Share

PGK 2

Hamil?

OMG!

Emang bikin anak kek ngupil. Sedetik langsung dapet.

Aku mencubit paha Kak Daffa. Bisa kupastikan, di balik kain hitam ini, lapisan kulitnya sedang meradang.

Kak Daffa menyembunyikan sakit dengan sedikit meringis dan senyum yang dipaksakan.

“Kenapa, Sayang? It's oke, no problem. Kehamilanmu bukan untuk disembunyikan.” Kak Daffa menepis tanganku.

“Kamu ngomong apaan, sih, Beb?” Aku melirik Tamara dengan senyum tak enak.

Sumpah. Ini parah, sih. Kerjaan dari Kak Mandala gak pernah bener. Selalu menjatuhkan harga diri.

“Lo hamil?” Tamara mengernyit jijik.

“Cewek gue emang lagi hamil.”

“Pede banget. Tante ... tahu?”

“Bukan urusan dia.”

“Ih, parah banget sih lo, Daf.”

“Gue emang separah itu.”

Kak Daffa menatap Tamara cukup serius.

“Ra, gue minta lo mundur dari perjodohan ini. Gue gak mungkin sama lo karena Klarisa udah hamil. Jadi, gue gak mungkin ninggalin dia. Sebaiknya lo cari cowok lain. Jangan mau menjalani hubungan yang tujuannya cuma buat bisnis.”

“Aku sayang sama kamu beneran, Daffa.”

Kak Daffa menunjukkan telapak tangannya. “Pacar gue udah hamil. Mau dipaksa bagaimanapun pernikahan kita gak akan pernah ada.”

“Ini gimmick, ‘kan?”

No. Dia memang cewek gue.” Kak Daffa menggenggam tanganku dan mencium punggung tangan. Aku hanya diam. Karena itulah tugas beratku.

“Aku gak nyangka, Daf. Gak nyangka kamu jadi seberengsek ini.” Tamara bicara dengan kaca-kaca pada kedua netranya. Dia mengentakkan kaki seraya berdiri. Detik kemudian, sudah pergi.

Aku menghela napas.

“Gak jadi, Mas!” seru Kak Daffa mengembalikan book menu. Aku bahkan lupa kalau pelayan itu masih berdiri di dekat kami. Detik-detik barusan terasa menegangkan.

Aku memutar leher. Mengikuti arah kepergian Tamara.

“Beres.” Kak Daffa mengusap telapak seolah berdebu.

“Parah lo, Kak.”

“Kerja lo cuma lima menit. Gue terlalu bayar mahal.”

“Masalah enggak entar?”

“Kagak.” Kak Daffa meminum jus lemon yang ada di hadapannya dengan gerak santai.

“Seriusan?”

“Gue jamin.” Dia berdiri. “Udah, yuk, balik!”

“Minum dulu lah, gue. Parah bener ke sini enggak makan apa-apa.”

Di meja bundar ini, hanya ada dua air minum. Milik Tamara dan Kak Daffa. Aku segera mengaliri tenggorokan dengan jus lemon milik Kak Daffa.

“Udah, entar gue beliin kebab pinggir jalan.”

“Astaga. Level gue ternyata cuma ampe pinggir jalan.”

Kak Daffa tertawa renyah sambil berjalan duluan.

***

“Kenapa Tamara lo tolak, Kak? Dia cantik, loh. Lo juga udah cukup umur.”

“Belum pingin nikah gue.”

“Lo gak punya hubungan spesial, ‘kan sama abang gue.”

“Najis,” umpatnya tak suka.

Kini giliranku yang tertawa puas.

Aku dan Kak Daffa tidak langsung pulang setelah dari restoran tadi. Kami nongkrong dulu di taman kota sambil ngobrol. Duduk di kursi permanen yang telah disediakan. Tak jauh dari kami, para pedagang kaki lima berjajar.

Ada kebab, sosis bakar, siomay, tukang kopi, nasi goreng, sampe seafood jalanan juga ada.

Di sini, banyak anak muda nongkrong malam mingguan. Kalau dilihat-lihat dari penampilan, aku dan Kak Daffa paling good looking. Rapi dan berkelas. Belum lagi audi yang terparkir cantik di sana. Lengkap.

Sayangnya yang tak melengkapi adalah jajanan kami. Cuma kebab dan minuman bersoda.

“Lagi sibuk apa di kampus?” Kak Daffa melirik. Dia duduk condong ke depan. Sikut bertumpu pada paha.

“Gue sama temen-temen lagi garap film pendek begitu, sih.” Aku kesulitan bicara karena sedang mengunyah kebab.

“Temanya?”

Back to nature.”

“Hm ... bikin yang beda lah.”

“Contohnya?”

“Lo bisa bikin kehidupan seribu tahun lagi misal. Ketika sudah jarang pohon dan kehidupan didominasi robot-robot.”

“Jangan yang dana besar lah, kasih ide yang sesuai kantong mahasiswa.”

“Em ... entar coba gue pikirin.” Pria di sampingku ini menegak air dalam kaleng bersodanya.

“Kak.”

“Hm?”

“Ngapain tadi pake ngaku-ngaku hamilin gue. Emang gak bisa pacaran biasa aja. Bikin dia pergi doang, mah, gampang.”

“Gue emang sengaja pengin Tamara dan bokap nyokap gue berpikir kalo gue seberengsek itu.”

“Masalah enggak entar? Biasanya ada ekornya abis begini-beginian.”

“Kagak. Paling gue dimaki. Udah biasa.”

Kak Daffa tiba-tiba mengeluarkan sapu tangan merah. Lalu mengusap bibirku dengan gerak kasar.

“Buset.” Aku memekik.

“Makan kek gembel.” Dia membuang sapu tangannya di atas pahaku.

“Lagian lo kasih jajanan kebab. Emang gue bisa anggun makan yang segede gini.”

“Biasanya juga makan burger jumbo yang segede gaban.”

“Mana ada. Gue gak kenal burger. Biasanya gue makan Krabby Patty di restorannya Tuan Crab yang segede gini.” Aku menunjukkan ukuran dengan jempol yang hampir bertemu telunjuk.

Kak Daffa berdecak lalu tersenyum.

“Jajan lagi gak?” tanyanya setelah kebabku habis.”

“Sosis, ya?”

“Ya udah, ambil!”

Aku mengambil beberapa sosis berukuran jumbo. Kak Daffa langsung membayarnya.

Aku bukan kelaparan. Hanya males aja malam minggu kesepian di rumah. Kalau pulang agak larut kan bisa langsung tidur. Tak perlu meratapi kejomloan ini.

“Nih pake!” Kak Daffa menyerahkan jasnya saat kami hendak kembali duduk.

“Kagak ah.”

“Angin malam. Gue entar dimarahi tante.”

“Hm ... terpaksa.” Aku meletakkan jas di pundak dengan asal.

“Cowok lo gak nyari malam minggu gini?”

“Gue single.”

“Gaya lo. To the point aja gak laku.”

“Eh, sorry. Single itu pilihan. Jomlo itu takdir.”

“Ngeles.”

Selanjutnya, aku asyik makan sosis. Kak Daffa diam cukup lama.

“Cowok idaman lo kek gimana?” Dia kembali mencari topik obrolan.

“Gue tuh suka yang gayanya kek cupu gitu.”

“Cupu?” Kak Daffa mengernyit lalu dia tersenyum menertawakan.

“Bukan gitu. Maksud gue tuh penampilannya kek cowok jenius. Pake kaca mata. Introvert. Kalo bicara kek cuma bahas yang serius-serius aja. Enggak petakilan dan berengsek kek lo dan abang gue.”

“Oh, kalau anak SMA itu mungkin cowok-cowok yang ada di kelas akselerasi gitu ya. Yang gak pinter bersosialisasi, tapi otaknya ngisi.”

“Ya, yang gitulah.”

“Di kantor gue banyak tuh yang begitu, tapi tetep aja gue bosnya. Sepinter apa pun mereka gue tak tertandingi.”

Helloooow. Itu perusahaan bokap lo kali.”

“Sama.”

“Tadi sok jadi anak durhaka. Sekarang banggain harta ortu. Gak konsisten lo.”

Kak Daffa tidak menanggapi. Hanya diam melihat jalanan. Beberapa menit tak bersuara. Musik dari lapak pemilik seafood mendominasi telinga.

Kak Daffa melirik. Melihat dengan sorot aneh. “Lo makan sosis kek anak kecil.”

“Napa emang?”

Kak Daffa kembali mengambil sapu tangannya di atas pangkuanku.

No. ... no... No. ... gue bisa bersihin sendiri. Ini mayonesnya enak, tahu.” Aku membersihkan bibir dengan jari sendiri dan menyelamatkan sisa mayo.

“Astaga. Klarisa.” Dia mengumpat jijik.

Aku tertawa puas.

***

Jam sepuluh, kami memutuskan pulang. Berjalan beriringan menuju kendaraan yang terparkir di pinggir jalan.

Suara lamborghini yang melaju pelan menarik perhatian. Jika yang lain terpukau karena kemewahannya. Aku dan Kak Daffa terpana karena curiga pada penumpang di dalamnya.

Tepat ketika Kak Daffa hendak membuka pintu, kendaraan mewah itu berhenti tepat di belakang Audi.

Sedetik sebelum penumpang turun, aku menunduk dan menggeleng. Menyembunyikan muka dengan rambut. Persis kek setan.

Itu pasti bokap nyokapnya Kak Daffa. Mampus!

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rohaepi
lumayan menarik certain nya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status