Share

PRESUMPTION OF INNOCENT
PRESUMPTION OF INNOCENT
Penulis: vincenzo

Satu

Sebuah suara dari seberang mengagetkan dirinya.

"Ivan, ini Dr. Shigeaki," ujar Kiki lewat interkom.

Ivan menimpali, "Terima kasih," dan dia berhenti sejenak untuk menenangkan pikiran. Lalu dia kembali mengangkat gagang teleponnya. Seperti budaya biasa, memulai percakapan dengan sedikit obrolan basa-basi, tapi sadar bahwa dokter itu adalah orang yang sibuk, dia bergegas pada poin masalah. "Sejujurnya begini, Dr. Shigeaki, aku membutuhkan bantuanmu, tapi bila menurutmu ini terlalu rumit dan kemungkinan tidak menarik perhatianmu untuk sedikit meluangkan waktu luangmu, bilang saja. Bahwa kami mendapat seorang tamu ketika kebaktian kemarin, seorang narapidana yang sedang dalam proses pembebasan. Dia sekarang tinggal di sebuah rumah singgah daerah Chiba, dan pikirannya benar-benar sedang rumit. Dia sempat ke sini tadi pagi, baru saja pulang sebetulnya, dan berdasarkan pengakuan dia tadi, kalau sekarang dia tengah mengidap penyakit yang cukup parah. Dia pernah diperiksa di Rumah Sakit Kanto."

"Bantuan apa yang kau butuhkan, Ivan?" tanya Dr. Shigeaki.

"Kalau kau sedang tergesa-gesa, kita bisa sambung nanti."

"Tidak, Ivan. Teruskan saja."

"Baiklah. Nah, orang ini mengatakan dirinya telah didiagnosis mengidap toksoplasmosis. Katanya sih, parah, kemudian dia mengatakan segala hal dengan keputusasaan, seolah-olah dia tidak akan terselamatkan. Aku ingin tahu bahwa kau bisa memeriksa kebenaran hal ini. Di sini aku tidak sedang meminta informasi rahasia lho, kau mengerti, kan? Aku tahu dia bukan pasienmu, juga aku tidak berniat melanggar prosedur medis untuk hal ini. Bukan itu yang aku minta. Kau mengerti, kan?"

"Dari uraian panjangmu tadi, kau terlihat seperti meragukan sesuatu. Mengapa kau seperti meragukannya? Kenapa dia mengaku menderita toksoplasmosis kalau sebenarnya tidak?" Dr. Shiegaki bernada curiga.

"Dia penjahat kambuhan, Dokter. Sepanjang hidupnya banyak dihabiskan di dalam penjara, jadi kemungkinan dia tidak yakin di mana letak kebenaran. Dan aku tidak mengatakan bahwa aku meragukannya. Kejadian dua kali di kantorku dia mengerang karena sakit kepalanya kambuh, terlihat mengenaskan. Ironis dan iba sekali aku melihatnya. Aku hanya menegasikan apa yang sudah dikatakannya padaku. Hanya itu."

Sunyi-senyap. Hanya terdengar gesekan-gesekan antara jari tangan dan kulit kepala. Seolah-olah dokter itu sedang memburu kecemasannya barangkali ada yang menguping pembicaraan mereka. "Aku belum bisa mencari tahu lebih detail, Ivan. Apa kau tahu dokter yang menanganinya?"

"Aku tidak tahu."

"Kalau begitu, siapa nama orang itu?"

"Harry Kazuya."

"Baiklah. Beri aku waktu sekitar dua jam."

"Terima kasih, Dokter." Napas Ivan kali ini terlihat begitu lega.

Ivan mematikan telepon kemudian kembali ke Kanto. Dia kembali melanjutkan ringkasan fakta itu:

Bella mulai menghilang pada Jumat malam, tertanggal 4 Desember 2002. Sebelum kejadian itu, dia bersama teman-teman perempuannya berjalan-jalan di satu-satunya mal di Kanto pada suatu malam. Setelah filmnya selesai, mereka berempat—termasuk Bella—makan piza di restoran mal tersebut. Saat memasuki restoran, para gadis itu berbincang sebentar dengan dua anak laki-laki, salah satu di antaranya adalah Hiro Akada. Setelah makan piza, mereka meluncur ke rumah salah satu gadis itu dan menonton acara televisi sampai larut malam. Sebelum meninggalkan restoran, Bella sempat permisi sebentar ke toilet. Setelah itu, ketiga temannya yang lain tidak pernah melihatnya lagi.

Sebelum meninggalkan mal, dia sempat menelepon ibunya dan berjanji seperti biasa untuk tidak pulang sebelum tengah malam, di mana itu menjadi batas pulangnya seperti biasa. Lalu dia menghilang. Berselang satu jam, teman-temannya menjadi prihatin dan mulai menghubunginya setelah sempat wara-wiri ke toilet dan menjelajahi sudut mal termasuk ke restoran piza yang sempat mereka singgahi sebelumnya. Dua jam kemudian, BMW merahnya ditemukan di tempat dia meninggalkannya di lapangan parkir mal. Mobil itu terkunci. Tidak ada perlawanan sama sekali, tidak ada jejak yang mencurigakan, suasana senyap, bersih. Keluarga dan teman-temannya panik, kemudian pencarian pun dikerahkan.

Aparat penyelidik—Polisi—secara sigap mencurigai adanya konspirasi atau semacam permainan kotor dan mengorganisir pencarian besar-besaran untuk menemukan Bella. Ribuan relawan dan berhari-hari, berminggu-minggu sesudahnya, seluruh populasi kota dan kabupaten digeledah habis-habisan. Tidak ditemukan apa pun. Nihil. Kamera-kamera yang dipasang di setiap sudut mal terlalu jauh letaknya, gambarnya tidak jelas, dan tidak bisa membantu apa-apa. Tidak seorang pun yang memberi kesaksian telah melihat Bella meninggalkan mal dan berjalan menuju mobilnya. Hajime Stefa menawarkan imbalan besar untuk informasi, dan ketika jumlah itu ternyata tidak efektif, dia menaikkan tarifnya.

Petunjuk pertama tentang kasus tersebut muncul pada tanggal 16 Desember, dua belas hari usai Bella dinyatakan hilang. Dua kakak-beradik sedang memancing di sebuah gasung di Sungai Merah, yang dikenal sebagai Hateruma, ketika salah seorang dari mereka menginjak dan menemukan kantong plastik. Ternyata di dalamnya berisi kartu keanggotaan sasana olahraga Bella. Mereka menggali lumpur dan pasir dan menemukan kartu lain—kartu pelajar Bella yang dicetak oleh SMA Kanto. Salah seorang kakak-beradik itu mengenali namanya karena berita yang gencar beredar, dia lantas segera mendatangi kantor polisi di Kanto.

Hateruma berjarak sekitar enam puluh kilometer di sebelah utara perbatasan kota.

Para penyelidik dari kepolisian, yang dipimpin oleh Detektif Yuval Bonjamin membuat keputusan untuk merahasiakan penemuan kartu keanggotaan sasana olahraga dan kartu pelajar Bella. Menurut mereka, strategi yang lebih tepat adalah dengan menemukan mayat korban terlebih dahulu. Mereka melakukan pencarian yang melelahkan, namun sia-sia. Belum ada yang ditemukan. Pihak berwenang diminta tetap bersiaga.

Sementara penyelidikan berlangsung, Detektif Bonjamin menerima sebuah petunjuk baru yang tanpa melibatkan nama Furuya Satoru. Dia tidak membuang-buang waktu. Berselang dua hari, dia bersama rekan detektifnya, Yoshio Edogawa, menghampiri Furuya saat meninggalkan sebuah klub olahraga. Beberapa jam kemudian, tiga detektif lain menghampiri pemuda bernama Tatsuya Kimura, yang merupakan teman dekat Furuya. Tatsuya pergi ke kantor polisi dengan sejumlah pertanyaan dari pihak penyelidik. Dia tidak tahu-menahu tentang kasus hilangnya Bella Stefa, dan tidak merasa prihatin sedikit pun, meski sejujurnya dia merasa gugup ketika dipaksa datang ke kantor polisi.

***

Penjaga di Gereja Bethany baru saja membersihkan salju setebal kira-kira delapan senti dari trotoar ketika pemuda berkacamata itu muncul. Matahari sudah gagah, tapi angin menderu ribut: suhu udara terjebak di titik beku. Pemuda itu hanya mengenakan celana jeans tipis, kemeja musim panas, sepasang sepatu bot usang, dan sehelai jaket yang nyaris tak mampu menahan dinginnya udara: dengan tangan terlipat di depan dada dan napas yang menggebu. Tapi, dia tak terlihat terburu-buru. Langkah kakinya teratur. Penjaga gereja bingung karena sapaannya hanya berakhir pada suaranya—tak ada balasan. Dekat kapel dan berhenti di depan pintu samping bertandakan kata “Kantor” dalam cat hijau usang. Pemuda itu tidak mengetuk dan pintu itu tidak terkunci. Dia melangkah masuk persis ketika hembusan angin kencang lain menerpanya dari belakang.

Ruangan itu adalah ruangan resepsionis yang penuh barang dan berdebu, persis seperti bayangan kita tentang kondisi sebuah gereja tua. Di tengah-tengah ruangan terdepat meja tulis dengan sekeping papan nama yang mengumumkan kehadiran Maki Mustang yang duduk tak jauh di belakang namanya. Dia menyapa sambil tersenyum, “Selamat pagi.”

“Selamat pagi,” balas pemuda itu. Lengang sejenak. “Di luar dingin sekali.”

“Benar sekali,” sahut wanita itu, sambil menilai cepat tamunya. Masalah utamanya adalah dia tidak mempunyai mantel, dan kepala serta kedua tangannya tidak berpelindung.

“Kurasa kau adalah Maki Mustang,” katanya, sambil membaca tulisan di papan nama itu.

“Bukan, Maki Mustang tidak bisa datang hari ini karena pilek. Aku Yuji Satoyama, istri pendeta, menggantikan tempatnya. Ada yang bisa kami bantu?”

Ada satu kursi kosong dan pemuda itu memandang penuh harap ke sana. “Boleh aku duduk?”

“Boleh, silakan,” sahut Yuji. Laki-laki itu duduk dengan berhati-hati, seolah-olah dengan wajah yang kelihatan tua itu dia harus melakukan segala sesuatu dengan matang-matang.

“Apakah pendeta ada di sini?” tanya laki-laki itu sambil memandang ke pintu yang tercium hawa sunyinya di pojok kiri.

“Pendeta ada di sini, tapi dia sedang ada rapat yang tidak bisa diganggu. Apakah ada sesuatu yang kamu perlukan?” Yuji seorang yang bertubuh mungil, mempunyai dada yang indah dan sehelai sweeter yang terlihat pas dengan tubuhnya.

Laki-laki itu tidak bisa melihat apapun di bawah pinggul wanita itu sebab terhalang oleh meja tulis. Dari dulu, dia menyukai perempuan-perempuan bertubuh mungil. Wajah yang manis dan menawan, sepasang bola mata berwarna cokelat, tulang pipi tinggi, seorang perempuan yang cantik dan terlihat segar; dia istri pendeta yang sempurna. Sudah sangat lama dia tidak menjumpai sensasi itu kembali.

“Aku ingin segera bertemu pendeta, Satoyama. Bisa?” katanya sembari menangkupkan tangannya seperti orang yang hendak berdoa. “Aku datang ke gereja dan mendengar khotabhnya kemarin. Sepertinya aku butuh sedikit bimbingan.”

Yuji tersenyum dan memperlihatkan giginya; sungguh indah. “Jadwal dia padat sekali hari ini.”

Laki-laki itu merespon dengan wajah memelas. “Aku sangat membutuhkannya sekarang. Agak mendesak.”

Yuji telah menikah dengan Aoki Satoyama cukup lama dan mereka tidak mempunyai rekor untuk mengusir seorang jemaat dari kantor suaminya, entah yang sudah membuat perjanjian sebelumnya maupun yang tidak. Lagi pula, hari itu adalah hari senin yang beku dan Aoki juga tidak terlalu sibuk. Dering telepon begitu sering terdengar nyaring hari itu, salah satunya adalah konsultasi seorang pemuda dan pemudi yang tidak ingin menikah sedang berlangsung saat itu, kemudian kunjungan rutin ke beberapa rumah sakit.

Kemudian Yuji mencari-cari di sekitaran meja tulis, dan dia menemukan buku yang berisi beberapa daftar pertanyaan para kliennya. “Baiklah kalau begitu, aku perlu mencatat beberapa pertanyaan dasar lebih dulu dan setelah itu kita lihat apa yang bisa dilakukan.” Yuji sudah mantap dengan bolpoin di tangan kirinya.

Laki-laki itu bereaksi dengan membungkukkan badannya ke Yuji. “Terima kasih.”

“Siapa namamu?” tanya Yuji dengan intonasi datar yang terkesan lugas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status