Share

5, Bingung

ITU adalah kejadian setahun lalu. 

Saat ini Nayara sedang berusaha mengumpulkan uang kuliah setelah berhasil membayar uang kos tahun kedua. Satu tahun ini dia terpaksa cuti kuliah. Nayara benar-benar tak sanggup mengumpulkan uang semester kampusnya yang baru sekarang dia rasa sangat mencekik. Sepanjang satu semester kemarin, dia full bekerja. Apa pun dia kerjakan termasuk di katering hasil rekomendasi ibu angkatnya. Ah, dia yang menahbiskan dirinya sebagai anak angkat. 

***

Beberapa bulan setelah pergi

DI pagi menjelang siang itu Nayara antara panik dan ketakutan. Dia belum pernah merasakan ini sebelumnya. Dia merasa sudah amat sangat-sangat teramat berhemat sekali. Jumlah yang dia bawa dari rumah papa Jaya dulu hanya untuk bersenang-senang beberapa hari saja. Paling lambat seminggu. Kalau dia bisa bertahan tiga bulan dengan jumlah yang sama setelah dipotong biaya kos, itu adalah penghematan luar biasa. Tapi tetap saja, uang cash yang dia bawa dari rumah sudah habis sekarang. Dia hanya sangat bersyukur karena membayar lunas di awal biaya kos. Kalau tidak, entah di mana sekarang dia tinggal. 

Siang itu bukan panas matahari yang membuatnya berkeringat, tapi uang di tangannya yang membuatnya mandi keringat. Setelah mengorek lemari, koper, dan tempat-tempat lain, dia hanya berhasil mengumpulkan tiga lembar uang dua ribu, lima koin lima ratus, sembilan koin dua ratus, dan selembar lima ribu. Uang yang dulu tidak dia anggap sebagai uang. Kertas dan logam yang dulu tak berguna hanya memenuhi dompet saja sekarang menjadi sangat bernilai. Sisa itu isi dompetnya. Dipaksa sehebat apa pun, uang ini tak akan cukup untuk makan sampai komisinya cair yang berarti seminggu lagi. 

Dia sudah mengambil begitu banyak naskah untuk diedit. Dia sudah stripping posting novel. Bahkan dia posting sekaligus dua novel. Followers-nya memang menanjak drastis ketika Nayara posting part baru nyaris setiap hari. Komisinya dari menulis meningkat. Tapi tetap saja masih kurang. Uang tunai yang dia bawa dari rumah, setelah membayar kos, ternyata hanya mampu membiaya tiga bulan hidupnya saja. 

Ketakutan ini sebenarnya sudah seminggu lalu dia rasa. Saat dia mulai mengumpulkan uang dari mana pun. Yang paling mengesalkan adalah ketika dia panik, otaknya pun buntu menulis. Seminggu ini dia nyaris menghabiskan tabungan bab novelnya. Dia yang ketika tenang bisa menulis delapan sampai sembilan part per minggu per novel, seminggu kemarin hanya mampu menulis tiga sampai empat bab saja. Rencannya mengeluarkan novel baru terpaksa tertunda. Ternyata, selain menghemat uang dia pun harus menghemat bab novel. Semua harus dia hemat. Memaki pun tidak bisa lagi. Siapa yang bisa dia marahi sekarang?

Uang kertas di tangannya lusuh dan basah karena keringat. Dia duduk di tepi kasur dengan kaki terbuka lebar. Putus asa, dia letakkan uang itu di lantai. Lalu menyambar dompet dan mulai membuka tiap saku di sana. Dia mengeluarkan kartu-kartunya, siapa tahu ada uang terselip. Tapi kalau tak ada ya memang tidak ada. Memang sudah tidak ada lagi uang di sana. Seandainya dompet itu bisa diperas pun dia sudah tidak bisa mengeluarkan isinya lagi. 

Kecuali…

Kartu ATM dan kartu kredit itu bisa. 

Dia sambar kartu-kartu itu. Tiga kartu ATM berjenis platinum yang ATM-nya ada di mana-mana. Dua kartu kredit berlogo visa dan master juga berjenis platinum. Lima kartu ini bisa dia peras bahkan untuk membeli sepetak kamar kos. 

Should I?

Sejak Nayara pergi, dia tidak pernah mengambil isi kartu-kartu itu. Sekali dia gesek, papanya akan menertawakan dia. Dia tahu papanya seperti apa. Tapi sekarang dia sudah miskin papa, menuju fakir, dan terancam kelaparan. 

Dia mainkan lima kartu di tangannya. Sampai satu titik spontan dia lempar semuanya. Bersamaan dengan pintu yang mendadak terbuka.

“Aduh…” Sebuah kartu melayang mengenai dahi Gia, “Eh, apaan nih?”

Gia yang masuk disambut dan disambit kartu tentu ternganga melihat kondisi sahabatnya. Apalagi mendadak ada hujan kartu di kamarnya. 

“Lu kenapa, Nay?” Gia langsung duduk di samping Nayara yang masih diam tercenung tanpa ekspresi seperti orang yang butuh dirukyah. 

Gia benar-benar tidak ada ide kenapa Nayara seperti itu. Dia melihat gumpalan uang kertas dan ceceran koin di antara kaki Nayara yang terbuka lebar. 

“Gee…”

“Ya?”

“Gimana caranya duit segini bisa buat makan dan ongkos seminggu?”

“Hah?”

“Ajarin gue, Suhu.” Dia merasa Gia selalu memiliki celah berhemat. Dan selama tinggal bersama, Nayara memang menjadikan Gia sebagai guru dan pembimbing spiritualnya. 

Gia melihat bergantian antara wajah Nayara dan ceceran yang lusuh.

“Ini mah buat sewa tuyul second aja kurang, Nay. Buat bayar pajak penghasilan tuyul doang aja kurang. PTKP-nya sih kecil karena cuma butuh sempak doang, tapi beneran, segini kurang deh. Apalagi buat bayar mahar babi ngepet. Jauh lah…” 

Pletak.

“Aww…” Tangan Nayara santai aja memukul kepala Gia. Membuat Gia mengelus kepalanya. “Ini dompet asli kan?” Gia mengelus kulit dompet tersebut. Lalu tangannya mengelus pergelangan tangan Nayara. “Ini jam asli kan?”

“Asli.”

“Jual deh.”

Mendadak Nayara menjatuhkan tubuhnya ke kasur dan meraung. 

“Astaga… Richard Millie nih. Kalau gue jual gue nggak akan mampu beli lagi kecuali gue rebut Reino Barack dari Syahrini. Jangan dong, Gee… Gue pakai apa kalau ini dijual…” 

Tak acuh, Gia berkata, “Itu koper segede lemari asli kan?”

Nayara semakin meraung.

“Gue nggak mau jual barang-barang gue, Karet Nasduk!”

“Kalau lu nggak mau jual, lu nggak bakal mampu beli nasduk Mpok Hindun besok pagi, Gagang Sodet!” Ganti Gia memukul kepala Nayara.

“Nggak ada cara lain apa?”

Gia berpikir sesaat. Lalu tiba-tiba dia menarik tangan Nayara sangat kuat Sampai membuat Nayara nyaris tersuruk tersungkur.

“Eh, Kecoak Bunting, pelan-pelan ngapa. Lu kata gue karung beras?!”

Tapi Gia tetap abai. Gesit, dia menyambar cardigan dari gantungan di pintu, dan langsung melempar benda itu ke muka Nayara.

“Iye, itu juga asli. Lu suruh gue jual juga?”

“Kagak. Pakai deh cepat. Ayo kita makan gratis.”

“Hah?”

“Cepetan!”

Mendengar kalimat makan gratis Nayara langsung bergegas.

***

Demi menghemat pengeluaran, Gia mengajak Nayara berjalan kaki. Tengah hari bolong! Membuat energi dari nasi uduk sebagai makan pagi hilang tak bersisa. 

“Masih jauh, Gee?” Nayara sudah sempoyongan. Nyaris dua kilo mereka berjalan. 

“Yang sabar ya, Nduk. Inget sama Simbok di kampung,” ujar Gia sambil ngelus kepala Nayara. Suaranya seperti mbok-mbok yang akan melepas anak gadisnya merantau ke kota. 

“Gia!”

“Sing sabar sing tawakkal, sing-singkan lengan bajumu.”

Plak.

Keplakan kembali mendarat di kepala Gia. 

Mungkin jika mereka bersahabat selama tiga tahun meraka akan berakhir di ruang operasi. Pendarahan epidural. 

“Duit lu nggak bakal cukup buat naik ojek, Bego! Lu mau lari-lari di belakang ojek gue?”

“Busway?”

“Males gue. Sudahlah harus pindah koridor, tetap harus jalan juga.” 

“Trus kita jalan kayak musafir di Timbuktu gini sampai kapan?”

“Sampai kita menemukan billabong di Australia.” Gia langsung menarik tangan Nayara, benar-benar seperti menarik hewan mogok berjalan. 

***

Bersambung

Authot’s note:

Ternyata nulis komedi itu susah, Sodarasodara. Novel ini tadinya saya mau bikin nerasinya beda. Full pakai bahasa gaul. Sudah dapat beberapa bab, eh, lama-lama makin nggak jelas dan garing kriuk-kriuk. Akhirnya semua Emak ubah, kembali ke asal. Ya sudahlah, mungkin memang Emak nggak bakat bikin readers ngakak. Emak lebih cocok bikin kalian baper ngebucin kan? Yo wesh lah, ajak yang lain yang suka bapering sambil ngebucin ke sini ya.

Emak selalu nunggu komen kalian, termasuk love, like, subcribe, and follows. 

Thx and happy reading.

Love you, My Lovely Readers.

[Jumat, 30 Juli 2021]

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Sandra Setiawan
ecieee... asiiikkk...
goodnovel comment avatar
Sandra Setiawan
makasih. makasih jg sudah mau mampir.
goodnovel comment avatar
ria Zain
keren, bikin penasaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status