Dada Rion berdentam-dentam. Rasa panas menjalar dari bibir yang dikecup Nara ke sekujur tubuhnya. Nara mundur tanpa berkata-kata dan berjalan meninggalkan Rion dengan kepala menunduk menahan malu.“Nara!” Rion mencoba memburu gadis itu.“Berhenti di sana!” Nara berdiri membelakangi Rion. “Itu hanya ucapan terima kasih, tak lebih. Mungkin kita harus berpisah di sini. Aku harus melanjutkan perjalanan untuk menyelesaikan misiku.” Tanpa menoleh lagi, gadis itu berlari meninggalkan Rion dan menghilang ditelan kegelapan malam.“Bagaimana dengan aku sendiri? Tujuanku sampai ke sini untuk menemukan dan membawa panglima karang?” tangan pemuda itu terkepal di samping tubuhnya.***“Aaarrggh!” pekik Keiko sambil memukulkan tinju ke meja hingga urat-urat di lehernya saling bertonjolan. Wajah putih perempuan itu menjadi merah padam. Dia dorong sekuat tenaga meja yang ada di depannya hingga terjungkal bersama seluruh isinya. Sejumlah samurai yang menjadi anak buahnya mundur untuk menghindar.Merasa
Para pria bertopeng merah itu tengah duduk-duduk di serambi dan halaman padepokan. Salah satu pria yang di dadanya tertoreh rajah matahari terbakar memukulkan tongkat panjang ke kerangkeng kayu dan mengancam anak-anak itu hingga mereka terdiam.Karuna merasa terusik dan tak terima. Dia berlari ke gapura padepokan seperti menantang singa yang sedang lapar. Pemuda itu sangat marah begitu melihat anak-anak asuhnya dimasukkan ke kandang seperti binatang yang akan diperjual-belikan. Dia menghampiri sang pimpinan bandit yang duduk tak jauh dari pohon ketapang.“Tarik!” perintah sang pimpinan bandit.Sejumlah bandit bertopeng merah itu menarik sebuah tali tambang yang tersembunyi di antara dedaunan kering. Karuna terjebak. Satu kakinya terjerat tali tambang hingga dia terseret dan tergantung secara terbalik di dahan pohon ketapang. Pemuda itu berayun-ayun dengan mulut yang tak henti mengumpat.Pimpinan bandit bertopeng merah mendekat. Pria itu berkacak pinggang sambil mendongak ke arah Karun
Rion berbaring telungkup di atas punggung kuda. Pemuda itu tak membuka mata sejak dibawa Nara meninggalkan padepokan yang diserang oleh para bandit dari utara dan samurai dari Selter Agung. Nara berjalan sambil menuntun kuda yang mengangkut tubuh Rion melintasi padang savana dan hutan belantara selama seharian penuh. Sesekali, Nara berhenti kala kaki dan tubuhnya lagi tak mampu menahan lelah dan sakit yang mendera.Denyut nadi Rion semakin melemah. Pemuda itu terluka cukup parah. Nara pun tak lebih baik darinya. Hanya saja, potensi kekuatan dari Ausiyah—ibunya—membuat Nara mampu bertahan sedikit lebih lama. Dia juga mempelajari tenaga dalam dan sihir pengobatan dari ibunya. Akan tetapi, kemampuannya tak cukup baik untuk meringankan luka Rion.Nara menggenggam tangan dingin pemuda itu. “Bersabarlah sedikit lagi!”“Si-nga...,” bisik Rion.“Apa? Kau mengatakan sesuatu?”Hawa dingin datang menyelimuti mereka seiring turunnya kabut senja. Hal itu membuat Nara semakin gelisah. Dia rapatkan
Mereka tiba di sebuah puri kecil yang tersembunyi di tengah-tengah hutan mahoni dan bambu. Puri itu lebih menyerupai sebuah kuil dengan bangunan tambahan di belakangnya. Para perempuan cantik itu membawa Rion ke sebuah kamar dan menggiring Nara ke kamar yang berbeda.Nara berkeras hati ingin menemani Rion. Dia masih belum bisa mempercayai para perempuan yang menurutnya seperti siluman itu.“Perempuan dan laki-laki tak boleh bercampur menjadi satu!” ujar salah satu dari perempuan berambut hitam pengawal Maitreya. Nara tak tahu nama mereka satu persatu. Meski sudah disebutkan, dia tetap kesulitan mengingat karena wajah dan gaya berpakaian mereka yang terlalu serupa.Gadis itu sungguh kelelahan. Dia tak lagi mampu berpikir tentang hal-hal buruk yang mungkin bisa menimpa mereka. Dia berendam di sebuah kolam air panas alami yang cukup besar. Kolam itu berada di dalam puri utama di belakang bangunan kuil. Sedangkan Rion, dia dibawa ke kuil depan yang menyerupai bangunan batu berwarna kelabu
Sepasukan besar pria bertopeng iblis merah datang dengan berkuda dan berjalan kaki. Mereka berjajar panjang dan rapi mengepung sebuah perkampungan. Seorang pria yang wajahnya tertutup topeng gagak hitam dengan seringai licik pada bibirnya berteriak lantang sambil mengacungkan pedang. “Tembak!”Pasukan pemanah mulai mencelup bilah panahnya ke minyak, menyambarkan ke api, dan menembakkannya ke arah perkampungan itu. Dengan sangat cepat, api melahap seluruh pepohonan, atap-atap rumah kayu, dan bangunan-bangunan yang ada di sana. Terdengar jeritan dan teriakan dari anak-anak dan para perempuan yang ketakutan. Mereka terkurung di kampungnya tanpa bisa berbuat apa-apa. Para pria dan pemuda berjuang sekuat tenaga melawan pasukan yang datang dari berbagai arah untuk mengepung perkampungan mereka.Jenderal gagak hitam menghunuskan pedang pada sang ketua suku hingga pria itu jatuh terkulai dengan sepasang mata membeliak menatap Rion. Tubuh Rion terikat dengan mantra sihir yang sangat kuat. Dia
Sakka Nara tersenyum mengejek setiap kali mengingat bagaimana perlakuan para perempuan klan Saifi Angin selatan terhadap Rion. Meskipun Maitreya berulang kali menjelaskan pada Nara bahwa klan Saifi Angin dari selatan berbeda dengan yang di utara, gadis itu masih tak percaya.Menurut Maitreya, klan Saifi Angin selatan dipimpin oleh para perempuan-perempuan muda dengan kekuatan khusus untuk mengendalikan angin. Para pria dan tetua yang lain, mereka hidup membaur di kaki-kaki gunung. Sedangkan para gadis berkekuatan khusus ini harus diungsikan dan dilindungi di kuil Saifi Angin yang terlindung mantra untuk mencegah dari kepunahan dan kerusakan akibat serangan oleh para musuh yang terus berdatangan.Nara juga sempat bertanya tentang Anila yang terlihat berbeda dari Maitreya. Menurut Maitreya, Anila datang dari klan Saifi Angin di utara. Klan mereka dipimpin oleh seorang pria yang menjadi pengendali angin. Dahulu, mereka bersatu dalam satu klan besar. Pasca jentera dan peperangan antar kla
Kepala Maitreya menyembul dari dalam air. Rambut panjang merahnya mengambang dan beriak di permukaan air kolam yang tenang. Cahaya bulan memantul menerangi puncak kepalanya. Rambut merah terang Maitreya perlahan-lahan berubah menjadi putih kekuningan sewarna cahaya bulan.Maitreya menengadah, menatap langit tanpa bintang dengan bulan purnama di sana. Dia usapkan kedua telapak tangannya yang basah ke wajah dan terpejam. Tangan itu meraba kepalanya yang mulai ditumbuhi rambut putih kekuningan, meski warna merah terang masih melekat di bagian tengah hingga ke ujung rambut.Dia bisa merasakan kekuatannya mulai berubah. Maitreya terkena kutukan setelah dipertemukan dengan pemilik pecahan batu yang lain. Seperti yang diriwayatkan oleh pendahulunya, takdir pemimpin klan Saifi Angin adalah untuk tunduk dan setia pada pemilik pecahan batu. Takdirnya sebagai Panglima Saifi Angin tak dapat dia hindari. Akan tetapi, Maitreya berusaha menolak takdir itu.Dia menolak menyerahkan janji dan sumpahnya
Badai masih terus menampar-nampar. Seluruh jendela dan pintu di penginapan tempat Nara singgah menjadi berderak-derak karena hantaman angin dan pasir. Lampu gas di penginapan itu padam. Seluruh ruangan menjadi pekat. Nara yang tanpa sadar terlelap di ranjangnya seketika terbangun.“Berapa lama aku tertidur?”Dia duduk di ranjang dengan gelisah dan menatap ke arah jendela yang terus berisik. Perasaannya tak tenang dengan keadaan yang tak pernah ditemuinya selama tinggal di selter agung.“Kota apa ini sebenarnya?”Karena tak tahan dengan kegelapan kamar dan udara yang sesak, Nara bangkit dari pembaringan. Dia selipkan wakizashi ke ikat pinggang dan mulai berjalan menuju lorong. Sepanjang lorong pun juga gelap. Seluruh kamar pada penginapan itu tertutup. Tak ada suara atau tanda-tanda kehidupan di sana. Nara menuruni tangga dan menuju ke kedai yang terletak di lantai bawah.“Tak ada orang sama sekali. Ke mana para koboi tadi pergi?”Nara memperhatikan meja-meja yang sudah tertata rapi de