Deon terdiam, hatinya ikut terhimpit. Ia tahu, apa pun pilihan yang ia ambil tetap salah.
“Aku ingin pergi, Deon. Kumohon, lepaskan diriku. Tanda tangani surat perceraian itu dan mari kita menghadiri sidang. Setelah itu, kamu bebas melakukan apa pun dengan Bella, dan… mewujudkan keinginan Alfie untuk menjadikannya sebagai ibunya. Bukankah kalian semua akan bahagia?” suara Jannah bergetar, setiap kata seperti pisau yang mengiris dirinya sendiri.
"Kamu bisa tinggal bersama Ibumu dengan Alfie dan Bella. Bawalah mereka ke sana, Deon. Aku ikhlas," imbuhnya.
Deon tetap diam dan kedua matanya mulai memerah.
Jannah mengusap pipinya yang sudah basah air mata, lalu melanjutkan dengan getir, “Kamu juga mungkin bisa membuat Bella hamil, lalu melahirkan seorang cucu perempuan sesuai dengan keinginan Mama dan Kakek Robert. Aku…” Jannah menunduk, kedua bahunya gemetar. “…tubuhku tidak mampu lagi, Deon.”
Kat
“Itu tidak benar, kan?”“Tentu tidak. Tapi siapa yang akan percaya? Semua laporan keuangan sudah direkayasa oleh Keluarga Mahendra... Mereka menjadikan Ayahmu sebagai kambing hitamnya.”"Padahal Ayahmu hanya seorang supir."Afgan, kala itu masih berusia delapan belas tahun, hanya bisa mengepalkan tangan. Ia masih ingat wajah ayahnya yang pucat, mata yang sembab menahan malu. Mereka tidak mampu menebus ijazah SMA Afgan karena uang SPP yang belum lunas.Mobil berhenti di tikungan, dan ayahnya menatapnya dengan pandangan pasrah.“Janji sama Ayah, jangan dendam… tapi Afgan akan berusaha untuk hidupkan nama kita kembali, ya? Ayah tidak pernah melakukan hal yang cacat di mata hukum. Afgan percaya kepada Ayah, bukan?”Afgan yang masih muda itu diam, antara percaya atau tidak karena menghadapi sosok petugas hukum yang selalu datang ke rumah untuk mencari Ayahnya adalah sebuah beban yang cukup berat.
Di meja kecil samping ranjang, tergeletak setumpuk dokumen yang ditandatangani Deon tadi. Jannah memandanginya sekilas. Hatinya berdesir aneh, seakan ada beban berat menekan dadanya.Tangan kurusnya terangkat, lalu ia meraih berkas itu. Kertas-kertas dengan tulisan resmi, surat cerai yang menunggu tanda tangannya. Sekilas ia teringat wajah Deon, dingin, penuh luka, dan juga tatapan yang kadang tak bisa ia pahami.Dengan perlahan, Jannah membuka halaman depan. Jantungnya berdetak lebih cepat. Rasanya tangannya ingin langsung menorehkan tanda tangan untuk melepaskan semua ikatan, semua rasa sakit. Namun, entah mengapa, saat ujung jarinya menyentuh pulpen, tubuhnya justru menegang.Air matanya menggenang tanpa bisa ditahan. "Kenapa aku tidak bisa?" bisiknya dalam hati.Dengan tiba-tiba, Jannah menepis berkas itu dari atas pangkuannya. Dokumen itu terjatuh ke lantai dengan suara 'brukk' yang terdengar cukup jelas. Napasnya tersengal, matanya terpejam erat.
Di dalam kamar, Bella masih memegang lehernya, wajahnya penuh amarah. Namun di balik rasa sakit itu, senyum licik merayap kembali di bibirnya. “Kita lihat, Afgan. Kau kira kau bisa lolos begitu saja?”"Aku akan menghancurkanmu dan juga si wanita penyakitan itu kalau sudah berada di atas ranjang Deon!"Sementara itu, di koridor rumah sakit, Afgan menarik napas panjang. Tubuhnya bergetar bukan karena takut, melainkan karena menahan amarah dan jijik. Ia tahu Bella berbahaya. Dan kini, ia harus semakin berhati-hati.Dia tidak ingin Jannah yang akan menjadi korban permainan kotor wanita itu.***Malam itu, bandara udara Yokohama dipenuhi lampu-lampu yang redup hangat, namun terasa asing bagi Deon. Wajahnya tetap ketus dan dingin tanpa ekspresi sambil mendorong kursi roda di depannya.Aflie menarik koper kecil di belakangnya dan Kakek Robert berjalan perlahan di samping Alfie sambil mengenggam erat tangan kecil itu, merasa sangat bahag
“Aku... aku hanya menganggapmu sebagai seorang teman baik. Kumohon, jangan hancurkan pertemanan kita saat ini, karena kamu tahu, aku masih membutuhkanmu… untuk membawaku keluar dari sini. Mungkin… kita bisa mengabaikan masalah mengenai perasaan ini sejenak, bagaimana?”Afgan terdiam, menahan gejolak yang berkecamuk dalam hatinya. 'Hanya teman?" Ada sedikit kesal yang tampak di wajahnya, tapi ia tahu Jannah rapuh, dan memaksanya hanya akan membuat segalanya lebih buruk.Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk dengan berat.“Baiklah… aku keluar dulu. Kamu mungkin membutuhkan istirahat. Mari kita bicara lagi bila kamu sudah lebih tenang.”"Ingatlah untuk segera menandatanganinya, besok pagi aku akan proses mengirimnya kembali ke Indonesia. Persidangan membutuhkan waktu proses juga."Afgan berdiri dan mendekatkan bibirnya ke kening Jannah, hendak memberikan ciuman, tetapi Jannah memalingkan wajahnya de
Deon meremas tangan Jannah lebih erat, menunduk menatap wajah pucat itu. Dalam hatinya ia bersumpah, tak peduli seberapa besar campur tangan Kakek Robert, tak peduli seberapa besar ancaman dari masa lalu, ia tidak akan membiarkan siapapun merebut posisinya di sisi Jannah.Tidak Afgan. Tidak siapapun.Namun, Jannah mengulangnya sekali lagi, "Dengan bercerai, kita tidak lagi terikat dalam kebencian.""Kebencian? Kau membenciku, Jannah?"Suara Deon menggema berat, penuh luka yang tak terkatakan.Jannah tidak menjawab karena takut, dia hanya menatap Deon dalam-dalam seolah mengatakan, "aku tidak pernah membencimu, Deon... Bahkan aku sangat mencintaimu." Namun kalimat-kalimat itu tertahan di kerongkongannya.Jannah menepis tangan Deon yang mengenggamnya dan menoleh ke arah Afgan.Melihat sikap Jannah yang datar, akhirnya Deon tidak tahan lagi.“Kau ingin perceraian, bukan? Baiklah, ini dokumennya. Aku akan menandatanganinya!&r
Deon yang berdiri di balik kaca ruang UGD seolah tertikam ribuan pisau di dadanya. Kata-kata itu menghantam jantungnya lebih keras daripada pukulan mana pun.Afgan mengangguk cepat, tanpa ragu. “Baik, Jannah. Aku pasti membawamu pergi. Luka di wajahmu akan sembuh total, demikian juga luka di hatimu. Aku akan mengisinya dengan kebahagiaan, bukan tangis. Aku janji, Jannah. Bertahanlah...”Jannah menatapnya dengan mata berkaca-kaca, lalu menyahut dengan suara bergetar, “Jangan pernah meninggalkanku lagi, Afgan…”Afgan menunduk, keningnya menempel lembut pada dahi Jannah, seperti janji yang diikrarkan tanpa kata. Kedua tangannya memegang pipi Jannah dengan lembut. "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, tidak lagi untuk laki-laki itu."Di balik kaca, Deon hanya berdiri kaku. Pandangannya kabur, bukan karena kaca, melainkan karena air mata yang ia paksa untuk tidak jatuh. Napasnya berat, dadanya seolah diremukkan dari dalam. Tapi