LOGINHai, makasih masih bertahan baca huhu, aku terharu banget. Alhamdulillah novel ini meraih Rising Star di Event series. Semua tak luput dari dukungan kalian. Pokoknya makasih banget. Roller coaster dulu ya sedikit!
Suara musik mulai terdengar di aula. Para tamu sibuk mencari pasangan untuk berdansa. Sementara itu Clarissa sibuk mencari Cedric. Sebuah pertanyaan mencuat di kepalanya, kenapa Cedric belum menyapanya?Hilir mudik para tamu undangan mendatangi ayahnya dan menyapanya. Namun … hanya Cedric yang tak menampakan batang hidungnya di hadapannya. Wajahnya yang semula ceria kini menjadi sendu. Ia berlari kecil melewati aula dan keluar istana. Berharap Cedric datang mencarinya. Nihil, ia tidak berada di sana. “Cedric, kau kemana? Apa kau marah padaku gara-gara Alexander?” gumamnya pada dirinya sendiri. Suaranya lirih, mendekati isakan tangis.Mira menyeret gaunnya cepat, menghampirinya. “Yang Mulia, ini,” katanya menaruh secarik kertas ke telapak tangan Clarissa. Clarissa menundukan matanya, membuka secarik kertas di tangannya lalu membacanya. Senyum terulas tipis di wajahnya. Gadis itu berjalan cepat tanpa semua orang sadari menuju taman belakang istana yang sepi. Seorang pria berdiri t
Dari sekian tamu yang hadir hanya ada satu sosok yang menyita perhatiannya. Sosok itu berada di dekat pilar. Saking terlalu memperhatikannya, Clarissa menatap ke arahnya tanpa berkedip. Ia merasa khawatir andaikata ia menutup mata, semua itu hanya delusi semata. Goncangan lembut pada tangannya, mengusiknya. Clarissa tersentak ketika Seraphina berusaha menggeser tempat dirinya. Ia pun melangkah mundur lalu duduk di samping sang ayah sebelah kanan. Seraphina duduk di sebelah kirinya. Tatapan Clarissa kembali tertuju pada pilar. Helaan napas berat lolos dari bibir tipisnya. Pria itu tidak ada. ‘Apa dia tidak datang?’ batin Clarissa. Padahal ia sudah meminta sang ayah untuk mengundangnya. Raja Alric sama sekali tidak keberatan. Ia langsung saja menyetujui permintaan putrinya. Sisi lain, sang ksatri Velmont Barat itu berdiri di belakang pilar, berseragam sederhana. Wajahnya dingin, matang, nyaris tak bereaksi. Tapi saat mata mereka bertemu tadi … rasanya jantungnya berpindah tempat.
Sore itu Clarissa sedang berdiri mematut di depan cermin rias raksasa. Seorang penjahit istana sedang membantunya mengenakan gaun yang baru saja selesai dijahit. Tertanya, gaun itu begitu pas di tubuhnya. Gaun Clarissa dijahit terakhir karena bahannya kurang. Adapun bahan yang digunakan berasal dari sutra terbaik dan hanya bisa didapatkan setelah memesan terlebih dahulu dari pedagang timur. Alhasil, terpaksa penjahit terlambat mengeksekusinya. Senyum tersungging di wajah gadis berambut keemasan itu. “Terima kasih gaunnya. Aku suka,” katanya dengan senyum yang berinai-rinai. Penjahit istana dan para pelayan wanita yang berada tak jauh di sisinya terheran-heran mendengar sebuah ungkapan manis dari sosok Clarissa. Mereka mulai mengingat-ingat kapan gadis itu mengucapkan terima kasih pada mereka. Rasanya, terdengar aneh. Biasanya Clarissa lebih sering mengomel, mengeluh dan memprotes ketimbang berterima kasih. Apa jangan-jangan gadis itu mendekati waktu kematiannya? Dia melakukan sua
“Inez,” panggil Evander lembut. Sejak kemarin, Inez berusaha menghindarinya. Semenjak pertengkaran dengan Clara. Evander terus mengikuti langkah kaki Inez ketika keluar dari ruang jahit istana. Sebagai bentuk penghormatan kepada Ravensel, Evander dan Inez bahkan dibuatkan pakaian khusus untuk acara pesta rasa syukur atas kesembuhan Raja Alric. Semua dirancang oleh Seraphina. Inez sempat menoleh sesaat tetapi dengan langkah tergesa ia berjalan cepat meninggalkan Evander. Pokoknya, ia malas berbincang dengannya. Tidak, Evander tidak akan menyerah. Ia merasa teramat bersalah karena telah salah bicara hingga membuat Inez tersinggung. Sungguh, ia menyesali perbuatannya. “Pengawal Inez! Tunggu! Pangeran Ravensel memerintahmu,” kata Evander dengan suara yang lantang hingga membuat para pengawal menoleh ke arahnya. Terpaksa, Inez berhenti mendengar panggilan pangeran. Evander banyak akal. “Baik, Yang Mulia Evander ada perlu apa Anda memanggil hamba?” katanya dengan nada formal dan sediki
“Ambil? Tidak? Ambil? tidak?”Clarissa diam, tapi kepalanya bising. Perhiasan mahal, gaun mewah dan pesta adalah hal yang paling ia sukai.Alexander menghadiahkan kalung untuknya–kalung yang sangat bernilai tinggi. Phoenix chain tidak sekedar kalung akan tetapi simbol cinta. Konon, pria yang bisa mendapatkan kalung itu lalu memberikannya pada wanita, pasti wanita itu adalah wanita yang disukainya. Wanita yang akan dia lindungi hidup dan matinya. “Phoenix chain. Cinta sejati kadang harus hancur lebih dulu agar lahir kembali dengan jujur,” imbuh Alexander dengan suara yang rendah sarat makna. Clarissa sempat berpikir goyah. Apakah Cedric akan seserius Alexander? Alexander terlihat berusaha mendapatkannya kendati ia berusaha menolaknya. Namun Cedric … ia seolah berat memperjuangkan cinta mereka. Bahkan, ia tidak pernah memberinya perhiasan—yang menurut sebagian besar wanita adalah simbol kasih untuk wanita yang dicintainya.“Putri Clarissa,” panggil Alexander lembut. Ia sedikit gelisa
“Ough, sakit?” Clara memprotes tatkala tangan Inez memuntir kulit perutnya. Matanya menajam ke arahnya. "Gilak kamu ya,”“Gila? Kau yang tidak waras. Bisakah kau naksir pria yang single? Duke Alexander itu calon suami Putri Clarissa. Kau mau mencurinya juga?” omel Inez dengan suara yang keras. Mereka hanya tinggal berdua di taman Seraphina. Acara jamuan sudah selesai sepuluh menit yang lalu. Clara menghela napas panjang. Ia mundur selangkah, menjauh dari gadis tantrum di depannya. “Siapa yang mencuri siapa. Jangan bicara sembarangan! Sampai kapanpun, Leonhart tetap satu-satunya pria yang aku simpan dalam hatiku. Paham?” ucapnya dengan wajah tanpa dosa. Inez menggelengkan kepalanya ribut. Gadis ini … benar-benar tidak merasa kapok. “Hati-hati kalau bicara! Jangan pernah katakan hal itu lagi tentang Pangeran Leonhart.” Suara Inez naik satu oktaf. “Atau–”“Atau apa?” Clara tak mau kalah. Ke dua tangan terlipat di dada. Ia memicingkan matanya, setengah mencemooh Inez.Tanpa tedeng alin







