Share

PETAKA REUNI
PETAKA REUNI
Author: Wanti Arifianto

Dia

last update Huling Na-update: 2022-10-12 15:07:23

"Bagaimana kabarmu?"

Aku mengerjap. Dia? Kerongkonganku seketika kering, kepala terasa pening. Tuhan ... apa ini? Apa aku tidak salah lihat?

Tangannya masih terulur di hadapanku. Ingin rasanya balas menjabat, tapi aku takut dia bisa merasakan tanganku yang mendadak dingin. Bertemu dengannya setelah terpisah sekian lama ... entah mengapa aku berdebar-debar. Seperti gadis yang baru disapa cinta pertama.

"Arini?"

Panggilannya membuatku tergagap. "Ah, i--iya. Aku ... aku baik."

Kemudian, aku mengulurkan tangan dengan ragu. Saat tangan kami bersambut, aku merasa sesuatu bermekaran indah. Di sini, di dalam hatiku.

Tatapan kami bertemu. Sesaat, sebab aku segera mengalihkan pandang ke arah lain. Namun, meninggalkan dampak begitu berat. Seperti ada aliran listrik yang membawa efek kejut ringan di tanganku, lalu menyebar sampai ke hati.

Membiarkan tangan dalam genggamannya, aku bagai dilempar ke masa lalu. Saat-saat indah yang pernah terlewati di antara kami, ketika menempuh pendidikan di kampus yang sama.

"Kamu nggak berubah." Dia berkata dengan mata yang masih meneliti wajahku.

Ditatap sedemikian rupa, jantungku kian berdentam dengan tidak sopan. Riuh gemuruh, bak genderang perang yang ditabuh bersamaan. Sentuhan ringan ini membawa getar ke seluruh tubuh, juga mengobrak-abrik perasaanku sampai tak karuan.

"Ah, kamu. Apaan, sih!" Kuselipkan rambut ke belakang telinga, demi menghalau panas yang mulai menjalar di pipi.

"Ehm!"

Entah berapa lama tangan kami saling menjabat. Sampai, dehaman itu membuatku menarik tangan dengan perasaan kikuk. Kenapa semua jadi secanggung ini?

"Cie ... CLBK nih yeee!" Salah seorang teman meledek dengan wajah lucu.

"CLBK apaan!" Aku menyela, masih dengan wajah yang terasa hangat. Kemudian, aku mengambil jarak darinya, orang yang masih berhasil membangkitkan debar di dada.

Bagaimanapun, kami memang memiliki sejarah di kampus ini. Dulu, kisah cintaku dengan lelaki itu melegenda, dan menjadi pembicaraan lintas fakultas. Maklum, baik aku dan dia, kami sama-sama pejabat BEM yang aktif di berbagai kegiatan.

"Ya kali aja, Rin. Kan banyak tuh, yang CLBK setelah reuni!" Teman yang memakai name tag panitia itu masih menggoda.

"Oh, iya! Kamu datang sendiri, Nar?" Kali ini, teman panitia itu berpaling. Tak lagi menatapku seperti tadi.

Lelaki yang ditanya mengangguk sebagai jawaban. Senyum yang terukir di bibirnya, entah mengapa terasa bak tikaman belati yang mampu mengoyak rindu. Rasa untuknya yang kembali membara, karena pertemuan ini.

Kami bercakap sebentar, lalu memasuki ballroom hotel yang telah ramai. Suara musik mengalun, mengiringi keceriaan yang ada dalam ruangan. Masing-masing orang bertukar kabar, membuat aura bahagia menaungi acara ini.

Banyak di antara teman alumni yang membawa pasangan, juga anak mereka. Tentu saja, itu menampilkan harmoni indah nan menyejukkan hatiku. Andai saja ....

Reuni ini sudah digagas selama setahun. Sebagai alumni, kami diperbolehkan mengangsur biayanya selama dua belas bulan. Sebab, tak semua di antara kami memiliki kesamaan nasib yang baik. Kebebasan finansial, misalnya.

Beberapa kali reuni sempat diwacanakan, tapi gagal karena kendala biaya dari beberapa teman. Sementara itu, penyelenggara tak ingin meninggalkan salah satu di antara kami. Sampai akhirnya, seorang donatur menggelontorkan dana cukup besar, yang bisa mendanai akomodasi teman dari luar kota, termasuk aku.

Awalnya aku menolak. Namun, pihak penyelenggara berkata bahwa itu adalah fasilitas yang mereka berikan untuk peserta di luar kota. Akhirnya, aku menerima setelah sepakat untuk membayar setengahnya.

Bertempat di sebuah hotel berbintang, tentu saja acara ini dikonsep dengan baik oleh panitia. Acara yang berlangsung dua hari ini memiliki banyak agenda menyenangkan. Cukuplah untuk liburan, atau me time buat yang lelah bekerja sepanjang waktu.

"Oke, dalam kesempatan ini, saya mewakili panitia mengucapkan terima kasih banyak buat mantan ketua BEM yang paling tampan sepanjang sejarah, Danar Pradipta!"

Tepukan bergemuruh menyambut ucapan ketua panitia yang sedang memberi sambutan. Sementara aku, mendengar nama itu disebut aku sontak menoleh ke sisi kanan. Jadi, dia yang membiayaiku?

"Kalo nggak ada Danar, kita nggak akan ngumpul di sini, di tempat yang sejuk ini. Oleh karena itu, kita kasih kesempatan buat Danar, supaya menyampaikan sepatah dua patah kata."

Sekilas Danar berbalik dan melemparkan senyum penuh arti. Kemudian, ia beranjak menuju panggung. Senyuman masih merekah, mengiringi langkahnya yang terayun dengan tegap.

Benarkah ia sesukses itu sekarang? Sampai mampu menyumbangkan uang puluhan juta untuk acara ini, bukankah itu artinya dia cukup mapan?

Seketika, kekaguman padanya membuncah, memenuhi segenap ruang hatiku.

**

"Ini juga acaranya baru selesai, ya masa jauh-jauh dari Makassar, aku cuma ke sini buat tidur?" Aku memutar bola mata. Entah mengapa, perhatian dari suamiku terasa mengusik hati sekarang.

"Aku cuman mau mengingatkan, supaya kamu nggak tidur terlalu malam. Jangan terlalu banyai minum kopi."

"Iya." Kujawab dengan malas berbagai petuah di ujung sana, sebelum mengakhiri panggilan.

Memiliki istri dengan riwayat alergi, Arsyl memang se-perhatian itu. Bahkan, ia memastikan beberapa obat tidak tertinggal, saat aku akan berangkat ke kota ini.

"Dari siapa?"

Langkahku menuju lift terhenti, saat sebuah tanya terucap begitu dekat. Entah sejak kapan Danar ada di belakangku. Apakah dia mendengar percakapanku tadi?

"Ah ... itu. Bukan siapa-siapa." Aku menggigit bibir. "Dari rumah," lanjutku seraya menyembunyikan ponsel ke belakang tubuh.

Danar mengangguk, lalu menindis tombol lift di angka dua belas.

"Kamar kamu di lantai dua belas juga?" Aku mengajukan tanya.

Danar mengangguk. "Kamu di sana juga? Apa mungkin ... kita jodoh?"

"Aku--"

"Ayo."

Kalimatku terjeda, saat pintu lift terbuka. Tanpa aba-aba, Danar menggamit pinggangku sambil memasuki lift. Diperlakukan seperti ini, tentu saja membuatku salah tingkah. Apalagi, tak ada orang lain di dalam lift, dan Danar tak menjauhkan tangan dari pinggang ini.

"Bagaimana kalau kita ke lounge yang di roof top?" Danar mengajukan tanya, memecah kebisuan.

"Hah?"

"Ada live music di sana, dan aku jamin kamu pasti suka."

"Tapi, Nar. Aku--"

"Ayolah, By. Setelah sepuluh tahun, ini kali pertama kita ketemu, 'kan? Belum tentu kita bisa ketemu lagi tahun depan."

By? Baby?

Danar menatapku dengan sorot menuntut. Tatapan yang sedari dulu berhasil membuatku bertekuk lutut. Di masa lalu, aku bahkan bisa memaafkan kesalahan yang ia perbuat, hanya dengan tatapan mata saja.

Akhirnya aku setuju. Maka, tanpa mengulur waktu, kami menuju atap gedung. Sepanjang menuju lounge, Danar masih menggamit pinggangku.

Sejuknya udara Kota Bogor langsung menyergap, begitu kaki ini menjejak lounge dengan penerangan temaram itu. Ditambah blus berbahan sifon yang aku kenakan, membuat dingin leluasa menusuk, dan masuk melalui celah pori.

Sejenak aku menarik napas, menyesuaikan dengan udara di sekeliling. Sampai terasa sebuah jaket dipakaikan ke tubuh ini, menghalau dingin, juga menguarkan aroma wangi yang membawa damai dalam satu waktu. Wangi yang berhasil membangkitkan memori setelah sekian lama mati suri.

"Dingin?" Danar mencondongkan wajah, membuat kami begitu dekat.

Apa yang dilakukannya ini lagi-lagi melemparku ke masa lalu. Pada suatu malam yang kami habiskan di tepi pantai, pada acara binakrab dalam rangka penyambutan mahasiswa baru.

Saat itu, aku mengenakan jaketnya sepanjang malam. Tak hanya itu, Danar juga memelukku selama acara berlangsung. Ya ... kami memang semesra itu, dulu. Tak jarang, kemesraan itu kami tampakkan tanpa canggung.

"Ini nggak terlalu tebal. Tapi lumayan buat melindungi badan kamu dari baju yang tipis."

Kalimat Danar menyentakku dari lamunan. Entah berapa kali kenangan kami melintasi pikiranku seharian ini. Kepingan-kepingan indah antara aku dan Danar terus menari-nari, seakan-akan baru terjadi.

"Nggak usah, Nar. Aku--"

"Kalo kamu masih Arini yang sama dengan yang kukenal dulu, maka kamu masih punya alergi dingin."

Danar masih ingat itu juga?

"Terima kasih." Jujur, aku tersanjung.

Demi mengalihkan debaran hati karena tatapannya, aku mengedarkan pandang ke sekeliling. Sekejap kemudian, aku terpesona dengan keindahan lounge yang ditata sedemikian rupa, mirip dengan kafe kekinian. Hanya saja, lounge ini berkonsep out door.

Lampu-lampu bulat menyerupai taman tampak berbaris rapi, menaungi kursi yang berjajar teratur. Konsep taman bunga yang berpadu dengan restoran menampilkan kesan elegan, dan alami dalam satu waktu.

"Suka?"

Aku hanya mengangguk. Pun tak mengelak, saat lagi-lagi Danar meraih pinggangku, membawa diri ini ke salah satu sudut tempat nan indah.

"Kamu di sini sebentar. Aku mau pesan minuman."

"Tapi, Nar. Kan pelayannya bisa ke sini?"

Protesku sia-sia, karena Danar lebih dulu beranjak. Kuperhatikan setiap gerakannya, termasuk saat ia berbincang dengan pelayan. Kemudian, ia melangkah ke tempat pemain musik. Apa yang Danar lakukan?

Tanyaku terjawab, ketika alunan musik mengudarakan lagu Lagu Rindu milik Kerispatih.

Danar ... dia masih ingat semuanya?

"Kamu masih ingat?" tanyaku saat dia sampai.

"Apa menurutmu, kisah kita adalah cerita kosong yang mudah dilupakan?"

"Danar, aku--"

"Aku kangen kamu, Rin."

Mendadak aku kehabisan oksigen. Terlebih saat Danar menggenggam tanganku yang terulur di meja. Diremasnya dengan lembut, hingga menyusupkan hangat ke setiap sudut sanubari.

"Danar ...."

Lelaki itu menatap sayu, membuat hatiku kian bertalu tak menentu. Entah siapa yang lebih dulu memulai, tapi jarak di antara kami nyaris terhapus sekarang.

"Aku masih mencintaimu, Arini."

Tak bisa kubalas kalimat itu. Aku terpaku, menatap lekat sepasang mata Danar di antara keremangan. Lalu, jarak di antara kami benar-benar terhapus, begitu Danar menempelkan bibirnya ke bibirku.

Kelembutan ini, genggamannya, caranya menyebut namaku .... Semua yang kurasa memberi penegasan, bahwa ia masih Danar yang sama. Danarku, sepuluh tahun yang lalu ....

***

Bersambung ....

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (3)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
wah kacau nih arini
goodnovel comment avatar
Mei
bener2 ya... reunian itu terkadang melukuhlantahkan pertahan...
goodnovel comment avatar
Airin Ahmad
Aku dataang!
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • PETAKA REUNI   Terima Kasih (ending)

    “Ssst!” Arsyl meletakkan telunjuk ke bibir ketika aku masuk ke kamar. “Boss besar baru aja tidur.” Dia melanjutkan kalimatnya.“Lho, kok bisa? Kan, dia belum ng-ASI?” Aku mendekat.Sepulang dari mal tadi, kami mampir ke rumah Mama sebentar. Sementara itu, Arsyl lanjut ke klinik. Setelah urusannya selesai, baru kami pulang ke rumah bersama. Aku langsung mandi, karena lelah dan berpikir akan langsung tidur saja.“Tadi sudah aku angetin ASIP-nya.” Arsyl masih berbicara pelan. Dia mendekat dan bertanya, “Mau mompa?”Aku hanya mengangguk, dan mulai mempersiapkan alat. Selama menyusui, produksi ASI-ku memang berlimpah. Sebuah hal yang patut disyukuri, karena banyak ibu di luar sana yang mengalami nasib sebaliknya.“Mam, mompanya bisa biasa aja, nggak?”Aku menoleh? Apa katanya? Biasa saja? Aku bahkan belum mulai. Dasar mesum!“Maksudnya?”“Ya ... nggak usah pake baju begitu lagi, kan aku jadi—“Belum selesai kalimat Arsyl kala aku melemparnya dengan sebuah bantal.Suamiku itu hanya terkekeh

  • PETAKA REUNI   Hadiah Kedua

    Papa Ciiil!”Dua bocah berambut kriwil itu menyongsong dengan riang ketika aku dan Arsyl sampai di rumah Mama. Sore ini, Mama mengundang kami untuk datang ke acara makan malam keluarga. Berkumpul di sini, lalu nanti sama-sama menikmati hidangan di sebuah tempat di tepi pantai. Bukan tanpa alasan, sebab suami Kak Amy datang dari Manado tengah berulang tahun. Ayah si Kembar itu akan menghabiskan masa cuti beberapa hari di Makassar.Menurut Mama, sudah lama kami tak duduk dalam formasi lengkap. Sebab, selama ini memang kami jarang menemukan waktu yang pas. Biasanya, jika ada suami Kak Amy, maka Arsyl sibuk. Atau kalau tidak, aku yang sedang lembur.“Hey! Sudah makan belum?” Arsyl berjongkok, dan menyambut keponakannya dalam dekapan. Kemesraan yang selalu mampu menghangatkan hatiku sejak dulu. “Zaki udah!” Zaki mengusap perut ketika berkata demikian.“Zia juga udah!” Zia menyahut, tak mau kalah.“Anak pinter!” Arsyl menghadiahkan kecupan pada si Kembar, bergantian.“Papa Cil, nanti kit

  • PETAKA REUNI   Tentang Komitmen

    “Nanti aku ada pameran di mal. Bawa Arsha boleh, nggak?”Aku bertanya kepada Arsyl kala menyajikan sarapan. Ini adalah akhir pekan, tapi aku masih harus menyelesaikan beberapa tugas kantor terkait stand pameran disalah satu mal yang ada di Kota Makassar. Menjelang akhir tahun, berbagai perusahaan otomotif memang gencar melakukan kegiatan seperti ini dengan memberikan banyak potongan dan berbagai bonus.“Mau aku temenin sekalian?” Dia bertanya setelah menyesap air jahe. Hari ini Arsyl tidak ke rumah sakit. Dia bilang, nanti malam juga hanya akan ada di klinik satu jam saja.“Nggak usah. Mau ngapain?”“Ya sekalian belanja. Kamu nggak jaga stand, ‘kan? Cuma ngurus administrasi sama orang mall aja?”Aku mengangguk. “Iya. Tapi kalo kamu ikut, aku malah takut nggak konsen nanti.”Arsyl menimang bayi kami yang ada dalam dekapannya lalu berkata, “Nggak konsen? Emang kamu mau ngapain?”Aku melengos, lalu bangkit menuju wastafel. “Lagian mau ngapain ikut? Emang nggak bosen? Aku sampe jam tiga d

  • PETAKA REUNI   Hari-Hari yang Manis

    Jika ditanya apa yang paling kubenci akhir-akhir ini, maka tamu di pagi hari adalah jawabannya. Bukan saja karena masih ingin bermalas-malasan di tempat tidur, tapi karena banyak hal yang harus kubereskan lebih dahulu. Aku tidak suka jika rumah dalam keadaan berantakan lalu ada yang datang. Selain akan dicap jorok, tentu sebagian orang akan menganggap aku istri yang malas. Seperti pagi ini misalnya, kala Kak Amy datang tanpa memberi tahu. Salah Arsyl juga, yang membuka pintu tanpa berpikir panjang.“Ya aku nggak tau, Sayang. Kan kupikir itu Kak Amy, bukan orang lain.” Dia mengelak, sedangkan aku menatapnya dengan memberengut. Mungkin, kali ini wajahku sudah seperti Angry Bird karena alis yang menyatu.“Mau Kak Amy atau bukan, harusnya kamu bisa beresin dulu ruang tamunya.” Aku masih merasa sebal.Bagaimana tidak? Kak Amy datang di akhir pekan, kala kami masih ingin bergelung di balik selimut. Sialnya, Arsyl membuka pintu tanpa membereskan lebih dulu kekacauan yang semalam sempat kam

  • PETAKA REUNI   Reuni Kedua

    “Apa aku batalin aja?”Arsyl menatapku yang sedang berkemas. Lebih tepatnya, aku tengah mengemas pakaian dan segala perlengkapan kami. Rencananya, besok kami akan bertolak ke Bali untuk menghadiri acara reuni yang dilaksanakan oleh kampusnya. Reuni akbar yang digelar setelah lebih sewindu kelulusan.Jika biasanya kami bepergian cukup dengan satu kopor kecil, maka kali ini bawaan kami bertambah satu kopor besar lagi. Banyak bawaan yang tak bisa ditinggalkan, utamanya milik Baby Arsha. Bayi yang kulahirkan dua bulan lalu itu bernama Andi Arsha Hanafi. Darah keluarga Arsyl mengalir dalam tubuh bayi gembul itu.Lahirnya Arsha tentu saja disambut penuh sukacita. Selain menjadi cucu pertama laki-laki di keluargaku, Arsha juga bayi yang lahir setelah banyak drama terjadi dalam keluarga kami. Drama yang melibatkan semua orang, menyita waktu dan melelahkan hati.l“Kenapa harus dibatalin? Kamu nggak mau aku ikut?” Aku menjawab dengan sinis. “Sayang ... Baby Arsha kan masih kecil. Kamu tega mau

  • PETAKA REUNI   Untuk Kamu

    “Mam, mau sarapan apa?”Aku menggeliat kala merasa kecupan bertubi-tubi jatuh di pipi. “Ngh ... masih pagi.”“Sudah siang, Sayang.”“Tapi aku masih ngantuk.” Kunaikkan selimut sampai menutupi kepala, menyisakan mata saja.“Mau jalan-jalan, atau kita olahraga di sini saja?”Setelah Arsyl berucap demikian, terasa kasur empuk ini bergoyang. Benar dugaanku, dia menyusup ke dalam selimut sembari menjejakkan buai memabukkan. Ah, laki-laki ini! Apa dia tidak akan membiarkanku istirahat sebentar saja?“Bangun, atau keseksianmu pagi ini akan membangunkan sesuatu, Arini?’Apakah hanya aku yang mendengar bahwa pujian itu adalah ancaman dalam satu waktu?“Iya ... iya! Aku bangun!” susah payah aku bangkit dari pembaringan. Perut yang sudah bulat sempurna membuatku kepayahan tiap kali bangkit dari posisi berbaring. Karena perut yang sangat besar, Kak Amy beberapa kali menduga jika aku mengandung bayi kembar. Kehamilan yang tak lama lagi menuju persalinan ini membuat kaki sedikit bengkak. Itu sebab

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status