Share

Galeri Rahasia

Author: Diane Mitda
last update Last Updated: 2025-09-26 14:47:04

Di hadapannya, sebuah galeri bawah tanah terbentang luas, begitu megah namun juga sangat dingin. Dinding-dindingnya terbuat dari kaca tebal yang tembus pandang, memisahkan Selena dari pemandangan yang tak pernah ia bayangkan. Di balik panel-panel kaca transparan itu, berjejer empat belas wanita. Bukan patung manekin, bukan lukisan, melainkan manusia hidup. Masing-masing memancarkan keindahan dan ciri khas yang mencolok, seperti permata yang telah dipoles sempurna. Mereka tidak tampak terkurung dalam arti konvensional—tidak ada jeruji besi, tidak ada ekspresi ketakutan. Justru sebaliknya, mereka seperti pameran hidup yang berpose dengan bangga, rambut tergerai indah, riasan wajah sempurna, dan gaun-gaun elegan yang membalut tubuh. Mereka berlomba-lomba menonjolkan diri, mencari perhatian, seolah-olah hidup mereka bergantung pada tatapan mata yang memilih.

Seorang wanita dengan rambut pirang keemasan tersenyum manis, memiringkan kepala dengan gestur menggoda, jemarinya memilin sehelai syal sutra. Di sebelahnya, seorang lain menatap tajam penuh daya tarik, sorot matanya yang gelap seolah mampu menembus jiwa. Ada pula yang sengaja menggoda dengan gerakan kecil tubuh mereka, sentuhan lembut pada bibir, atau sapuan tangan yang perlahan pada rambut. Setiap gestur, setiap ekspresi, jelas menunjukkan satu tujuan: mereka ingin diperhatikan. Mereka ingin dipilih. Mereka telah menyerahkan diri pada permainan kejam ini, sepenuhnya sadar akan peran mereka dalam koleksi sang penguasa.

Jantung Selena berdegup kencang, memukul rusuknya seolah ingin melarikan diri dari kerangkeng tubuhnya sendiri. Apa ini? Koleksi? Sebuah galeri manusia? Sebuah pikiran dingin merayapi benaknya: ia bukan sekadar penonton, ia adalah bagian dari koleksi ini. Ia ingin berbalik, menjerit, kabur, tapi pintu besi besar di belakangnya sudah terkunci rapat, menyisakan ia tanpa jalan keluar. Bau disinfektan bercampur aroma bunga melati yang aneh memenuhi udara, menciptakan kontras ganjil antara keindahan palsu dan sterilnya sebuah penjara.

Suara pintu besi yang berderit nyaring, diikuti denting logam berat, memecah keheningan yang mencekam. Langkah lain bergema di lantai marmer, lebih berat, lebih tegas, lebih berkuasa. Setiap jejak langkah itu seolah menggetarkan seluruh ruangan, mengisi setiap sudut dengan kehadiran yang mendominasi. Maximo. Nama itu terlintas di benak Selena, membawa serta gelombang kengerian yang dalam.

Pria itu masuk, bayangannya menjulang tinggi di pintu masuk. Jas hitamnya terbuat dari bahan paling mahal, rapi tanpa kerutan, namun dasinya dilonggarkan sedikit, memberikan kesan seorang penguasa yang baru saja menuntaskan pekerjaannya dan kini siap menikmati hasil jerih payahnya. Aura kuasa memancar dari setiap langkahnya, dari setiap gerakan kecil tubuhnya. Dia bukan hanya pria kaya, dia adalah kekuatan yang tak terbantahkan, seorang raja di kerajaannya sendiri. Senyumnya tipis, dingin, nyaris tidak terlihat, seperti pemilik jagat raya yang baru saja memasuki ruang singgasananya, mengamati dengan tatapan meremehkan semua makhluk di bawah kekuasaannya. Aroma cologne mahalnya, paduan cendana dan musk yang dalam, menusuk hidung Selena, memenuhi indra penciumannya dengan bau yang akan selamanya ia kaitkan dengan teror.

Mata Maximo, berwarna abu-abu tajam seperti baja, langsung tertuju pada Selena. Tatapannya intens, seolah ia bisa melihat menembus setiap lapisan pertahanan diri Selena, langsung ke inti ketakutannya. Maximo melangkah mendekat, matanya tidak berkedip, sorotnya bagai elang yang menemukan mangsanya.

“Ah… bintang baru sudah datang,” ucapnya pelan, suaranya halus dan rendah, hampir seperti rayuan yang mematikan. Suara itu bergetar di udara, membawa janji manis yang memuakkan. “Wanita ke-15. Koleksi paling indah.” Kata-katanya bukan pujian, melainkan deklarasi kepemilikan. Bagi Maximo, Selena hanyalah penambahan terbaru pada piala-piala hidupnya, yang paling menggiurkan karena keberaniannya yang belum padam.

Selena mengangkat dagu, menatapnya tanpa gentar, sebuah perlawanan terakhir yang terpancar dari kedalaman jiwanya, meskipun tubuhnya gemetar tak terkendali. Ia menolak menjadi objek. “Aku bukan barang. Dan aku tidak akan pernah jadi milikmu,” desis Selena, suaranya bergetar tetapi penuh dengan tekad. Kata-katanya bergema, memotong keheningan ruangan yang tadinya hanya diisi oleh suara Maximo. Sebuah tantangan terbuka, sebuah penolakan mentah-mentah terhadap kekuasaannya.

Senyum Maximo melebar, menunjukkan sisi gelap dari daya tariknya. Ia melanjutkan langkahnya, mendekat hingga hanya beberapa inci dari wajah Selena. Aroma cologne mahalnya kini begitu kuat, membuat Selena merasa mual, tetapi ia tidak mundur. Tekadnya menguat. Ia tahu, mundur selangkah saja berarti menyerahkan dirinya.

“Lucu sekali,” bisik Maximo, suaranya serak namun penuh ancaman tersembunyi. “Semua wanita di sini rela menungguku. Mereka berkorban demi satu tatapan dariku, demi satu sentuhan, demi satu kata pujian. Mereka menginginkan apa yang kumiliki, apa yang bisa kuberi. Tapi kamu…” Jemarinya yang panjang, dingin, dan kuat tiba-tiba menyentuh dagu Selena, mencoba mengangkat wajahnya agar menatapnya lebih dalam, lebih lama. “…kamu menolak. Kamu melawan. Dan justru itulah yang membuatku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Keberanianmu, perlawananmu… itu adalah bumbu yang sangat jarang kutemukan.”

Sentuhan itu adalah batas bagi Selena. Rasa jijik dan kemarahan meledak di dalam dirinya. Ia menepis tangannya dengan kasar, gerakan yang cepat dan penuh kemarahan. “Aku muak denganmu,” bentaknya, suaranya lebih keras dari yang ia duga, memecah kesunyian yang tegang.

Tatapan Maximo berubah drastis. Dinginnya menusuk, seolah membekukan darah di nadi Selena. Senyumnya lenyap, berganti dengan garis rahang mengeras yang menunjukkan kemarahan yang tertahan, namun jauh lebih mengerikan dari ledakan emosi biasa. Ada kilatan berbahaya di matanya, janji akan pembalasan.

Seketika Jonathan, yang berdiri di balik bayangan, memberi isyarat kepada dua penjaga berbadan besar yang tak terlihat sebelumnya. Dalam hitungan detik, tubuh Selena ditarik paksa. Kedua tangannya diikat erat dengan tali kulit hitam yang kasar, menempel dan menggores pergelangan tangannya. Ia melawan, menendang, menjerit, memaki dengan sisa-sisa kekuatannya, tapi sia-sia. Tenaga mereka jauh lebih besar. Dalam hitungan detik ia sudah diseret ke sudut ruangan, menuju sebuah ruang tertutup yang sebelumnya tak ia sadari keberadaannya. Tubuhnya diikat kuat pada sebuah kursi logam yang kokoh, tak bisa bergerak, tak bisa berontak. Ia dipaksa menjadi penonton, objek, dan target.

Maximo menatap puas, tatapan tajamnya masih terpaku pada Selena yang kini tak berdaya. “Kalau kau tidak mau melayani… maka kau akan belajar dengan cara lain,” ujarnya dingin, suaranya berjanji akan penderitaan yang panjang dan menyakitkan. Ada kebanggaan aneh dalam kata-katanya, seolah perlawanan Selena telah memberinya alasan untuk menikmati permainan yang lebih kejam.

Dengan satu tepukan tangan Maximo yang pelan, dua wanita keluar dari balik dinding kaca, seolah menunggu isyarat ini. Mereka adalah yang pertama kali Selena sadari keberadaannya: si boneka pirang dengan biola di tangan, yang kini diletakkan perlahan di sampingnya, dan si femme fatale bibir merah darah. Mereka melangkah mendekat, gerakan mereka anggun namun penuh perhitungan. Senyum menggoda terukir di bibir mereka, mata mereka bersinar kompetitif, jelas berebut perhatian sang tuan. Mereka tidak melihat Selena; bagi mereka, Selena adalah ancaman yang harus ditaklukkan, pesaing yang harus disingkirkan. Mereka adalah contoh sempurna dari apa yang Maximo inginkan, apa yang ia bentuk dari para korbannya.

Mata Selena membelalak. Napasnya tercekat, paru-parunya seperti kempes. Kengerian baru menguasai dirinya saat ia menyadari apa yang akan terjadi. Ini adalah pertunjukan. Sebuah pertunjukan yang dipaksakan untuknya, sebuah pelajaran yang kejam.

Maximo dengan santai duduk di kursi kulit hitam mewah, menyandarkan tubuhnya dengan rileks, seolah ia berada di rumahnya sendiri. Kedua wanita itu segera merayap di sekelilingnya, bagai ular beracun yang memikat. Satu mengusap leher Maximo dengan jemarinya yang lentik, matanya memancarkan gairah yang dibuat-buat, namun sangat meyakinkan. Yang lain menyusuri dadanya, jari-jarinya menari di atas kemeja yang terbuka sedikit, bibir merahnya nyaris menyentuh kulit. Mereka bukan korban. Tidak lagi. Mereka menikmati peran ini, menikmati kekuatan yang mereka rasakan saat memikat pria ini, betapa pun gelapnya kekuatan itu. Mereka ingin memikatnya, merebut perhatiannya sepenuhnya, membuktikan diri mereka sebagai yang terbaik di antara yang terbaik.

Namun Maximo tak pernah mengalihkan pandangannya dari Selena. Matanya tetap tertuju padanya, seolah-olah ia sedang menonton film yang paling menarik dalam hidupnya. Setiap gerakan wanita di sekelilingnya, setiap sentuhan, setiap bisikan, adalah bagian dari pertunjukan yang dirancang khusus untuk mata Selena.

“Lihat baik-baik,” ujarnya dingin, suara rendahnya bergaung di ruangan yang sunyi, menusuk ke telinga Selena dan jiwanya. “Mereka memberi segalanya tanpa aku minta. Mereka menyerahkan tubuh, jiwa, dan kehormatan mereka, berharap sepotong kecil perhatianku. Sementara kamu—aku harus memaksamu. Aku harus menarikmu. Aku harus mengikatmu. Dan itu membuatmu… lebih berharga dari semuanya.” Ada nada gelap dalam suaranya yang menunjukkan bahwa perlawanan Selena, jauh dari membuatnya jijik, justru memperkuat obsesi Maximo, meningkatkan taruhannya dalam permainan keji ini.

Selena menggeliat, berusaha keras untuk lepas dari ikatan tali yang mengerat di pergelangan tangannya. Rasa jijik, marah, dan tak berdaya bercampur menjadi satu. Air matanya hampir pecah, mengaburkan pandangannya, tetapi ia menahan diri. Ia tidak ingin memberinya kepuasan melihatnya hancur. Ia merasa seperti hewan yang terperangkap, dipaksa menyaksikan pemangsa bermain-main dengan mangsa lain, semua demi mengintimidasinya.

Dan tepat saat bibir merah salah satu wanita nyaris menyentuh Maximo, ia menoleh pada Selena, senyumnya setajam pisau terukir di bibir. Sebuah senyum yang dingin, kejam, dan penuh ancaman. Mata abu-abunya bersinar di bawah cahaya redup, seolah mencerminkan neraka itu sendiri.

“Cepat atau lambat, giliranmu,” bisiknya, suaranya kini begitu lembut sehingga hanya Selena yang bisa mendengarnya, sebuah janji kematian yang disamarkan sebagai hadiah. Kata-kata itu berjanji akan kengerian yang tak terbayangkan, sebuah takdir yang menunggu di ambang pintu, tak terhindarkan. Selena tahu, dalam diri Maximo, penolakan adalah undangan. Dan koleksi mengerikan ini, dengan semua keindahan yang telah rusak, adalah masa depannya jika ia tak dapat menemukan jalan keluar. Ketakutan yang membeku kini merasuki setiap selnya, menetap, menunggu gilirannya untuk diambil.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PRAMUGARI TAHANAN MILIARDER   Galeri Rahasia

    Di hadapannya, sebuah galeri bawah tanah terbentang luas, begitu megah namun juga sangat dingin. Dinding-dindingnya terbuat dari kaca tebal yang tembus pandang, memisahkan Selena dari pemandangan yang tak pernah ia bayangkan. Di balik panel-panel kaca transparan itu, berjejer empat belas wanita. Bukan patung manekin, bukan lukisan, melainkan manusia hidup. Masing-masing memancarkan keindahan dan ciri khas yang mencolok, seperti permata yang telah dipoles sempurna. Mereka tidak tampak terkurung dalam arti konvensional—tidak ada jeruji besi, tidak ada ekspresi ketakutan. Justru sebaliknya, mereka seperti pameran hidup yang berpose dengan bangga, rambut tergerai indah, riasan wajah sempurna, dan gaun-gaun elegan yang membalut tubuh. Mereka berlomba-lomba menonjolkan diri, mencari perhatian, seolah-olah hidup mereka bergantung pada tatapan mata yang memilih.Seorang wanita dengan rambut pirang keemasan tersenyum manis, memiringkan kepala dengan gestur menggoda, jemarinya memilin sehelai s

  • PRAMUGARI TAHANAN MILIARDER   Tugas Baru

    Pagi di Monaco tidak serta-merta membawa kedamaian. Selena terbangun dengan rambut acak-acakan, masih mengenakan piyama pendek tipis yang menutupi tubuhnya setelah tidur tanpa balutan bra.Kesadarannya perlahan pulih di atas seprai sutra yang terasa asing, di kamar hotel yang lebih sederhana dari kemewahan semalam, namun tetap jauh di atas standarnya. Ia masih bisa merasakan tatapan Maximo yang membakar, sebuah jejak yang tak terhapuskan di benaknya, membisikkan janji sekaligus ancaman. Udara pagi terasa berat, membawa sisa-sisa kegelisahan yang mengendap dalam jiwanya.Ia beranjak dari tempat tidur, menarik napas dalam, berusaha mengusir bayangan pria itu. Rutinitas adalah jangkar, dan ia merindukan jangkar itu. Dengan naluri seorang pramugari yang terlatih, Selena segera bersiap. Ia membersihkan diri, mengeringkan tubuh, dan menatap seragam biru tua rapi yang telah ia gantung. Ia menyelesaikan persiapan dengan sepatu hak tinggi dan riasan tipis yang sempurna. Di cermin, terpantul wa

  • PRAMUGARI TAHANAN MILIARDER   Pemandangan Indah

    Pendaratan di landasan pacu Bandara Internasional Nice Côte d’Azur terasa mulus, sebuah kontras tajam dengan gejolak batin yang masih mendera Selena. Di luar jendela, malam Monaco membentang dalam balutan kemewahan yang sunyi, dihiasi lampu-lampu landasan yang membelah kegelapan. Kilauan berpendar itu tampak dingin dan teratur, seolah kota itu sendiri sedang berbisik dalam ketenangan yang mencekam. Turbulensi hebat beberapa menit lalu, diikuti oleh ancaman Maximo yang menggantung, masih terasa seperti pukulan di ulu hati Selena.Selena mengusap keringat dingin dari pelipisnya, merasakan ketegangan yang belum sepenuhnya lepas, meskipun pesawat telah mendarat dengan aman.Saat pintu kabin terbuka, udara dingin berbau metalik khas bandara langsung menyusup masuk, membawa serta nuansa formalitas dan ketidakpastian.Kru darat dengan seragam rapi dan wajah datar telah menunggu di jembatan penghubung. Di antara mereka, Ferdi, supervisor yang baru saja ia suap, tampak sedang berbicara serius

  • PRAMUGARI TAHANAN MILIARDER   Pion Emas di Balik Seragam

    Seluruh pramugara di kabin mengetahui, Selena Puspa adalah pusat perhatian.Setiap kali ia melangkah, hak tinggi Louboutin dengan alas merahnya mengetuk lantai pesawat dengan irama yang menggoda. Seragam biru tua yang ketat seolah-olah dirancang khusus untuk tubuhnya—membentuk pinggang ramping, menonjolkan dada padat yang tertahan kemeja, serta memperlihatkan belahan yang cukup untuk menarik perhatian.Kulit kuning langsatnya memantulkan cahaya lampu kabin yang redup elegan, memberi kesan hangat sekaligus mewah. Wajah oval dengan hidung mancung nan halus, bibir penuh, dan sepasang mata cokelat bening membuatnya tampak polos. Selena menghadirkan paradoks: malaikat dalam seragam biru, dengan aura yang menggoda siapa pun untuk berdosa.Lampu kabin premium menyorot tepat ke tubuhnya, menyoroti panggul berisi yang tersembunyi di balik rok mini seragam. Pramugara lain berpura-pura sibuk, tetapi tatapan mereka tidak dapat lepas dari siluet seksi pramugari dalam masa percobaan yang sedang ber

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status