Share

Rencana Sabe

Penulis: Ryu Lee
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-26 23:01:37

Perpustakaan itu hening. Sunyi yang mengancam, dipenuhi bayangan dari rak-rak buku tua. Sabe berdiri tegak selama beberapa saat, paru-parunya menolak untuk menghirup udara yang ditinggalkan Reza. Udara yang terasa berbau kekuasaan, dendam, dan safir biru. Liontin itu tergeletak di atas meja, berkilauan. Sebuah mercusuar kebenaran yang kejam. Liontin itu adalah kunci, dan Sabe baru saja kehilangan kesempatan untuk membukanya.

Air mata mendesak, panas dan menyakitkan, tetapi Sabe menolaknya. Ia tidak akan menangis untuk Reza. Air mata hanya akan menjadi pupuk bagi kekuasaan pria itu. Kata-kata terakhir Reza, ancaman terhadap Ayahnya bergema di benaknya, lebih keras daripada suara bantingan pintu tadi.

Ini adalah harga yang harus dia bayar, Sabe

Aku akan pastikan ayahmu menjalani sisa hidupnya dalam kegelapan total.

Ancaman itu nyata, dingin, dan tidak bisa diabaikan. Ini bukan lagi tentang hutang, tentang sandera pernikahan. Ini adalah perang pribadi yang dipicu oleh pengkhianatan di masa lalu, sebuah dendam yang berakar jauh, dan Sabe baru saja menjadi budak yang dipaksa bergerak di papan catur yang mematikan.

Ia berjalan ke meja kerja, jari-jarinya yang gemetar menyentuh marmer dingin. Ia tidak berani menyentuh liontin itu lagi. Sentuhan Reza masih terasa pada pergelangan tangannya. Cengkeraman yang menyakitkan, mengklaim, dan Sabe tahu, ia tidak boleh membuat kesalahan yang sama lagi.

Mata Sabe tertuju pada tumpukan dokumen yang awalnya ia abaikan. Silsilah keluarga Yunanda R. Yunanda. Sebelumnya ia hanya mencari benang merah, sekarang ia mencari celah, kelemahan. Jika Ayahnya adalah penipu, dan kalung itu adalah milik keluarga Yunanda, Sabe perlu tahu siapa pemilik aslinya. Ibu Reza? Bibi? Seseorang yang namanya mungkin terukir di belakang liontin itu.

Ia menarik napas panjang, bau debu buku-buku lama yang sempat menyesakkan kini menjadi penenang. Ia menarik kursi kulit besar itu, menyibakkan rambutnya, dan memaksa matanya untuk fokus. Waktu adalah musuh. Sebagai pengingat, Reza melarang untuk mengenakan hijab.

Silsilah keluarga Yunanda sangat panjang dan rumit, sebuah pohon keluarga yang menjulang tinggi penuh dengan nama-nama bangsawan dan pengusaha sukses. Sabe melacak garis keturunan ke atas, mencari nama-nama perempuan yang mungkin memiliki liontin safir. Ia harus membaca dengan cepat, mencerna data tanpa emosi, seperti yang akan dilakukan oleh Nyonya Yunanda yang sempurna.

Yunanda R. Yunanda dan Laksmi Prawiro. Anak, Reza.

Sabe melewati nama-nama yang tidak penting, hingga ia sampai pada generasi sebelum itu.

Raditya Yunanda dan Widya Atmaja.

Anak, Yunanda R. Yunanda. Candra, dan... Maya.

Maya. Nama itu terasa familier di lidahnya, seperti lagu lama yang terlupakan. Sabe menahan napas, mencari catatan tentang Maya. Tanggal lahir, tanggal kematian. Ia melihat kolom kecil di samping nama Maya. Menikah dengan… Kolom itu kosong, atau mungkin sengaja dihapus. Tanggal kematian, tidak Diketahui.

Sabe mengerutkan kening. Mengapa status perkawinan kosong dan tanggal kematian tidak diketahui untuk salah satu anak dari garis keturunan utama? Apakah Maya ini yang dicuri Ayahnya? Apakah liontin itu milik Maya?

Bu Suri masuk ke pikirannya. Wanita itu menyarankan untuk membaca sejarah seni, mengabaikan silsilah. Sabe mengerti. Bu Suri tahu betapa berbahayanya silsilah itu bagi rencana Reza. Reza ingin Sabe melupakan masa lalu, tetapi masa lalu itu terkunci dalam nama-nama ini.

Sabe beralih ke tumpukan buku yang direkomendasikan Bu Suri. Sejarah Seni Era Renaisans, Arsitektur Neoklasik, dan satu buku kecil yang terlihat lebih tua dan usang. Jejak Seniman Lokal Abad ke 19. Ia membuka buku itu secara acak. Di halaman tengah, di bawah sketsa pena seorang wanita muda dengan ekspresi mata yang sedih, ada nama Saraswati. Seniman Jalanan yang Hilang.

Tiba-tiba, jantung Sabe berdebar kencang. Nama itu. Nama Ibunya.

Saraswati.

Ia membaca dengan cepat, matanya melahap setiap kata. Saraswati, seorang seniman jalanan yang berbakat, dikenal karena lukisan potretnya yang sangat emosional. Ia menghilang tanpa jejak pada suatu malam di akhir tahun sembilan puluhan. Buku itu berspekulasi bahwa ia telah jatuh ke pelukan seorang kolektor kaya, atau mungkin seorang penipu.

Sabe memegang buku itu erat-erat. Ayahnya adalah penipu. Ibunya adalah Saraswati yang hilang.

Ia membalik halaman-halaman itu lagi, mencari petunjuk. Dan di halaman terakhir, di bagian lampiran daftar karya terkenal Saraswati, Potret diri dengan liontin safir.

Sabe menoleh, menatap liontin di meja. Liontin itu adalah peninggalan Ibunya, bukan hadiah dari Reza. Ayahnya tidak mencuri. Ayahnya mengambil kembali. Tapi jika itu milik Ibunya, bagaimana bisa menjadi milik keluarga Yunanda?

Sebuah pemikiran dingin muncul di benaknya, sangat menakutkan sehingga hampir membuatnya muntah.

Jika Ayahnya mencuri masa depan Reza, dan Ibunya menghilang saat Reza masih muda, dan Ayahnya adalah seorang penipu...

Mungkinkah... Mungkinkah Ibunya, Saraswati, memiliki hubungan dengan keluarga Yunanda? Mungkin dengan Maya, anak yang tanggal kematiannya tidak diketahui? Atau bahkan dengan ayah Reza?

Pikiran itu terlalu besar, terlalu mengerikan untuk diatasi. Jika Ayahnya bukan hanya pencuri, tapi juga mengambil wanita yang seharusnya menjadi milik Reza. Entah itu ibu Sabe atau wanita lain. Maka dendam ini bukan hanya tentang uang. Ini adalah tentang cinta yang dicuri, tentang warisan yang dinodai.

Sabe menutup buku itu, tangannya berkeringat. Ia tidak bisa bertahan di sini, membaca tentang seni dan kebohongan, sementara kebenaran yang membakar terkubur di bawah marmer dingin. Ia harus bergerak.

Ia harus mulai bertindak sebagai Nyonya Yunanda yang sempurna. Bukan untuk Reza, tetapi untuk Ayahnya. Reza ingin ia menjadi boneka, maka ia akan menjadi boneka yang mematikan. Boneka yang akan membaca setiap buku di perpustakaan, menguasai setiap nama keluarga Yunanda, dan mencari celah kecil dalam benteng sempurna Reza.

Sabe melangkah ke rak buku dan dengan sengaja mengambil tumpukan buku yang disarankan Bu Suri, menumpuknya di lengan. Sejarah seni, arsitektur, dan buku tentang seniman yang hilang itu.

Ia tidak akan memenangkan perang ini dengan emosi. Ia akan memenangkannya dengan pengetahuan. Ia akan belajar menjadi Nyonya Yunanda yang sempurna, dan kemudian, ia akan menggunakan kesempurnaannya itu untuk menghancurkan monster yang berdiri di ambang pintu tadi.

Sabe berjalan menuju pintu, memaksakan langkahnya untuk tenang dan anggun. Ia menoleh sekali ke belakang, ke meja kerja. Liontin safir itu, benda kecil yang dingin dan biru, memancarkan cahaya di antara tumpukan dokumen yang berharga.

"Ini belum berakhir, Reza," bisik Sabe ke dalam keheningan yang mencekam.

"Aku akan mengetahui seluruh kebenaran. Dan saat aku melakukannya, aku akan membebaskan Ayahku dan diriku sendiri."

Ia keluar, menutup pintu perpustakaan di belakangnya. Di luar, koridor yang megah dan dingin terasa seperti jalur menuju medan perang. Permainan telah dimulai, dan Sabe baru saja mendapatkan senjata pertamanya, pengetahuan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pawang Hati Mafia Kejam   Pilar Kedua

    Sabe dan Maya berlari tanpa henti, membiarkan kegelapan hutan yang lebat menelan mereka. Tanah basah dan berlumpur di lereng bukit Cikandel menjadi sekutu mereka. Mereka menembus semak belukar yang berduri, suara napas mereka yang terengah-engah dan gemerisik dedaunan menjadi satu-satunya petunjuk. Di kejauhan, mereka masih bisa mendengar teriakan Reza, sebuah janji yang kejam. Ia tidak akan pernah berhenti."Pabrik Pemurnian Emas..." Sabe berusaha mengatur napas, menyeimbangkan diri saat Maya menarik tangannya melompati akar pohon yang melintang."Tempat pembersihan aset kotor. Bagaimana... Bagaimana itu bisa menjadi tempat di mana Cahaya Merangkak, Air Menangis, dan Api Membisu?"Maya memperlambat langkahnya sedikit, bersembunyi di balik sebatang pohon beringin tua yang akarnya menjulang seperti jaring laba-laba raksasa."Ayah tidak pernah menggunakan metafora biasa. Dia bermain dengan kata-kata kuno, dengan alkimia. Cahaya Merangkak. Itu adalah cahaya tersembunyi, yang tidak diakui

  • Pawang Hati Mafia Kejam   Pilar Pertama

    Sabe mengikuti Maya, langkahnya kini lebih mantap meskipun air kotor di selokan itu dingin dan kental. Bau lumpur, karat, dan air pembuangan yang menyengat terasa seperti minyak wangi kebebasan setelah aroma pengap di ruang arsip. Mereka berjalan dalam keheningan yang tegang, hanya diselingi oleh gemericik air dan napas terengah-engah. Di atas, suara sirene mobil polisi dan mobil dinas yang tergesa-gesa terdengar seperti lolongan hantu yang jauh, memburu mereka.Mereka harus bergerak cepat. Reza tidak bodoh. Kemarahannya yang besar akan segera memudar, digantikan oleh perhitungan yang dingin. Catatan Plato itu adalah gangguan, bensin yang membakar amarahnya, tetapi hanya sementara."Kau bilang ada tiga pilar, tiga petunjuk," kata Sabe, suaranya bergema samar di terowongan beton. Ia harus memecah keheningan yang mencekam itu. "Petunjuk pertama, Pilar Pertama, dimana Waktu Berhenti. Di sana, lonceng Mati tidak akan berdentang lagi. Apa yang kau ketahui tentang ini?"Maya tidak langsung

  • Pawang Hati Mafia Kejam   Jalan Dibawah Tanah

    Sabe terpeleset di ambang pintu, menabrak punggung Maya yang sudah melangkah cepat ke dalam lorong yang sempit dan gelap. Aroma di sini jauh berbeda. Bukan lagi kertas tua dan kapur barus, melainkan tanah lembab, lumut, dan bau karat yang menusuk hidung."Hati-hati. Lantai kayu ini sudah lapuk," desis Maya tanpa menoleh.Suara decit rem yang tajam di jalan depan kini diikuti oleh debuman pintu mobil yang keras dan suara sepatu pantofel yang tergesa-gesa menghantam aspal. Mereka hanya punya beberapa detik."Nyaris," bisik Sabe, menelan ludah. Adrenalinnya melonjak, membakar rasa takut menjadi fokus tajam. Ia mengikuti Maya, tangannya meraba dinding di sampingnya yang terasa seperti batu bata tua yang dingin. Lorong itu menukik tajam ke bawah, membentuk tangga curam yang dibuat dari kayu yang tidak rata."Apa yang kau ketik di ponselku?" tanya Sabe, suaranya tercekat."Alamat Yayasan," jawab Maya, langkahnya tanpa cela di kegelapan. "Candra akan memimpin pasukan serigalanya ke sana, me

  • Pawang Hati Mafia Kejam   Perang Sebenarnya

    Perjalanan taksi kedua terasa berbeda. Jika yang pertama adalah lompatan menuju kebenaran yang tidak diketahui, yang ini adalah penurunan sadar ke dalam sarang ular.Sabe memegang alamat di tangannya yang sedikit gemetar. Jalan Merpati. Sebuah area di kota tua yang bahkan lebih terpencil, terkenal dengan gang-gang sempitnya dan bangunan-bangunan yang seakan membungkuk di bawah beban rahasia mereka.Ponsel di dalam sakunya terasa seperti bom waktu. Ia belum membukanya sejak meninggalkan kedai kopi. Ia tahu Reza pasti sudah menelepon. Mungkin awalnya hanya panggilan biasa, lalu berubah menjadi tuntutan, dan sekarang, pasti sudah menjadi alarm berburu.Ia bisa merasakan cengkeraman sangkar emasnya. Yang tadinya hanya metafora, kini mengencang secara harfiah."Di sini, Mbak," kata sopir taksi, berhenti di depan sebuah fasad yang nyaris runtuh.Papan nama kayu yang tergantung miring bertuliskan Aksara Kuno.Toko buku antik. Sabe membayar dan melangkah keluar. Udara di gang itu terasa penga

  • Pawang Hati Mafia Kejam   Skandal Warisan Yang Hilang

    Fajar merayap masuk melalui tirai sutra, bukan sebagai janji, melainkan sebagai peringatan. Sabe sudah terjaga sejak lama, pikirannya berputar mengolah setiap detail dari pesan misterius itu. Kedai kopi tua di persimpangan jalan Anggrek. Sendirian. Jangan bawa liontin itu. Sabe berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Gaun rumahannya yang mahal terasa seperti kulit kedua yang menyesakkan. Hari ini, ia harus melepaskan citra Nyonya Yunanda yang dingin dan anggun. Ia perlu berbaur, menjadi bayangan di tengah kota yang ramai. Ia membuka lemari, mengabaikan deretan gaun desainer. Matanya menangkap satu setelan yang sengaja ia simpan di sudut: celana panjang longgar berwarna arang dan blus oversized dari katun linen. Pakaian sederhana yang mengingatkannya pada masa lalunya yang ia kira telah ia tinggalkan. Ia mengikat rambutnya ke belakang dengan gaya yang jauh dari tata rias sempurna yang biasanya ia pakai. Di saku celananya, ia menyelipkan foto Saraswati, Ayahnya, dan gadis

  • Pawang Hati Mafia Kejam   Jejak Seniman Yang Hilang

    Jantung Sabe berdebar-debar, iramanya seperti genderang perang yang tak bisa dihentikan. Koridor di luar perpustakaan terasa tak berujung, marmernya yang mengilap memantulkan citra dirinya yang tidak lagi rapuh. Ia memeluk tumpukan buku itu erat-erat, seolah-olah buku-buku tersebut adalah tameng yang melindunginya dari tatapan tajam Reza yang terasa mengintai dari setiap sudut. Ia harus tampil sempurna. Dingin, anggun, dan tak tersentuh. Nyonya Yunanda yang baru, yang hatinya terbuat dari es, dan yang di matanya hanya ada pantulan cahaya safir.Di ujung koridor, ia berpapasan dengan Bu Suri. Wanita paruh baya itu tersenyum kecil, senyum yang tidak mencapai mata. "Sudah selesai, Nyonya?" suaranya lembut, namun Sabe bisa menangkap nada ingin tahu di dalamnya. Bu Suri menunggu. Menunggu bukti kepatuhan.Sabe membalas tatapan itu, menarik napas sejenak, dan menampilkan senyum yang paling dipaksakan, yang justru terasa paling meyakinkan."Hanya permulaan, Bu Suri," jawabnya, suaranya tenan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status