[Terima kasih cincinnya, Dewa. Ngomong-ngomong, kapan kamu menceraikan dia?]
Jantung Rosalyn seketika merosot setelah membaca pesan di ponsel sang suami, dari seseorang wanita yang sudah jadi duri dalam pernikahannya. Dadanya semakin sakit seperti tertusuk ribuan jarum ketika melihat foto profil wanita itu. Di foto itu terlihat sang wanita sedang memamerkan cincin berlian yang melingkar elok di jari manis. "Jadi, cincin itu untuknya?" Rosalyn mungkin terlalu polos. Semula, ia pikir Dewa mengingat hari ulang tahunnya dan telah menyiapkan sebuah kado berupa cincin berlian. Namun, kini ia tahu ... Cincin itu untuk wanita kedua suaminya. Rosalyn meremas ponsel milik suaminya. Bibirnya melengkungkan senyum nelangsa. Mata almondnya memandang nanar sertifikat cincin yang ia temukan diantara tumpukan pakaian. “Apa yang kamu lakukan?” Tiba-tiba suara dingin seorang pria menusuk gendang telinga Rosalyn dan membuyarkan lamunan. “Ada pesan di ponselmu," tutur Rosalyn lemah, dengan suara yang bergetar menahan tangis. Andai suaminya peka, pria itu pasti menemukan jika Rosalyn tengah memikul rasa kecewa. Dewa menyipitkan kelopak mata dan menatap penuh intimidasi kepada Rosalyn. Pria itu berujar penuh penekanan, “Siapa kamu berani memeriksa ponselku?” Siapa? Batin Rosalyn mencelos mendengarnya. Sang suami seolah lupa jika mereka memang pasangan suami istri empat tahun ini. Meski begitu, hubungan mereka memang tak seperti pasangan pada umumnya. Dewa melarangnya menyentuh ponsel pria itu. Inilah kali pertama Rosalyn menemukan ponsel sang suami ketika ia sedang membereskan koper milik Dewa. Saat itulah, ponsel tersebut menyala, menampilkan sebuah pesan menyakitkan untuknya. "Kembalikan." Dewa meraih ponsel dari tangan Rosalyn dengan kasar dan segera memeriksa ponselnya dengan raut antusias. “Kamu memberikan dia cincin. Apa itu artinya … kalian sudah bertunangan?” tanya Rosalyn. Ia memandang nanar tubuh atletis yang terbalut handuk putih di hadapannya. Rosalyn berharap suaminya menyanggah dan menjelaskan bahwa ini hanya salah paham. Namun, sorot mata tajam Dewa seakan memberitahu hal yang sebaliknya. Sebelah sudut bibir Dewa berkedut samar. Ia menjawab dengan enteng, “Bukan urusanmu.” Seketika, Rosalyn mereguk saliva yang mengiris kerongkongannya. Ia menyahut dengan suara tercekat, “Aku masih istrimu, kalau kamu lupa.” Ia tahu, pernikahan mereka tidak berlandaskan cinta, melainkan perjodohan. Atau lebih tepatnya, Rosalyn dijadikan pelunas hutang ayahnya pada keluarga Dewa. Berbeda dengan Rosalyn yang mencoba belajar mencintai Dewa dan mengabdi sebagai istri, suaminya tak terlihat melakukan hal yang sama. Rosalyn juga tahu, kalau pria itu memiliki tujuan lain menerima perjodohan itu. Karena nyatanya, selama empat tahun bersama, pria itu bahkan terus memperlakukan Rosalyn dengan dingin, meski mereka tak jarang bertukar kehangatan di malam hari. “Lalu, untuk apa lagi pernikahan ini, Dewa!” Bibir Rosalyn gemetar ketika mengatakannya. Seketika Dewa tergelak. Kemudian pria itu mengangkat dagu menunjukkan sisi dominasi. "Menghukummu, tentu saja." Rosalyn lalu menundukkan kepala sambil meremas setiap jemarinya, menahan tangis lebih kuat. Ia menjawab dengan suara sengau, “Belum cukup kamu menyiksaku selama ini?” “Bahkan semua itu masih belum cukup jika dibandingkan luka yang kamu berikan pada Vinsensia.” Ucapan pria itu bagai belati yang menghujam lubuk hati Rosalyn. Vinsensia adalah kekasih Dewa, duri dalam pernikahan mereka. Empat tahun lalu, Dewa menuduh Rosalyn menjadi dalang atas skandal yang dilakukan Vinsensia. Wanita itu kepergok sedang memadu kasih dengan seorang pria yang tidak lain adalah kakak Rosalyn. Berulang kali Rosalyn berusaha menjelaskan bahwa dirinya tidak bersalah. Akan tetapi, ia kalah sebab tidak memiliki bukti apa pun. "Berapa kali harus kukatakan, kalau bukan aku pelakunya!" tantang Rosalyn. Dewa memangkas jarak, merengkuh pinggang kurus Rosalyn lalu menjepit dagu lancipnya. “Kamu memang pembohong ulung, Rosalyn." Mengangkat sebelah alis, Dewa kembali berujar dengan mata yang menggelap. “Aku tidak akan pernah lupa, kalau kamulah penyebab wanita yang kucintai kehilangan masa depannya.” Manik abu-abu Dewa berkilat serta deru napasnya terdengar kasar. Bahkan ia meremas kuat pinggang Rosalyn hingga wanita itu meringis. Tubuh Rosalyn bergetar. Setelah skandal itu yang juga membuat Vinsensia kehilangan rahimnya karena kekerasan yang dilakukan kakaknya, inilah kali pertama ia melihat kemarahan Dewa memuncak lagi. Rosalyn memejamkan mata dan menggeleng lemah, membuat air mata kian menganak sungai di pipi putihnya. Ia memberanikan diri untuk mengelak lagi, “Aku bukan wanita seperti itu.” "Benarkah?" Dewa kembali mencibir. Ia menyeringai dan melekatkan hidung mancungnya dengan pipi mulus Rosalyn. "Aku bisa melakukan apa pun untuk mendapatkan kemauanku, sama seperti dirimu." Srak- Kemudian, suara robekan baju terdengar nyaring. Tubuh Rosalyn yang semula diselimuti piyama bertali tipis, kini terekspos bebas. Tidak memberikan jeda, tubuh polos Rosalyn langsung didorong kasar ke atas ranjang, disusul cumbuan rakus di sekujur tubuh yang membuat wanita itu protes. “Dewa jangan!” tolak Rosalyn. Ia tahu, hukuman apa yang akan diberikan Dewa untuk membuatnya semakin 'tidak berarti'. Tanpa bisa berontak lagi, pria itu pun pada akhirnya menyatukan tubuh mereka tanpa aba-aba, membuat Rosalyn merasakan sakit luar biasa. Isakan Rosalyn bagai melodi yang justru membuat pria itu semakin berhasrat. Hingga kemudian, pria itu akan berhenti ketika ia telah mencapai puncak. Rosalyn membuang muka mana kala manik abu-abu milik Dewa menatapnya lekat. Dengan napas yang masih berderu cepat, pria itu berkata, "Kamu memang berhasil menjadi istriku." Dewa menyeka air mata Rosalyn. "Tapi, jangan harap kamu akan mendapatkan hatiku!" bisiknya penuh penekanan. Kelopak mata Rosalyn bergetar. Perasaan wanita itu sudah hancur lebur. “Kalau begitu, kenapa tidak angkat saja rahimku supaya aku bernasib sama dengan kekasihmu?” Ia meraih satu tangan suaminya dan menaruh di atas perut. "Bukankah kamu juga tidak menginginkan anak dariku?!" Dewa menarik kasar tangannya dari atas perut Rosalyn. Sementara, Rosalyn mengernyit, heran. Semua yang ia ucapkan adalah benar, tetapi entah mengapa tatapan mata Dewa justru menyiratkan pria itu tidak terima. Bagaimana mungkin Rosalyn salah mengartikan, jika empat tahun mereka menikah, suaminya lebih sering menggunakan pengaman. Walaupun, beberapa minggu lalu Dewa tidak mengenakannya seperti saat ini. Rosalyn menarik selimut tebal untuk menutupi tubuh polosnya kala Dewa beranjak. Ketika pria itu hendak melangkah menuju kamar mandi ... Rosalyn dengan suara bergetar, tetapi penuh tekad itu berujar. "Ceraikan saja aku, Dewa."“Bagaimana kondisi Lily, Kak?” tanya Rosalyn sesampainya di rumah sakit.“Air ketubannya pecah. Dia kesakitan.” Kevin tampak gelisah, pria itu masih mengenakan piama dan menutupi tubuh dengan selimut.Rosalyn menuntun Kevin supaya duduk di bangku logam depan ruang bersalin. “Kita berdoa saja semoga Lily dan bayinya selamat.”Ketiga orang itu menanti dengan gelisah. Setelah hampir setengah jam berjalan, seorang dokter menghampiri Kevin dan menjelaskan, “Bayi Nyonya Lily sebentar lagi lahir, jika suaminya ingin melihat proses persalinan, kami persilakan.”Kevin menggeleng. Justru ia mendorong Rosalyn supaya menemani Lily di dalam sana. Sebagai wanita yang pernah melahirkan, ia mencebik melihat dua pria duduk gelisah di kursi. Ia pun mendampingi Lily di ruang bersalin.Rosalyn segera menggenggam tangan iparnya. Lily sedang kesakitan setelah pembukaan jalan lahir melebar sempurna.“Semangat Lily, kamu pasti bisa,” bisik Rosalyn diangguki iparnya.Dengan bimbingan dokter spesialis kandungan
“Kenapa, Bro?” sapa Fabian sambil menyodorkan sekaleng minuman. “Orang bilang ini bagus dan tahan lama,” kata pria itu.Dewa memelotot dan menyambar kaleng, lalu membuangnya ke tempat sampah.“Tidak butuh!” sentak Dewa dengan tatapan menghunus tajam.Fabian menepuk bahu temannya dan berujar, “Jangan marah-marah, kamu bisa darah tinggi!”Dewa mendengkus kasar, baginya kalimat Fabian bukan menenangkan melainkan sebuah ejekan. Pria itu menepis kasar tangan temannya, lalu berjalan mencari Rosalyn ke dalam mansion.Pagi ini, keluarga kecil itu sengaja mengunjungi Mansion Arnold. Tentu saja, karena Tuan Jack dan Feli menitipkan beberapa hadiah untuk Lily dan calon bayinya.Akan tetapi, kening Dewa mengerut dalam ketika melihat Rosalyn berjalan sendirian tanpa keempat anak mereka.“Di mana Brahma, Arimbi, Devendra dan Daneswara?” tanya Dewa dengan tatapan menyelidik.Mendengar pertanyaan itu tentunya Rosalyn mengulum senyum. Ah, ia memang sengaja menyiapkan kejutan istimewa ini untuk suami p
“Halo, Sayang … Papa datang. Janeta sudah mandi, ya? Harum banget.” Kevin menggendong putri kecilnya yang menyambut di balik pintu. Pria itu menciumi puncak kepala Janeta dan mengayun tubuhnya, membuat putri kecil tertawa riang. Namun, di ujung lorong, seorang wanita sedang cemberut menatap ke arah Kevin.“Terima ka—” Ucapan Kevin menggantung karena wanita itu melengos saja ke dapur tanpa mengelurkan sepatah kata.Kevin menurunkan tubuh Janeta dan membiarkannya bermain, lalu ia menyusul pujaan hati yang entah kenapa memasang wajah ketus.“Kamu kenapa?” tanya Kevin.“Menurutmu, kenapa?” ketusnya.“Aku tidak tahu, Lily. Ayo, bilang,” ucap Kevin lagi.Lily menatap tajam ke arah Kevin dan berujar, “Aku bosan seharian di rumah. Aku ini biasa kerja, bukan diam di rumah. Apalagi … ka-mu lebih memperhatikan Janeta dibanding aku.” Pascadinyatakan hamil, Lily diberhentikan oleh Dewa. Wanita itu pun ikut tinggal di Milan. Dia tidak lagi sibuk mengurusi peternakan, karena Dewa berhasil mencari
“Astaga apa-apaan mereka ini?!” geram Fabian. Ia menatap layar ponsel yang tidak berhenti berpendar sedari tadi. Itu bukan masalah pekerjaan kantor, tetapi … masalah rumah tangga, terutama ranjang. Demi kelangsungan masa depannya. Meskipun sudah mengetahui isinya, tetap saja Kevin mengintip melalui pop up. Dia terbelalak ketika satu pesan kembali masuk dari adik ipar. [Tutorial posisi hubungan intim untuk memiliki keturunan secepatnya.] “Dia pikir aku pria polos? Aku ini lebih berpengalaman darinya!” Kevin melempar telepon genggam ke atas sofa, lantas berdiri sambil memandangi foto pernikahan di atas meja. Lagi, Kevin tetap membaca pesan adik iparnya. Sebagai seorang pria berpengalaman, tentu saja posisi itu tidak asing lagi. Ia pun mereguk saliva, pikirannya berfantasi liar membayangkan Lily. Gairah pria itu tersulut. Hanya saja, ia bingung menyalurkannya, sebab Lily tidak ada di sini. Pasangan itu menjalani hubungan jarak jauh. Terpaksa Kevin bertahan sampai Dewa menemukan p
“Kevin … anakku apa kabar? Ibu selalu menunggumu setiap hari, Nak. Kenapa baru datang sekarang?” berondong Mathilda dari balik partisi kaca tebal.Wanita paruh baya itu menempelkan tangannya pada penghalang, lalu menggerakkan jemari—seolah membelai pipi putra tunggalnya.“Aku datang ke sini ada perlu. Kuharap Ibu menerimanya,” kata Kevin dengan intonasi dingin dan ekspresi datar.Mathilda mengangguk dan menyahut penuh kasih, “Pasti, Nak. Ibu menerima apa pun yang terbaik untukmu.”Kulit keriput Mathilda tertarik ke atas, ia tersenyum merekah sambil meneteskan bulir bening.Lebih dari semenit keduanya terdiam saling memandangi. Entah apa yang dipikirkan kedua orang itu. Hanya saja Mathila tidak menjauhkan tangannya dari kaca tebal. Kevin pun bisa melihat tangan ibunya berkeringat.“Aku sudah menikah.”Sorot mata Mathilda berbinar. “Benarkah? Siapa gadis beruntung itu? B
“I-ini masih siang,” gugup Lily. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ada ranjang besar yang disiapkan khusus pengantin baru, sofa panjang serta meja kaca dan cermin besar menggantung di depannya. Sekilas, ini kamar hotel pada umumnya. Namun, Lily dibuat asing dengan status baru ini.Sejak masuk kamar, Kevin memeluk erat tubuh sang istri dari belakang. Pria itu menggesek puncak hidungnya pada tengkuk harum. “Memangnya kenapa kalau siang? Bukahkah itu bagus, kita bisa menikmati siang dan malam di hari yang sama?” Lily mereguk saliva. Walaupun bukan pengalaman pertama berhubungan intim, tetapi … ini pertama kali bersama pria berstatus sebagai suami.“Tapi—”Ucapan Lily tertahan karena Kevin memutar tubuh wanita itu dengan cepat. “Tidak ada tapi. Kamu milikku sekarang dan selamanya.” Lily hendak menunduk, tetapi Kevin mencegahnya. Pria itu menahan dagu sang istri, lalu meraup bibir tipis yang ia rinduka
Kevin menghela napas melihat tanggapan Lily. Haruskan ia menyerah dan tenggelam ke dasar lautan patah hati? Ya, mungkin … karena ini bukanlah kali pertama gadis itu menolaknya. Pria itu menarik tangannya. Namun ….“Cincinya kebesaran. Enggak sesuai ukuran jariku,” kata gadis itu menggunakan bahasa informal . Lily mengulurkan tangan kanan, yang menampilkan jemari ramping dan mungil.Seketika Kevin memperhatikan jemari gadis itu, dan pikirannya mencerna maksud ucapan Lily barusan. Bagi seorang pria, tentunya ini merupakan teka-teki. “Umm … maksudmu?” Alis tebal Kevin terangkat.Lily tersenyum jengah mendengar pertanyaan itu. Tanpa banyak bicara, gadis itu mengambil cincin dari tangan Kevin, lalu menyematkan sendiri pada jari manisnya.“Ini kebesaran, lihat bukan?” keluh gadis itu dengan bibir merengut yang sangat menggoda.Melihat cincin pilihannya melingkar pada jari manis sang gadis pujaan hati, membuat pria itu kegirangan. Kevi
Untuk sesaat keduanya membeku di tempat. Tidak ada aksi apa pun selain saling memandang lekat-lekat dengan isi pikiran masing-masing.Lily mereguk saliva karena saat ini tubuhnya hanya tertutupi sehelai handuk putih saja. Ia meremas kain handuk dengan erat, khawatir terjadi hal yang tidak seharusnya.“Maaf, aku lancang ….” Kevin berbalik badan dan menutup pintu.Pria itu bersandar pada pintu sambil mengatur napas. Melihat kemolekan seorang wanita, ditambah memiliki kenangan ranjang membuat nalurinya sebagai lelaki tersulut gairah. Ia ingin menyentuh, membelai dan mengecup setiap jengkal kulit mulus itu. Hanya saja, tidak! Kevin melawan egonya.Pria itu kembali ke kamar. Ia menemani Janeta, dan berupaya menenangkan batita itu.Sedangkan Lily masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Namun, napasnya tidak tegang lagi. Ada kelegaan setelah Kevin pergi.“Dia …,” gumam gadis itu sambil mengangguk.Lily menggunakan pakaian serba panjang. Entah mengapa ia teringat pada tatapan Kevin tadi. Set
Beberapa hari berlalu, Lily tampak kesulitan berpamitan dengan Janeta. Gadis itu selalu menahan diri untuk pulang ke peternakan. Pada akhirnya ia menemani Janeta di vila atau rawat jalan ke rumah sakit. Seperti hari ini, Lily mengantar Janeta bertemu dokter.Akan tetapi, gadis itu tidak menduga Kevin datang menjemputnya. Bahkan mereka makan bertiga di restoran.Setelahnya Kevin membawa Lily dan Janeta pulang.“Kamu yakin bisa sendirian? Janeta berat. Biar aku saja yang gendong,” ujar Kevin.“Saya kuat, Pak.” Lily tidak menggubris ucapan Kevin. Gadis itu merengkuh tubuh batita yang terlelap tidur dari jok belakang, menggendongnya dan membawa ke kamar.Dengan hati-hati, Lily membaringkan Janeta, lantas mengecup kening batita itu. Ia tersenyum sambil menatap wajah polos bocah kecil yang agak mirip dengan Vinsensia.“Mama sayang kamu, Janeta,” gumam Lily.Hingga derit pintu terbuka membuat Lily menoleh