LOGINKamar Gisela terasa hening saat kedua wanita itu saling diam. Terdengar helaan napas panjang Mbok Minah. Gisela hanya diam dan terus tertunduk dalam. Khawatir Mbokan Minah tidak percaya ucapannya. Namun, ternyata tidak. Dengan gerakan perlahan, Mbok Minah mengusap punggung Gisela, membuatnya merasa nyaman.
“Aku percaya sama kamu,” kata Mbok Minah. Gisela menoleh, guratan wajahnya menunjukkan kelegaan. Bahkan, senyuman tipis tampak menghiasi bibir Gisela. “Mbok, terima kasih sudah percaya pada saya. Sungguh, saya tidak ada niatan untuk menggoda Tuan Danu. Saya tidak tahu bagaimana menjelaskan kepada Nyonya Cindy. Saya khawatir Nyonya Cindy terus salah paham pada saya,” kata Gisela lirih. Ia kembali menunduk dan meremas ujung baju yang dikenakan. “Jangan dipikirkan. Biar nanti aku bantu jelaskan kepada Nyonya Cindy.” “Terima kasih banyak, Mbok. Kalau tidak ada Mbok Minah, sudah pasti saya akan ....” “Sudah, lebih baik kamu istirahat saja. Baru besok kamu bisa mulai bekerja,” pungkas Mbok Minah. Gisela hanya mengangguk lemah. Membiarkan Mbok Minah meninggalkan kamarnya. Selepas kepergian Mbok Minah, Gisela hanya duduk di atas ranjang. Pikirannya melayang jauh. Perlakuan Cindy tadi terus terbayang dalam ingatan. Menyisakan rasa sakit di raga maupun batin Gisela. Semua perlakuan Cindy padanya, Gisela akan mengingatnya. Tidak akan melupakan meski hanya sedikit. Gisela mengusap pipinya. Bekas tamparan Cindy masih sedikit terasa panas. Namun, Gisela tidak merintih kesakitan. Bibirnya justru tertarik perlahan. “Aku bahkan pernah merasakan sakit yang lebih dari ini. Semua hanya soal waktu, Nyonya Cindy,” gumamnya lirih. *** Sejak sampai di perusahaan, Danuarta tampak sibuk dengan pekerjaannya. Tidak sedikit pun lepas dari layar komputer miliknya. Saat sedang serius, tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk, Danuarta pun menyuruh masuk. Tampak Feri melangkah masuk sambil membawa sebuah berkas. Ia melaporkan beberapa hal kepada sang atasan. Danuarta hanya mengangguk menanggapi setiap ucapan Feri. Setelah memastikan tidak ada masalah, Danuarta meminta asistennya itu untuk kembali ke meja kerjanya. Selepas kepergian Feri, Danuarta beberapa kali menghela napas panjang. Terkadang ia merasa lelah, tetapi ia memiliki tanggung jawab yang besar atas perusahaan itu. Danuarta kembali duduk tegak, menghadap layar komputer untuk menyelesaikan pekerjaannya. Namun, suara dering ponselnya menghentikan gerakan pria itu. Saat melihat nama Mbok Minah tertera di layar, Danuarta pun segera menerima panggilan itu. “Hallo, Mbok. Ada apa?” “Tuan, sebelumnya saya minta maaf. Saya mau bilang kalau tadi Nyonya Cindy menampar Gisela.” Kening Danuarta tampak mengerut dalam. “Cindy menampar Gisela? Kenapa bisa begitu?” “Sepertinya Nyonya Cindy salah paham. Beliau pikir, Gisela akan merebut Anda.” “Hah!” Danuarta mendesah kasar. “Dia pasti cemburu. Nanti sepulang dari kantor, aku akan menjelaskan pada Cindy. Jangan sampai salah paham ini berlanjut. Oh ya, bagaimana keadaan Gisela?” “Sudah lebih baik, Tuan. Luka di kakinya juga sudah mulai mengering. Besok sudah bisa bekerja,” jelas Mbok Minah. “Baiklah kalau begitu. Tolong kamu bimbing dan ajari dia, Mbok.” “Baik, Tuan.” Panggilan itu pun terputus. Danuarta menatap layar ponsel yang menunjukkan foto pernikahannya dengan Cindy. Senyumnya mengembang. Cindy masih seperti dulu meski pernikahan mereka sudah berjalan bertahun-tahun. Wanita itu mudah sekali cemburu dan curiga. “Jangan sampai Cindy terus salah paham dan menyakiti Gisela,” gumam Danuarta. Sepulang kantor, Danuarta bergegas kembali ke rumah. Tidak sabar untuk menjelaskan pada Cindy. Ia tidak ingin Cindy terus salah paham dan melukai Gisela. Bagaimana pun, Gisela di rumah itu karena keinginan Danuarta sendiri. “Sayang, kamu sudah pulang?” Cindy menyambut suaminya dengan hangat. Memeluk dan mencium pria itu dengan lembut. Danuarta pun membalasnya. “Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” kata Danuarta. Melerai pelukan di antara keduanya. “Kamu terlihat serius sekali,” kata Cindy heran melihat perubahan raut wajah suaminya. Danuarta tidak membuka suara. Ia duduk di sofa, menepuk tempat di sampingnya sebagai kode agar Cindy duduk di sana. Setelah Cindy duduk, Danuarta merangkul pundak istrinya dan mengusapkan tangan perlahan. “Aku dengar, kamu tadi menampar Gisela.” “Siapa yang mengadu padamu?!” Suara Cindy terdengar melengking. Danuarta mencium pipi istrinya untuk membuatnya tenang. “Kamu hanya perlu menjawab pertanyaanku saja, Sayang.” Cindy duduk menghadap depan sambil bersedekap erat. Bibirnya tidak menunjukkan senyuman sama sekali. “Sayang, dengarkan aku. Jangan sampai kamu melakukan hal itu lagi. Kamu jangan salah paham apalagi berburuk sangka. Aku sama sekali tidak ada niatan untuk berpaling darimu. Aku membawa Gisela karena kasihan padanya. Tidak ada alasan lain,” jelas Danuarta. Berusaha meluluhkan hati istrinya. “Tapi, Mas ....” “Aku tahu kamu khawatir. Aku senang, kamu cemburu. Itu artinya kamu sayang padaku. Tapi, aku tidak mau kamu salah paham dan bahkan menyakiti orang lain.” Danuarta menatap istrinya penuh harap. Cindy yang awalnya kesal pun, perlahan luluh. Ia mengangguk cepat. Suaminya memang sejak dulu sangat pintar meredam amarah. “Percayalah, kalau aku sayang kamu. Tidak ada siapa pun di sini.” Danuarta menuntun tangan Cindy untuk memegang dadanya. Menunjukkan keseriusan atas ucapannya. “Aku juga sayang kamu, Mas.” Mereka berpelukan erat. Danuarta menaruh dagunya di ceruk leher Cindy. Namun, ia mendadak diam ketika melihat Gisela berdiri di ambang pintu dapur, sedang menatap ke arah mereka. Tatapan Gisela begitu susah diartikan. Bahkan, Gisela sedikit menarik sudut bibirnya, menunjukkan senyuman tipis.“Nyo-Nyonya.” Gisela tergagap. Saat membalik badan ia langsung berhadapan dengan Cindy yang sudah melayangkan tatapan tajam. Seketika kepala Gisela tertunduk dalam. Tangannya saling meremas saat mendengar langkah Cindy yang mendekat.“Apa yang sedang kamu lakukan!” tanya Cindy lagi. Kali ini, terdengar lebih penuh dengan penekanan. “Saya sedang bersih-bersih, Nyonya. “ Gisela menjawab lirih. Tanpa mengangkat kepala. “Bersih-bersih? Kamu yakin?” Cindy bertanya tidak percaya. “Sepertinya tadi aku melihat kamu mau memukul foto ini.”“Tidak, Nyonya. Anda salah lihat. Saat sedang membersihkan tadi, tiba-tiba tangan saya kram.” Gisela menatap Cindy sambil menunjukkan tangannya. Sedikit mengibaskan agar Cindy benar-benar percaya. “Awas saja kalau kamu berani macam-macam dengan apa pun yang ada di rumah ini!” Cindy menunjuk wajah Gisela. “Baik, Nyonya.” Gisela berusaha tetap terlihat tenang agar Cindy tidak menaruh curiga yang berlebihan lagi.Gisela meremas baju bagian samping s
“Tu-Tuan.” Gisela yang sedang mengambil minum di dapur, terkejut melihat kedatangan Danuarta tiba-tiba. “Kamu belum tidur?” tanya Danuarta. Melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. “Ini saya mau tidur, Tuan.” Gisela menunduk, tidak berani mengangkat kepala apalagi menatap Danuarta. Saat tidak mendapat respon, Gisela hendak melangkah pergi, tetapi Danuarta menahannya. “Aku minta maaf atas nama istriku. Aku tidak menyangka kalau dia akan menamparmu,” kata Danuarta. Gisela mengangkat kepala dan menunjukkan senyuman tipis. “Anda tidak perlu minta maaf, Tuan. Nyonya sama sekali tidak bersalah.” “Dia hanya salah paham.” Gisela mengangguk. Mengiyakan ucapan Danuarta. “Saya mengerti, Tuan. Kalau begitu saya kembali ke kamar. Saya khawatir kalau Nyonya akan salah paham lagi.” Danuarta hanya diam. Saat Gisela melangkah, tiba-tiba ia tersandung kakinya sendiri. Hampir saja ia terjatuh karena tidak bisa menyeimbangkan tubuh. Beruntung, Danuarta segera menangkap p
Kamar Gisela terasa hening saat kedua wanita itu saling diam. Terdengar helaan napas panjang Mbok Minah. Gisela hanya diam dan terus tertunduk dalam. Khawatir Mbokan Minah tidak percaya ucapannya. Namun, ternyata tidak. Dengan gerakan perlahan, Mbok Minah mengusap punggung Gisela, membuatnya merasa nyaman. “Aku percaya sama kamu,” kata Mbok Minah. Gisela menoleh, guratan wajahnya menunjukkan kelegaan. Bahkan, senyuman tipis tampak menghiasi bibir Gisela. “Mbok, terima kasih sudah percaya pada saya. Sungguh, saya tidak ada niatan untuk menggoda Tuan Danu. Saya tidak tahu bagaimana menjelaskan kepada Nyonya Cindy. Saya khawatir Nyonya Cindy terus salah paham pada saya,” kata Gisela lirih. Ia kembali menunduk dan meremas ujung baju yang dikenakan. “Jangan dipikirkan. Biar nanti aku bantu jelaskan kepada Nyonya Cindy.” “Terima kasih banyak, Mbok. Kalau tidak ada Mbok Minah, sudah pasti saya akan ....” “Sudah, lebih baik kamu istirahat saja. Baru besok kamu bisa mulai bekerja,” pungka
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Gisela yang sudah terlelap, tiba-tiba begitu gelisah. Keringat dingin tampak membasahi dahi dan wajah. Tubuhnya terus bergerak tidak tenang. Beberapa detik kemudian, ia terbangun. Napasnya tersengal seiring keringat yang makin deras mengucur. “Astaga, aku mimpi buruk lagi,” gumamnya. Ia meremas selimut kuat. Mimpi itu, sungguh sangat mengganggu tidurnya. Ini bukanlah mimpi buruk pertama kali bagi Gisela. Di dalam sana, ia melihat jelas wajah kedua orang tuanya yang membiru, tak berdaya. Itu terus menghantui perasaannya. “Ya Tuhan,” keluhnya. Mengusap wajah yang sudah basah oleh keringat. Gisela menyingkap selimut dan hendak turun dari kasur. Tenggorokannya terasa sangat kering. Namun, baru saja berdiri tegak, terdengar suara pintu diketuk. “Siapa?” tanya Gisela cemas. Ini adalah malam pertama ia tinggal di rumah mewah tersebut. Kekhawatiran sudah pasti ada. “Aku. Buka pintunya.” Gisela menangkap suara bariton yang tidak te
Satu jam lebih menunggu, Gisela hampir tak kuasa menahan kantuk karena hanya duduk tanpa melakukan kegiatan apa pun. Beberapa kali ia terlihat menguap. Rasanya ingin sekali terlelap, tetapi entah mengapa, ia merasa tidak nyaman. Di saat hampir benar-benar terlelap, Gisela dibuat terkejut oleh suara pintu terbuka. Ia menoleh dan melihat Danuarta melangkah masuk. Disusul oleh Feri di belakangnya. “Maaf, aku membuat kamu menunggu lama,” kata Danuarta. Suaranya begitu hangat hingga membuat Gisela terpaku beberapa detik. “Kamu pasti bosan.” “Tidak.” Gisela mengulas senyum. “Kalau begitu, sekarang kita pulang saja. Sudah hampir jam makan siang.” “Tuan, pekerjaan Anda bagaimana?” tanya Gisela menahan langkah Danuarta. “Aku bisa mengerjakan dari rumah. Lagi pula, ada Feri yang bisa diandalkan,” sahut Danuarta. Ekor mata Gisela melirik Feri yang terlihat menahan suara dengusan. Entah mengapa, Gisela merasa kalau Feri tidak terlalu suka dengan kehadirannya. Saat Danuarta menarik tangan
15 tahun kemudian. Suara roda mobil berdecit mengagetkan orang-orang yang saat itu tengah melintas. Sementara itu, Gisela terduduk di atas jalanan, beberapa bagian tubuhnya terasa nyeri. Tak lama, seseorang keluar dari kursi pengemudi. “Maaf, Nona! Saya tidak melihat!” Belum sempat Gisela menjawab, seseorang lainnya sudah muncul dari pintu belakang. Pria itu berbahu lebar, pakaiannya rapi, dan tatapan matanya hangat. “Maaf, sopirku tidak sengaja,” katanya. “Apa kamu terluka?” Gisela menatap pria itu. “Tidak apa-apa, Tuan. Tadi, saya juga tidak hati-hati ketika menyebrang. Saya tidak terluka.” Namun, nyeri di tubuh Gisela tidak kunjung hilang. Ketika ia melirik, ada bagian kakinya yang mengeluarkan darah. “Kakimu berdarah. Sebaiknya kamu pergi ke klinik. Aku akan mengantarmu.” Mendengar tawaran itu, Gisela menggeleng lemah. “Tidak perlu, Tuan. Saya baik saja. Ini hanyalah luka kecil,” sahutnya pelan. “Biarpun luka kecil, harus tetap diobati.” “Tuan, sudah jam ....” p







