ITU adalah kejadian setahun lalu.
Saat ini Nayara sedang berusaha mengumpulkan uang kuliah setelah berhasil membayar uang kos tahun kedua. Satu tahun ini dia terpaksa cuti kuliah. Nayara benar-benar tak sanggup mengumpulkan uang semester kampusnya yang baru sekarang dia rasa sangat mencekik. Sepanjang satu semester kemarin, dia full bekerja. Apa pun dia kerjakan termasuk di katering hasil rekomendasi ibu angkatnya. Ah, dia yang menahbiskan dirinya sebagai anak angkat.
***
Beberapa bulan setelah pergi
DI pagi menjelang siang itu Nayara antara panik dan ketakutan. Dia belum pernah merasakan ini sebelumnya. Dia merasa sudah amat sangat-sangat teramat berhemat sekali. Jumlah yang dia bawa dari rumah papa Jaya dulu hanya untuk bersenang-senang beberapa hari saja. Paling lambat seminggu. Kalau dia bisa bertahan tiga bulan dengan jumlah yang sama setelah dipotong biaya kos, itu adalah penghematan luar biasa. Tapi tetap saja, uang cash yang dia bawa dari rumah sudah habis sekarang. Dia hanya sangat bersyukur karena membayar lunas di awal biaya kos. Kalau tidak, entah di mana sekarang dia tinggal.
Siang itu bukan panas matahari yang membuatnya berkeringat, tapi uang di tangannya yang membuatnya mandi keringat. Setelah mengorek lemari, koper, dan tempat-tempat lain, dia hanya berhasil mengumpulkan tiga lembar uang dua ribu, lima koin lima ratus, sembilan koin dua ratus, dan selembar lima ribu. Uang yang dulu tidak dia anggap sebagai uang. Kertas dan logam yang dulu tak berguna hanya memenuhi dompet saja sekarang menjadi sangat bernilai. Sisa itu isi dompetnya. Dipaksa sehebat apa pun, uang ini tak akan cukup untuk makan sampai komisinya cair yang berarti seminggu lagi.
Dia sudah mengambil begitu banyak naskah untuk diedit. Dia sudah stripping posting novel. Bahkan dia posting sekaligus dua novel. Followers-nya memang menanjak drastis ketika Nayara posting part baru nyaris setiap hari. Komisinya dari menulis meningkat. Tapi tetap saja masih kurang. Uang tunai yang dia bawa dari rumah, setelah membayar kos, ternyata hanya mampu membiaya tiga bulan hidupnya saja.
Ketakutan ini sebenarnya sudah seminggu lalu dia rasa. Saat dia mulai mengumpulkan uang dari mana pun. Yang paling mengesalkan adalah ketika dia panik, otaknya pun buntu menulis. Seminggu ini dia nyaris menghabiskan tabungan bab novelnya. Dia yang ketika tenang bisa menulis delapan sampai sembilan part per minggu per novel, seminggu kemarin hanya mampu menulis tiga sampai empat bab saja. Rencannya mengeluarkan novel baru terpaksa tertunda. Ternyata, selain menghemat uang dia pun harus menghemat bab novel. Semua harus dia hemat. Memaki pun tidak bisa lagi. Siapa yang bisa dia marahi sekarang?
Uang kertas di tangannya lusuh dan basah karena keringat. Dia duduk di tepi kasur dengan kaki terbuka lebar. Putus asa, dia letakkan uang itu di lantai. Lalu menyambar dompet dan mulai membuka tiap saku di sana. Dia mengeluarkan kartu-kartunya, siapa tahu ada uang terselip. Tapi kalau tak ada ya memang tidak ada. Memang sudah tidak ada lagi uang di sana. Seandainya dompet itu bisa diperas pun dia sudah tidak bisa mengeluarkan isinya lagi.
Kecualiā¦
Kartu ATM dan kartu kredit itu bisa.
Dia sambar kartu-kartu itu. Tiga kartu ATM berjenis platinum yang ATM-nya ada di mana-mana. Dua kartu kredit berlogo visa dan master juga berjenis platinum. Lima kartu ini bisa dia peras bahkan untuk membeli sepetak kamar kos.
Should I?
Sejak Nayara pergi, dia tidak pernah mengambil isi kartu-kartu itu. Sekali dia gesek, papanya akan menertawakan dia. Dia tahu papanya seperti apa. Tapi sekarang dia sudah miskin papa, menuju fakir, dan terancam kelaparan.
Dia mainkan lima kartu di tangannya. Sampai satu titik spontan dia lempar semuanya. Bersamaan dengan pintu yang mendadak terbuka.
āAduhā¦ā Sebuah kartu melayang mengenai dahi Gia, āEh, apaan nih?ā
Gia yang masuk disambut dan disambit kartu tentu ternganga melihat kondisi sahabatnya. Apalagi mendadak ada hujan kartu di kamarnya.
āLu kenapa, Nay?ā Gia langsung duduk di samping Nayara yang masih diam tercenung tanpa ekspresi seperti orang yang butuh dirukyah.
Gia benar-benar tidak ada ide kenapa Nayara seperti itu. Dia melihat gumpalan uang kertas dan ceceran koin di antara kaki Nayara yang terbuka lebar.
āGeeā¦ā
āYa?ā
āGimana caranya duit segini bisa buat makan dan ongkos seminggu?ā
āHah?ā
āAjarin gue, Suhu.ā Dia merasa Gia selalu memiliki celah berhemat. Dan selama tinggal bersama, Nayara memang menjadikan Gia sebagai guru dan pembimbing spiritualnya.
Gia melihat bergantian antara wajah Nayara dan ceceran yang lusuh.
āIni mah buat sewa tuyul second aja kurang, Nay. Buat bayar pajak penghasilan tuyul doang aja kurang. PTKP-nya sih kecil karena cuma butuh sempak doang, tapi beneran, segini kurang deh. Apalagi buat bayar mahar babi ngepet. Jauh lahā¦ā
Pletak.
āAwwā¦ā Tangan Nayara santai aja memukul kepala Gia. Membuat Gia mengelus kepalanya. āIni dompet asli kan?ā Gia mengelus kulit dompet tersebut. Lalu tangannya mengelus pergelangan tangan Nayara. āIni jam asli kan?ā
āAsli.ā
āJual deh.ā
Mendadak Nayara menjatuhkan tubuhnya ke kasur dan meraung.
āAstaga⦠Richard Millie nih. Kalau gue jual gue nggak akan mampu beli lagi kecuali gue rebut Reino Barack dari Syahrini. Jangan dong, Gee⦠Gue pakai apa kalau ini dijualā¦ā
Tak acuh, Gia berkata, āItu koper segede lemari asli kan?ā
Nayara semakin meraung.
āGue nggak mau jual barang-barang gue, Karet Nasduk!ā
āKalau lu nggak mau jual, lu nggak bakal mampu beli nasduk Mpok Hindun besok pagi, Gagang Sodet!ā Ganti Gia memukul kepala Nayara.
āNggak ada cara lain apa?ā
Gia berpikir sesaat. Lalu tiba-tiba dia menarik tangan Nayara sangat kuat Sampai membuat Nayara nyaris tersuruk tersungkur.
āEh, Kecoak Bunting, pelan-pelan ngapa. Lu kata gue karung beras?!ā
Tapi Gia tetap abai. Gesit, dia menyambar cardigan dari gantungan di pintu, dan langsung melempar benda itu ke muka Nayara.
āIye, itu juga asli. Lu suruh gue jual juga?ā
āKagak. Pakai deh cepat. Ayo kita makan gratis.ā
āHah?ā
āCepetan!ā
Mendengar kalimat makan gratis Nayara langsung bergegas.
***
Demi menghemat pengeluaran, Gia mengajak Nayara berjalan kaki. Tengah hari bolong! Membuat energi dari nasi uduk sebagai makan pagi hilang tak bersisa.
āMasih jauh, Gee?ā Nayara sudah sempoyongan. Nyaris dua kilo mereka berjalan.
āYang sabar ya, Nduk. Inget sama Simbok di kampung,ā ujar Gia sambil ngelus kepala Nayara. Suaranya seperti mbok-mbok yang akan melepas anak gadisnya merantau ke kota.
āGia!ā
āSing sabar sing tawakkal, sing-singkan lengan bajumu.ā
Plak.
Keplakan kembali mendarat di kepala Gia.
Mungkin jika mereka bersahabat selama tiga tahun meraka akan berakhir di ruang operasi. Pendarahan epidural.
āDuit lu nggak bakal cukup buat naik ojek, Bego! Lu mau lari-lari di belakang ojek gue?ā
āBusway?ā
āMales gue. Sudahlah harus pindah koridor, tetap harus jalan juga.ā
āTrus kita jalan kayak musafir di Timbuktu gini sampai kapan?ā
āSampai kita menemukan billabong di Australia.ā Gia langsung menarik tangan Nayara, benar-benar seperti menarik hewan mogok berjalan.
***
Bersambung
Authotās note:
Ternyata nulis komedi itu susah, Sodarasodara. Novel ini tadinya saya mau bikin nerasinya beda. Full pakai bahasa gaul. Sudah dapat beberapa bab, eh, lama-lama makin nggak jelas dan garing kriuk-kriuk. Akhirnya semua Emak ubah, kembali ke asal. Ya sudahlah, mungkin memang Emak nggak bakat bikin readers ngakak. Emak lebih cocok bikin kalian baper ngebucin kan? Yo wesh lah, ajak yang lain yang suka bapering sambil ngebucin ke sini ya.Emak selalu nunggu komen kalian, termasuk love, like, subcribe, and follows. Thx and happy reading.Love you, My Lovely Readers.[Jumat, 30 Juli 2021]
MEREKA menikmati kebersamaan sebagai pasangan baru di setiap detik dan momen yang ada. Lepas salat subuh mereka menyiapkan makan (ke)pagi(an) berdua. Ransum dari Mak benar-benar berguna di suasana perang yang panas seperti saat ini. Saat lapar datang dan waktu yang ada mereka optimalkan untuk saling menyerang, tentu memasak adalah pilihan terakhir. Mereka menyantap apa pun yang ada di meja makan. Lalu berakhir di sofa ruang tengah sambil terkekeh dan tangan memegang piring penganan.“Mak benar ya. Kita ternyata butuh banget makanan-makanan ini.”“Wah, dia mah master. Suhu.” Tangan Nayara saling mengepal di depan wajahnya. “Harus diikuti.”“Tapi kayaknya bekal Mak yang lain kurang deh.”“K*nd*m?”“He eh. Kita harus beli sekalian beli stok makanan.”Nayara terkekeh.“Nayara,” suara Manggala mendadak serius. “Aku mau ajak kamu ke Mama. Aku mau kenal
DAN di sanalah mereka bersatu. Menuju satu titik, saling berkejaran, saling memberikan. Tak ada lagi batas. Masing-masing mereka membuka semua sekat yang ada. Menyibak tabir yang menghalangi jiwa mereka termasuki yang lain. Menyelam bersama, mendaki bersama, melayang bersama. Terhempas dan terkoyak bersama.Nayara membiarkan Manggala memuja dirinya. Menyentuh titik-titik hasratnya. Memberikan semua yang dia punya.Tatapan mereka tak lekang.Seperti musafir yang tersesat, Manggala menemukan jalan pulang di kedalaman tubuh perempuannya.Manggala berbicara dengan bahasa lain. Bahasa yang selama ini menjadi misteri bagi Nayara. Dia memuja Nayara dengan caranya. Dengan gairah yang membiru mengharukan. Dengan hasrat yang memerah manyala. Tak ada lagi yang dia sembunyikan. Semua dia buka.Inilah aku, Nayara. Beginilah aku. Penyatuan yang membuat dunia mereka semakin berwarna. Tak melulu hitan dan putih. Tidak ada benar dan salah bagi mere
NAYARALAH yang pertama kali sadar.Menghapus air mata dengan lengan yukata, dia sudah bisa menghentikan air mata dan mengendalikan emosi. Dia membiarkan Manggala tetap terpaku menatap titik di mana ayahnya terakhir menghilang sementara dia berjalan mengambil berkas yang ditinggalkan Wiguna dan menutup pagar, lalu kembali ke Manggala. Dia menyerahkan berkas itu langsung ke tangan Manggala. Nayara menyelipkan berkas itu di tangan Manggala yang mengepal kaku di samping tubuhnya. Mengelus punggung dan buku jari Manggala, melenturkan tangan itu agar terbuka.Tapi Manggala tetap berdiri kaku dan tangannya tetap tak membuka. Akhirnya Nayara memeluk pinggangnya. Mengecup sembarang bagian tubuh Manggala lalu menariknya berjalan memasuki rumah. Manggala mulai bereaksi ketika berjalan. Dia mengembuskan napas keras, mengusap wajahnya kasar yang berakhir di remasan di tengkuknya. Nayara terus membimbingnya memasuki rumah sampai Manggala membanting tubuh dan duduk diam di sofa.
MEREKA akan menghadapinya bersama. āDari mana Papa tahu tempat ini?ā Suaranya datar menuju sinis di antara geram dan desis. āManggala...ā Tersendat. āAda perlu apa Papa ke sini?ā āManggala, Nak...ā Tercekat. āKalau Papa mau ambil tempat ini juga, sebut satu angka, aku akan bayar.ā Tegas. Walau dalam kepalanya berpikir dia akan membayar dengan uang yang berasal dari ayahnya juga. Di situ hatinya merintih. Kenapa, Papa? Sampai nyawaku pun Papa ambil, aku tak akan mampu mengembalikan semua yang sudah Papa beri. Kenapa harus seperti ini, Pa? Sebersit pikir, Manggala akan menyerah mengikuti saja mau Wiguna. Jika terpaksa, Manggala yakin dia bisa menjalankan mau Wiguna. Toh seumur hidup dia sudah melakukan itu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku bisa menentukan sendiri mauku? Menjalani sendiri pilihan hidupku? Aku lelah menjadi orang lain. Diam. Tak ada suara. Manggala terus merin
DI malam pertama itu akhirnya mereka bisa tidur nyenyak tanpa gangguan sama sekali. Malam pertama yang mereka habiskan untuk meluruskan banyak hal dengan mendengarkan Nayara. Semua harus jelas kenapa Nayara selalu ingin pergi tapi bahasa tubuhnya tidak mau melepas Manggala. Pagi itu, mereka terbangun dengan sendirinya karena tubuh-tubuh mereka sudah merasa cukup beristirahat yang membuat tubuh mereka sesegar hawa gunung.Gerak menggeliat membangunkan yang lain. Lalu ketika menyadari kali ini mereka tidak perlu lagi berbatas, mereka mengeratkan pelukan. Tidur seperti tadilah yang mereka butuhkan. Tidur yang lain segera menyusul.“Nayara…” Manggala tengkurap bertelekan sikunya tepat di atas Nayara.“Ya?”“Sholat ya. Bareng aku.” Suaranya lembut, wajahnya tenang. Melihat Nayara di bawahnya, dia merasa lebih siap menghadapi dunia.“Aku nggak punya mukena.” Tangannya bergerak menggelay
“APA yang terjadi?”“Gia harus benar-benar meyakinkan aku kalau kamu pasti pulang. Kembali ke aku. Aku drop banget. Nggak bisa mikir. Buntu. Sampai aku nggak bisa nolak kemauan Papa. Jadilah Lontara hasil akuisisi perusahaan lain. Aku makin kecewa sama hidup aku sendiri. Nggak ada yang aku mau bisa aku peroleh.”Jeda.“Aku kembali mabuk biar bisa lupa semuanya. Tapi pas sadar malah bikin aku tambah drop. Aku kangen kamu. Aku kehilangan kamu. Lalu aku mikir, siapa yang nggak akan ninggalin aku. Kalau aku selalu ditinggal, buat apa aku ada? Buat apa aku diciptakan? Mulanya dari pertanyaan itu. Aku mencari tahu kenapa aku harus ada di dunia ini.”“Buat aku...” balas Nayara cepatManggala tersenyum. “Jangan GR ah.” Nayara mencucu.“Kenapa kamu milih mendekat ke Tuhan? Banyak orang yang semakin menjauh?”“Pertama, aku sudah merasa rusak dan semakin rusak pas kamu
“BUAT reply surat-surat Leo Zeus di Papyrus.”“Hah?”“Semua surat yang kamu tulis di sana, aku reply di sini. Aku kasih link surat kamu yang mana. Aku kasih foto biar balasan aku jadi caption foto itu. Biar aku gampang nyarinya. Kalau nggak ada foto jatuhnya share link. Kalau ada foto aku nyarinya dari album aja.”“Nayara…” bisik Manggala lemah. Terasa sakitnya merindu dua tahun kemarin.“Aku selalu balas surat kamu, Manggala. Nanti kalau kamu sempat baca aja. Ada semua di sini.” Dia mengecup pipi suaminya yang sebelah lagi. “Tapi aku mau kamu lihat satu foto.” Nayara kembali ke album. Lalu ketika foto yang dia cari berhasil ditemukan, dia tunjukkan foto itu pada Manggala.“Ini cowoknya?” Sebuah swafoto Nayara dan seorang pria. Nayara sedang duduk memegang gelas kertas dengan dua tangan di taman. Jelas pria itu yan
ACARA masih berlanjut. Yang sudah pulang hanya tetangga saja. Sebenarnya tidak ada acara. Hanya berkumpul dan bercerita dan bercengkerama. Ada yang melihat-lihat koleksi tanaman Manggala, ada yang berbaring sambil menonton TV. Ada yang melanjutkan makan. Tapi ada yang memasak mi instan di dapur.Mereka berbahagia sepanjang pesta ini. Manggala tidak pernah berada di satu posisi. Berpindah dari satu kelompok kecil ke kelompok yang lain. Yang ketika berpindah dan melewati Nayara, maka Manggala akan mengecupnya sambil berkata, “Aku bahagia.”Ini pesta pernikahan impian mereka. Mungkin hanya dress code yang membuat pernikahan ini sedikit lebih resmi. Warna putih terasa sakral di hari penyatuan ini.Sampai akhirnya lepas maghrib satu per satu mulai berpamit. Mak dan Gia sejak tadi sudah merapikan sisa makanan dan membungkus-bungkusnya.“Em, gue sisain segini aja ya. Lu angetin aja kalau mau makan. Gue sudah bungkus perporsi, kalau lap
SAMBUTAN meriah menyambut mereka. Sedikit tamu yang hadir memang sahabat pilihan. Dan pelukan-pelukan hangat membuat Nayara merasa jauh lebih baik. Perasan aneh itu memang tidak serta merta hilang ketika dia sah menjadi istri Manggala. Dia tetap harus berusaha tegar di depan para tamu. Ketika dia melihat sepasang tamu, Nayara merasa bersemangat. Dia menarik Manggala ke arah pasangan itu.“Manggala, ini Mbak Mimo dan Mas Shaq. Yang nolongin aku waktu kamu pingsan.” Dia menerima pelukan hangat dari Mimo.Manggala tersenyum dan langsung menurunkan kepalanya ke depan, sangat berterima kasih, penghormatan menyerupai ojigi yang sangat cocok dengan kimononya. Lalu mereka berjabat tangan akrab.“Terima kasih ya sudah mau datang. Terima kasih juga kemarin sudah mau bantu Nayara. Maaf kemarin undangannya cuma diselipin aja.”“It’s okay.” Shaq menepuk bahu Manggala. “Kalau lihat gimana Nay waktu itu,