Share

Dua

“Yuji Jaeger.” Dia secara otomatis mengeja nama belakangnya untuk Yuji. “Lahir tanggal 5 Juli 1960 di Kota Shibuya, Tokyo. Umurku empat puluh tujuh tahun. Aku bujangan, sudah pernah menikah, kemudian bercerai. Aku tidak mempunyai anak. Tidak punya alamat tempat tinggal. Tidak mempunyai pekerjaan. Dan tidak bermasa depan.”

Yuji menyaring seluruh informasi itu dan sementara bolpoin yang dipegangnya dengan lincah mencari ruang-ruang kosong yang wajib diisi. Semua jawaban yang diucapkan oleh Ajin menyebabkan jauh lebih baik kuriositas daripada yang bisa ditampung formulir kecil yang ada di hadapannya. “Sudah, sebentar…” Yuji menahan. “Kali ini tentang alamat,” Yuji masih sambil menulis. “Di mana tempat tinggalmu sekarang?”

“Aku tidak punya tempat tinggal. Aku hanya orang tidak berguna yang terpaksa ditampung Lembaga Permasyarakatan Kanto. Aku ditampung di rumah singgah. Di jalan nomor dua belas, beberapa blok dari sini. Dan saat ini, aku sedang dalam proses pembebasan, seperti itulah istilah mereka. Beberapa bulan aku di rumah singgah di sini, di Kanto, aku diharapkan akan menjadi manusia merdeka sekali lagi, tanpa ada syarat lain yang diinginkan sebagai syarat pembebasanku.”

Tangan Yuji menghentikan bolpoinnya, tapi sorot matanya masih menatap alat tulis itu lekat-lekat. Keinginannya untuk mencari informasi tentang laki-laki di depannya mendadak lenyap. Dia agak merasa skeptis untuk mencari tahu lebih tentang manusia di depannya. Namun, karena dirinya sendiri yang memulai interogasi itu, dia merasa kalau dia berkewajiban untuk melanjutkan. Lagi pula, apa ada sesuatu yang lain yang bisa mereka lakukan sepanjang menunggu pendeta selesai rapat?

“Kau mau teh?” tanya Yuji setelah dia memikirkan matang-matang kalau pertanyaannya itu tidak berbahaya.

Senyap sejenak, sedikit lebih lama, seolah-olah Ajin tidak sanggung mengiyakan. “Ya, boleh. Gulanya sedikit saja.”

Yuji lekas keluar ruangan untuk menuntaskan tawarannya. Ajin memperhatikannya pergi, mengamati segala-galanya tentang Yuji, fokus dengan bokong bundarnya yang indah di balik balutan celana panjang yang ketat, kedua kaki rampingnya, pundak yang nampak kokoh, bahkan ekor kudanya. Sekitar seratus lima puluh senti, mungkin enam puluh, lima puluh delapan kilo maksimal.

Yuji secara sengaja berlama-lama di luar, dan ketika dia kembali untuk memastikan Ajin Jaeger, dia masih duduk di sana seperti saat Yuji meninggalkannya tadi, masih duduk seperti jemaat yang berdoa, ujung jemari tangan kanannya perlahan mengetuk-ngetuk ujung jemari tangan kirinya, tongkat kayunya yang berwarna putih menggeletak di pangkuannya. Kepalanya dicukur plontos, terlihat kecil dan mengkilap, betul-betul bundar seperti lampu taman, dan ketika Yuji datang menyerahkan secangkir teh pada Ajin, dia memperkirakan sendiri dengan gurauan, apakah Ajin memang berkepala plontos sejak masih muda ataukah memang dia menyukai model kepala seperti itu. Terlihat sebuat tato yang menyeramkan terlukis di salah satu sisi lehernya.

Ajin menerima cangkir teh itu dengan mantap. Dan setelah mengucapkan terima kasih, dia meletakkan cangkir tehnya di meja tulis. Yuji kembali ke tempat duduknya yang semula. Mereka berada terpisah di antara meja tulis.

“Kau seorang Lutheran?” kembali Yuji memegang bolpoin dengan buku yang berisi daftar pertanyaan di depannya.

“Itu perlu kau catat?”

“Ya,” tegasnya.

“Kurasa bukan. Sebenarnya aku bukan siapa-siapa. Aku nggak pernah punya keinginan untuk pergi ke gereja sebelumnya.”

Mendengar pernyataan Ajin yang tidak pernah punya keinginan untuk pergi ke gereja, membuat Yuji merasa bingung. “Lalu kemarin dan sekarang kau kemari, mengapa?”

Ajin Jaeger mengambil cangkir teh itu dengan kedua tangan berada tepat di bawah dagu, mirp seekor tikus yang sedang menangkup sekeping biskuit. Apabila pertanyaan sederhana tentang teh tadi membutuhkan waktu sekitar lima belas detik, mungkin pertanyaan tentang kehadirannya di gereja untuk kali ini membutuhkan waktu dua jam.

Ajin mencium bau harum asap tehnya—dia berasumsi kalau bekas sentuhan Yuji masih menempal di sela-sela cangkir itu—kemudian dia meneguk sedikit dan mengecap bibirnya. “Butuh berapa lama lagi menurutmu aku harus menunggu untuk bertemu Pendeta?” tiba saatnya dia bersuara.

Melihat Ajin yang terlalu lama berpikir, membuat Yuji semakin merasa was-was. Dia menjadi ragu dan terpaksa berlipat-lipat mempertimbangkan banyak hal untuk mempersilakan Ajin bertemu dengan suaminya. Yuji melirik jam dinding, “Sebentar lagi.”

“Aku boleh duduk di sini sambil berdiam diri selagi kita menunggu Pendeta?” nadanya terdengar sangat takzim.            

Yuji memperhatikan pergelangan tangan yang kaku itu dan dengan segera mengiyakan kalau berdiam diri bukanlah sesuatu keputusan yang buruk. Lalu, kuriositasnya muncul dan mengganggunya lagi. “Baiklah. Tapi satu pertanyaan terakhir.” Yuji menatap buku yang berisi daftar pertanyaan itu, seolah-olah di situ tertera dengan jelas suatu pertanyaan yang wajib dijawab. “Berapa lama kau berada di penjara?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status