Share

PESONA MAS IPAR
PESONA MAS IPAR
Penulis: Ida Raihan

Part 1. Sial!

Mama menggelar pesta di rumahnya malam ini. Mas Ipar ketiga menghadiahi beliau kulkas seharga sebelas juta. Menggetarkan penghuni dompetku yang masuk kategori misquin. Sebelas juta, mending uangnya dikasihkan aku, toh kulkas seharga 2,5 juta juga sudah bagus kan? Sayang sekali rasanya. Namun, apalah aku, si misquin yang hanya bisa menghayal kekayaan orang lain.

Terkadang, perasaan terjebak juga muncul di benakku, ketika kondisi jiwaku sedang lelah lahir batin. Aku merasa telah ditipu oleh Mas Arsen, suamiku. Ya, Mas Arsen menipuku sejak awal kami menjalani pacaran, dan baru kuketahui setelah menikah. Sungguh, memang sial nasibku!

Aku yakin apa yang dilakukan Mas Ipar itu pasti ada udang di balik rempeyek. Semacam suap, agar peroleh warisan lebih besar dari Mama mungkin. Mas Iparku ini adalah duda, Saudara! Istrinya minggat sama pria lain. Bahkan ketika pernikahan mereka belum genap dua tahun. Konon katanya, istrinya tidak sanggup hidup misquin bersamanya. Ah, jika saja istrinya itu tahu, Mas Ipar bakal peroleh warisan dalam jumlah milyaran…

Mama baru saja mengabarkan. Bahwa rumah yang kami huni saat ini, beserta kebun di sampingnya, sudah  terjual. Laku dengan harga sembilan milyar lima ratus juta rupiah. Harga yang fantastis, bukan? Semakin menggetarkan isi dompetku. Namun aku tetap ikut bahagia, karena kami pasti bakal kecipratan dari hasil penjualan tersebut.

Mama terpaksa menjual rumah besarnya ini, karena memikirkan masa depannya yang sudah tua. Rencananya Mama akan membeli rumah kecil di daerah Kampung Makassar untuk dihuni beliau dengan seorang asisten. Kami? Entah bagaimana nanti. Mungkin suamiku akan diberi jatah untuk membeli rumah sendiri.

Aku membuka kulkas Mama. Ingin tahu seperti apa dalamnya kulkas seharga sebelas juta itu.

"Heii kamu, jangan main buka-buka aja. Itu kulkas mahal. Kalau rusak gimana?" Mas Ipar tiba-tiba sudah di belakangku.

"Eh, iya, Mas. Helen cuma pengen liat dalemnya,” sahutku gugup.

"Kamu bilang aku dulu lah kalau mau lihat. Biar aku kasih lihat ke kamu. Jangan main buka sendiri. Ini kulkas mahal,” katanya. Nyerocos. Dan masih berlanjut, "kalau rusak gimana? Mana mampu kamu belikan. Orang belikan durian Mama aja pilih yang murahan!"

Duh yaa Allah, itu lagi yang dia ungkit!

Ceritanya kemarin siang aku lewat pasar, di jalan aku melihat durian sedang promo. Tiga puluh ribu isi tiga butir, seukuran kelapa hijau. Sesampainya di rumah. Mama langsung menyambutku, "Bau duren, Na."

"Iya, Ma. Aku beli murah tadi di jalan,” sahutku.

"Mimpi apa kau semalam beliin Mama duren?" Mama langsung menodong. Padahal aku bukan membelikan Mama. Aku beli niat untuk bikin minuman.

"Ayo cepat dibuka." Ucap Mama lagi memberiku pisau dapur yang biasanya dipakai untuk memotong daging. Akupun langsung melakukan perintah Mama.

"Bah, berapa kamu beli tadi? Manis pulak ini duren." Seru Mama senang. Di Pasar Rebo, di pinggir jalan memang berderet penjual durian jika musimnya tiba. Mereka menumpuknya dalam gundukan-gundukan kecil dengan harga yang berbeda-beda. Ada yang tiga puluh ribu dapat tiga butir, ada pula yang lima puluh ribu isi tiga butir. Tergantung kualitas. Kalau mau yang lebih bagus ya yang lima puluh ribu satu butir. Ada juga durian montong yang dihargai kiloan. Satu butir antara delapan puluh, hingga seratus dua puluh ribu.

"Iya Ma, manis. Cuma tiga puluh ribu ini semua,” balasku.

Sore ketika Mas Ipar pulang kerja, Mama menceritakan semuanya. Mama tidak bermaksud menggunjingku, tetapi hanya memberi tahu, barangkali Mas Ipar mau membeli durian juga.

"Ah… Mama ini, nanti aku belikan durian montong. Sebutir seratus ribu lebih. Enak manis dan besar." Sahut Mas Ipar. "Apalah Helena nie, belikan Mama durian seharga murahan begitu. Pelit sekali kau." Lanjutnya. Sakiit hatiku mendengarnya.

Entah apa dosaku pada Mas Ipar, dia selalu saja mencari celah untuk menjatuhkanku di depan semua orang. Kecuali jika suamiku sedang di rumah, dia tidak berani mengusikku. Menurut Mama sih malas ribut, karena Arsen keras kepala kebangetan. Hey, Ma, bukannya yang songong itu anak kesayanganmu, si Harris? Kadang aku ingin meneriakkan itu, tetapi aku tidak berani.

Suamiku adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Dulu kupikir, dengan menikahinya hidupku akan bahagia. Tinggal di rumah mewah yang besar ini, dengan ibu mertua yang sudah tua, dan baik.

Tentu saja. Mama sudah sangat tua. Suamiku saja, yang anak bungsunya usianya sudah tiga puluh lima tahun. Iya saudara-saudara. Aku yang baru dua puluh lima tahun ini, menikah dengan pria tua, yang kukira adalah pria kaya raya, karena selalu menjemputku menggunakan mobil SUV yang bersih dan mengkilap. Dia juga sering mengajakku singgah dulu di rumah ini. Rumah yang kata Mas Arsen, kelak akan menjadi milik kami. Sayangnya, di kemudian hari, baru kuketahui, ternyata mobil yang dia gunakan untuk menjemputku itu, adalah mobil Mas Ipar. Ugh… memang sial sekali nasibku!

Sebelum menikah, aku bekerja sebagai telemarketing, di salah satu perusahaan Camera CCTV daerah Jakarta Pusat. Mas Arsen telaten menjemputku setiap pulang kerja. Setelah menikah dia melarangku bekerja, dan menyuruhku menemani Mama di rumah, karena dia bekerjanya di Bogor. Mas Arsen bisa pulang setiap akhir pekan. Saat itu Mas Iparku itu belum tinggal di sini, bersma kami.

Aku sih tidak masalah, hitung-hitung sambil menjaga dan merawat rumah ini kan? Toh kelak bakal menjadi milik kami. Jadi harus rajin merawatnya dong.

Ya, sebelum bertunangan Mas Arsen sempat beberapa kali mengajakku ke rumah ini. Aku pikir, siapa yang tidak senang, bakal jadi istri anak bungsu, yang pasti sangat disayangi oleh mamanya, dan dengan rumah yang sebesar ini? Dia akan menjadi ahli waris yang berpeluang kaya mendadak, tanpa susah payah mengumpulkan uang dengan cara berhemat, dan menekan mengeluaran di sana sini hanya untuk membeli sebuah rumah.

Kata Mas Arsen, sebelum kami bertunangan, semua saudaranya sudah diberi rumah satu-satu oleh Mama. Makanya rumah ini adalah haknya. Sayangnya, ternyata dia dusta. Setelah menikah Mama banyak bercerita kepadaku, bahwa Mas Arsen juga sudah diberi rumah, namun dijual lagi entah buat apa. Lalu kembali ke rumah Mama. Jelas, status kami di rumah ini hanya sebagai penumpang saat ini. Hal ini juga sering diungkit sama Mas Ipar. Sepertinya memang nasibku yang sial.

Semakin terpuruk, begitu Mas Ipar pindah kemari, sejak perceraiannya dengan Mbak Monica, mantan istrinya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status