Share

6. Ruang Bersalin

Tuhan agaknya tak ingin berlama-lama membiarkan sepasang manusia itu hidup berdua saja. Dua bulan setelah keduanya menandatangani buku nikah, Ria berulang-kali menghitung periode haidnya. HIngga dia benar-benar yakin bahwa bulan itu jadwalnya terlewat. Langkah selanjutnya dia membeli alat tes kehamilan, dan benar saja dua garis merah menjadi jawabannya. Arya menjadi orag pertama yang girangnya bukan main. Disusul oleh bapak-ibu juga om dan tante.

"Ini sudah ada kantung hamilnya, ya, Mbak, Mas," kata dokter sambil menunjukkan layar hasil USG. Keduanya mengangguk bahagia. Bulan berganti bulan, mereka rutin berkunjung untuk kontrol kandungan. Vitamin dan susu menjadi asupan wajib, meskipun lebih sering isi perutnya keluar kembali. RIa yang rewel dengan bau-bauan, juga Arya yang pontang-panting demi memenuhi pinta kekasihnya yang tengah berbadan dua itu. Sembilan bulan berlalu dengan melelahkan namun juga bahagia dalam kemanjaan.

Ranjang-ranjang beroda berderet berbataskan gorden-gorden panjang yang terjulur nyaris menyentuh lantai. Semua penuh ditempati oleh wanita yang berbaring dalam kepayahan ditemani suami, ada juga yang didampingi sang ibu. Rintihan pilu terdengar. Para petugas berseragam putih bekerja cekatan sambil sabar membimbing pasien di depannya.

Ria menuju ranjang paling ujung dekat jendela. Arya menenteng tas besar yang penuh sesak, mengikuti di belakang. Seorang suster memberi instruksi dan menyuruh menunggu, lalu pergi. Orang di sebelah sedang menghadapi situasi genting. Ia menangis terus-terusan, dan sesekali membentak orang yang menemaninya..

Suster tadi datang kembali, menyuruh Ria tiduran beralas dan berselimut kain yang dia bawa. “Maaf, Ibu, saya cek bukaan lagi, ya,” katanya sambil memasukkan jemarin ke dalam sarung tangan karet.

Merinding Ria mendengarnya. Ini kali ke tiga jari-jari itu akan merasuk jahat jauh ke dalam ruang kecil di antara tulang selangkangannya. Begitu pekerjaan suster dimulai, urat-urat nadi Ria menegang. Matanya terpejam menahan ngilu. Dia cengkeram baju suaminya yang duduk di sebelah. “Masih bukaan tiga,” tutur suster setelah mengeluarkan tangannya kembali.

“Kalau begitu, kita lanjut induksi yang ke tiga, ya, Bu. Saya pasangkan kateter foley.” Dua suster bersiap merangkai peralatan. Ria pasrah, mau diapakan dia serahkan dirinya. Dua tangannya terus membelai perut yang semakin sering menonjol lantaran entah ditinju, ditendang, atau disikut oleh janin di dalam.

Pukul tujuh, bayi-bayi yang menginap di rumah sakit dimandikan. Tangis bersusulan seiring tubuh-tubuh mungil itu bergantian dibasuh air. Suara mereka membuat angan Ria kemana-mana dan rindu kian bertalu-talu. Duhai, sebentar lagi, lengkingan tangis itu pun akan terdengar begitu sang buah hati keluar dari dalam rahimnya.

Rita masih berbaring. Rasa mulas datang dan pergi. Dua puluh empat jam sudah dia menunggu dalam perkembangan yang lambat sejak tiba di rumah sakit. Semalam tak dapat tidur karena perut terasa kacau. Arya juga berkali-kali terbangun tiap tiga jam ketika dokter masuk untuk memeriksa. Hingga subuh tiba, hingga dirinya dipanggil untuk menuju ruang persalinan.

Ria turun dari ranjang dibantu suaminya. Darah sudah menyebar kemana-mana. Roknya yang kuyub bau amis ia tutupi dengan sarung. Pelan-pelan dia menuju kamar mandi. Dia mencuri-curi pandang ke kanan-kiri. Dari ranjang ke ranjang, semua sedang berjuang. Berderai-derai air mata, menguar rintihan pilu.

Selesai dari kamar mandi, suster sedang berbincang dengan suaminya. Melihat kedatangannya, suster beralih berbicara dengannya. “Bu, setelah kami sampaikan perkembangan ibu ke dokter Indah, Ibu disarankan untuk bedah sesar.”

Ria menoleh ke Arya. Andai ada yang mampu menerjemahkan, tatapan mata dirinya kosong. Hatinya hancur. Dia terus memandang laki-laki itu dengan penuh penyesalan dan perasaan bersalah.

“Apa pun itu, yang penting terbaik untuk ibu dan bayinya, Sus,” tutur Arya.

Suster menjelaskan prosedurnya. Dia pergi sebentar dan datang kembali menyerahkan beberapa lembar berkas yang harus ditandatangani. Ria masih sesenggukan menerima kenyataan. Rasa-rasanya dia menjadi ibu yang sangat lemah. Seorang wanita yang kalah.

Arya berkemas, sementara Ria dibantu suster melucuti semua pakaiannya dan hanya mengenakan selembar baju kurung untuk operasi beserta penutup rambut. Kateter dipasang. Lagi-lagi organ vitalnya harus berurusan dengan benda-benda medis. Dia dibimbing duduk di kursi roda, lalu didorong menuju ruang operasi. Suaminya mengurus administrasi setelah meletakkan tas ke kamar inap.

Di depan sebuah pintu, di ruang kosong yang jauh dari lalu lalang orang, mereka berhenti. “Ibu tunggu di sini, nanti ada suster yang menjemput,” ucap suster muda yang mengantarnya. Ria mengangguk, bilang terimakasih. Ia ditinggalkan sendirian di sana.

Arya mengabari orang rumah, memberi tahu bahwa istrinya harus operasi. Mereka bilang akan datang segera. Hanya belasan menit perjalanan dari rumah. Arya turun menuju garasi, bermaksud menjemput bapak dan ibu sekaligus mencari minuman dingin di luar.

Tiba di depan lift, sembari menunggu pintu otomatis terbuka, ia tiba-tiba memikirkan kekasihnya beserta si kecil dalam perut yang sebentar lagi akan berjumpa di dunia. Dia menoleh ke belakang, seolah-olah perempuan yang dicintainya itu ada di sana. Tiba-tiba langkahnya terasa berat untuk digerakkan. Mendadak perasaan ganjil menyergap jiwanya. Desing pintu besi berbunyi. Dua orang petugas rumah sakit keluar dari sana. Di ruang kecil dingin itu, Arya pandangi wajahnya lewat pantulan bayangan di cermin. Rasanya tak nyaman.

Lift berhenti, Arya melangkah keluar. Tidak ada orang di sana. Dia menuju parkiran. Keramaian sama seperti hari-hari biasa. Ia menuju ke ATM terlebih dahulu. Ada dua mesin di dalam, yang satu kosong. Dia langsung masuk. Orang di sebelahnya keluar, lalu satu orang lain masuk. Arya reflek saja menoleh sebentar, lalu kembali melanjutkan transaksi.

Orang di sebelahnya menengok sekitar. Kartu ATM belum juga orang itu keluarkan, dan tangan masih menyelinap di balik jaket merahnya. Arya menarik uang yang keluar. Dia menyudahi transaksi, kartu ATM menyusul keluar dari mesin. Ia mengambilnya dan memasukkan ke dompet beserta uang tadi.

Sebelum pergi, entah mengapa dia melirik sekali lagi orang di sebelahnya. Mata mereka bertemu. Keduanya saling tatap. Dalam hitungan yang begitu cepat, bersamaan dengan kesadaran yang datang terlambat, saat tangan Arya bergerak meraih gagang pintu, orang itu melesat mendekat.

Tubuh Arya meluruh ke lantai. Dompet di genggamannya diambil, dan hanya KTP yang dikembalikan ke telapak tangannya. Orang itu menaruh kembali pisau kecil ke balik jaketnya. Ia bergegas setelah sebelumnya menyemprotkan cat ke kamera pengawas dan mengotak-atik pintu ATM agar terkunci. Sebuah keahlian yang sudah mahir dia kerjakan.

Lantai putih dinodai oleh cairan merah kehitaman yang mengalir segar. Arya memukul-mukul dinding kaca. Ia sekarat. Kematian dilihatnya sudah begitu dekat. Di dalam sisa-sisa kesadarannya, hanya asma Tuhannya yang dibisikkan. Lalu oksigen perlahan kehilangan tumpangan untuk menuju otak.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status