Pagi di Monaco tidak serta-merta membawa kedamaian. Selena terbangun dengan rambut acak-acakan, masih mengenakan piyama pendek tipis yang menutupi tubuhnya setelah tidur tanpa balutan bra.
Kesadarannya perlahan pulih di atas seprai sutra yang terasa asing, di kamar hotel yang lebih sederhana dari kemewahan semalam, namun tetap jauh di atas standarnya. Ia masih bisa merasakan tatapan Maximo yang membakar, sebuah jejak yang tak terhapuskan di benaknya, membisikkan janji sekaligus ancaman. Udara pagi terasa berat, membawa sisa-sisa kegelisahan yang mengendap dalam jiwanya. Ia beranjak dari tempat tidur, menarik napas dalam, berusaha mengusir bayangan pria itu. Rutinitas adalah jangkar, dan ia merindukan jangkar itu. Dengan naluri seorang pramugari yang terlatih, Selena segera bersiap. Ia membersihkan diri, mengeringkan tubuh, dan menatap seragam biru tua rapi yang telah ia gantung. Ia menyelesaikan persiapan dengan sepatu hak tinggi dan riasan tipis yang sempurna. Di cermin, terpantul wajah yang mencoba memancarkan kekuatan, meskipun di dalamnya, ia merasa rapuh. Ia berpegang pada keyakinan bahwa pekerjaan barunya, apa pun itu, akan membawanya menjauh, memberinya kesempatan untuk membangun kembali hidup yang hancur. Ia tidak tahu, ini adalah persiapan untuk perang yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Sebuah ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunan. Ferdi, mantan supervisornya, berdiri di ambang pintu, rapi dan tenang. Senyum tipis tersungging di bibirnya, namun matanya memancarkan sesuatu yang dingin, hampir tanpa emosi. Pria itu tampak berbeda dari Ferdi yang biasa ia kenal—supervisor yang mudah disuap, yang tamak akan uang. "Selamat pagi, Selena," sapa Ferdi, suaranya halus, namun menggema dengan nada kepemilikan. "Tugas barumu sudah nunggu. Ayo, ikut saya." Selena menatapnya, ada keraguan yang merayap di benaknya. "Tugas? Tapi saya pikir..." Ia mencoba menolak, merasa ada yang tidak beres. Ini bukan cara kerja normal. Ia kira pekerjaan barunya adalah pekerjaan korporat biasa. "Ferdi, ini enggak masuk akal. Kerja apa ini?" Ferdi tak bergeming. Ia mengeluarkan selembar dokumen dari dalam jasnya, sebuah kontrak yang tebal, dengan logo perusahaan Maximo Group yang terukir jelas di atasnya. "Dalam dua puluh empat jam kamu harus tanda tangan ini. Kamu sudah setuju kok menerima posisi baru ini, dengan gaji yang... melimpah, dan semua fasilitas yang dijanjikan. Termasuk tunjangan untuk keluargamu di Jakarta." Ia menekan, menekankan setiap kata, seolah setiap suku kata adalah rantai yang mengikat. "Kamu enggak salah pilih, Selena." Selena merasakan darahnya berdesir dingin. Sebuah jebakan, sebuah perjanjian dengan iblis yang kini menuntut jiwanya. Ia membaca samar-samar poin-poin dalam kontrak, yang ia tandatangani dalam kegelapan dan keputusasaan semalam. "Tapi... kerja apa? Di mana?" desak Selena, suaranya bergetar. "Itu nanti kamu tahu sendiri," jawab Ferdi singkat, matanya kosong. * Sebuah mobil hitam mewah, berkilau di bawah sinar matahari pagi Monaco, telah menunggu di lobi hotel. Jonathan, tangan kanan Maximo yang dingin, membukakan pintu belakang dengan sopan namun tanpa senyum. Selena mengenal pria itu. Ia langsung bisa menebak ini semua masih berhubungan dengan Maximo. Selena melangkah masuk dan terpaksa duduk di kursi belakang mobil, berusaha menyesuaikan seragam pramugari ketat—terasa seperti magnet yang siap menempel pada jok mobil berbahan kulit asli itu. Sensasi pertama saat ia duduk adalah ... dingin. Betisnya bersentuhan dengan dinginnya jok yang sudah berjam-jam terkena embusan AC mobil. Ketika ia duduk, tanpa sadar paha jenjangnya sedikit tersingkap. Jonathan, yang baru saja menutup pintu, tak kuasa untuk tidak memalingkan pandangan sekilas. Matanya menuruti nalurinya, tak bisa untuk tidak menatap paha Selena yang mulus. Lalu, dengan gerakan nyaris tak terlihat, pria itu melirik ke kaca spion, mencuri pandang pada belahan dada Selena yang terpampang jelas. Sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, melintas di bibirnya. "Oh, jadi ini yang dilihat Tuan Maximo?" gumamnya pelan, hampir tak terdengar, pada dirinya sendiri. "Hmm... pantesan." Nada suaranya mengandung campuran kekaguman dan ejekan, sebuah janji tersirat akan penderitaan yang akan datang. Mobil itu melaju mulus di sepanjang jalan Côte d’Azur, membelah pemandangan laut biru Safir yang memukau dan gedung-gedung mewah yang berjejer seperti permata. Namun, kemewahan ini terasa seperti ilusi, berlawanan dengan rasa mencekam yang mengikat perut Selena, mengikis keberaniannya sehelai demi sehelai. Pemandangan indah di luar jendela terasa ironis, seolah alam semesta menertawakan ketidakberdayaannya. "Kita mau ke mana?" tanya Selena, mencoba menstabilkan suaranya. Ia menoleh ke arah Jonathan yang fokus menyetir. Jonathan tak menjawab langsung. Ia hanya menggerakkan bahu sedikit, matanya tetap terpaku pada jalan. "Tempat kerjamu di sana," jawabnya singkat, tanpa menoleh. Ujung jarinya menunjuk ke arah tebing yang menjulang di kejauhan, tempat sebuah siluet megah mulai terlihat. Jantung Selena berdebar lebih kencang. Firasat buruk semakin kuat. Ia yakin tempat ini adalah markas Maximo. "Apa semua ini... rencana Maximo?" tuduhnya, suaranya bergetar karena emosi yang tertahan. Ia merasa telah ditipu mentah-mentah. Ia kira pekerjaan barunya akan membawanya jauh dari Maximo, memberinya kebebasan, bukan malah mengantarkannya lebih dalam ke sarang predator itu. Jonathan tetap diam. Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang semakin mencekik. Seiring mobil mendekat, siluet itu berubah menjadi sebuah vila megah, berdiri perkasa di puncak tebing, seperti mahkota di atas permata biru laut. Pagar tinggi nan kokoh, terbuat dari besi tempa artistik namun tampak tak tertembus, mengelilingi seluruh properti. Di balik gerbang, Selena bisa melihat beberapa penjaga bersenjata berpatroli, tegap dan waspada, mengawasi setiap sudut dengan ketat. Dari luar, vila itu tampak seperti impian. Glamor, elegan, dengan arsitektur klasik yang dipadukan sentuhan modern yang mewah. Taman-taman indah terhampar luas, dipenuhi bunga-bunga eksotis dan patung-patung seni yang mahal. Air mancur kristal berkilauan memantulkan cahaya matahari. Ini adalah rumah yang tak hanya memancarkan kekayaan, tetapi juga selera tinggi. Namun, Selena mulai menyadari, tempat ini bukan sekadar rumah. Ini adalah benteng. Markas tersembunyi. Kecurigaan mulai meracuni pikirannya, semakin yakin bahwa pekerjaan barunya bukanlah posisi di kantor, melainkan sesuatu yang jauh lebih gelap. Begitu gerbang otomatis terbuka, Jonathan mengarahkan mobil melalui jalan berliku menuju pintu masuk utama. Di sana, seorang pria berjas hitam telah menunggu. Begitu Selena turun dari mobil, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, pria itu segera mendekat. Tanpa peringatan, sehelai kain sutra hitam yang lembut, namun tebal, diikatkan ke matanya. Pandangannya langsung lenyap, dunia seketika gelap gulita. "Apa-apaan ini?!" teriak Selena, panik. Ia mencoba menarik ikatan itu, tetapi tangan kekar pria itu menahan. Jonathan kini berdiri di sampingnya. "Jangan melawan, Selena. Ini buat keselamatanmu," ucapnya dingin, namun dalam suaranya tersirat sebuah ancaman yang tak terbantahkan. Lalu, tangannya diikat erat di belakang punggung, simpulnya kuat, tidak bisa dilepaskan. Ia dituntun. Setiap langkah terasa tidak pasti, kegelapan dan keterbatasan gerak melipatgandakan rasa takutnya. Selena merasakan dirinya melewati sebuah ruangan yang luas; ia bisa membayangkan itu adalah ruang tamu megah, dari embusan aroma bunga lily yang kuat dan aroma kulit mahal. Kemudian, langkah mereka melambat, berhenti di depan sesuatu yang terasa seperti pintu tersembunyi. Sebuah bunyi desisan pelan, seperti mekanisme hidrolik, terdengar, dan ia merasakan udara dingin menusuk kulitnya. Jonathan menuntunnya melangkah ke bawah, menuruni anak tangga, lalu masuk ke sebuah lorong. Jantung Selena berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya seperti genderang perang. Setiap napas terasa berat, dan ia semakin yakin, semakin yakin ada yang tidak beres. Suasana berubah drastis: dari kemewahan yang hangat dan aroma bunga lily, kini yang ia rasakan adalah dingin yang menusuk, aroma lembap seperti tanah dan besi, serta kegelapan pekat yang menelan segalanya. Suara langkah mereka berdua bergema di lorong yang sunyi, memperkuat rasa keterasingan. "Ini bukan kantor... Ini apaan?" bisik Selena, suaranya tercekat ketakutan, nyaris tak terdengar. Ia mencoba membebaskan tangannya, tetapi ikatan itu terlalu kuat. Jonathan tetap diam. Langkahnya mantap, tidak goyah sedikit pun, seolah ia telah melakukan ini ribuan kali. Ia adalah algojo tanpa emosi, menjalankan perintah dengan presisi kejam. Akhirnya, langkah mereka terhenti. Selena merasakan Jonathan melepaskan ikatan tangannya, tetapi kain penutup mata tetap terpasang. Sebuah embusan udara dingin yang lebih pekat menerpa wajahnya, dan ia mendengar suara dengungan rendah, seolah mesin besar beroperasi di suatu tempat. Dengan satu tarikan lembut, kain penutup mata dilepaskan. Mata Selena membutuhkan beberapa detik untuk menyesuaikan diri dengan cahaya redup yang membanjiri ruangan. Dan ketika pandangannya jelas, ia terkesiap. Sebuah galeri. Bukan galeri seni biasa, melainkan galeri kaca yang membentang luas, memamerkan… wanita.Di hadapannya, sebuah galeri bawah tanah terbentang luas, begitu megah namun juga sangat dingin. Dinding-dindingnya terbuat dari kaca tebal yang tembus pandang, memisahkan Selena dari pemandangan yang tak pernah ia bayangkan. Di balik panel-panel kaca transparan itu, berjejer empat belas wanita. Bukan patung manekin, bukan lukisan, melainkan manusia hidup. Masing-masing memancarkan keindahan dan ciri khas yang mencolok, seperti permata yang telah dipoles sempurna. Mereka tidak tampak terkurung dalam arti konvensional—tidak ada jeruji besi, tidak ada ekspresi ketakutan. Justru sebaliknya, mereka seperti pameran hidup yang berpose dengan bangga, rambut tergerai indah, riasan wajah sempurna, dan gaun-gaun elegan yang membalut tubuh. Mereka berlomba-lomba menonjolkan diri, mencari perhatian, seolah-olah hidup mereka bergantung pada tatapan mata yang memilih.Seorang wanita dengan rambut pirang keemasan tersenyum manis, memiringkan kepala dengan gestur menggoda, jemarinya memilin sehelai s
Pagi di Monaco tidak serta-merta membawa kedamaian. Selena terbangun dengan rambut acak-acakan, masih mengenakan piyama pendek tipis yang menutupi tubuhnya setelah tidur tanpa balutan bra.Kesadarannya perlahan pulih di atas seprai sutra yang terasa asing, di kamar hotel yang lebih sederhana dari kemewahan semalam, namun tetap jauh di atas standarnya. Ia masih bisa merasakan tatapan Maximo yang membakar, sebuah jejak yang tak terhapuskan di benaknya, membisikkan janji sekaligus ancaman. Udara pagi terasa berat, membawa sisa-sisa kegelisahan yang mengendap dalam jiwanya.Ia beranjak dari tempat tidur, menarik napas dalam, berusaha mengusir bayangan pria itu. Rutinitas adalah jangkar, dan ia merindukan jangkar itu. Dengan naluri seorang pramugari yang terlatih, Selena segera bersiap. Ia membersihkan diri, mengeringkan tubuh, dan menatap seragam biru tua rapi yang telah ia gantung. Ia menyelesaikan persiapan dengan sepatu hak tinggi dan riasan tipis yang sempurna. Di cermin, terpantul wa
Pendaratan di landasan pacu Bandara Internasional Nice Côte d’Azur terasa mulus, sebuah kontras tajam dengan gejolak batin yang masih mendera Selena. Di luar jendela, malam Monaco membentang dalam balutan kemewahan yang sunyi, dihiasi lampu-lampu landasan yang membelah kegelapan. Kilauan berpendar itu tampak dingin dan teratur, seolah kota itu sendiri sedang berbisik dalam ketenangan yang mencekam. Turbulensi hebat beberapa menit lalu, diikuti oleh ancaman Maximo yang menggantung, masih terasa seperti pukulan di ulu hati Selena.Selena mengusap keringat dingin dari pelipisnya, merasakan ketegangan yang belum sepenuhnya lepas, meskipun pesawat telah mendarat dengan aman.Saat pintu kabin terbuka, udara dingin berbau metalik khas bandara langsung menyusup masuk, membawa serta nuansa formalitas dan ketidakpastian.Kru darat dengan seragam rapi dan wajah datar telah menunggu di jembatan penghubung. Di antara mereka, Ferdi, supervisor yang baru saja ia suap, tampak sedang berbicara serius
Seluruh pramugara di kabin mengetahui, Selena Puspa adalah pusat perhatian.Setiap kali ia melangkah, hak tinggi Louboutin dengan alas merahnya mengetuk lantai pesawat dengan irama yang menggoda. Seragam biru tua yang ketat seolah-olah dirancang khusus untuk tubuhnya—membentuk pinggang ramping, menonjolkan dada padat yang tertahan kemeja, serta memperlihatkan belahan yang cukup untuk menarik perhatian.Kulit kuning langsatnya memantulkan cahaya lampu kabin yang redup elegan, memberi kesan hangat sekaligus mewah. Wajah oval dengan hidung mancung nan halus, bibir penuh, dan sepasang mata cokelat bening membuatnya tampak polos. Selena menghadirkan paradoks: malaikat dalam seragam biru, dengan aura yang menggoda siapa pun untuk berdosa.Lampu kabin premium menyorot tepat ke tubuhnya, menyoroti panggul berisi yang tersembunyi di balik rok mini seragam. Pramugara lain berpura-pura sibuk, tetapi tatapan mereka tidak dapat lepas dari siluet seksi pramugari dalam masa percobaan yang sedang ber