MasukMendengar Kageo sakit, Valen segera menoleh pada Thalia. "Aku akan naik ke lantai dua untuk menjenguk Kageo."Tanpa menunda lagi, Valen dan Thalia bergegas menaiki anak tangga menuju lantai dua.Di sana, mereka menemukan pria itu sedang duduk bersandar di kursi. Wajahnya pucat seperti lilin, dengan butiran keringat dingin di pelipis. Deru napas Kageo juga terdengar pendek dan tidak beraturan.“Kageo, kau baik-baik saja?” tanya Valen buru-buru menghampiri."Valen, kau sudah datang. Kepalaku seperti dihantam palu," gumam Kageo lemah. Beberapa memar kecil terlihat di lengan bawahnya meski tidak terbentur apa pun.Valen segera duduk di samping Kageo, mengecek dahinya yang berkeringat. "Tenang, Kageo. Kau hanya perlu minum obat dan istirahat."Dengan sigap, Valen membantu Kageo meminum obat pereda nyeri. Kemudian, ia menuntun pria itu menuju tempat tidur. Mengatur bantal di kepala ranjang, agar Kageo bisa bersandar dengan nyaman."Bibi Thalia, tolong ambilkan kompres untuk meredakan sakit
Nuri, yang sejak tadi mengawasi dari jarak dekat, bergegas memeriksa kondisi Abigail. “Sebenarnya, Tuan Dastan bicara begitu agar Nona Kecil lebih hati-hati. Dulu, Nona Kecil pernah dirawat di rumah sakit, dan Tuan Dastan sempat panik mencari donor darurat.”"Kenapa bukan Tuan Dastan yang menjadi pendonornya? Bukankah darah mereka sama?” tanya Moza penasaran. Sebelum Nuri sempat menjawab, langkah kaki pria terdengar menyusuri jalan setapak.Rezon muncul dari arah belakang dan menghampiri mereka. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Ada apa, Abi? Kenapa wajahmu pucat?"Nuri segera menjelaskan, "Nona Kecil hampir jatuh, Tuan Muda. Untung Moza cepat menangkapnya."Rezon langsung berjongkok di depan Abigail, suaranya lembut sekaligus mengandung teguran."Jangan lari-lari di area seperti ini, Abi. Banyak batu dan akar pohon yang tidak terlihat. Bisa cedera.”“Maaf, Paman,” jawab Abigail menunduk seraya memegangi lengan Moza.Rezon tersenyum sambil mengelus kepala sang keponakan. “Besok p
Setelah menghidangkan sarapan untuk Tuan Markus dan Rezon, Moza kembali masuk ke rumah peristirahatan. Di ruang makan, Abigail sudah duduk menunggu dengan wajah penuh antusias."Tante Moza, aku sudah lapar," rengek Abigail sambil mengibas-ngibaskan kakinya yang mungil.Moza tersenyum, lalu duduk di sebelahnya. "Tante temani Nona Kecil makan, ya."Dengan sabar, Moza membantu memotongkan pancake untuk Abigail. Ia jug mengelap mulut gadis kecil itu yang belepotan madu. Memberinya susu hangat, dan mendengarkan celotehnya yang tak henti-hentinya."Tante, habis makan aku mau jalan-jalan ke danau.”Moza membelai rambut Abigail. "Baik, Nona Kecil. Kita ke danau, tapi harus minta izin dulu ke Opa."Begitu selesai makan, Abigail melompat dari kursinya dan menarik tangan Moza.“Ayo, Tante, sekarang!”Mereka berdua menuju teras dimana Tuan Markus masih duduk ditemani Rezon dan perawatnya, menikmati udara pagi yang segar."Opa," panggil Abigail dengan suara manis, "boleh nggak aku jalan-jalan denga
Moza bergegas menuju kamar Abigail, mengikuti Nuri yang berjalan tergesa. Jantungnya masih berdebar akibat pertemuan singkat dengan Rezon.Saat pintu terbuka, Moza melihat Abigail sedang duduk di tepi tempat tidur dengan piyama merah muda. Kedua tangan mungilnya memegang ponsel.Meski wajahnya masih mengantuk, Abigail berbicara antusias melalui video call. Suaranya masih serak dan lucu, khas anak yang baru bangun tidur.Begitu melihat Moza, Abigail berseru gembira pada kamera, "Papa, Tante Moza sudah datang! Aku mau mandi dulu, ya. Nanti aku telepon Papa lagi!"Sebelum Moza sempat mengiyakan atau menolak, Abigail sudah menyodorkan ponselnya, lantas melompat dari tempat tidur.Ia menarik tangan Nuri menuju kamar mandi. Meninggalkan Moza sendirian dengan layar yang kini menampilkan wajah Dastan.Moza terkesima dan sedikit canggung.Dastan mengenakan piyama sutra berwarna navy, kancing atas terbuka, memperlihatkan lekuk dada bidang. Rambutnya masih lembap, acak-acakan, seperti baru saja
Malam semakin larut, tetapi Moza tak bisa tidur.Setiap kali ia menutup mata, rasa hangat bibir Rezon di balik dinginnya malam masih membekas. Meski darah yang mengalir di tubuh mereka sama, cara mencium Rezon sangat berbeda dari sang kakak. Dastan ibarat api yang menghanguskan, sedangkan Rezon seperti air yang siap menenggelamkan.Moza pun menarik selimut erat, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tak kunjung stabil.Ia tidak ingin terpengaruh. Tidak ingin emosinya dikacaukan oleh kedua lelaki itu.Daripada terus bergulat dengan pikiran, Moza memutuskan untuk menyelidiki Yohan lewat media social. Sebenarnya, setiap kali melihat foto Yohan, ia merasa muak. Teringat bagaimana pria itu menghina dan mencampakkan dirinya tanpa belas kasihan. Namun, malam ini ia harus melihat.Moza membuka aplikasi media sosial, lalu mengetik nama Yohan Pratama.Akunnya masih aktif. Foto profilnya masih sama. Yohan dan Alexa berdiri di depan altar bunga, tersenyum lebar sambil bergandengan tangan.Mo
Moza menyerahkan cangkir berisi teh madu hangat kepada Rezon, lalu duduk di hadapan pria itu. Awalnya, hanya keheningan yang menemani mereka.Rezon menyesap tehnya perlahan, matanya kosong menatap isi cangkir. Setelah beberapa saat, Rezon meletakkan cangkirnya di meja dengan hati-hati."Teh buatanmu enak," pujinya, dengan suara serak. "Kau sangat berbakat dalam memasak.”Dengan sorot mata yang dalam, Rezon mengamati Moza dari balik cahaya lampu temaram."Kau juga terlihat sangat natural merawat anak. Pantas saja Abigail menyukaimu. Kau seperti seorang ibu yang sudah berpengalaman mengasuh anak sendiri."Moza langsung tersedak mendengar ucapan terakhir Rezon. Dadanya sesak oleh kepanikan yang tiba-tiba. Belum saatnya para Tuan Muda mengetahui bahwa ia telah memiliki seorang putra. Dengan cepat, Moza menguasai diri, berusaha menutupi rasa cemas yang menggelora."Nona Kecil anak yang periang dan cerdas, karena itu saya menyayanginya " jawab Moza, berharap suaranya tidak terdengar gemetar







