Pendaratan di landasan pacu Bandara Internasional Nice Côte d’Azur terasa mulus, sebuah kontras tajam dengan gejolak batin yang masih mendera Selena. Di luar jendela, malam Monaco membentang dalam balutan kemewahan yang sunyi, dihiasi lampu-lampu landasan yang membelah kegelapan. Kilauan berpendar itu tampak dingin dan teratur, seolah kota itu sendiri sedang berbisik dalam ketenangan yang mencekam. Turbulensi hebat beberapa menit lalu, diikuti oleh ancaman Maximo yang menggantung, masih terasa seperti pukulan di ulu hati Selena.
Selena mengusap keringat dingin dari pelipisnya, merasakan ketegangan yang belum sepenuhnya lepas, meskipun pesawat telah mendarat dengan aman. Saat pintu kabin terbuka, udara dingin berbau metalik khas bandara langsung menyusup masuk, membawa serta nuansa formalitas dan ketidakpastian. Kru darat dengan seragam rapi dan wajah datar telah menunggu di jembatan penghubung. Di antara mereka, Ferdi, supervisor yang baru saja ia suap, tampak sedang berbicara serius dengan salah satu staf. Sesekali, Ferdi melirik ke arah Selena, dengan sorot aneh di matanya—campuran kecemasan, rasa bersalah, dan kegembiraan yang tersembunyi, seolah ia menyimpan rahasia besar. Ferdi melangkah mendekat ke arah Selena, bibirnya menyunggingkan senyum kaku yang tidak sampai ke matanya. "Selena, ikut saya sebentar," bisiknya, suaranya lebih rendah dari biasanya, hampir tak terdengar. "Ada pertemuan mendadak dengan pihak manajemen. Mereka… tertarik dengan laporan kinerja Anda." Alasan itu terdengar terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, langsung memicu kewaspadaan dalam diri Selena. Maximo. Firasatnya mengatakan, ini pasti ada hubungannya dengan pria itu. Namun, ia tidak memiliki pilihan lain. Menolak perintah atasan sama saja dengan bunuh diri karier yang telah ia bangun dengan susah payah. Ia menganggukkan kepala, berusaha menyembunyikan kegugupan yang menusuk hingga ke tulang. "Baik, Pak Ferdi." Ferdi membimbingnya keluar dari pesawat, menelusuri lorong-lorong sepi bandara yang diselimuti kemewahan minimalis. Aroma parfum mahal bercampur dengan udara AC yang dingin menusuk hidung, menciptakan suasana steril namun glamor. Mereka akhirnya berhenti di depan sebuah pintu ganda berwarna gelap, terbuat dari kayu solid dengan ukiran naga yang samar. Pintu itu tampak tidak biasa, seolah memisahkan dunia luar dari sebuah ruang rahasia. "Hanya satu orang. Pastikan Anda bersikap baik. Masa depan Anda… ada di tangannya." Ada penekanan aneh pada kata ‘tangannya’ yang membuat bulu kuduk Selena meremang, menciptakan firasat buruk yang semakin kuat. Ferdi mengetuk pintu dua kali, lalu mendorongnya terbuka perlahan. Selena melangkah masuk, dan pintu di belakangnya tertutup secara perlahan, meninggalkan Ferdi di luar. Ruangan itu diselimuti kegelapan yang disengaja, hanya diterangi oleh beberapa lampu sorot kecil yang menciptakan atmosfer intim sekaligus misterius. Cahaya redup menyoroti perabotan mewah berlapis kulit dan kayu eboni yang mahal. Di tengah ruangan, Maximo telah menunggu. Ia duduk di kursi berlengan besar, siluetnya yang tinggi dan tegap terlihat jelas di antara bayangan. Matanya yang tajam seperti elang langsung mengunci pada Selena, membuatnya merasa seolah menjadi mangsa yang tak berdaya di hadapan predator. Udara di ruangan itu terasa berat, dipenuhi aura dominasi yang Maximo pancarkan, menguasai setiap sudut. Selena menelan ludah, jantungnya berpacu seperti genderang perang yang menggema di dadanya. Pria itu tampak lebih berbahaya di luar pesawat, di lingkungannya sendiri yang telah ia ciptakan. "Selamat malam, Tuan Maximo," ucap Selena, berusaha menjaga suaranya tetap stabil dan tidak menunjukkan kegugupan yang melandanya. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan lagi. Apa sebenarnya yang diinginkan pria kuat dan misterius ini darinya? Maximo tidak menjawab. Ia hanya menunjuk meja kopi di depannya, di mana sebuah pion emas dari papan catur yang sama tergeletak—pion yang telah menyebabkan keributan beberapa jam lalu. Matanya menuntut, mengisyaratkan sesuatu yang tak terucap, namun penuh makna tersembunyi. "Kamu tahu apa yang kumau, kan?" suaranya rendah, serak, namun penuh perintah dan otoritas yang tak terbantahkan. "Aku enggak suka pionku ternoda. Dan aku sangat enggak suka penolakan." Selena merasakan gelombang panas menjalari tubuhnya. Pipi dan telinganya memerah karena rasa malu dan pengertian yang menyakitkan. Ia tahu apa yang Maximo maksud. Peristiwa di pesawat, saat pion itu jatuh di belahan dadanya dan Maximo memintanya membuka seragam. Ancaman yang kala itu ia abaikan, kini kembali menghantuinya. Kini, ia terjebak, tanpa jalan keluar. "Tuan, saya… saya tidak bermaksud—" Selena mencoba membela diri, namun kata-katanya terputus. "Diam." Kata itu terlontar seperti peluru, tajam dan dingin, membuat Selena terdiam seketika. "Aku memintamu untuk mengulang adegan itu. Letakkan pion ini di tempatnya semula. Dan kemudian, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan." Mata Maximo menyala, menyorot langsung ke belahan dadanya, seolah ia bisa melihat pion yang tersembunyi di sana tanpa benar-benar ada. Ini bukan sekadar tentang pion; ini tentang kekuasaan, tentang pembuktian bahwa ia bisa membuat Selena tunduk pada kehendaknya. Tangan Selena gemetar saat ia meraih pion emas di meja. Logam itu terasa dingin dan berat di telapak tangannya, seolah membebani seluruh raganya. Dengan napas tertahan, ia melangkah maju, mendekati Maximo yang kini berdiri, menjulang tinggi di hadapannya. Tingginya, auranya, semuanya mengintimidasi, membuatnya merasa semakin kecil dan tak berdaya. Ia bisa mencium aroma maskulin Maximo, perpaduan kayu cendana yang mahal dan sedikit asap tembakau, yang membuat kepalanya pusing karena intensitasnya. Selena bersimpuh di hadapan Maximo. Ia memejamkan mata sejenak, mengumpulkan keberanian yang tersisa dari lubuk hatinya. Ini adalah nasibnya, kariernya, masa depan keluarganya yang dipertaruhkan dalam momen genting ini. Dengan gerakan pelan, ia mengangkat pion emas itu, tangannya bergetar hebat tak terkendali. Ia meletakkannya di antara belahan dadanya, di tempat yang sama persis seperti kejadian di pesawat. Sensasi dingin logam itu menempel di kulit hangatnya, menciptakan kontras yang menyiksa, baik secara fisik maupun emosional. Maximo tidak bergeming. Tatapannya terpaku pada pion itu, lalu perlahan naik, mengunci mata Selena yang dipenuhi keputusasaan. Sebuah seringai tipis muncul di sudut bibirnya, ekspresi kepuasan yang dingin dan mengerikan. "Sekarang, buka seragammu," perintahnya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya, namun mengandung ancaman yang tak terbantahkan, lebih mengintimidasi dari nada keras sekalipun. Selena menahan isak tangis yang memberontak di tenggorokannya. Semua harga dirinya menjerit, memberontak. Namun, wajah Maximo tak menunjukkan belas kasihan sedikit pun. Dengan jemari gemetar, Selena mulai membuka kancing-kancing seragam biru tuanya. Satu demi satu kancing .... Kemeja itu terbuka. Memperlihatkan kulit mulus Selena, lalu tulang selangka yang halus. Dari jarak satu setengah meter Maximo bisa mencium wangi Selena, seakan tak sabar ingin menghirup leher hangat itu. Dan akhirnya, bra hitam yang membungkus indah benda padat besar milik Selena menampakkan diri. Sesungguhnya, tidak mungkin lagi menyembunyikan ukuran 42D yang biasa Ia sembunyikan. Pion emas itu tampak lebih jelas, bercahaya di antara bra hitam, kulit bening, dan bersarang di celah dadanya yang padat. Seolah menjadi lambang dari kekalahan dan penghinaan bagi Selena. Ia tidak menatap Maximo. Pandangannya kosong, tertancap pada pion itu, seolah benda mati itu adalah penanda kekalahannya yang memilukan. Maximo tak berkedip melihat keindahan yang terpampang nyata di hadapannya. Ia tidak menyentuh, namun membayangkan bahwa sesuatu itu sebentar lagi akan menjadi miliknya. Maximo hanya menatap, matanya menyala dengan gairah yang tersembunyi, namun juga kepuasan yang lebih dalam—kepuasan karena telah memaksanya tunduk sepenuhnya. Selena merasa telanjang, bukan hanya secara fisik, tetapi jiwanya juga terlucuti, tanpa perisai. Ia berdiri membeku di bawah tatapan tajam Maximo, merasakan setiap inci tubuhnya diperiksa, setiap sentimeter kulitnya ditelanjangi oleh pandangan pria itu. Beberapa detik terasa seperti keabadian, membekas dalam ingatannya. Lalu, Maximo mengangguk. Gerakan kecil, nyaris tak terlihat, namun itu adalah tanda bahwa ia telah selesai dengan "permainan" kejamnya. Ia berbalik, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dan berjalan menuju pintu di ujung ruangan. Pintu itu terbuka, lalu menutup lagi di belakangnya, meninggalkan Selena sendirian dalam keheningan yang memekakkan. Maximo hanya menyisakan aroma parfum maskulinnya yang masih tertinggal di udara, menjadi pengingat pahit akan apa yang baru saja terjadi. Selena merosot, lututnya lemas tak sanggup menopang tubuhnya. Ia buru-buru mengancingkan kembali seragamnya, berusaha menutupi jejak-jejak rasa malu yang terukir di tubuhnya. Air mata menetes tanpa suara di pipinya, mencerminkan kehancuran batinnya. Ia merasa jijik pada dirinya sendiri, pada situasi yang memuakkan ini, dan terutama pada Maximo yang kejam. Namun di sisi lain, ia selamat. Setidaknya, ia tidak dihancurkan sepenuhnya. Pintu yang sama terbuka lagi. Kali ini, bukan Maximo yang muncul, melainkan seorang pria tinggi dengan postur sempurna dan wajah datar tanpa ekspresi. Jonathan. Tangan kanan Maximo. Ia masuk tanpa suara, matanya yang kelabu menyorot tajam ke arah Selena, lalu ke arah pintu yang baru saja ditutup Maximo, seolah memindai situasi. Di luar ruangan, Ferdi berdiri gelisah, menunggu dengan cemas. Jonathan tidak masuk sepenuhnya. Ia hanya berdiri di ambang pintu, suaranya rendah dan dingin, nyaris tak terdengar, namun penuh otoritas. "Siapkan ‘promosi’ resmi untuk Nona Selena Puspa," perintah Jonathan kepada Ferdi, tanpa sedikit pun emosi. "Layanan VIP, gaji dua puluh kali lipat dari sebelumnya, fasilitas mewah, dan akomodasi di apartemen penthouse di Monaco. Seluruh dokumen dan kontrak siapkan dalam tiga hari. Pastikan semua berjalan lancar." Ferdi, yang menguping di luar dengan napas tertahan, mengangguk cepat, wajahnya menyiratkan kegembiraan yang tersembunyi di balik formalitas yang ia pamerkan. "Ba-baik, Tuan Jonathan. Akan segera saya urus." Selena, yang masih berusaha menenangkan diri dari trauma, mendengar samar-samar percakapan itu. Promosi? Gaji dua puluh kali lipat? Fasilitas mewah? Jantungnya yang semula berdebar kencang karena rasa takut, kini melonjak gembira, seolah beban berat terangkat dari dadanya. Ia mengerjap, tidak percaya. Setelah semua yang terjadi, setelah rasa malu yang ia alami, ini adalah hadiah? Ia tidak tahu bahwa Ferdi juga mendapat bagian dari ‘promosi’ itu—sebuah cek tebal yang membuatnya rela melakukan apa saja, mengabaikan hati nuraninya. Ferdi kembali masuk ke ruangan, senyum lebar terukir jelas di wajahnya, menunjukkan kepuasan yang tidak bisa ia sembunyikan. "Selena! Selamat! Kamu baru saja dapat promosi luar biasa! Kan sudah kubilang, manajemen pasti tertarik sama kamu. Ini lebih dari yang kuduga!" Selena terpaku sesaat, kemudian rasa gembira yang membuncah mengambil alih segalanya. Rasa malu dan jijik tadi perlahan memudar, digantikan oleh kelegaan yang luar biasa. Ia menyentuh dadanya, tempat pion emas itu tadi berada, lalu menunduk, matanya berkaca-kaca. Ia berhasil. Semua pengorbanan ini, rasa sakit ini, tidak sia-sia. Ia bisa membantu keluarganya. Ia bisa keluar dari kemiskinan yang mencekik. Sebuah senyum lega terukir di bibirnya, senyum yang begitu tulus, penuh harapan. Namun, saat ia mengangkat kepala, Jonathan telah berdiri tepat di hadapannya, bukan lagi di ambang pintu. Matanya yang kelabu mengunci tatapan Selena, tanpa sedikit pun emosi. Perlahan, tangannya terangkat, bukan untuk memberikan selamat, melainkan untuk mengaitkan sebuah kalung tipis dengan liontin berbentuk pion catur emas di leher Selena. Logam dingin itu menyentuh kulitnya, mengirimkan getaran aneh yang menelusup ke ulu hati. "Selamat datang di permainan yang sebenarnya, Nona Puspa," bisik Jonathan, suaranya serendah angin gurun.Di hadapannya, sebuah galeri bawah tanah terbentang luas, begitu megah namun juga sangat dingin. Dinding-dindingnya terbuat dari kaca tebal yang tembus pandang, memisahkan Selena dari pemandangan yang tak pernah ia bayangkan. Di balik panel-panel kaca transparan itu, berjejer empat belas wanita. Bukan patung manekin, bukan lukisan, melainkan manusia hidup. Masing-masing memancarkan keindahan dan ciri khas yang mencolok, seperti permata yang telah dipoles sempurna. Mereka tidak tampak terkurung dalam arti konvensional—tidak ada jeruji besi, tidak ada ekspresi ketakutan. Justru sebaliknya, mereka seperti pameran hidup yang berpose dengan bangga, rambut tergerai indah, riasan wajah sempurna, dan gaun-gaun elegan yang membalut tubuh. Mereka berlomba-lomba menonjolkan diri, mencari perhatian, seolah-olah hidup mereka bergantung pada tatapan mata yang memilih.Seorang wanita dengan rambut pirang keemasan tersenyum manis, memiringkan kepala dengan gestur menggoda, jemarinya memilin sehelai s
Pagi di Monaco tidak serta-merta membawa kedamaian. Selena terbangun dengan rambut acak-acakan, masih mengenakan piyama pendek tipis yang menutupi tubuhnya setelah tidur tanpa balutan bra.Kesadarannya perlahan pulih di atas seprai sutra yang terasa asing, di kamar hotel yang lebih sederhana dari kemewahan semalam, namun tetap jauh di atas standarnya. Ia masih bisa merasakan tatapan Maximo yang membakar, sebuah jejak yang tak terhapuskan di benaknya, membisikkan janji sekaligus ancaman. Udara pagi terasa berat, membawa sisa-sisa kegelisahan yang mengendap dalam jiwanya.Ia beranjak dari tempat tidur, menarik napas dalam, berusaha mengusir bayangan pria itu. Rutinitas adalah jangkar, dan ia merindukan jangkar itu. Dengan naluri seorang pramugari yang terlatih, Selena segera bersiap. Ia membersihkan diri, mengeringkan tubuh, dan menatap seragam biru tua rapi yang telah ia gantung. Ia menyelesaikan persiapan dengan sepatu hak tinggi dan riasan tipis yang sempurna. Di cermin, terpantul wa
Pendaratan di landasan pacu Bandara Internasional Nice Côte d’Azur terasa mulus, sebuah kontras tajam dengan gejolak batin yang masih mendera Selena. Di luar jendela, malam Monaco membentang dalam balutan kemewahan yang sunyi, dihiasi lampu-lampu landasan yang membelah kegelapan. Kilauan berpendar itu tampak dingin dan teratur, seolah kota itu sendiri sedang berbisik dalam ketenangan yang mencekam. Turbulensi hebat beberapa menit lalu, diikuti oleh ancaman Maximo yang menggantung, masih terasa seperti pukulan di ulu hati Selena.Selena mengusap keringat dingin dari pelipisnya, merasakan ketegangan yang belum sepenuhnya lepas, meskipun pesawat telah mendarat dengan aman.Saat pintu kabin terbuka, udara dingin berbau metalik khas bandara langsung menyusup masuk, membawa serta nuansa formalitas dan ketidakpastian.Kru darat dengan seragam rapi dan wajah datar telah menunggu di jembatan penghubung. Di antara mereka, Ferdi, supervisor yang baru saja ia suap, tampak sedang berbicara serius
Seluruh pramugara di kabin mengetahui, Selena Puspa adalah pusat perhatian.Setiap kali ia melangkah, hak tinggi Louboutin dengan alas merahnya mengetuk lantai pesawat dengan irama yang menggoda. Seragam biru tua yang ketat seolah-olah dirancang khusus untuk tubuhnya—membentuk pinggang ramping, menonjolkan dada padat yang tertahan kemeja, serta memperlihatkan belahan yang cukup untuk menarik perhatian.Kulit kuning langsatnya memantulkan cahaya lampu kabin yang redup elegan, memberi kesan hangat sekaligus mewah. Wajah oval dengan hidung mancung nan halus, bibir penuh, dan sepasang mata cokelat bening membuatnya tampak polos. Selena menghadirkan paradoks: malaikat dalam seragam biru, dengan aura yang menggoda siapa pun untuk berdosa.Lampu kabin premium menyorot tepat ke tubuhnya, menyoroti panggul berisi yang tersembunyi di balik rok mini seragam. Pramugara lain berpura-pura sibuk, tetapi tatapan mereka tidak dapat lepas dari siluet seksi pramugari dalam masa percobaan yang sedang ber