Share

Memuaskan Sang Boss

Author: Diane Mitda
last update Last Updated: 2025-10-01 20:42:50

Kamar itu tersembunyi di balik galeri, seolah sengaja diciptakan sebagai rahasia paling kelam dari seorang penguasa. Pintu besi berat menutup rapat, dan begitu gembok terkunci, dunia di luar lenyap. Yang tersisa hanya dinding-dinding kaca gelap berlapis, langit-langit rendah dengan lampu redup keemasan, dan aroma campuran antara cologne Maximo, anggur merah, serta wangi bunga melati yang dipaksakan masuk lewat ventilasi.

Di tengah ruangan berdiri sebuah kursi kulit hitam, tinggi, dengan sandaran megah yang lebih menyerupai singgasana. Di situlah Maximo duduk, santai tapi penuh kuasa. Tubuhnya menjulang, dasinya kini terlepas, dua kancing kemeja bagian atas terbuka, memperlihatkan dada bidang yang bergerak naik turun dengan napas berat.

Di sudut lain, Selena terikat di kursi logam. Tali kulit hitam membelit pergelangan tangannya, menahan keras meski kulitnya sudah memerah. Ia dipaksa menjadi penonton. Matanya liar, ingin berpaling, tapi setiap kali ia coba, cahaya lampu otomatis mengikuti, memaksanya melihat panggung kejam yang akan segera dimulai.

Lalu muncullah dua wanita itu.

Mereka melangkah pelan dari balik tirai beludru merah, gaun panjang mereka bergeser bagai air yang tumpah di lantai marmer. Rambut keduanya jatuh seperti gelombang: satu pirang emas, satunya hitam pekat. Senyum mereka tipis, bukan senyum bahagia, melainkan senyum penuh perhitungan—senyum wanita yang tahu perannya adalah persembahan.

Tanpa kata, mereka bergerak mendekat.

Wanita berambut pirang berlutut lebih dulu di depan Maximo, tangannya menyentuh lutut pria itu dengan gerakan lembut, hampir religius. Yang berambut hitam mencondongkan tubuh ke sisi kursi, jemarinya menelusuri garis rahang Maximo, menyalakan api di udara yang sudah penuh ketegangan.

Maximo menyandarkan kepalanya ke kursi, menutup mata setengah, membiarkan mereka memulai “ritual” pengabdian itu. Suara napasnya terdengar jelas: dalam, panjang, berat—seperti seseorang yang menyerahkan diri pada arus kenikmatan yang tak terbendung.

Selena menegang. Ia tahu apa yang sedang terjadi. Gerakan tangan, bisikan lembut, posisi tubuh yang semakin dekat pada Maximo—semua adalah bahasa yang tak butuh terjemahan. Hatinya memberontak, tetapi tubuhnya terjebak, dan matanya tak diberi izin untuk menutup.

Wanita pirang itu menunduk semakin dalam, gerakan kepalanya ritmis, teratur, seolah memainkan alat musik yang tak terlihat. Maximo bergeming, tapi dari tenggorokannya keluar suara rendah: sebuah erangan pertama yang berat, nyaris seperti geraman binatang terluka. Erangan itu memenuhi ruangan, menampar telinga Selena, membuat darahnya membeku.

“Teruskan,” bisik Maximo, suaranya serak, patah-patah, hampir tak terkendali. "Engh... "

Wanita berambut hitam meraih leher Maximo, bibirnya menempel pada kulit, meninggalkan jejak basah di sepanjang garis rahangnya, lalu turun ke bahunya. Napasnya panas, membakar kulit pria itu. Maximo menarik napas panjang, dadanya terangkat, lalu terhempas lagi dengan berat.

Setiap tarikan napasnya kini seperti badai yang merambat, semakin cepat, semakin keras. Sesekali kepalanya terlempar ke belakang, mata tertutup rapat, rahangnya mengeras.

Erangan demi erangan mulai pecah. Awalnya pendek, tertahan, lalu makin panjang, makin berat, hingga menjadi alunan kasar yang mengisi kamar sempit itu. Napasnya berderu, keluar masuk dengan suara seperti angin yang terperangkap di gua.

Selena ingin menutup telinganya, tapi ikatan membuatnya tak berdaya. Air matanya mengalir, bukan karena iba pada Maximo, tapi karena ia dipaksa menyaksikan, mendengar, dan merasakan kekuatan pria itu di puncak obsesi gilanya.

Wanita pirang bergerak lebih cepat, ritme kepalanya meningkat, tangannya menggenggam paha Maximo erat. Wanita berambut hitam menempel lebih dalam, bibirnya kini di dada pria itu, giginya sesekali menggigit lembut, membuat Maximo mengerang lebih keras.

“Ya… lebih dalam…” suara Maximo pecah, tercekat di antara deru napasnya.

Seluruh tubuhnya kini menegang. Otot-otot lengannya menonjol, jemarinya mencengkeram sandaran kursi sekuat tenaga. Dahi Maximo berkilau oleh keringat, menetes jatuh di wajah wanita yang melayaninya, namun mereka tidak peduli.

Dan akhirnya, saat itu datang.

Tubuh Maximo terangkat sedikit dari kursinya, punggungnya melengkung bagai busur. Erangan panjang meledak dari dadanya, keras, dalam, bergetar—sebuah suara yang memadukan kekuasaan, kepuasan, dan keganasan. Napasnya terputus-putus, dada naik turun seperti mesin yang hampir meledak.

Seketika ruangan dipenuhi aroma keringat bercampur cologne, tebal, menyesakkan. Wanita pirang berhenti sejenak, wajahnya masih menempel di pangkuan Maximo, sementara wanita berambut hitam menempelkan bibirnya ke leher pria itu, menenangkan badai yang baru saja pecah.

Maximo membuka matanya perlahan. Mata abu-abunya berkilat, setajam pisau, lalu langsung menatap Selena. Senyumnya kembali muncul, senyum tipis yang kali ini bercampur kepuasan liar.

“Lihatlah, Selena,” suaranya parau, nyaris habis oleh erangan. “Begini caranya dua jiwa menyerahkan diri pada tuannya. Kau bisa berpaling seribu kali, tapi bayangan ini akan melekat di kepalamu selamanya.”

Selena menggeliat, mencoba melawan ikatan, berteriak tanpa suara. Air matanya menetes deras. Bukan hanya jijik, tapi juga ketakutan akan masa depannya—bahwa suatu saat, giliran itu akan tiba padanya.

Maximo merebahkan diri, napasnya masih berat, tersengal-sengal, seperti bara yang belum padam. Wanita pirang menatapnya dengan penuh pengabdian, wanita berambut hitam membelai dadanya dengan lembut. Mereka tampak puas, meski jelas di balik mata mereka ada sesuatu yang kosong—kosong karena jiwa mereka sudah lama dipenjara.

Seluruh ruangan kembali sunyi, hanya suara napas Maximo yang masih kasar, deru panjang yang menandai badai baru saja lewat.

Dan di kursi logamnya, Selena berdoa dalam hati, dengan sisa-sisa kekuatan yang ia punya: semoga ada jalan keluar sebelum dirinya dijadikan korban berikutnya dalam ritual keji ini.

Maximo akhirnya bangkit. Kursi kulit bergeser sedikit, bunyinya menyayat sunyi ruangan. Ia berdiri perlahan, menata jasnya, lalu berjalan mendekat. Setiap langkah menghantam marmer seperti dentuman palu, membuat jantung Selena berdebar semakin cepat.

“Pertunjukan selesai,” gumamnya, suaranya serak, dalam, tapi jelas terdengar. “Tapi kau… kau belum selesai denganku.”

Selena meronta di kursinya, tali kulit menggores pergelangan tangannya sampai perih. Nafasnya tersengal. Ia ingin menjerit, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.

Maximo berhenti tepat di depannya. Tubuhnya menjulang, bayangannya menelan Selena bulat-bulat. Tangannya yang dingin dan berurat terulur, menyentuh dagu Selena, mengangkat wajahnya agar mata mereka sejajar.

“Tatap aku,” bisiknya. “Aku ingin melihat nyali itu sampai habis.”

Selena bergetar, tapi tatapannya tetap menantang. Ia tidak mau memberi kemenangan.

Maximo tersenyum tipis, lalu jemarinya bergerak turun, menyusuri garis leher, berhenti di bahu. Sentuhan itu ringan, tapi cukup membuat tubuh Selena kaku. Jemarinya melanjutkan perjalanan, menyusuri lengan hingga ke tali kulit yang mengikatnya. Ia menyentuh ikatan itu, seolah mempertimbangkan apakah akan melepaskannya atau justru mengeratkannya lebih kuat.

Selena menahan nafas.

Lalu, dengan gerakan perlahan, Maximo meletakkan tangannya di pinggang Selena. Jemarinya menyusuri kain tipis yang membalut tubuhnya, berhenti tepat di garis lipatan kain bagian depan. Tatapannya semakin gelap, intens, penuh obsesi yang membakar.

Selena menutup mata erat-erat. Ia yakin, dalam hitungan detik, kain itu akan terlepas, harga dirinya akan hancur.

Tapi justru pada saat itu, Maximo berhenti. Jemarinya hanya menggenggam kain itu, menahannya, seolah menggoda, memberi ancaman samar bahwa ia bisa melakukannya kapan saja.

Waktu berjalan lambat. Ruangan sunyi, hanya ada suara nafas Maximo yang masih berat, terputus-putus, bercampur dengan denyut jantung Selena yang menggema di telinganya sendiri.

Maximo menunduk sedikit, bibirnya hampir menyentuh telinga Selena. “Seragam ketat ini ...” bisiknya dengan nada rendah yang penuh bahaya, “sebaiknya kau ganti dengan yang lebih bagus!”

Tangannya yang sempat menggenggam kain kemudian dilepaskan. Ia mundur selangkah, hanya menatapnya dengan tatapan abu-abu yang menusuk, lalu berbalik seolah membiarkannya menunggu takdir yang tak terhindarkan.

Selena masih menggigil, matanya terbelalak, tubuhnya kaku di kursi logam. Ia sadar—malam itu bukan akhir dari penderitaan, melainkan awal dari sesuatu yang jauh lebih mengerikan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PRAMUGARI TAHANAN MILIARDER   Jari-jari Basah

    Tubuh Selena masih bergetar ketika pintu besi berat di belakangnya berderit terbuka lagi. Dua penjaga menyeretnya keluar dari ruang pertunjukan, meninggalkan Maximo yang masih duduk dengan angkuhnya di kursi kulit hitam. Senyum tipis sang penguasa seakan terus menempel di dinding batinnya, begitu pula suara erangan dan deru napasnya yang masih bergaung di telinga Selena. Lorong gelap membawa Selena ke sebuah ruang yang lebih hangat. Di sana sudah menunggu seorang pelayan wanita berwajah pucat, rambutnya disanggul rapi, gaunnya sederhana tapi tetap elegan. Tanpa banyak bicara, ia memberi isyarat pada penjaga agar melepas ikatan kulit di tangan Selena. Begitu bebas, pergelangan tangannya tampak memerah, terluka oleh gesekan tali. Pelayan itu menunduk sejenak, lalu memegang lembut tangan Selena, seolah minta maaf atas perlakuan kasar tuannya. “Silakan, nona. Tuan ingin Anda dibersihkan.” Suaranya nyaris berbisik. Selena tak menjawab. Matanya menatap lurus, masih dipenuhi bayangan Maxi

  • PRAMUGARI TAHANAN MILIARDER   Memuaskan Sang Boss

    Kamar itu tersembunyi di balik galeri, seolah sengaja diciptakan sebagai rahasia paling kelam dari seorang penguasa. Pintu besi berat menutup rapat, dan begitu gembok terkunci, dunia di luar lenyap. Yang tersisa hanya dinding-dinding kaca gelap berlapis, langit-langit rendah dengan lampu redup keemasan, dan aroma campuran antara cologne Maximo, anggur merah, serta wangi bunga melati yang dipaksakan masuk lewat ventilasi.Di tengah ruangan berdiri sebuah kursi kulit hitam, tinggi, dengan sandaran megah yang lebih menyerupai singgasana. Di situlah Maximo duduk, santai tapi penuh kuasa. Tubuhnya menjulang, dasinya kini terlepas, dua kancing kemeja bagian atas terbuka, memperlihatkan dada bidang yang bergerak naik turun dengan napas berat.Di sudut lain, Selena terikat di kursi logam. Tali kulit hitam membelit pergelangan tangannya, menahan keras meski kulitnya sudah memerah. Ia dipaksa menjadi penonton. Matanya liar, ingin berpaling, tapi setiap kali ia coba, cahaya lampu otomatis mengik

  • PRAMUGARI TAHANAN MILIARDER   Galeri Rahasia

    Di hadapannya, sebuah galeri bawah tanah terbentang luas, begitu megah namun juga sangat dingin. Dinding-dindingnya terbuat dari kaca tebal yang tembus pandang, memisahkan Selena dari pemandangan yang tak pernah ia bayangkan. Di balik panel-panel kaca transparan itu, berjejer empat belas wanita. Bukan patung manekin, bukan lukisan, melainkan manusia hidup. Masing-masing memancarkan keindahan dan ciri khas yang mencolok, seperti permata yang telah dipoles sempurna. Mereka tidak tampak terkurung dalam arti konvensional—tidak ada jeruji besi, tidak ada ekspresi ketakutan. Justru sebaliknya, mereka seperti pameran hidup yang berpose dengan bangga, rambut tergerai indah, riasan wajah sempurna, dan gaun-gaun elegan yang membalut tubuh. Mereka berlomba-lomba menonjolkan diri, mencari perhatian, seolah-olah hidup mereka bergantung pada tatapan mata yang memilih.Seorang wanita dengan rambut pirang keemasan tersenyum manis, memiringkan kepala dengan gestur menggoda, jemarinya memilin sehelai s

  • PRAMUGARI TAHANAN MILIARDER   Tugas Baru

    Pagi di Monaco tidak serta-merta membawa kedamaian. Selena terbangun dengan rambut acak-acakan, masih mengenakan piyama pendek tipis yang menutupi tubuhnya setelah tidur tanpa balutan bra.Kesadarannya perlahan pulih di atas seprai sutra yang terasa asing, di kamar hotel yang lebih sederhana dari kemewahan semalam, namun tetap jauh di atas standarnya. Ia masih bisa merasakan tatapan Maximo yang membakar, sebuah jejak yang tak terhapuskan di benaknya, membisikkan janji sekaligus ancaman. Udara pagi terasa berat, membawa sisa-sisa kegelisahan yang mengendap dalam jiwanya.Ia beranjak dari tempat tidur, menarik napas dalam, berusaha mengusir bayangan pria itu. Rutinitas adalah jangkar, dan ia merindukan jangkar itu. Dengan naluri seorang pramugari yang terlatih, Selena segera bersiap. Ia membersihkan diri, mengeringkan tubuh, dan menatap seragam biru tua rapi yang telah ia gantung. Ia menyelesaikan persiapan dengan sepatu hak tinggi dan riasan tipis yang sempurna. Di cermin, terpantul wa

  • PRAMUGARI TAHANAN MILIARDER   Pemandangan Indah

    Pendaratan di landasan pacu Bandara Internasional Nice Côte d’Azur terasa mulus, sebuah kontras tajam dengan gejolak batin yang masih mendera Selena. Di luar jendela, malam Monaco membentang dalam balutan kemewahan yang sunyi, dihiasi lampu-lampu landasan yang membelah kegelapan. Kilauan berpendar itu tampak dingin dan teratur, seolah kota itu sendiri sedang berbisik dalam ketenangan yang mencekam. Turbulensi hebat beberapa menit lalu, diikuti oleh ancaman Maximo yang menggantung, masih terasa seperti pukulan di ulu hati Selena.Selena mengusap keringat dingin dari pelipisnya, merasakan ketegangan yang belum sepenuhnya lepas, meskipun pesawat telah mendarat dengan aman.Saat pintu kabin terbuka, udara dingin berbau metalik khas bandara langsung menyusup masuk, membawa serta nuansa formalitas dan ketidakpastian.Kru darat dengan seragam rapi dan wajah datar telah menunggu di jembatan penghubung. Di antara mereka, Ferdi, supervisor yang baru saja ia suap, tampak sedang berbicara serius

  • PRAMUGARI TAHANAN MILIARDER   Pion Emas di Balik Seragam

    Seluruh pramugara di kabin mengetahui, Selena Puspa adalah pusat perhatian.Setiap kali ia melangkah, hak tinggi Louboutin dengan alas merahnya mengetuk lantai pesawat dengan irama yang menggoda. Seragam biru tua yang ketat seolah-olah dirancang khusus untuk tubuhnya—membentuk pinggang ramping, menonjolkan dada padat yang tertahan kemeja, serta memperlihatkan belahan yang cukup untuk menarik perhatian.Kulit kuning langsatnya memantulkan cahaya lampu kabin yang redup elegan, memberi kesan hangat sekaligus mewah. Wajah oval dengan hidung mancung nan halus, bibir penuh, dan sepasang mata cokelat bening membuatnya tampak polos. Selena menghadirkan paradoks: malaikat dalam seragam biru, dengan aura yang menggoda siapa pun untuk berdosa.Lampu kabin premium menyorot tepat ke tubuhnya, menyoroti panggul berisi yang tersembunyi di balik rok mini seragam. Pramugara lain berpura-pura sibuk, tetapi tatapan mereka tidak dapat lepas dari siluet seksi pramugari dalam masa percobaan yang sedang ber

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status