MasukJantung Sabe berdebar-debar, iramanya seperti genderang perang yang tak bisa dihentikan. Koridor di luar perpustakaan terasa tak berujung, marmernya yang mengilap memantulkan citra dirinya yang tidak lagi rapuh. Ia memeluk tumpukan buku itu erat-erat, seolah-olah buku-buku tersebut adalah tameng yang melindunginya dari tatapan tajam Reza yang terasa mengintai dari setiap sudut. Ia harus tampil sempurna. Dingin, anggun, dan tak tersentuh. Nyonya Yunanda yang baru, yang hatinya terbuat dari es, dan yang di matanya hanya ada pantulan cahaya safir.
Di ujung koridor, ia berpapasan dengan Bu Suri. Wanita paruh baya itu tersenyum kecil, senyum yang tidak mencapai mata. "Sudah selesai, Nyonya?" suaranya lembut, namun Sabe bisa menangkap nada ingin tahu di dalamnya. Bu Suri menunggu. Menunggu bukti kepatuhan. Sabe membalas tatapan itu, menarik napas sejenak, dan menampilkan senyum yang paling dipaksakan, yang justru terasa paling meyakinkan. "Hanya permulaan, Bu Suri," jawabnya, suaranya tenang, nyaris dingin. "Reza benar. Saya harus mengenal seni dan sejarah keluarga ini. Sebuah kehormatan, bukan? Untuk melayani klan Yunanda." Bu Suri tidak bergerak, matanya menelusuri tumpukan buku di tangan Sabe. Fokusnya tertuju pada buku usang di lapisan paling atas. Jejak Seniman Lokal Abad ke sembilan belas. Senyumnya memudar, tergantikan oleh kerutan samar di dahi. Sebuah kerutan yang singkat, tetapi cukup untuk memicu alarm di benak Sabe. "Anda tertarik pada seni jalanan, Nyonya?" tanya Bu Suri, nadanya kini berhati-hati. "Semua seni, Bu Suri," Sabe berkata santai, ia merasakan adrenalin memompa, ia sedang bermain di ujung jurang. "Setiap karya memiliki kisah. Dan bukankah tugas seorang Nyonya Yunanda adalah menemukan dan menguasai kisah-kisah itu?" Bu Suri terdiam, mungkin terkejut dengan jawaban Sabe yang tak terduga. Jawaban yang terlalu cerdas untuk seorang sandera pernikahan. "Tentu saja, Nyonya," katanya akhirnya, memberikan anggukan hormat yang terasa kaku. "Jika Anda butuh bantuan dalam memahami silsilah keluarga, jangan ragu bertanya pada saya. Saya sudah melayani keluarga ini seumur hidup saya." "Terima kasih atas tawarannya," Sabe tersenyum lagi. Tentu saja, Bu Suri, batinnya tajam. Kau adalah mata-mata Reza. Kau tidak akan pernah membantuku. Sabe melanjutkan langkahnya menuju kamarnya. Ia tidak tahu apakah itu kamar tidurnya atau sel penjaranya. Yang jelas, di sanalah ia harus bersembunyi untuk mencerna racun informasi yang baru saja ia telan. *** Malam itu, Sabe duduk di meja rias, di bawah cahaya redup. Ia tidak menyalakan lampu utama. Ia tidak ingin ada bayangan yang mengintainya. Ia membuka Jejak Seniman Lokal Abad ke sembilan belas dan menatap sketsa Saraswati. Wajah itu… Ia melihat jejak dirinya di sana, bentuk tulang pipi, garis bibir yang keras. Itu ibunya. Ia membalikkan halaman, kembali ke daftar karya. Potret diri dengan liontin safir. Sabe meletakkan buku itu, jantungnya terasa seperti batu yang ditarik ke dalam jurang. Ia beranjak, berjalan ke lemari yang disediakan Reza. Lemari yang dipenuhi gaun-gaun mahal yang melanggar janji Ayahnya pada Ibunya untuk hidup sederhana. Ia menarik keluar kotak perhiasan beludru hitam yang ia temukan di laci tersembunyi. Di dalamnya, terbaring liontin yang lebih besar dan lebih tua. Berlian besar dengan cahaya kusam. Tetapi perhatian Sabe tertuju pada sebuah kalung mutiara yang melilit sebuah bingkai foto kecil. Bingkai perak, usang. Ia membuka bingkai itu dengan tangan gemetar. Fotonya buram, usang dimakan waktu. Seorang wanita tersenyum lebar, memakai kebaya sederhana. Wajahnya sama dengan wajah di sketsa. Saraswati. Tapi ada satu detail yang membuat dunia Sabe berhenti. Di foto itu, Ibunya tidak sendirian. Ia berdiri di sebelah seorang pria muda. Pria itu tampak tampan dan berwibawa, dengan mata yang tajam dan senyum yang ramah. Pria itu, tanpa keraguan, adalah versi muda dari Ayahnya. Namun, di antara mereka berdua, tangan Saraswati memegang erat tangan seorang gadis kecil. Gadis kecil itu memiliki rambut gelap dan mata yang terlalu besar untuk wajahnya. Di leher gadis kecil itu, berkilauan meskipun buram sebuah liontin safir biru. Sabe menjatuhkan bingkai itu. Foto itu jatuh terbuka di karpet tebal. Air mata yang selama ini ia tahan, kini mengalir deras, membakar pipinya. Gadis kecil itu bukan Sabe. Sabe adalah anak tunggal. Ayahnya selalu mengatakan itu. Jika liontin itu milik Saraswati, dan dipakai oleh gadis kecil di foto itu, siapa gadis itu? Apakah dia Maya, anak yang tanggal kematiannya tidak diketahui dalam silsilah keluarga Yunanda? Sebuah pemikiran baru yang lebih mengerikan muncul di benaknya. Ia bergegas kembali ke meja rias, mengambil buku silsilah yang ia curi dari perpustakaan. Ia membuka halaman 'Yunanda R. Yunanda dan Laksmi Prawiro. Anak, Reza.' Ia menyentuh nama Reza. Reza. Ayahnya mencuri masa depan Reza. Ayahnya mencuri liontin itu. Sabe membalik kembali ke nama Maya. Ia mencoba mencocokkan tanggal lahirnya. Jika ada dengan perkiraan usia gadis kecil di foto. Tetapi catatan itu kosong. Ia kembali menatap foto yang tergeletak di lantai. Ia melihat Saraswati, Ibunya. Ia melihat Ayahnya. Dan ia melihat gadis kecil yang memakai liontin safir itu. Sabe menyeka air matanya. Kebenaran yang ia cari bukan hanya tentang Ayahnya, tentang pencurian. Ini tentang warisan yang jauh lebih gelap. Tentang identitas yang tersembunyi. Sabe tahu ia harus menemukan wanita di foto itu. Gadis kecil itu adalah kunci, bukan liontinnya. Tiba-tiba, ponselnya berdering di atas meja. Sebuah pesan teks dari nomor tak dikenal. Aku tahu apa yang kamu cari, Nyonya Yunanda. Dia tidak mati. Dia bersembunyi. Dia adalah kelemahan Reza. Temui aku besok di kedai kopi tua di persimpangan jalan Anggrek. Sendirian. Jangan bawa liontin itu. Sabe menatap pesan itu. Siapa yang mengirimnya? Bu Suri? Candra, saudara Reza? Atau jebakan dari Reza sendiri? Ia melihat ke jendela. Di luar, taman yang luas dan gelap tampak sunyi, namun terasa mengancam. Ia tidak bisa menebak. Tapi satu hal yang ia yakini, ia tidak bisa mengabaikan kesempatan ini. Ia kembali mengambil foto yang tergeletak di lantai, melipatnya, dan menyembunyikannya di balik lapisan terdalam bajunya. Ia mengunci pintu kamarnya. "Permainan ini semakin menarik, Reza," bisiknya pada keheningan. "Kau memaksaku menjadi mata-mata, maka aku akan menjadi mata-mata yang paling mematikan." Sabe mematikan lampu. Kegelapan menyelimuti kamar, tapi di benaknya, sebuah rencana baru sudah mulai terbentuk. Ia akan pergi. Ia akan mengambil risiko. Demi Ayahnya. Demi kebenaran yang terkunci di antara nama-nama yang hilang. Ia tidak tahu apa yang menantinya di kedai kopi tua itu, tapi Sabe tahu satu hal pasti. Ia baru saja menandatangani surat persetujuan untuk melangkah lebih jauh ke dalam sarang laba-laba keluarga Yunanda. Dan kali ini, ia tidak akan menjadi mangsa. Ia akan menjadi pemangsa yang menemukan kebenaran yang paling gelap. Apakah ia akan menemukan Maya? Ataukah ia akan jatuh ke dalam jebakan yang akan mempercepat hukuman Ayahnya? Hanya fajar yang tahu.Sabe dan Maya berlari tanpa henti, membiarkan kegelapan hutan yang lebat menelan mereka. Tanah basah dan berlumpur di lereng bukit Cikandel menjadi sekutu mereka. Mereka menembus semak belukar yang berduri, suara napas mereka yang terengah-engah dan gemerisik dedaunan menjadi satu-satunya petunjuk. Di kejauhan, mereka masih bisa mendengar teriakan Reza, sebuah janji yang kejam. Ia tidak akan pernah berhenti."Pabrik Pemurnian Emas..." Sabe berusaha mengatur napas, menyeimbangkan diri saat Maya menarik tangannya melompati akar pohon yang melintang."Tempat pembersihan aset kotor. Bagaimana... Bagaimana itu bisa menjadi tempat di mana Cahaya Merangkak, Air Menangis, dan Api Membisu?"Maya memperlambat langkahnya sedikit, bersembunyi di balik sebatang pohon beringin tua yang akarnya menjulang seperti jaring laba-laba raksasa."Ayah tidak pernah menggunakan metafora biasa. Dia bermain dengan kata-kata kuno, dengan alkimia. Cahaya Merangkak. Itu adalah cahaya tersembunyi, yang tidak diakui
Sabe mengikuti Maya, langkahnya kini lebih mantap meskipun air kotor di selokan itu dingin dan kental. Bau lumpur, karat, dan air pembuangan yang menyengat terasa seperti minyak wangi kebebasan setelah aroma pengap di ruang arsip. Mereka berjalan dalam keheningan yang tegang, hanya diselingi oleh gemericik air dan napas terengah-engah. Di atas, suara sirene mobil polisi dan mobil dinas yang tergesa-gesa terdengar seperti lolongan hantu yang jauh, memburu mereka.Mereka harus bergerak cepat. Reza tidak bodoh. Kemarahannya yang besar akan segera memudar, digantikan oleh perhitungan yang dingin. Catatan Plato itu adalah gangguan, bensin yang membakar amarahnya, tetapi hanya sementara."Kau bilang ada tiga pilar, tiga petunjuk," kata Sabe, suaranya bergema samar di terowongan beton. Ia harus memecah keheningan yang mencekam itu. "Petunjuk pertama, Pilar Pertama, dimana Waktu Berhenti. Di sana, lonceng Mati tidak akan berdentang lagi. Apa yang kau ketahui tentang ini?"Maya tidak langsung
Sabe terpeleset di ambang pintu, menabrak punggung Maya yang sudah melangkah cepat ke dalam lorong yang sempit dan gelap. Aroma di sini jauh berbeda. Bukan lagi kertas tua dan kapur barus, melainkan tanah lembab, lumut, dan bau karat yang menusuk hidung."Hati-hati. Lantai kayu ini sudah lapuk," desis Maya tanpa menoleh.Suara decit rem yang tajam di jalan depan kini diikuti oleh debuman pintu mobil yang keras dan suara sepatu pantofel yang tergesa-gesa menghantam aspal. Mereka hanya punya beberapa detik."Nyaris," bisik Sabe, menelan ludah. Adrenalinnya melonjak, membakar rasa takut menjadi fokus tajam. Ia mengikuti Maya, tangannya meraba dinding di sampingnya yang terasa seperti batu bata tua yang dingin. Lorong itu menukik tajam ke bawah, membentuk tangga curam yang dibuat dari kayu yang tidak rata."Apa yang kau ketik di ponselku?" tanya Sabe, suaranya tercekat."Alamat Yayasan," jawab Maya, langkahnya tanpa cela di kegelapan. "Candra akan memimpin pasukan serigalanya ke sana, me
Perjalanan taksi kedua terasa berbeda. Jika yang pertama adalah lompatan menuju kebenaran yang tidak diketahui, yang ini adalah penurunan sadar ke dalam sarang ular.Sabe memegang alamat di tangannya yang sedikit gemetar. Jalan Merpati. Sebuah area di kota tua yang bahkan lebih terpencil, terkenal dengan gang-gang sempitnya dan bangunan-bangunan yang seakan membungkuk di bawah beban rahasia mereka.Ponsel di dalam sakunya terasa seperti bom waktu. Ia belum membukanya sejak meninggalkan kedai kopi. Ia tahu Reza pasti sudah menelepon. Mungkin awalnya hanya panggilan biasa, lalu berubah menjadi tuntutan, dan sekarang, pasti sudah menjadi alarm berburu.Ia bisa merasakan cengkeraman sangkar emasnya. Yang tadinya hanya metafora, kini mengencang secara harfiah."Di sini, Mbak," kata sopir taksi, berhenti di depan sebuah fasad yang nyaris runtuh.Papan nama kayu yang tergantung miring bertuliskan Aksara Kuno.Toko buku antik. Sabe membayar dan melangkah keluar. Udara di gang itu terasa penga
Fajar merayap masuk melalui tirai sutra, bukan sebagai janji, melainkan sebagai peringatan. Sabe sudah terjaga sejak lama, pikirannya berputar mengolah setiap detail dari pesan misterius itu. Kedai kopi tua di persimpangan jalan Anggrek. Sendirian. Jangan bawa liontin itu. Sabe berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Gaun rumahannya yang mahal terasa seperti kulit kedua yang menyesakkan. Hari ini, ia harus melepaskan citra Nyonya Yunanda yang dingin dan anggun. Ia perlu berbaur, menjadi bayangan di tengah kota yang ramai. Ia membuka lemari, mengabaikan deretan gaun desainer. Matanya menangkap satu setelan yang sengaja ia simpan di sudut: celana panjang longgar berwarna arang dan blus oversized dari katun linen. Pakaian sederhana yang mengingatkannya pada masa lalunya yang ia kira telah ia tinggalkan. Ia mengikat rambutnya ke belakang dengan gaya yang jauh dari tata rias sempurna yang biasanya ia pakai. Di saku celananya, ia menyelipkan foto Saraswati, Ayahnya, dan gadis
Jantung Sabe berdebar-debar, iramanya seperti genderang perang yang tak bisa dihentikan. Koridor di luar perpustakaan terasa tak berujung, marmernya yang mengilap memantulkan citra dirinya yang tidak lagi rapuh. Ia memeluk tumpukan buku itu erat-erat, seolah-olah buku-buku tersebut adalah tameng yang melindunginya dari tatapan tajam Reza yang terasa mengintai dari setiap sudut. Ia harus tampil sempurna. Dingin, anggun, dan tak tersentuh. Nyonya Yunanda yang baru, yang hatinya terbuat dari es, dan yang di matanya hanya ada pantulan cahaya safir.Di ujung koridor, ia berpapasan dengan Bu Suri. Wanita paruh baya itu tersenyum kecil, senyum yang tidak mencapai mata. "Sudah selesai, Nyonya?" suaranya lembut, namun Sabe bisa menangkap nada ingin tahu di dalamnya. Bu Suri menunggu. Menunggu bukti kepatuhan.Sabe membalas tatapan itu, menarik napas sejenak, dan menampilkan senyum yang paling dipaksakan, yang justru terasa paling meyakinkan."Hanya permulaan, Bu Suri," jawabnya, suaranya tenan







