LOGIN15 tahun kemudian.
Suara roda mobil berdecit mengagetkan orang-orang yang saat itu tengah melintas. Sementara itu, Gisela terduduk di atas jalanan, beberapa bagian tubuhnya terasa nyeri. Tak lama, seseorang keluar dari kursi pengemudi. “Maaf, Nona! Saya tidak melihat!” Belum sempat Gisela menjawab, seseorang lainnya sudah muncul dari pintu belakang. Pria itu berbahu lebar, pakaiannya rapi, dan tatapan matanya hangat. “Maaf, sopirku tidak sengaja,” katanya. “Apa kamu terluka?” Gisela menatap pria itu. “Tidak apa-apa, Tuan. Tadi, saya juga tidak hati-hati ketika menyebrang. Saya tidak terluka.” Namun, nyeri di tubuh Gisela tidak kunjung hilang. Ketika ia melirik, ada bagian kakinya yang mengeluarkan darah. “Kakimu berdarah. Sebaiknya kamu pergi ke klinik. Aku akan mengantarmu.” Mendengar tawaran itu, Gisela menggeleng lemah. “Tidak perlu, Tuan. Saya baik saja. Ini hanyalah luka kecil,” sahutnya pelan. “Biarpun luka kecil, harus tetap diobati.” “Tuan, sudah jam ....” pria yang berada dari kursi pengemudi tadi mengingatkan tuannya. “Kita antar dia ke klinik dulu baru ke kantor,” perintah sang majikan. “Tidak usah, Tuan. Saya baik-baik saja.” Gisela masih menolak. Ia bisa melihat kegelisahan dari raut wajah pria itu. Gisela tahu, ini adalah jam kerja. Menilik dari penampilannya, pria itu bukan pekerja biasa. Apalagi melihat pria satunya, sepertinya mereka sedang terburu-buru. “Saya tetap akan mengantarmu ke klinik. Bagaimanapun juga, kamu terluka karena terserempet mobilku,” desaknya. Dengan lembut, pria itu membantu Gisela bangun. Lalu memapahnya ke mobil. Gisela hanya menurut. Tidak mampu untuk menolak lagi. Selama berada di dalam mobil, Gisela hanya menunduk dalam. Merasa canggung berada dalam situasi saat itu. Apalagi Gisela menyadari bahwa sejak tadi, pria tersebut terus menatapnya. “Tuan, maaf. Kalau saya mengotori mobil Anda.” Gisela berbicara lirih, hampir tidak terdengar. Ia meremas ujung baju lusuh yang dikenakan. Bahkan, untuk mengangkat kepala saja, Gisela tidak berani melakukannya. Membuat suasana di dalam mobil semakin canggung. “Jangan sungkan seperti itu.” Gisela tidak menyahut lagi. Sampai akhirnya mobil mewah berwarna hitam mengkilap itu, berhenti di depan sebuah klinik. Pengemudi mobil keluar, lalu membuka pintu untuk tuannya. Sementara Gisela masih duduk di tempat. Ia melihat pria di sampingnya tadi, melangkah memutar dan membantu Gisela membuka pintu. “Aku bantu jalan,” tawarnya lembut. Gisela mengangguk. Ia memang butuh dipapah karena kakinya terasa nyeri saat digunakan melangkah. Dengan perlahan, pria itu mengantar Gisela sampai ke ruang pemeriksaan. Menunggu dengan sabar di meja dokter. “Bagaimana?” tanyanya saat dokter itu selesai memeriksa. “Hanya luka biasa. Saya beri obat agar cepat kering,” sahut dokter itu. Setelah menyelesaikan administrasi, pria itu kembali menuntun Gisela masuk ke mobil. “Aku antar kamu pulang,” ujarnya. Namun, Gisela menggeleng cepat. “Kenapa?” “Saya tidak punya rumah.” Kening pria itu terlihat mengerut. “Lalu? Selama ini kamu ...” “Saya tinggal di jalanan. “ Gisela menjawab cepat. Seolah paham apa yang akan ditanyakan oleh pria itu. Gisela mengangkat sedikit kepalanya, lalu menunjukkan senyuman ketika mereka saling bertukar pandang. “Saya yatim piatu. Tidak punya saudara. Rumah peninggalan orang tua saya sudah tidak ada.” Gisela berbicara lirih. Wajah pria itu mendadak pias. Mendengar jawaban Gisela seketika membuat hatinya merasa iba. “Kalau begitu, bagaimana kalau kamu tinggal di rumahku saja.” Gisela mendongak. Menatap tidak percaya. Namun, pria itu justru menunjukkan senyuman tipis. Berbeda dengan pria di depan yang tampak mengerutkan kening mendengar ucapan tuannya. “Tidak, terima kasih. Saya tidak mau merepotkan siapa pun.” “Aku tidak merasa direpotkan. Anggap saja, ini sebagai tanggung jawabku karena sudah membuat kamu terluka,” sahutnya mantap. Gisela lagi-lagi menggeleng. Ia tidak bisa menerima penawaran itu dengan cepat. “Membawa saya ke klinik, itu sudah termasuk tanggung jawab, Tuan. Sudah lebih dari cukup.” Gisela masih menolak. “Bagaimana kalau kamu bekerja sebagai pelayan di rumahku saja? Jadi, selain memiliki pemasukan, kamu juga bisa memiliki tempat tinggal yang layak,” desaknya. Gisela diam sesaat. Ekor matanya melirik pria di sampingnya yang tampak menatap penuh harap. Setelah mengambil napas dalam, Gisela akhirnya mengangguk lemah. “Feri, kita kembali ke rumah,” perintahnya pada sang bawahan. “Tuan, kita sudah hampir sampai di kantor. Terlebih lagi, Anda sudah ditunggu di ruang rapat.” “Kita antar dia dulu, lalu ....” Ucapannya terhenti saat Gisela sudah menyentuh lengannya. “Saya tidak mau mengganggu pekerjaan Anda. Saya akan menunggu di depan kantor sampai selesai jam kerja,” kata Gisela yakin. “Kamu tunggu di ruangan ku saja. Setelah selesai rapat, aku akan mengajakmu pulang,” pungkasnya. Gisela hanya mengangguk mengiyakan. *** Setibanya di kantor, Feri mengajak Gisela masuk ke ruangan direktur utama. Sementara pria tadi langsung pergi ke ruang rapat. “Tunggu di sini dan jangan melakukan apa pun. Ada kamera pengawas di ruangan ini. Kalau sampai kamu berbuat macam-macam, maka hukum akan bicara,” ujar Feri mengintimidasi. Gisela mengangguk cepat tanda paham. Setelahnya pintu ruangan itu pun tertutup rapat. Tatapan Gisela menyapu seluruh penjuru ruangan dengan kagum. Desain yang simpel dan elegan begitu memikat. Dengan langkah perlahan, Gisela menyusuri setiap sudut ruangan itu. Lalu berhenti di depan meja kerja yang begitu bersih tanpa debu sedikit pun. Manik matanya menatap papan nama yang terpajang rapi di bagian sudut kanan. “Direktur Utama. Danuarta.”“Nyo-Nyonya.” Gisela tergagap. Saat membalik badan ia langsung berhadapan dengan Cindy yang sudah melayangkan tatapan tajam. Seketika kepala Gisela tertunduk dalam. Tangannya saling meremas saat mendengar langkah Cindy yang mendekat.“Apa yang sedang kamu lakukan!” tanya Cindy lagi. Kali ini, terdengar lebih penuh dengan penekanan. “Saya sedang bersih-bersih, Nyonya. “ Gisela menjawab lirih. Tanpa mengangkat kepala. “Bersih-bersih? Kamu yakin?” Cindy bertanya tidak percaya. “Sepertinya tadi aku melihat kamu mau memukul foto ini.”“Tidak, Nyonya. Anda salah lihat. Saat sedang membersihkan tadi, tiba-tiba tangan saya kram.” Gisela menatap Cindy sambil menunjukkan tangannya. Sedikit mengibaskan agar Cindy benar-benar percaya. “Awas saja kalau kamu berani macam-macam dengan apa pun yang ada di rumah ini!” Cindy menunjuk wajah Gisela. “Baik, Nyonya.” Gisela berusaha tetap terlihat tenang agar Cindy tidak menaruh curiga yang berlebihan lagi.Gisela meremas baju bagian samping s
“Tu-Tuan.” Gisela yang sedang mengambil minum di dapur, terkejut melihat kedatangan Danuarta tiba-tiba. “Kamu belum tidur?” tanya Danuarta. Melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. “Ini saya mau tidur, Tuan.” Gisela menunduk, tidak berani mengangkat kepala apalagi menatap Danuarta. Saat tidak mendapat respon, Gisela hendak melangkah pergi, tetapi Danuarta menahannya. “Aku minta maaf atas nama istriku. Aku tidak menyangka kalau dia akan menamparmu,” kata Danuarta. Gisela mengangkat kepala dan menunjukkan senyuman tipis. “Anda tidak perlu minta maaf, Tuan. Nyonya sama sekali tidak bersalah.” “Dia hanya salah paham.” Gisela mengangguk. Mengiyakan ucapan Danuarta. “Saya mengerti, Tuan. Kalau begitu saya kembali ke kamar. Saya khawatir kalau Nyonya akan salah paham lagi.” Danuarta hanya diam. Saat Gisela melangkah, tiba-tiba ia tersandung kakinya sendiri. Hampir saja ia terjatuh karena tidak bisa menyeimbangkan tubuh. Beruntung, Danuarta segera menangkap p
Kamar Gisela terasa hening saat kedua wanita itu saling diam. Terdengar helaan napas panjang Mbok Minah. Gisela hanya diam dan terus tertunduk dalam. Khawatir Mbokan Minah tidak percaya ucapannya. Namun, ternyata tidak. Dengan gerakan perlahan, Mbok Minah mengusap punggung Gisela, membuatnya merasa nyaman. “Aku percaya sama kamu,” kata Mbok Minah. Gisela menoleh, guratan wajahnya menunjukkan kelegaan. Bahkan, senyuman tipis tampak menghiasi bibir Gisela. “Mbok, terima kasih sudah percaya pada saya. Sungguh, saya tidak ada niatan untuk menggoda Tuan Danu. Saya tidak tahu bagaimana menjelaskan kepada Nyonya Cindy. Saya khawatir Nyonya Cindy terus salah paham pada saya,” kata Gisela lirih. Ia kembali menunduk dan meremas ujung baju yang dikenakan. “Jangan dipikirkan. Biar nanti aku bantu jelaskan kepada Nyonya Cindy.” “Terima kasih banyak, Mbok. Kalau tidak ada Mbok Minah, sudah pasti saya akan ....” “Sudah, lebih baik kamu istirahat saja. Baru besok kamu bisa mulai bekerja,” pungka
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Gisela yang sudah terlelap, tiba-tiba begitu gelisah. Keringat dingin tampak membasahi dahi dan wajah. Tubuhnya terus bergerak tidak tenang. Beberapa detik kemudian, ia terbangun. Napasnya tersengal seiring keringat yang makin deras mengucur. “Astaga, aku mimpi buruk lagi,” gumamnya. Ia meremas selimut kuat. Mimpi itu, sungguh sangat mengganggu tidurnya. Ini bukanlah mimpi buruk pertama kali bagi Gisela. Di dalam sana, ia melihat jelas wajah kedua orang tuanya yang membiru, tak berdaya. Itu terus menghantui perasaannya. “Ya Tuhan,” keluhnya. Mengusap wajah yang sudah basah oleh keringat. Gisela menyingkap selimut dan hendak turun dari kasur. Tenggorokannya terasa sangat kering. Namun, baru saja berdiri tegak, terdengar suara pintu diketuk. “Siapa?” tanya Gisela cemas. Ini adalah malam pertama ia tinggal di rumah mewah tersebut. Kekhawatiran sudah pasti ada. “Aku. Buka pintunya.” Gisela menangkap suara bariton yang tidak te
Satu jam lebih menunggu, Gisela hampir tak kuasa menahan kantuk karena hanya duduk tanpa melakukan kegiatan apa pun. Beberapa kali ia terlihat menguap. Rasanya ingin sekali terlelap, tetapi entah mengapa, ia merasa tidak nyaman. Di saat hampir benar-benar terlelap, Gisela dibuat terkejut oleh suara pintu terbuka. Ia menoleh dan melihat Danuarta melangkah masuk. Disusul oleh Feri di belakangnya. “Maaf, aku membuat kamu menunggu lama,” kata Danuarta. Suaranya begitu hangat hingga membuat Gisela terpaku beberapa detik. “Kamu pasti bosan.” “Tidak.” Gisela mengulas senyum. “Kalau begitu, sekarang kita pulang saja. Sudah hampir jam makan siang.” “Tuan, pekerjaan Anda bagaimana?” tanya Gisela menahan langkah Danuarta. “Aku bisa mengerjakan dari rumah. Lagi pula, ada Feri yang bisa diandalkan,” sahut Danuarta. Ekor mata Gisela melirik Feri yang terlihat menahan suara dengusan. Entah mengapa, Gisela merasa kalau Feri tidak terlalu suka dengan kehadirannya. Saat Danuarta menarik tangan
15 tahun kemudian. Suara roda mobil berdecit mengagetkan orang-orang yang saat itu tengah melintas. Sementara itu, Gisela terduduk di atas jalanan, beberapa bagian tubuhnya terasa nyeri. Tak lama, seseorang keluar dari kursi pengemudi. “Maaf, Nona! Saya tidak melihat!” Belum sempat Gisela menjawab, seseorang lainnya sudah muncul dari pintu belakang. Pria itu berbahu lebar, pakaiannya rapi, dan tatapan matanya hangat. “Maaf, sopirku tidak sengaja,” katanya. “Apa kamu terluka?” Gisela menatap pria itu. “Tidak apa-apa, Tuan. Tadi, saya juga tidak hati-hati ketika menyebrang. Saya tidak terluka.” Namun, nyeri di tubuh Gisela tidak kunjung hilang. Ketika ia melirik, ada bagian kakinya yang mengeluarkan darah. “Kakimu berdarah. Sebaiknya kamu pergi ke klinik. Aku akan mengantarmu.” Mendengar tawaran itu, Gisela menggeleng lemah. “Tidak perlu, Tuan. Saya baik saja. Ini hanyalah luka kecil,” sahutnya pelan. “Biarpun luka kecil, harus tetap diobati.” “Tuan, sudah jam ....” p







