

Tak tahu berapa menit berlalu, tepukan terasa di pipi. Wajah Kak Daffa terlihat cukup dekat saat aku membuka mata.

“Udah sampe rumah,” katanya pelan.

“Ketiduran, ya, gue?” Aku merentangkan tangan sambil melihat suasana. Ternyata kami sudah ada di halaman rumah. Mesin mobil tak bersuara dan bahkan Kak Daffa sudah turun. Ada kain hitam menyelimuti setengah tubuh. Segera kubuang jas itu ke sembarang arah.

“Cepet turun!”

“Hmmm.”

Aku sedikit limbung karena nyawa belum terkumpul. Kak Daffa menahanku dengan memegang dua pundak.

“Eh, ni anak. Jalan yang bener!”

“Iya, ah!”

Mama dan Kak Mandala berdiri di teras. Aku mencium tangan Mama lalu menunjukkan telunjuk pada Kak Mandala. “Urusan kita belum selesai, Mandala Hiraki!” Kuakhiri kalimat dengan mengepalkan tangan sebagai ancaman.

“Udah tidur sana! Mata merah begitu.”

“Cuci tangan kaki dulu, Risa.” Mama mengingatkan.

Aku langsung masuk rumah dan menghempaskan diri di kasur.

***

Hari Minggu adalah hari santai. Pagi-pagi, Kak Mandala sudah nongkrong di belakang rumah sambil main gitar.

Kakakku sedang menyanyikan lagu grup band Noah sambil duduk bersila di gazebo. Segelas kopi menemani waktu luangnya.

Suara Kak Mandala terdengar lirih dan merdu.

“Masih kumerasa angkuh. Terbangkan anganku jauh. Langit kan menatapku. Walau ku terjatuh. Dan bila—

“Lo bener-bener keterlaluan, Mandala!” Aku menggebrak lantai kayu gazebo, membuat Kak Mandala menghentikan lagu.

Pria yang katanya cool itu meneguk kopi dengan santainya. “Semalam sukses, ‘kan? Ambil duitnya di laci kerja gue!”

“Sukses? Ck!” Aku melotot. Duduk di dekat tangga gazebo. Meruncingkan bibir sambil melihat kebun sayur belakang rumah yang tertata rapi.

Ekspresi cueknya Kak Mandala membuatku benar-benar kesal. Mimik datarnya tak pernah berubah dalam situasi apa pun.

“Kenapa, sih, mesti ada adegan pura-pura hamil. Ide siapa itu?” tanyaku dengan nada tinggi. Menengok pada tersangka yang bersila di sudut dalam gazebo.

“Oh, gue.” Dia kembali menatap senar-senar gitar dengan sorot fokus.

“Lo! Parah, ih. Gak bisa apa, biasa aja?”

“Si Daffa lagi pengin bikin ulah.”

“Emang dasar kalian! Tau enggak, semalem nyokapnya ampe ngejar.”

“Itu nyokap tiri. Bukan nyokap asli.”

“Oh, ya?” Aku mengernyit lalu memperbaiki duduk agar bisa melihat Kak Mandala dengan benar.

“Nyokapnya udah gak ada,” jelasnya.

“Lah, baru tahu gue.”

“Santai aja, lo gak bakal dikawinin,” ucapnya seperti tahu apa yang ada di kepalaku. Perkataannya lumayan menenangkan, sih.

“Lo tuh bikin skenario, coba yang mengangkat harga diri gue. Bukan selalu menjatuhkan.”

“Entar gue kasih peran lagi kalo ada.”

“Males, lah. Mana duitnya dikorup juga.”

“Itu bukan korup, tapi upah penyalur.”

“Penyalur apaan, lo gak keluar modal sama sekali. Lo cuma modal memelas doang. Please ... sekali saja. Preeettt ....” Aku meniru cara bicaranya tempo hari.

“Lo juga mau.”

“Dan bila semua tercipta ....”

Kak Mandala melanjutkan nyanyiannya.

Aku berlari ke kamar Kak Mandala. Ambil duit. Uhuy, tiga jeti.

Meskipun kerjaannya menyebalkan. Duitnya tetep maniiiiiis.

***

Senin pagi. Jadwal mata kuliah pertama hari ini jam sembilan. Namun, aku sedang disibukkan penggarapan film pendek. Jadi, harus berangkat pagi.

Celana jeans dan kaus putih adalah pakaian yang kukenakan hari ini. Kupoles bedak tipis dan sedikit lipgloss merah muda. Jangan lupakan eyeliner biar ada yang on point.

“Cantik!” seruku setelah memastikan semua beres. Kutata kembali alat kecantikan pada laci meja rias. Mengambil tas dan hoodie BTS hitam lalu melenggang santai ke luar kamar.

“Kak Mandala mana, Ma?” tanyaku di ruang makan.

“Itu ... udah mau berangkat kerja.” Mama menyendokkan nasi ke piring, sepertinya untukku.

“Hah? Udah mau berangkat? Mandala Hiraki! Tungguin gue!”

Hanya butuh waktu tiga detik untukku mencium pipi Mama dan mengambil dua biji wafer. Kemudian berlari ke depan sambil memakai hoodie.

Kurang sedetik saja, Kak Mandala pasti sudah berangkat. Pria itu sedang duduk di motor siap tancap gas.

“Gue nebeng, kak!” Kuambil helm yang ada di garasi. Kemudian segera naik motor.

“Lo naik angkot ajalah!”

“Ogah. Kuy, berangkat!” Aku menepuk pundaknya.

“Gue ada meeting hari ini.”

“Gue juga ada meeting.”

“Mahasiswa meeting apa?”

“Lo gak perlu tahu. Ayo cepet berangkat nanti lo makin kesiangan!”

Kak Mandala berdecak kesal. “Punya ade satu ngerepotinnya setengah mati.”

***

Ada suka dukanya kalau berangkat kuliah ditemani Kak Mandala. Sukanya, aku ngirit ongkos, gak perlu repot-repot naik turun angkot dan Busway. Tidak sukanya, tiap Kak Mandala masuk area kampus, cewek-cewek selalu rame. Udah kek kedatangan Ji Chang Wook aja.

Kak Mandala ... selamat pagi, Kak Mandala. Abaaaaang.

Kak Mandala yang dipanggil, aku yang geli.

Pagi ini pun, tak berbeda suasananya. Ketika Motor memasuki gerbang kampus lalu berhenti di depan gedung fakultas. Cewek-cewek itu langsung cari-cari perhatian.

Nih, ya, kalau aku datang jalan kaki, orang pasti nanya begini:

Gak sama Kak Mandala, Ris?

Kak Mandalanya mana, Risa?

Abis itu mereka cuek. Teman-teman dekatku tidak pernah menghampiri.

Lain hal kalau sama Kak Mandala. Motor berhenti di depan fakultas, di situlah teman-tamanku langsung berkumpul, bahkan kadang ada yang aku sendiri tak mengenali.

“Hai, Risa. Hai, Kak Mandala.” Natasya mendekat diikuti Mita dan Tania.

“Hai ..,” balasku dan Kak Mandala bersamaan.

“Sehat, Kak?” tanya Mita.

“Alhamdulillah.”

“Aku udah feeling, loh, Kakak nganterin Risa hari ini,” timpal Tania.

“Oh, ya? Bagus feeling kamu.”

“Iya dong ....”

 ”Eh, iya, aku bikinin ini buat Kakak.” Kali ini Natasya yang bicara. Wanita berambut panjang itu mengambil sesuatu dari tasnya. Itu Tupperware, Natasya memang selalu bawa bekal.

“Apa itu, Sya?”

“Buat makan siang. Ambil aja.”

“Buat gue?”

“Hu'um.”

Thank you.”

Aku mengernyit saat Kak Mandala memasukkan kotak itu ke tasnya. Gak tahu diri banget, itu kan bekalnya Natasya.

“Ih, kok dikasih dia. Itu kan punya—” Aku tak bisa meneruskan kalimat karena mulut dibungkam Natasya.

“Emang aku bikin khusus buat Kakak, kok, aku loh yang bikin.” Natasya memperjelas.

Double thanks, deh. Gue pergi, ya.” Kak Mandala merapikan tasnya dan segera menarik pedal gas.

“Bego banget, sih, kenapa dikasih Kakak gue?” Aku tahu Natasya tidak bisa makan sembarangan. Jadi, dia selalu bawa bekal.

“Gak apa-apa. Gue tahan lapar demi Kak Mandala.”

Ish!

Jika dua netra Natasya berbinar karena mengiringi kepergian Kak Mandala, aku berbinar karena seseorang baru saja datang.

Laki-laki itu memakai kacamata dan kemeja rapi. Bunga-bunga bak bermekaran mengikuti langkahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status