Beranda / Romansa / PRAMUGARI TAHANAN MILIARDER / Pion Emas di Balik Seragam

Share

PRAMUGARI TAHANAN MILIARDER
PRAMUGARI TAHANAN MILIARDER
Penulis: Diane Mitda

Pion Emas di Balik Seragam

Penulis: Diane Mitda
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-26 14:45:18

Seluruh pramugara di kabin mengetahui, Selena Puspa adalah pusat perhatian.

Setiap kali ia melangkah, hak tinggi Louboutin dengan alas merahnya mengetuk lantai pesawat dengan irama yang menggoda. Seragam biru tua yang ketat seolah-olah dirancang khusus untuk tubuhnya—membentuk pinggang ramping, menonjolkan dada padat yang tertahan kemeja, serta memperlihatkan belahan yang cukup untuk menarik perhatian.

Kulit kuning langsatnya memantulkan cahaya lampu kabin yang redup elegan, memberi kesan hangat sekaligus mewah. Wajah oval dengan hidung mancung nan halus, bibir penuh, dan sepasang mata cokelat bening membuatnya tampak polos. Selena menghadirkan paradoks: malaikat dalam seragam biru, dengan aura yang menggoda siapa pun untuk berdosa.

Lampu kabin premium menyorot tepat ke tubuhnya, menyoroti panggul berisi yang tersembunyi di balik rok mini seragam. Pramugara lain berpura-pura sibuk, tetapi tatapan mereka tidak dapat lepas dari siluet seksi pramugari dalam masa percobaan yang sedang berjuang keras agar lolos. Ia bahkan melakukan tindakan tidak etis—menyuap supervisor agar peluangnya mendapatkan kontrak semakin besar. Semua ini dilakukan demi kariernya yang cemerlang dan agar ia dapat memperbaiki kondisi finansial keluarganya di Jakarta.

Namun malam itu, tugasnya tidak sekadar menghidangkan senyum atau menata baki makanan. Ada satu penumpang yang menjadi pusat segalanya. Sebuah kursi istimewa di dalam Private Suite VIP Class 1, ruang tertutup yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang membayar lebih mahal daripada harga satu unit apartemen mewah di Jakarta.

Penumpang itu—Maximo Regard.

Nama yang membuat para kapten, manajer maskapai, bahkan pejabat keuangan berbisik-bisik ketakutan. Investor muda berdarah Spanyol-Indonesia itu dapat mengguncang pasar dunia hanya dengan satu keputusan. Usianya baru dua puluh sembilan tahun, namun asetnya telah menyaingi konglomerat tua. Sosok tinggi besar dengan rahang tegas, mata gelap penuh bahaya, dan karisma yang membuat udara di sekitarnya terasa lebih berat.

Selena meneguk ludahnya, menggenggam nampan dengan dua gelas wine mahal dan stoples kecil selai kacang impor. Tangannya sedikit gemetar. Ia tahu bahwa inilah ujian sesungguhnya. Melayani Maximo berarti melayani satu-satunya pria yang dapat menentukan kelangsungan kariernya.

Ketika pintu suite terbuka secara otomatis, aroma kulit asli dan kayu mewah langsung menyambutnya. Cahaya lampu redup keemasan menciptakan atmosfer intim, seolah-olah lebih menyerupai kamar hotel daripada kabin pesawat. Di tengah ruangan, Maximo duduk sendirian di kursi kulit lebar, jas hitamnya terbuka, kancing kemeja bagian atas terlepas memperlihatkan sedikit otot dadanya. Tangannya yang besar sedang mempermainkan sebuah pion emas dari papan catur mini di meja sampingnya.

Sorot mata Maximo langsung naik, terkunci pada tubuh Selena yang melangkah masuk.

Sejenak, udara seolah berhenti bergerak.

Selena merasa tubuhnya dipindai tanpa ampun, dari ujung rambut yang disanggul rapi, melewati garis leher seragam ketat, hingga tumit merah sepatunya yang mengetuk lantai. Ia menegakkan bahu, berusaha tetap profesional meski sorotan mata pria itu membuatnya seolah-olah telanjang.

“Ini wine dan selai kacang yang Anda minta, Tuan,” ucapnya, suaranya nyaris bergetar.

Maximo hanya mengangguk singkat, jemarinya masih sibuk mempermainkan pion emas di tangannya. Pion itu berkilau mencolok, jelas berbeda dari bidak catur pada umumnya. Seolah-olah benda itu bukan sekadar bagian dari permainan, melainkan simbol kekuasaan yang tidak boleh disentuh oleh siapa pun.

Selena melangkah mendekat dengan baki di tangannya, membawa wine merah tua dan camilan kecil, termasuk selai kacang impor yang diminta khusus oleh Maximo. Wangi alkohol halus bercampur dengan aroma kacang panggang memenuhi udara suite.

Namun saat ia baru saja meletakkan gelas di meja kecil, pesawat berguncang.

Turbulensi.

Baki di tangannya oleng. Selena berusaha menyeimbangkan tubuhnya dengan hak tinggi Louboutin-nya, namun sia-sia belaka. Wine tumpah, menetes ke tangannya, lengket bercampur dengan selai kacang. Gelas hampir jatuh, dan dalam kekacauan itu, pion emas dari tangan Maximo terpental, berkilau di udara seolah-olah bergerak dalam gerakan lambat.

“Astaga!” Selena refleks menengadah.

“Ah!”

Logam dingin itu jatuh tepat di belahan dadanya.

Selena terpaku. Sensasi dingin menempel kulit hangatnya, menyusup tepat di antara belahan dadanya yang terhimpit bra. Ia mengerjap, wajahnya memerah, napas tercekat.

Ia merasakan bentuk bulat kecil pion itu menekan dadanya setiap kali ia menarik napas.

Maximo terdiam, membeku seraya menatap pemandangan itu. Matanya yang gelap menyala, pupilnya membesar seolah-olah terhipnotis. Ada kejengkelan karena benda berharganya jatuh, namun lebih dari itu, ada gejolak lain. Melihat pion emasnya terperangkap di balik seragam pramugari, menyentuh kulit lembut yang bahkan belum pernah ia sentuh, adalah godaan yang mengguncang akal sehatnya.

Biasanya ia menyelamatkan pion dengan taktik, namun kali ini ia harus menemukan cara yang paling tepat agar pion itu selamat dari dua gundukan besar yang menutupinya.

Selena bergegas menjauh, menunduk, mencoba meraih pion yang terjebak di celah seragamnya. Tangannya gemetar, namun semakin ia berusaha, semakin pion itu seolah bersembunyi.

Panas merambat ke pipinya. Semua tubuhnya terasa kaku. “Ma—maafkan saya, Tuan…” suaranya bergetar, hampir berbisik.

Maximo tidak bergeming sama sekali. Jemarinya yang besar mengepal di sandaran kursi, matanya tajam menyusuri setiap gerakan Selena. Ada kilatan emosi yang sulit ditebak: antara marah, terkejut, dan sesuatu yang lebih berbahaya—obsesi.

“Hanya ada satu cara menyelamatkan pion itu,” suara Maximo akhirnya terdengar, rendah dan dingin. “Buka bajumu.”

Selena menegang. Darah serasa berhenti mengalir. Ia mendongak, menatap pria itu dengan mata melebar. “Apa… maksud Anda?”

“Pion itu milik saya. Tidak ada seorang pun yang boleh menyentuhnya dengan tangan kotor, apalagi sampai menjatuhkannya. Buka seragammu, dan keluarkan pion itu dengan cara yang benar. Atau…” Maximo sengaja menggantung kalimatnya.

Selena menelan ludahnya, wajahnya pucat sekaligus memerah. Ia menggenggam kerah seragamnya, ragu. Membuka seragamnya berarti memperlihatkan lebih banyak dari yang seharusnya. Ia adalah pramugari dalam masa percobaan, bukan mainan seorang miliarder.

Dengan suara nyaris berbisik, ia berkata, “Saya… tidak bisa.”

Maximo berdiri. Tinggi dan besar, tubuhnya mendominasi ruangan. Ia mendekat, langkah-langkah beratnya membuat Selena semakin terdesak ke sandaran kursi. Sorot mata tajam itu menusuk langsung ke dalam, seolah-olah menantang sekaligus memaksa.

“Tidak bisa?” ulangnya, separuh murka, separuh terpesona. “Atau tidak mau?”

Selena menggigit bibir bawahnya, tubuhnya menegang. Aroma maskulin Maximo bercampur dengan sisa wine yang tumpah membuat udara semakin panas. Ia merasa paru-parunya kekurangan oksigen.

Satu detik… dua detik…

Hening tegang itu membuat jantungnya berdentum tak karuan.

“Sa—saya hanya—” Selena mencoba bicara, tapi suaranya patah. “—ini tidak pantas, Tuan.”

Maximo mencondongkan wajahnya, cukup dekat sampai Selena dapat merasakan embusan napasnya di pipi. Tatapannya turun, tertancap tepat pada belahan dada tempat pion emas itu tersembunyi. Lalu naik kembali, menatap mata Selena dengan intensitas yang membuat lututnya lemas.

“Kalau kau menolak…” gumamnya, pelan namun berbahaya, “…aku pastikan kariermu berakhir malam ini juga.”

Selena terkejut, darahnya berdesir dingin. Ancaman itu nyata. Ia tahu reputasi Maximo—sekali ia bicara, maskapai dapat saja membuangnya tanpa ampun.

Selena tidak sempat memikirkan betapa mahalnya pion emas itu, karena ada harga diri yang menjerit di dalam dirinya. Ia tidak mau membuka seragamnya hanya karena perintah seorang pria arogan, meskipun pria itu adalah miliarder yang dapat mengguncang dunia.

“Saya… tetap tidak bisa,” bisiknya, kali ini lebih tegas.

Hening.

Maximo mematung sejenak, lalu menyeringai tipis. Bukan tawa, melainkan ekspresi seseorang yang sedang menahan amarah sekaligus rasa tertantang.

Ketegangan di udara menebal, seperti tali yang siap putus kapan saja.

Dan tepat pada detik itu, lampu kabin bergetar lagi karena turbulensi kedua. Wine yang tersisa di meja jatuh ke lantai, pecah berantakan. Selena menjerit lagi, tubuhnya goyah. Maximo refleks meraih lengannya, menariknya ke dadanya dengan kekuatan yang tidak dapat dilawan.

Sekian detik tubuh mereka menempel.

Selena dapat merasakan detak jantung keras Maximo. Maximo dapat mencium wangi manis tubuh Selena bercampur parfum kabin. Pion emas itu masih tersembunyi di belahan dada, menjadi saksi sekaligus alasan mengapa semuanya dimulai.

Maximo mendongak, matanya yang gelap menyala tajam, seolah-olah baru menemukan ide brilian. Sebuah seringai tipis muncul di bibirnya. “Kalau tidak mau, kau harus menggantinya dengan sesuatu yang lebih berharga dari pion itu…”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • PRAMUGARI TAHANAN MILIARDER   Galeri Rahasia

    Di hadapannya, sebuah galeri bawah tanah terbentang luas, begitu megah namun juga sangat dingin. Dinding-dindingnya terbuat dari kaca tebal yang tembus pandang, memisahkan Selena dari pemandangan yang tak pernah ia bayangkan. Di balik panel-panel kaca transparan itu, berjejer empat belas wanita. Bukan patung manekin, bukan lukisan, melainkan manusia hidup. Masing-masing memancarkan keindahan dan ciri khas yang mencolok, seperti permata yang telah dipoles sempurna. Mereka tidak tampak terkurung dalam arti konvensional—tidak ada jeruji besi, tidak ada ekspresi ketakutan. Justru sebaliknya, mereka seperti pameran hidup yang berpose dengan bangga, rambut tergerai indah, riasan wajah sempurna, dan gaun-gaun elegan yang membalut tubuh. Mereka berlomba-lomba menonjolkan diri, mencari perhatian, seolah-olah hidup mereka bergantung pada tatapan mata yang memilih.Seorang wanita dengan rambut pirang keemasan tersenyum manis, memiringkan kepala dengan gestur menggoda, jemarinya memilin sehelai s

  • PRAMUGARI TAHANAN MILIARDER   Tugas Baru

    Pagi di Monaco tidak serta-merta membawa kedamaian. Selena terbangun dengan rambut acak-acakan, masih mengenakan piyama pendek tipis yang menutupi tubuhnya setelah tidur tanpa balutan bra.Kesadarannya perlahan pulih di atas seprai sutra yang terasa asing, di kamar hotel yang lebih sederhana dari kemewahan semalam, namun tetap jauh di atas standarnya. Ia masih bisa merasakan tatapan Maximo yang membakar, sebuah jejak yang tak terhapuskan di benaknya, membisikkan janji sekaligus ancaman. Udara pagi terasa berat, membawa sisa-sisa kegelisahan yang mengendap dalam jiwanya.Ia beranjak dari tempat tidur, menarik napas dalam, berusaha mengusir bayangan pria itu. Rutinitas adalah jangkar, dan ia merindukan jangkar itu. Dengan naluri seorang pramugari yang terlatih, Selena segera bersiap. Ia membersihkan diri, mengeringkan tubuh, dan menatap seragam biru tua rapi yang telah ia gantung. Ia menyelesaikan persiapan dengan sepatu hak tinggi dan riasan tipis yang sempurna. Di cermin, terpantul wa

  • PRAMUGARI TAHANAN MILIARDER   Pemandangan Indah

    Pendaratan di landasan pacu Bandara Internasional Nice Côte d’Azur terasa mulus, sebuah kontras tajam dengan gejolak batin yang masih mendera Selena. Di luar jendela, malam Monaco membentang dalam balutan kemewahan yang sunyi, dihiasi lampu-lampu landasan yang membelah kegelapan. Kilauan berpendar itu tampak dingin dan teratur, seolah kota itu sendiri sedang berbisik dalam ketenangan yang mencekam. Turbulensi hebat beberapa menit lalu, diikuti oleh ancaman Maximo yang menggantung, masih terasa seperti pukulan di ulu hati Selena.Selena mengusap keringat dingin dari pelipisnya, merasakan ketegangan yang belum sepenuhnya lepas, meskipun pesawat telah mendarat dengan aman.Saat pintu kabin terbuka, udara dingin berbau metalik khas bandara langsung menyusup masuk, membawa serta nuansa formalitas dan ketidakpastian.Kru darat dengan seragam rapi dan wajah datar telah menunggu di jembatan penghubung. Di antara mereka, Ferdi, supervisor yang baru saja ia suap, tampak sedang berbicara serius

  • PRAMUGARI TAHANAN MILIARDER   Pion Emas di Balik Seragam

    Seluruh pramugara di kabin mengetahui, Selena Puspa adalah pusat perhatian.Setiap kali ia melangkah, hak tinggi Louboutin dengan alas merahnya mengetuk lantai pesawat dengan irama yang menggoda. Seragam biru tua yang ketat seolah-olah dirancang khusus untuk tubuhnya—membentuk pinggang ramping, menonjolkan dada padat yang tertahan kemeja, serta memperlihatkan belahan yang cukup untuk menarik perhatian.Kulit kuning langsatnya memantulkan cahaya lampu kabin yang redup elegan, memberi kesan hangat sekaligus mewah. Wajah oval dengan hidung mancung nan halus, bibir penuh, dan sepasang mata cokelat bening membuatnya tampak polos. Selena menghadirkan paradoks: malaikat dalam seragam biru, dengan aura yang menggoda siapa pun untuk berdosa.Lampu kabin premium menyorot tepat ke tubuhnya, menyoroti panggul berisi yang tersembunyi di balik rok mini seragam. Pramugara lain berpura-pura sibuk, tetapi tatapan mereka tidak dapat lepas dari siluet seksi pramugari dalam masa percobaan yang sedang ber

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status