LOGINTubuh Selena masih bergetar ketika pintu besi berat di belakangnya berderit terbuka lagi. Dua penjaga menyeretnya keluar dari ruang pertunjukan, meninggalkan Maximo yang masih duduk dengan angkuhnya di kursi kulit hitam. Senyum tipis sang penguasa seakan terus menempel di dinding batinnya, begitu pula suara erangan dan deru napasnya yang masih bergaung di telinga Selena.
Lorong gelap membawa Selena ke sebuah ruang yang lebih hangat. Di sana sudah menunggu seorang pelayan wanita berwajah pucat, rambutnya disanggul rapi, gaunnya sederhana tapi tetap elegan. Tanpa banyak bicara, ia memberi isyarat pada penjaga agar melepas ikatan kulit di tangan Selena. Begitu bebas, pergelangan tangannya tampak memerah, terluka oleh gesekan tali. Pelayan itu menunduk sejenak, lalu memegang lembut tangan Selena, seolah minta maaf atas perlakuan kasar tuannya. “Silakan, nona. Tuan ingin Anda dibersihkan.” Suaranya nyaris berbisik. Selena tak menjawab. Matanya menatap lurus, masih dipenuhi bayangan Maximo. Namun tubuhnya digiring dengan lembut menuju sebuah ruangan mandi yang tersembunyi di sisi galeri. Ruangan itu tampak kontras dengan kengerian sebelumnya. Dinding marmer putih berkilau diterangi cahaya lilin, aroma mawar dan vanila memenuhi udara. Di tengahnya ada bathtub porselen besar berbentuk oval, air hangat di dalamnya berkilau, dihiasi kelopak-kelopak mawar merah muda yang terapung di permukaan. Suasana itu begitu indah, tapi bagi Selena terasa seperti bagian lain dari penjara. Pelayan wanita perlahan membuka tali gaun yang masih melekat di tubuh Selena. Kain yang penuh debu dan keringat terlepas jatuh ke lantai, menyisakan kulitnya yang dingin dan penuh bekas luka merah di pergelangan tangan. Selena ingin menolak, ingin berteriak, tapi tubuhnya terlalu lelah untuk melawan. Ia dibimbing masuk ke dalam bathtub. Begitu tubuhnya tenggelam dalam air hangat, rasa perih di kulitnya sedikit mereda. Uap mawar membelai wajahnya, menenangkan sekaligus membuatnya merasa asing dengan kenyamanan yang dipaksakan ini. Pelayan itu mengambil spons halus, mencelupkannya, lalu mulai mengusap lembut bahu Selena. Gerakannya hati-hati, hampir seperti ritual penyucian. Setiap sentuhan terasa kontras dengan kasar tangan para penjaga tadi. Rambut Selena dilepaskan, disisir perlahan dengan sisir gading, tetesan air mengalir di sepanjang helaiannya. “Tubuh seindah ini harus dirawat,” bisik pelayan itu lirih, seolah hanya bicara pada dirinya sendiri. Selena menutup mata. Ia tidak ingin mendengar, tapi kata-kata itu menancap di benaknya. Ia dibiarkan berendam cukup lama, hingga tubuhnya terasa ringan. Setelah itu, pelayan membalutnya dengan handuk lembut, mengeringkan setiap inci tubuhnya dengan kesabaran seorang ibu. Tidak ada nafsu, hanya kewajiban—tapi bagi Selena, kewajiban itu tetap terasa seperti perintah Maximo yang menyusup sampai ke inti dirinya. Lalu pelayan mengambil sepotong pakaian baru dari baki hitam. Gaun mini, tipis, dengan potongan rendah di dada dan belahan tinggi di paha. Kainnya berkilau seperti sutra, tapi Selena tahu fungsi pakaian itu bukan untuk kenyamanan, melainkan untuk pameran. “Kenakan ini,” ucap si pelayan, menunduk. Selena menggeleng, tapi tangan halus pelayan tetap menuntunnya. Dengan perlahan, gaun itu meluncur melewati bahunya, membungkus tubuhnya yang masih lembab. Terlalu pendek, terlalu ketat, membuat Selena merasa telanjang meski sudah berpakaian. Saat itulah Jonathan muncul di ambang pintu, hanya sebentar. Matanya menyapu tubuh Selena dengan tatapan puas, lalu ia mengangguk pada pelayan. “Bawa dia ke kamar barunya. Tuan ingin dia istirahat.” Pelayan menuntun Selena keluar, melewati lorong lain hingga sampai di sebuah ruangan yang berbeda dari galeri utama. Ruangan itu disebut “kamar kaca”. Hampir seluruh dindingnya dari kaca bening setinggi langit-langit. Jika tirai merah beludru disingkap, dunia luar bisa melihat jelas ke dalam. Namun malam itu, Selena sendiri yang menutup tirai-tirai berat itu rapat-rapat, seakan ingin menghapus pandangan dunia. Di tengah ruangan ada ranjang lebar berlapis seprai satin putih, meja kecil dengan cermin bundar, serta lampu gantung yang menggantung anggun. Semua tampak megah, tapi dingin. Seperti sangkar emas, berkilau namun menyesakkan. Pelayan membungkuk, memintanya beristirahat. Selena mengangguk, lalu sendirianlah ia di kamar kaca itu. --- Malam terasa panjang. Ia berbaring, tapi matanya tak juga mau terpejam. Setiap kali memejamkan mata, yang muncul hanyalah wajah Maximo—matanya yang tajam, tubuhnya yang kokoh, terutama suara erangan yang barusan memenuhi ruangan. Nafasnya… berat, penuh tenaga, namun indah. “Kenapa aku harus mengingat itu…” bisiknya pada dirinya sendiri. Tapi semakin ia menolak, semakin jelas bayangan itu. Bayangan tubuh Maximo yang menegang, wajahnya yang berkeringat, suara beratnya yang memanggil entah siapa. Semua itu berputar, berulang, membuat Selena gelisah. Ia menarik selimut, menutup wajahnya. Namun kehangatan dalam tubuhnya makin menjadi. Dadanya naik turun lebih cepat, dan ia bisa merasakan suatu rasa panas merambat dari dalam, memenuhi perut bawahnya, memaksa keluar jadi desahan kecil. Tangannya tanpa sadar bergerak. Awalnya hanya menekan dada, seakan mencari kenyamanan. Lalu merayap perlahan turun ke perutnya, berdiam di sana. Ia ragu, menggigit bibir, tapi rasa resah tak hilang. Dengan tarikan napas panjang, jarinya mulai menyusuri lekuknya sendiri. --- Sentuhan itu ringan, hampir seperti belaian udara. Namun tubuhnya bereaksi seolah tersambar kilat. Ia meringis pelan, antara malu pada dirinya sendiri dan tak sanggup menolak. Jarinya bermain di permukaan, menelusuri garis lembut, menekan sebentar lalu melepas, seperti orang yang mengetuk pintu rahasia. Napasnya mulai berat, pundaknya naik turun, dan ia menggeliat di atas ranjang satin itu. Dalam imajinasinya, ia melihat Maximo. Wajahnya dekat, nafasnya panas, seakan menempel di telinganya. Erangan itu terulang lagi, memenuhi telinga Selena. Dan di saat itu, jarinya perlahan menyingkap “kelopak bunganya” sendiri, menyentuh inti yang berdenyut. Desah tertahan lolos dari bibirnya. Ia menutup mata rapat, menahan diri, tapi jari itu semakin berani. Berputar lembut, menekan dengan ritme yang semakin jelas. Tubuhnya merespons: pinggulnya terangkat sedikit, dadanya menegang, dan napasnya kini menjadi rangkaian tarikan panjang dan terputus. --- Tak puas di permukaan, ia mendorong sedikit lebih dalam. Perlahan, hati-hati, seakan takut melukai diri sendiri. Namun ketika ujung jarinya masuk menembus kehangatan itu, Selena terengah, tubuhnya melengkung bagai busur yang ditarik. “Ahh…” sebuah erangan kecil lolos, meski ia buru-buru menutup mulut dengan punggung tangan. Jarinya bergerak keluar masuk, pelan, seperti seorang musisi memainkan nada pertama sebuah lagu. Makin lama makin berani, ritmenya bertambah cepat. Tubuhnya berkeringat, rambutnya menempel di pelipis, dan matanya berair bukan karena sedih, melainkan karena intensitas yang tak tertahan. Ia menggeliat, menggigit bibir, sementara bayangan Maximo berdiri di hadapannya. Maximo dengan dada bidang, suara berat, tatapan liar. Semuanya seolah nyata di kamar kaca itu. “Maximo…” ia berbisik lirih, memanggil nama yang justru ingin ia lupakan. --- Ranjang satin berderit pelan ketika tubuhnya bergerak. Jarinya semakin dalam, semakin cepat, tubuhnya mengejang. Napasnya terputus-putus, erangannya kini tak bisa dibungkam lagi. “Haah… ahh…” suara itu memenuhi kamar kaca. Hingga akhirnya, badai itu datang. Tubuhnya menegang, lalu bergetar hebat, matanya terpejam rapat, bibirnya terbuka melepas teriakan tanpa suara. Semuanya meledak seperti ombak pecah menghantam karang. Panas, kuat, dan menguras habis tenaga. Selena terkulai di ranjang, jari-jarinya masih gemetar, tubuhnya masih diliputi getaran kecil. Air mata jatuh di sudut matanya—air mata yang bercampur rasa lega, tapi juga rasa bersalah. Ia menarik selimut, menutup tubuhnya rapat-rapat, mencoba menenangkan napas. Namun wajah Maximo masih jelas dalam pikirannya. Ia membenci itu, tapi juga tak bisa memungkirinya. --- Malam semakin dalam. Selena akhirnya tertidur dalam kelelahan, dengan selimut kusut menutupi tubuhnya. Di luar kamar kaca, tirai merah masih menutup rapat. Namun siapa yang bisa menjamin, bahwa tak ada mata lain yang mengintip dari celah-celah itu?Tubuh Selena masih bergetar ketika pintu besi berat di belakangnya berderit terbuka lagi. Dua penjaga menyeretnya keluar dari ruang pertunjukan, meninggalkan Maximo yang masih duduk dengan angkuhnya di kursi kulit hitam. Senyum tipis sang penguasa seakan terus menempel di dinding batinnya, begitu pula suara erangan dan deru napasnya yang masih bergaung di telinga Selena. Lorong gelap membawa Selena ke sebuah ruang yang lebih hangat. Di sana sudah menunggu seorang pelayan wanita berwajah pucat, rambutnya disanggul rapi, gaunnya sederhana tapi tetap elegan. Tanpa banyak bicara, ia memberi isyarat pada penjaga agar melepas ikatan kulit di tangan Selena. Begitu bebas, pergelangan tangannya tampak memerah, terluka oleh gesekan tali. Pelayan itu menunduk sejenak, lalu memegang lembut tangan Selena, seolah minta maaf atas perlakuan kasar tuannya. “Silakan, nona. Tuan ingin Anda dibersihkan.” Suaranya nyaris berbisik. Selena tak menjawab. Matanya menatap lurus, masih dipenuhi bayangan Maxi
Kamar itu tersembunyi di balik galeri, seolah sengaja diciptakan sebagai rahasia paling kelam dari seorang penguasa. Pintu besi berat menutup rapat, dan begitu gembok terkunci, dunia di luar lenyap. Yang tersisa hanya dinding-dinding kaca gelap berlapis, langit-langit rendah dengan lampu redup keemasan, dan aroma campuran antara cologne Maximo, anggur merah, serta wangi bunga melati yang dipaksakan masuk lewat ventilasi.Di tengah ruangan berdiri sebuah kursi kulit hitam, tinggi, dengan sandaran megah yang lebih menyerupai singgasana. Di situlah Maximo duduk, santai tapi penuh kuasa. Tubuhnya menjulang, dasinya kini terlepas, dua kancing kemeja bagian atas terbuka, memperlihatkan dada bidang yang bergerak naik turun dengan napas berat.Di sudut lain, Selena terikat di kursi logam. Tali kulit hitam membelit pergelangan tangannya, menahan keras meski kulitnya sudah memerah. Ia dipaksa menjadi penonton. Matanya liar, ingin berpaling, tapi setiap kali ia coba, cahaya lampu otomatis mengik
Di hadapannya, sebuah galeri bawah tanah terbentang luas, begitu megah namun juga sangat dingin. Dinding-dindingnya terbuat dari kaca tebal yang tembus pandang, memisahkan Selena dari pemandangan yang tak pernah ia bayangkan. Di balik panel-panel kaca transparan itu, berjejer empat belas wanita. Bukan patung manekin, bukan lukisan, melainkan manusia hidup. Masing-masing memancarkan keindahan dan ciri khas yang mencolok, seperti permata yang telah dipoles sempurna. Mereka tidak tampak terkurung dalam arti konvensional—tidak ada jeruji besi, tidak ada ekspresi ketakutan. Justru sebaliknya, mereka seperti pameran hidup yang berpose dengan bangga, rambut tergerai indah, riasan wajah sempurna, dan gaun-gaun elegan yang membalut tubuh. Mereka berlomba-lomba menonjolkan diri, mencari perhatian, seolah-olah hidup mereka bergantung pada tatapan mata yang memilih.Seorang wanita dengan rambut pirang keemasan tersenyum manis, memiringkan kepala dengan gestur menggoda, jemarinya memilin sehelai s
Pagi di Monaco tidak serta-merta membawa kedamaian. Selena terbangun dengan rambut acak-acakan, masih mengenakan piyama pendek tipis yang menutupi tubuhnya setelah tidur tanpa balutan bra.Kesadarannya perlahan pulih di atas seprai sutra yang terasa asing, di kamar hotel yang lebih sederhana dari kemewahan semalam, namun tetap jauh di atas standarnya. Ia masih bisa merasakan tatapan Maximo yang membakar, sebuah jejak yang tak terhapuskan di benaknya, membisikkan janji sekaligus ancaman. Udara pagi terasa berat, membawa sisa-sisa kegelisahan yang mengendap dalam jiwanya.Ia beranjak dari tempat tidur, menarik napas dalam, berusaha mengusir bayangan pria itu. Rutinitas adalah jangkar, dan ia merindukan jangkar itu. Dengan naluri seorang pramugari yang terlatih, Selena segera bersiap. Ia membersihkan diri, mengeringkan tubuh, dan menatap seragam biru tua rapi yang telah ia gantung. Ia menyelesaikan persiapan dengan sepatu hak tinggi dan riasan tipis yang sempurna. Di cermin, terpantul wa
Pendaratan di landasan pacu Bandara Internasional Nice Côte d’Azur terasa mulus, sebuah kontras tajam dengan gejolak batin yang masih mendera Selena. Di luar jendela, malam Monaco membentang dalam balutan kemewahan yang sunyi, dihiasi lampu-lampu landasan yang membelah kegelapan. Kilauan berpendar itu tampak dingin dan teratur, seolah kota itu sendiri sedang berbisik dalam ketenangan yang mencekam. Turbulensi hebat beberapa menit lalu, diikuti oleh ancaman Maximo yang menggantung, masih terasa seperti pukulan di ulu hati Selena.Selena mengusap keringat dingin dari pelipisnya, merasakan ketegangan yang belum sepenuhnya lepas, meskipun pesawat telah mendarat dengan aman.Saat pintu kabin terbuka, udara dingin berbau metalik khas bandara langsung menyusup masuk, membawa serta nuansa formalitas dan ketidakpastian.Kru darat dengan seragam rapi dan wajah datar telah menunggu di jembatan penghubung. Di antara mereka, Ferdi, supervisor yang baru saja ia suap, tampak sedang berbicara serius
Seluruh pramugara di kabin mengetahui, Selena Puspa adalah pusat perhatian.Setiap kali ia melangkah, hak tinggi Louboutin dengan alas merahnya mengetuk lantai pesawat dengan irama yang menggoda. Seragam biru tua yang ketat seolah-olah dirancang khusus untuk tubuhnya—membentuk pinggang ramping, menonjolkan dada padat yang tertahan kemeja, serta memperlihatkan belahan yang cukup untuk menarik perhatian.Kulit kuning langsatnya memantulkan cahaya lampu kabin yang redup elegan, memberi kesan hangat sekaligus mewah. Wajah oval dengan hidung mancung nan halus, bibir penuh, dan sepasang mata cokelat bening membuatnya tampak polos. Selena menghadirkan paradoks: malaikat dalam seragam biru, dengan aura yang menggoda siapa pun untuk berdosa.Lampu kabin premium menyorot tepat ke tubuhnya, menyoroti panggul berisi yang tersembunyi di balik rok mini seragam. Pramugara lain berpura-pura sibuk, tetapi tatapan mereka tidak dapat lepas dari siluet seksi pramugari dalam masa percobaan yang sedang ber







