Share

BAB 3 Perasaan Bersalah

"Maaf Ran, aku khilaf. Kamu ingat, bulan kemarin saat aku naik jabatan menjadi kepala divisi marketing? Aku mengadakan pesta kenaikan jabatan disebuah tempat karaoke bersama semua staff marketing termasuk Sinta. Harusnya jabatan itu milik Sinta, karena dia sudah 4 tahun bekerja dan merupakan kandidat terkuat untuk jabatan itu. Tapi ternyata justru aku yang diangkat menjadi kepala Divisi." jelas Benny kepada Rania.

"Terus apa hubungannya dengan perselingkuhan kamu mas?"

"Saat itu aku mabuk dan yang mengantarku pulang adalah Sinta. Saat terbangun dari mabukku, aku sudah ada disebuah hotel bersama Sinta." Benny menatapku dengan nanar.

"Tapi kamu memang suka kan sama dia? Sampai ibunya bisa bilang kalau Sinta adalah wanita sempurna yang pernah kamu temui!" lanjutku penuh emosi.

"Iya itu benar Ran, aku memang memujanya. Maaf karena sepertinya perasaanku padamu selama ini hanyalah perasaan bersalah bukan karena cinta atau sayang. Merasa bersalah karena membuatmu gagal bekerja di Rancal Grup padahal nilaimu jauh diatasku." Benny menjelaskan dengan seksama.

Rania lemas mendengar apa yang Benny katakan. Ternyata selama ini Benny tidak pernah bersungguh-sungguh mencintainya. Padahal bagi Rania, Benny adalah cinta pertamanya.

Wajar, apabila Benny merasa bersalah dengan Rania, karena bekerja di Rancal Grup Cemerlang adalah impian semua orang di negeri ini, sama seperti halnya menjadi pegawai pemerintah. Rancal Grup Cemerlang adalah perusahaan swasta paling bonafit di negeri ini.

"Lalu bagaimana bisa kamu menikahi seseorang hanya karena perasaan bersalah?" tanya Rania lagi.

"Aku juga nggak tau Ran, semuanya berlangsung begitu cepat bagiku. Tanpa sadar akhirnya kita menikah. Maafkan aku, tapi jujur aku nggak pernah memiliki perasaan apapun padamu selain perasaan bersalah." Jawab Benny lagi.

"Baiklah, ceraikan saja aku mas. Untuk apa aku bersama dengan orang yang tidak mencintaiku."

Rania sudah tak sanggup berkata apa-apa lagi.

"Mas Benny, jangan lama-lama! Buruan keluar!" Sinta berteriak dari luar.

"Tapi kita nggak bisa bercerai begitu saja Ran, bagaimana dengan orang tua kita. Ibuku sedang sakit saat ini. Jika dia tau kita bercerai aku khawatir kondisinya akan drop."

Seketika aku teringat dengan ibu mertuaku. Dia sangat sayang padaku, dia lah yang menyuruh kami untuk segera menikah. Tak sanggup juga rasanya jika harus melihat beliau bersedih.

"Aku nggak bisa mas, harus melihat kalian bermesraan dirumah ini." sahut Rania.

"Aku akan membawa Sinta pulang kerumahnya. Nanti kita bahas lagi masalah ini." Benny keluar dari kamar dan menghampiri Sinta.

"Ayo kita pulang kerumahmu dulu." Benny menarik tangan Sinta.

"Kenapa mas? Sigendut itu ngusir aku dari rumah ini? Rumah ini kan punyamu mas, bukan punya dia!" Sinta menarik tangannya dan kembali duduk di sofa.

"Ayolah biar bagaimana Rania masih istriku. Aku harus menghargai dia." mohon Benny kepada Sinta.

"Segera urus perceraianmu mas, aku nggak mau jadi yang kedua!" Sinta berkata sambil cemberut.

Rania yang mendengar pembicaraan mereka dari kamar sedikit geli, "Tidak mau jadi yang kedua? Bener sih, dia kan orang ketiga." gumam Rania dalam hati.

Tak lama rumah terasa hening. Sepertinya mereka sudah pergi dari rumah ini.

Rania melangkahkan kaki keluar. Mengambil ponsel dan memesan makanan dari aplikasi online. Sudah seharian Rania tidak makan apa-apa.

"Aku mau pesan pizza, bakso, sama lalapan deh biar punya tenaga menghadapi kenyataan." gumam Rania.

Tak lama semua pesanan Rania sudah datang. "Sepertinya malam ini mas Benny tidak akan pulang. Biarlah aku juga sudah tidak peduli." Rania melahap semua makanannya dan pergi tidur karena hari ini sangat menguras tenaga dan emosi.

Pagi itu Rania terbangun karena alarm ponselnya berdering. Segera Rania bangun dan mandi lalu menunaikan kewajiban sholat subuh. Rania berdoa dan menumpahkan segala keluh kesahnya kepada sang Khalik. Saat sedang tadarusan, Benny memasuki kamar membuat Rania terkejut.

"Aku mau berangkat kerja, jadi ambil baju dulu." Benny mengambil beberapa helai pakaian dan keluar dari kamar itu.

"Kamu sudah sehat mas? Bukannya habis kecelakaan kemarin?" Walaupun Benny sudah mengkhianatinya tapi Rania tidak bisa mengabaikannya begitu saja.

"Aku sudah baikan, hari ini ada meeting penting, jadi aku harus masuk. Sinta juga ikut meeting, tapi mungkin selesai meeting dia akan pulang karena masih nggak enak badan, mungkin bawaan karena sedang hamil." sahut Benny.

"Memangnya kalian masih bisa kerja dikantor yang sama? Bukannya Rancal paling anti sesama karyawan menikah? Salah satu dari kalian harus mengalah untuk resign.

"Itu sepertinya akan kami rahasiakan dulu. Karena sayang sekali apabila harus resign dari Rancal Grup." jawab Benny.

"Kamu yakin mas, tidak akan ada yang memberitahu orang kantormu?" tanya Rania pada Benny.

"Siapa yang akan memberi tahu? Kamu? Kamu tidak punya bukti kalau kami menikah. Lagian Rancal hanya tidak membolehkan pernikahan antar karyawan, bukan perselingkuhan antar karyawan." Benny merasa menang.

"Bisa saja aturannya sudah berubah mas. Aku takut bukan hanya Sinta yang kehilangan pekerjaan, tapi kamu juga mas." Rania membalas perkataaan Benny.

"Rania, tidak mungkin perusahaan peduli dengan perselingkuhan antar karyawannya. Selama mereka tidak menikah maka mereka tetap bisa bekerja. Sudah, aku siap-siap dulu nanti terlambat." Benny bergegas keluar menuju rumah Sinta sambil membawa baju.

"Tidak mungkin katamu mas? Kita lihat saja nanti." Rania tersenyum licik saat mengatakannya.

Rania kemudian mengambil ponselnya dan menelpon seseorang. Dia tersenyum setelah menutup ponselnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status