Share

05

Alina duduk berhadapan dengan Cyril di dalam kereta kuda yang biasa mereka gunakan untuk berpergian. Setelah perdebatan cukup panjang dengan ketiga adiknya, akhirnya Cyril berhasil membawa Alina kembali— itupun dengan bantuan Alina yang mengalah, memilih ikut bersama Cyril dengan suka rela.

"Jadi, bantuan apa yang Anda perlukan dari saya, Yang Mulia." Alina meletakkan kedua tanganya di atas kaki.

"Para penyihir kesulitan mencari jejak Kucing Laut. Oleh karena itu aku ingin meminta bantuanmu untuk membantu mencarinya."

Kucing Laut adalah kucing langka yang keberadaannya belum diketahui sampai sekarang, sampai ada seorang penyihir yang tidak sengaja melihat jejak kucing laut itu di hutan lepas. Kucing laut tidak sama seperti kucing biasanya, kucing itu memiliki tinggi tiga meter, memiliki bulu berwarna biru dengan corak berwarna hitam. Itu sebabnya dia di sebut sebagai kucing laut karena bulunya yang berwarna biru, sebiru air laut.

"Kucing laut, ya? Sampai kapan kalian akan melakukan ini?"

Cyril menatap Alina serius, "Sampai kapan kau akan terus mencuri data keluarga di perpustakaaku?" Cyril membalikkan pertanyaannya kepada Alina.

Alina seketika terdiam. Dia sudah menduga Cyril akan mengetahui apa yang dia lakukan waktu itu di perpustakaan milik laki-laki ini. Oleh karena itu dia sudah menyiapkan sesuatu.

"Saya tidak mencurinya, Yang Mulia. Saya hanya ingin mendata nama para bangsawan agar ketika saya ingin mengundang salah satu bangsawan itu, saya tinggal melihat di buku pendataan saya tentang bangsawan itu. Jika Yang Mulia tidak percaya, tanyakan saja kepada kepala pelayan di kediaman saya." Alina menjelaskanya dengan tenang agar Cyril mempercayai perkataanya.

Cyril mengangguk mendengar penjelasan Alina. Mereka melanjutkan pembicaraan tentang rencana mereka yang dua minggu lagi akan berangkat menuju hutan lepas.

"Yang Mulia, kenapa kita tidak bermalam di pondok kayu yang waktu itu? Banyak bahaya yang mengintai kita jika berkemah di hutan, setidaknya kita lebih aman jika tinggal pondok kayu."

"Kau benar Queen. Kenan!" Cyril mengeluarkan kepalanya dari jendela kereta kuda.

"Saya Yang Mulia." Seorang pria tampan berambut merah yang menunggangi kuda berwarna hitam mendekati Cyril.

"Katakan kepada para penyihir agar menjadikan pondok kayu sebagai tempat bermalam selama mencari informasi Kucing Laut."

"Baik Yang Mulia." Laki-laki itu memutar arah kudanya menjauhi kereta kuda yang Cyril dan Alina tunggangi.

Pondok kayu adalah pondok tempat para kesatria tinggal saat berpatroli. Pondok itu sudah seperti desa karena banyaknya bangunan. Daripada berkemah di hutan lepas, Alina lebih menyarankan bermalam di pondok kayu karena di sana ada perisai yang sudah terpasang mengelilingi pondok kayu. Setidaknya tidak akan ada monster yang menyerang tiba-tiba saat mereka sedang beristirahat.

***

Kereta kuda memasuki halaman istana utama. Cyril turun terlebih dahulu di bantu oleh Kenan dan diikuti oleh Alina.

"Queen." Kenan mengulurkan lenganya agar di pegang oleh Alina.

Cyril dan Alina melangkahkan kakinya bersama memasuki istana utama. Banyak pelayan dan prajurit yang melihat mereka dengan mata berbinar. Dimata mereka Alina dan Cyril seperti sebuah lukisan yang hidup. Wajah Alina yang cantik dan juga wajah Cyril yang tampan, ditambah suasana istana yang semakin membuat mereka seperti lukisan.

"Lihatlah, bukankah Queen Alina kita sangat cantik?"

"Jangan lupakan Yang Mulia Cyril, dia juga sangat tampan!"

Begitulah yang mereka katakan setiap Alina dan Cyril melewati mereka. Mereka tidak menyadari jika sejak tadi ada yang mengawasi mereka dengan ekspresi marah.

"Bekerjalah dengan benar! Atau kalian mau gaji kalian dipotong lagi?" Zeva tiba-tiba datang dari belakang yang membuat pelayang itu terkejut.

Pelayan itu memberikan salam kepada Zeva dan bergegas pergi dari sana karena takut gaji mereka akan dipotong lagi oleh Zeva.

***

Alina sedang berendam di dalam air yang di taburi kelopak bunga mawar. Marisa membantu memijat Alina agat sedikit rileks. Sesampainya dia di kediamanya, Alina langsung disuguhi wajah Marisa yang hampir menangis.

"Jadi dia mengambil alih tugasku?" tanya Alina sambil memainkan kelopak bunga menggunakan sihir.

"Benar Queen. Bahkan Nona Zeva menghukum pelayan di kediaman kita karena menghalanginya saat ingin memasuki kamar Queen."

Alina menghela napasnya lelah. Entah kenapa ada saja masalah yang di perbuat oleh Zeva sampai membuat dia harus turun tangan— Alina rindu kehidupannya sebelum kedatangan Zeva. Zeva Zhi Hilmar. Anak dari bangsawan kerajaan ini yang memiliki darah keturunan Canopus. Dia juga teman Cyril saat bersekolah di kerajaan itu. Dulu sebelum menikah dengan Alina , Cyril sempat menempuh pendidikan di negeri seribu bahasa itu. Dia sempat berteman dengan Zeva bahkan setelah kepulanganya dari sana mereka masih sering bertukar pesan. Sampai akhirnya Zeva pulang ke kerajaan Dharmaraja dan hal itu membuat Cyril sangat senang. Tiba-tiba setelah satu tahun kepulangan Zeva ke kerajaan Dharmaraja, Cyril mengangkat Zeva menjadi calon selirnya.

"Aku akan mengurusnya, kau tidak perlu khawatir."

***

Jam sudah menunjukkan waktunya untuk makan malam. Alina, Cyril dan tentunya Zeva sudah mendudukkan dirinya di kursi masing-masing.

"Alina, apakah kau mau udang?" Zeva menawarkan udang yang terlihat lezat di depanya.

Alina menggelengkan kepalanya pertanda tidak mau. Wajah Zeva berbuah menjadi lesu seketika, tetapi seketika itu juga dirinya menyeringai. Alina membanting sendok makanya saat dadanya terasa sesak. Dia menatap Zeva dengan tatapan marah. Entah apa yang terjadi tubuhnya terasa sangat panas seperti saat alerginya kambuh, padahal dia sudah memastikan jika tidak ada makanan berbau laut di piringnya.

"Ada apa, Alina?" Cyril yang duduk di sisi kirinya bertanya.

"Zevana!" Alina berteriak di dalam hatinya sebelum tubuhnya terkulai lemas.

Zeva berteriak melihat Alina yang duduk di sampingnya tiba-tiba terkulai lemas— Alina terlihat kesusahan untuk bernapas. Zeva berteriak kepada Cyril agar segera membawa Alina ke kamar. Tidak perlu di minta pun Cyril sudah berlari mengangkat Alina menuju ke kamar.

"Panggilkan penyihir!" Zeva berteriak meminta para pelayan segera memanggil penyihir.

Cepat sekali kejadianya. Mereka yang sedang menyantap makan malamnya dengan tenang berubah menjadi panik karena Alina tiba-tiba terkulai lemas tanpa sebab. Pelayan datang membawa seorang penyihir berpakaian putih dengan selendang berwarnya kuning di pinggang yang menjuntai, itu berarti dia penyihir tingkat dua— penyihir junior.

"Dimana penyihir tingkat satu?" Cyril bertanya saat melihat hanya penyihir tingkat dua yang datang.

"Maaf Yang Mulia, penyihir tingkat satu semuanya dikerahkan untuk mencari jejak Kucing Laut." Penyihir itu berlutut saat merasakan tatapan mengintimidasi dari Cyril.

"Lakukan tugasmu dengan benar!"

Penyihir itu mengarahkan tanganya kearah tubuh Alina yang terbaring. Cahaya hijau keluar dari telapak tanganya— tanda sihir penyembuh aktif. Penyihir itu menelusuri setiap jengkal tubuh Alina dan sesekali mengernyitkan dahinya heran.

"Queen Alina terkena racun darah hitam Yang Mulia. Saya memang berhasil mengeluarkan racun itu, tetapi kerusakan di organ dalam milik Queen tidak bisa di hindari. Saya tidak bisa menyembunkanya."

Racun darah hitam, racun yang biasanya berada di dalam tubuh monster. Racun itu senjata alami yang mereka milik. Siapapun yang terkena racun itu kulitnya akan melepuh seketika, apalagi jika mengkonsumsi racun itu, organ dalamnya akan melepuh dan hancur secara perlahan.

"Sembuhkan dia, aku mohon!" Zeva berlutut memohon kepada penyihir itu.

"Maaf Nona Zeva, tidak ada yang bisa saya lakukan untuk saat ini. Kita hanya bisa menunggu Queen sadar."

"Yang Mulia, Nona Zeva, besriaplah untuk efek dari racun itu. Kita akan membantu Queen sari luar, kirimkan energi dingin ke tubuhnya."

Tepat setelah penyihir itu mengatakan hal tersebut tubuh Alina berubah menjadi merah seperti terbakar. Alina berteriak kencang dan sesekali tubuhnya mengejang. Cyril memeluk tubuh Alina, menahan tubuh itu agar tidak terbanting. Sedangkan penyihir itu menahan kaki Alina yang sejak tadi tidak berhenti menendang ke segala arah.

Tubuh Alina terasa panas di tangan mereka. Demi merasakan rasa panas dari tubuh Alina, Cyril mengirimkan energi dingin ke tubuh Alina agar panasnya sedikit berkurang. Benar saja Alina sedikit tenang setelah Cyril mengirimkan energi dingin.

Beberapa menit kemudian Alina kembali tenang. Cyril mengangkatnya ke atas ranjang dan membenarkan posisi tidur Alina. Dia mengusap pipi Alina sebentar sebelum pergi meninggalkan kamar.

"Yang Mulia, bolehkah Zeva tetap berada di sini?"

Cyril mengangguk menyetujui permintaan Zeva. Dia segera pergi meninggalkan kamar itu menuju ruang kerjanya. Sedangkan Zeva memegang kepala Alina seperti sedang fokus melakukan sesuatu.

"Aku sudah lama menunggu untuk hari ini, Alina." Zeva tersenyum sambil menatap wajah pucat Alina.

Waktu berlalu dengan cepat, penyihir tadi mengatakan jika efek kedua akan datang lagi. Hidup dan mati Alina tergantung seberapa kuat dia menahan efek dari racun itu.

Zeva yang sedang tidur di sebelah ranjang Alina terbangun saat mendengar suara berisik dari ranjang yang Alina gunakan. Di sana terlihat Alina yang tiba-tiba terlempar naik membentur langit-langit ruangan dan kembali menjatuhkan diri di atas ranjang dengan keras. Zeva panik dan segera memeluk tubuh Alina tetapi dia justru ikut terseret.

"Yang Mulia!" Zeva berteriak memanggil Cyril meski tahu jarak ruang kerja Cyril dan kamar ini jauh. Dia harap pelayan yang mendengar teriakannya segera memanggil Cyril dan meminta laki-laki itu segera datang.

Cyril tiba di kamar Alina menggunakan portal dari ruang kerjanya. Dia segera membantu Zeva memegangi Alina yang kembali kejang. Cyril kembali mengirimkan energi dingin ke tubuh Alina agar tenang, tetapi kali ini tidak berpengaruh sama sekali.

"Zeva juga akan membantu mengirimkan energi dingin, Yang Mulia."

Tangan Zeva terulur memberikan sugesti energi dingin di tangan Alina. Mereka juga ikut membantu Alina di antara hidup dan matinya. Penyihir itu juga datang dan segera memberikan bantuan. Malam ini berjalan dengan tegang, tubuh Alina sudah berhenti mengejang tetapi masih ada efek puncak dari racun darah hitam.

"Queen sedang berada di fase kritis. Besok jika fajar mulai muncul dan Queen sudah sadar, itu artinya dia berhasil melewati efek racun darah hitam, dan jika Queen tidak sadar berarti..." penyihir itu menunduk tidak berani melanjutkan ucapanya.

Cyril hanya diam tidak merespon. Dia tahu efek dari racun itu cukup mematikan, tetapi dia tidak menyangka Alina akan kalah begitu saja dengan mudah.

"Istriku tidak selemah itu." Cyril akhirnya menjawab. Matanya tidak pernah lepas dari Alina yang terbaring di aras ranjang. Zeva sudah terisak sejak tadi di sebelahnya— Cyril tidak ada niatan untuk menenangkan. Biarlah, malam ini dia hanya ingin fokus dengan kesembuhan Alina.

Detik berganti menit, menit berganti jam. Fajar sudah mulai memperlihatkan dirinya dan Alina belum ada tanda-tanda akan membuka mata. Tangisan Zeva sudah pecah sejak tadi. Sedangkan Marisa menangis tidak percaya jika tuanya pergi secepat ini. Dia sudah menunggu tuanya di sana sejak kabar keracunan itu meyebar, dia juga yang memanggil penyihir saat Alina menghadapi efek kedua dari racun itu.

Pintu di buka dengan kencang oleh seorang laki-laki berambut biru dengan mata abu-abu. Di mata itu terpancar ekspresi marah sekaligus sedih, dia Albren. Albren berlari menghampiri Cyril dan langsung memukul wajah tampan itu. Di belakangnya menyusul masuk Arise dan kedua kakak laki-lakinya.

"Dasar berengsek! Tidak hanya menjaga keamanan di kota waktu itu, tetapi menjaga keamanan orang terdekat pun keluarga kalian tidak becus! Lebih baik kau segera turun dari takhta yang tidak pantas kau duduki itu!"

Albren berteriak marah kepada Cyril. Sedangkan kedua kakak lalaki-laki-lakinya nya berusaha menenangkan. Arise berdiri di samping ranjang Alina dengan tenang. Aada yang salah dengan tubuh adiknya.

"Apakah orang yang sudah meninggal bisa berkeringat?" tanya Arise heran. Penyihir yang menangani Alina sejak kemarin berjalan mendekati Arise. Wajahnya berubah menjadi senang.

"Tubuh milik Queen berangsur-angsur pulih. Sihir di tubuhnya memaksa agar organ dalamnya kembali berfungi, dan... astaga! Ini sebuah keajaiban! Sel di organ tubuh milik Queen yang sempat rusak karena racun itu mulai memperbaiki dirinya sendiri."

Orang-orang di dalam kamar itu terdiam. Mereka menghela napasnya lega. Kerajaan ini tidak akan kehilangan Queen mereka begitu cepat. Cyril yang sejak tadi sudah tahu jika Alina tidak akan meninggal begitu saja juga ikut menghela napasnya. Tetapi pukulan yang Albren berikan di wajahnya membuat dia jengkel.

TBC.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status