Share

PERNIKAHAN KEDUA
PERNIKAHAN KEDUA
Author: Yazmin Aisyah

Bab 1

PERNIKAHAN KEDUA 1

"Malam ini, bawa Kiara tidur bersamamu, dan jangan ganggu Ibu."

Aku tertegun sejenak. Kutatap lagi wanita cantik bergelar Ibu itu. Masih ada sisa-sisa riasan bekas akad nikah yang dilaksanakan pagi tadi. Ya, Ibu baru saja menikah lagi, setelah tepat seratus tiga puluh hari Ayah pergi.

Kiara memandangku, menatap tangannya yang kugenggam, lalu berakhir pada wajah Ibu. Masih kuingat bagaimana Ibu menepis tangannya tadi, saat adikku ingin ikut Ibu masuk kamarnya.

"Kau dengar kan Key? Sekarang, Ibu sudah punya suami. Tanggung jawab Ibu bukan hanya mengurus kalian."

"Tapi Bu…"

"Key…" Ibu menghela nafas. Dia berjalan mendekat dan memegang kedua bahuku.

"Kita butuh penopang, butuh seseorang yang memberi kita nafkah. Kamu tahu? Ibu lelah sekali jika harus bekerja setiap hari. Setidaknya, sekarang ada yang memberi Ibu uang belanja. Jangan lupakan biaya sekolahmu, dan juga lima bulan lagi Kiara akan masuk TK."

Aku menggigit bibir. Apa yang Ibu katakan benar, meski tak sepenuhnya persis begitu. Ayah baru saja pergi empat bulan lebih sepuluh hari. Ayahku meninggalkan tabungan yang cukup banyak. Selain itu, ada rekening khusus yang merupakan simpanan Ayah dan diperuntukkan untuk tabungan pendidikan bagiku dan Kiara. Seharusnya, semua itu cukup untuk kami hidup sederhana selama beberapa tahun ke depan. Namun sayangnya, Ibu tak terbiasa hidup sederhana.

Ibu lalu menunduk, memandang Kiara, pada air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Seharian ini aku terus berusaha membujuknya agar tak mendekati Ibu. Usai akad nikah, saat semua tamu bergembira menikmati hidangan, aku membawa Kiara ke dalam kamar, memeluk dan berusaha menghentikan tangisnya, sementara air mataku sendiri tak mau berhenti mengalir.

Haruskah secepat ini Bu? Kami baru kehilangan Ayah. Dan kini, harus kehilangan Ibu juga.

"Ara, mulai sekarang, tidurlah dengan Kak Keysha. Ara sudah besar, sudah harus tidur terpisah dari Ibu. Kau dengar?"

Bibir Kiara bergetar-getar. Aku tahu dia berusaha menahan tangis agar tak meledak keluar. Tapi air mata itu telah mewakili rasa sedih dalam dadanya. Dua bulan lagi usianya baru akan lima tahun. Dia masih butuh bermanja.

Merasa tak mendapat jawaban, Ibu lalu melangkah menuju kamarnya. Kupeluk Kiara erat-erat, menahan tubuhnya yang hendak mengikuti Ibu. Dan ketika pintu kamar itu tertutup di depan kami, tangisku tak terbendung lagi.

Mungkin, memang harus secepat ini. Mungkin, setelah kehilangan Ayah untuk selamanya, kami harus pula bersiap kehilangan Ibu juga.

***

Aku terbangun mendengar suara tangis Kiara. Penerangan kamar yang remang-remang membuatku harus menyesuaikan penglihatan lebih dulu. Di sampingku, Kiara tidur memeluk guling menghadap tembok, matanya terpejam, tapi air mata itu deras membasahi pipi.

"Ara…" Aku menyentuh lengannya. Tangisnya makin menjadi. Kini dia terisak sementara punggungnya bergetar-getar. Kemarin, Ara masih tidur dengan Ibu. Berkali-kali Ibu bilang untuk pindah tidur ke kamarku, tapi rupanya dia masih terlalu kecil untuk mengerti. Malam tadi, ketika pintu kamar Ibu tertutup, Kiara tak mau beranjak, dia duduk di sofa depan kamar Ibu sampai akhirnya tertidur dan aku menggendongnya ke dalam kamar.

"Ara mau tidur sama Ibu." Dia merengek.

"Nggak boleh Dek. Sekarang di kamar Ibu sudah ada… Om… Om Yudha." Suaraku ragu.

"Tapi kenapa nggak boleh? Dulu waktu sama Ayah, Ara boleh tidur sama Ibu."

Bagaimana caraku menjelaskan? Bahwa lelaki yang ada di kamar sebelah itu, hanya suami bagi Ibu, dan selamanya tak mungkin jadi Ayah kami. Karena di hari pertama saja, dia telah merenggut Ibu dari adikku.

Akhirnya aku hanya mengusap-usap kepala Kiara, tak mampu berkata apa-apa. Aku baru enam belas tahun, tapi mungkin, akan segera menjadi Ibu bagi adikku.

"Ara mau susu dot?"

Kiara mengangguk. Aku terpaksa menawarinya dot lagi meski Ibu sudah melarang. Aku tak tahu cara membujuknya. Ku suruh Kiara menunggu sementara aku bersijingkat ke dapur hendak membuat susu. Melintasi kamar Ibu, suara-suara aneh terdengar, membuatku berdebar. Aku tak tahu apa yang terjadi di dalam sana, tapi yang jelas itu bukan sesuatu yang boleh kulihat.

Mengapa rumah ini sekarang terasa berbeda? Kemana perginya rasa damai yang dulu diciptakan Ayah untuk kami?

"Key?"

Aku menoleh, menatap Ibu yang baru masuk ke dapur. Aku menunduk, merasa malu melihat daster Ibu yang terbuka kancingnya, memperlihatkan kulit leher dan dada Ibu yang putih. Belum lagi pendeknya sampai nyaris ke pangkal paha. Kenapa Ibu harus memakai baju seperti itu?

Kuteruskan mengguncang botol susu. Mata Ibu memperhatikan gerakanku.

"Kenapa bikin susu lagi? Kan Ibu bilang…"

"Ara nangis semalaman. Aku nggak tahu harus bagaimana lagi membujuknya."

Ibu mendesah.

"Sekali ini saja. Besok nggak boleh lagi. Biasakan Ara minum susu dengan gelas. Nanti pelan-pelan, hentikan susunya. Dia sudah besar."

Aku mengangguk, lalu berjalan ke depan, menuju kamar. Tepat di depan kamar Ibu, pintu terbuka dan lelaki itu muncul. Dia bertelanjang dada dan memandangku lekat. Aku langsung berlari masuk dan menutup pintu kamar. Tatapan mata itu, entah mengapa membuatku takut.

Di kamar, Ara masih menunggu. Dia langsung menyambut botol dot dari tanganku. Dan akhirnya aku bisa bernafas lega saat susunya habis dan Ara kembali terlelap. Kupandangi wajah mungil itu, membayangkan hari-hari yang akan kami lalui di depan sana. Entah mengapa, tapi firasat ku mengatakan bahwa ini tak akan mudah bagi kami.

***

Tidak ada sarapan tersedia. Tak seperti hari-hari kemarin saat Ayah masih ada, atau bahkan setelah Ayah pergi. Kemarin sehari sebelum akad nikah, Ibu bahkan masih membuat nasi goreng untukku.

Aku bergegas membuat susu dalam gelas untuk Ara, memanaskan sisa makanan pesta kemarin dan sarapan dalam diam. Di hadapanku, Ara cemberut memandangi gelasnya.

"Ara minumlah. Kakak mau berangkat sekolah."

Ara menggeleng. Bibirnya berkedut, siap menangis lagi.

"Ara mau apa?"

"Mau Ibu."

Aku mendesah dengan putus asa. Bagaimana aku bisa meninggalkannya di rumah sendirian? Sementara sejak tadi Ibu dan Lelaki itu sudah menghilang.

"Sebentar lagi Ibu pulang. Minumlah dulu. Nanti Ibu marah."

Baru selesai aku bicara, suara Ibu dan suami barunya terdengar bercakap-cakap sambil memasuki rumah. Di depan meja makan, mereka berhenti. Aku menundukkan kepala, tak mau memandang tangan Ibu yang lekat menggandeng lengan lelaki itu. Rasanya seperti, seseorang merenggut jantungmu dengan paksa. Sakit.

"Mau sekolah?"

Aku mengangguk.

Ibu melirik suaminya sebentar. Kulihat itu dari sudut mata.

"Berangkatlah. Tapi bersiaplah mencari kerja setelah lulus nanti. Ibu tidak bisa membiayai kuliahmu."

Aku mendongak, tak percaya pada pendengaranku sendiri. Aku tahu selain uang pribadi di rekening yang ditinggalkan Ayah, Ayah juga punya tabungan pendidikan untukku dan Kiara.

"Tapi kata Ayah, aku bisa kuliah sampai lulus. Ayah sudah menyiapkan dananya."

Wajah Ibu mengernyit, membuatnya tak sedap dipandang. Ibu tampak begitu bahagia dengan pernikahannya sehingga dirinya tampak terlihat semakin cantik saja. Tapi wajah bahagia itu seketika berubah mendengar suaraku.

"Ayahmu sudah ma-ti. Dan yang perlu kau turuti sekarang hanya perkataan Ibu. Apa kau dengar itu?"

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
ibunya gila
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status