Dengan langkah lebar, Thalia memimpin Moza keluar dari ruang tamu. Mereka pun tiba di dapur belakang, yang dilengkapi peralatan masak stainless steel canggih, oven berteknologi tinggi, dan dua pelayan muda yang sedang memotong sayuran.
“Ini Moza. Calon pelayan. Dia akan membuat sup dan puding untuk Tuan Markus. Kalian diam saja. Biarkan dia bekerja.”
Tanpa membuang waktu, Moza segera memakai apron dan mencuci tangan. Dengan cekatan, ia mencuci bersih sirip ikan hiu berkualitas tinggi dari lemari pendingin. Merebusnya selama dua jam dengan air jahe segar, daun pandan, dan potongan akar lotus untuk menghilangkan bau amis dan meningkatkan sirkulasi darah.
Kemudian, Moza menumis bumbu rempah dan mencampurnya ke dalam kaldu sirip ikan. Moza mengaduk perlahan dengan sendok kayu, agar tekstur kaldu tetap halus dan tidak pecah.
Untuk puding, Moza menggunakan biji delima segar yang sudah disiapkan Thalia. Ia mencampurnya dengan susu almond, gelatin alami, dan madu hutan, lalu menuangkannya ke cetakan kristal berbentuk bunga mawar.
Setelah didinginkan selama satu jam, Moza menghiasnya dengan daun mint untuk menambah estetika.
Tanpa kata, Thalia datang dengan langkah tegas. Ia memeriksa setiap detail, dimulai dari suhu sup, warna puding, bahkan cara penyajian di piring porselen.
Terakhir, Thalia mengambil sendok kecil dan mencicipi sup terlebih dahulu, sebelum beralih pada puding. Secara perlahan, alisnya naik ketika sedang mengunyah makanan.
Jantung Moza bertalu dengan kencang, saat perempuan paruh baya itu meletakkan sendoknya.
“Kau lolos tahap pertama. Sup dan pudingmu layak disajikan ke Tuan Markus. Sekarang, kau akan memasuki seleksi tahap kedua,” ujar Thalia dengan ekspresi datar.
“Ikut aku ke ke mansion utama. Tuan Muda kami akan melihatmu secara langsung.”
Moza menarik napas panjang. Akhirnya, kesempatan yang ia tunggu-tunggu datang juga.
Untuk pertama kalinya, ia akan bertatap muka dengan salah satu dari mereka. Entah itu Dastan, Rezon, Si kembar atau Kageo, ia tidak peduli.
Tanpa ragu, Moza mengikuti langkah Thalia meninggalkan dapur. Mereka berjalan menuju sayap timur mansion—tempat para tuan muda tinggal.
Setelah memasuki pintu utama, mereka menuju ruang tengah mansion, yang merupakan pusat dari kegiatan di dalam istana megah itu.
Moza tidak punya waktu untuk menikmati kemewahan yang terhampar di depan matanya, karena Thalia bergerak sangat cepat.
Tok…tok!
Thalia berhenti, dan mengetuk pintu kayu berukir yang tertutup rapat. Sejenak hening, sebelum suara bariton seorang pria terdengar dari dalam.
“Masuk.”
Mendapat izin, Thalia segera membuka pintu itu. Namun, ia tidak langsung masuk, melainkan berpaling ke arah Moza.
“Kau boleh masuk. Tapi ingat, jaga sikapmu dan gunakan kalimat yang sopan.”
“Baik, Bu,” jawab Moza membungkuk sedikit.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah masuk dengan punggung tegak. Begitu melewati pintu, Moza mencium aroma kayu cendana yang menguar dari pengharum ruangan.
Bisa dikatakan ruangan itu merupakan perpaduan antara ruang kerja pribadi dan lounge eksklusif. Di satu sisi, terdapat meja kayu hitam dengan laptop dan dokumen-dokumen yang tersusun rapi. Sementara di sisi lain, ada sofa kulit, minibar, dan layar lebar yang menayangkan data pasar saham secara real-time.
Namun, bukan suasana ruangan yang mengejutkan Moza, melainkan keberadaan dua pria kembar yang duduk di balik meja. Mereka begitu mirip, tetapi perbedaan kepribadian mereka terpampang jelas dari penampilan.
Sekali menebak, Moza mengenali mereka sebagai Elbara dan Elzen Limantara. Tak disangka, keduanya hadir bersamaan untuk melakukan seleksi.
Pria yang duduk di kanan, memakai kaus polo putih dan celana jeans. Rambutnya sedikit acak-acakan, memancarkan aura seorang pria casanova.
Tidak salah lagi, dia adalah Elzen, sang pilot penakluk wanita. Matanya langsung menatap Moza, tajam, penuh rasa ingin tahu.
Sementara yang duduk di sebelah kiri, mengenakan setelan jas hitam. Dia adalah Elbara Limantara, pengacara tak terkalahkan, otak hukum keluarga Limantara.
Kacamata tipis melingkari hidung mancungnya, ekspresinya dingin dan waspada. Sungguh, gaya dan penampilan Elbara bagaikan langit dan bumi dengan sang kembaran.
Moza berjalan kaku, lalu berhenti di tengah ruangan. Tanpa sadar tangannya mengepal sedikit, sementara pandangannya lurus ke depan. Diam-diam, ia memperhatikan dua pria itu, mencoba menyamakan mereka dengan sosok misterius yang pernah menyentuhnya.
“Selamat sore, Tuan Muda, saya Mozarella, calon pelayan yang dipanggil untuk seleksi. Tuan bisa memanggil saya Moza.”
Mendengar Moza menyebutkan namanya, Elzen tertawa pendek seraya mencondongkan tubuh ke depan.
“Nona Keju, kenapa kamu berdiri di situ seperti patung? Duduklah, kalau mau. Kami tidak akan menggigitmu.”
Moza tidak bergeming. “Saya menunggu perintah, Tuan.”
Elzen menyenggol Elbara dengan sikunya, matanya berbinar licik. “Sebagai pengacara ulung yang biasa mendeteksi kebohongan, bagaimana instingmu? Apa kau yakin wanita secantik ini mau jadi pelayan Opa Markus?”
Elbara tidak langsung menjawab. Ia melepas kacamatanya perlahan, menatap Moza secara menyeluruh, seperti sedang menganalisis sidik jari.
“Secara logika tidak masuk akal. Kenapa kamu yang seorang sarjana pendidikan, malah ingin bekerja sebagai pelayan?” tanya Elbara dengan nada rendah.
“Mungkin Nona Keju ini rendah hati, atau dia sedang mencari pelarian dari patah hati,” goda Elzen.
“Saya butuh pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup, Tuan. Saya tidak berasal dari keluarga kaya, tidak punya jaringan bisnis. Yang saya punya hanya tangan ini dan tekad. Bagi saya pekerjaan apa pun boleh dilakukan, selama itu tidak melanggar batasan moral.”
Mendengar jawaban Moza, Elbara mengangkat alis tebalnya, sedangkan Elsen malah tertawa keras.
“Wah! Aku suka dengan gayamu, Nona Keju.”
“Kalau begitu, aku akan memberikan beberapa pertanyaan. Jawablah dengan jujur,” imbuh Elbara sembari beranjak dari kursi.
Ia berdiri, berjalan tanpa suara mengelilingi Moza seperti predator yang mengamati mangsa. Postur Elbara yang tinggi membuat Moza terlihat begitu mungil saat berada di dekatnya.
“Pertanyaan pertama: Opa Markus tiba-tiba marah besar karena supnya terlalu asin, dan melempar mangkuk ke lantai, bagaimana reaksimu?”
“Saya akan diam, membersihkan pecahan kaca dengan hati-hati, lalu membuatkan sup baru tanpa membela diri,” jawab Moza mantap.
Seakan belum puas, Elbara melanjutkan. “Jika salah satu dari kami memintamu untuk menyimpan rahasia yang bisa merusak reputasi keluarga, apa yang akan kamu lakukan?”
Ekspresi Moza berubah seketika. Mungkinkah pertanyaan yang diajukan Elbara kali ini ada hubungannya dengan tragedi yang pernah menimpanya di resort?
Usai keluar dari kamar Tuan Markus, Moza mengikuti langkah Thalia yang cepat dan tegas. Seiring dengan langkah mereka menuju paviliun, terlihat lampu gantung sederhana yang menyala redup di setiap jarak sepuluh meter. Lantainya bukan terbuat dari marmer, melainkan keramik abu-abu bermotif garis. Di sekelilingnya terdapat tembok tinggi yang dicat putih bersih. “Ini adalah asrama pelayan,” kata Thalia tanpa menoleh. “Tamu dari luar tidak boleh masuk. Bahkan para Tuan Muda jarang sekali kemari, kecuali ada urusan penting.” Thalia tetap berjalan di depan Moza, menyusuri lorong yang lebih rendah dari lantai utama mansion. Di sepanjang sisi kiri dan kanan, berjejer pintu-pintu kecil dengan nomor dan nama pelayan yang tertulis di papan kayu. “Akan kutunjukkan letak kamarmu. Kopermu sudah dibawa oleh Ninda kemari,” pungkas Thalia dengan suara datar. Mereka terus melangkah sampai di ujung koridor, di mana hanya ada satu pintu yang tersisa. Thalia merogoh saku bajunya, lalu mengeluarkan
Ketika Moza masih bimbang dengan perasaannya sendiri, terdengar suara berat seorang pria dari ambang pintu.“Abi, jangan sembarangan memanggil orang lain sebagai Mama.”Semua kepala menoleh serempak.Di pintu, berdiri seorang pria mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung sampai siku. Tingginya sekitar 185 cm, memiliki postur tegap, bahu yang lebar dan jari-jemari panjang.Wajahnya simetris, dilengkapi dengan sepasang mata berwarna hitam pekat. Ekspresi pria itu dingin, tetapi ada kilatan kelembutan saat ia menatap Abigail.Moza mengenali dia sebagai Rezon Limantara, putra kedua keluarga Limantara. Dokter bedah sekaligus kepala Limantara Medika, lelaki yang namanya sering muncul di majalah medis internasional sebagai "The Silent Healer".Ketika Rezon melihat Abigail memeluk pinggang Moza, kedua alis tebalnya langsung menukik tajam.“Abi, lepaskan tanganmu,” katanya datar, tetapi cukup tajam untuk didengar semua orang.Abigail menatap sang paman dengan wajah cemberut, tetapi akhir
“Saya akan menjaga rahasia itu selama tidak melanggar hukum atau menyakiti orang yang tidak bersalah. Karena loyalitas adalah harga diri seorang pelayan.”Mendengar jawaban Moza, Elbara duduk kembali di kursinya dengan tenang. Kini, giliran Elzen yang beranjak. Pria itu bersandar santai pada tepi meja sembari melipat tangannya di depan dada.“Giliranku yang mengajukan pertanyaan. Bagaimana kamu bisa membedakan kami berdua, terutama saat Elbara tidak pakai kacamata, dan kami memakai baju yang sama?” tantang Elzen dengan ekspresi serius.“Jika kamu salah panggil, atau salah melayani, itu bisa menimbulkan konflik internal. Apalagi, masih ada dua kakak kami, Dastan dan Rezon, serta adik kami, Kageo. Kami semua memiliki hak atas pelayanan yang tepat.”Moza diam sejenak. Ia mengamati keduanya—wajah yang identik, postur yang sama, bahkan gerakan tangan yang hampir sinkron.Tidak sia-sia ia mengumpulkan informasi mengenai keluarga Limantara. Inilah saatnya dia menggunakan pengetahuan tersebut
Dengan langkah lebar, Thalia memimpin Moza keluar dari ruang tamu. Mereka pun tiba di dapur belakang, yang dilengkapi peralatan masak stainless steel canggih, oven berteknologi tinggi, dan dua pelayan muda yang sedang memotong sayuran.“Ini Moza. Calon pelayan. Dia akan membuat sup dan puding untuk Tuan Markus. Kalian diam saja. Biarkan dia bekerja.”Tanpa membuang waktu, Moza segera memakai apron dan mencuci tangan. Dengan cekatan, ia mencuci bersih sirip ikan hiu berkualitas tinggi dari lemari pendingin. Merebusnya selama dua jam dengan air jahe segar, daun pandan, dan potongan akar lotus untuk menghilangkan bau amis dan meningkatkan sirkulasi darah.Kemudian, Moza menumis bumbu rempah dan mencampurnya ke dalam kaldu sirip ikan. Moza mengaduk perlahan dengan sendok kayu, agar tekstur kaldu tetap halus dan tidak pecah.Untuk puding, Moza menggunakan biji delima segar yang sudah disiapkan Thalia. Ia mencampurnya dengan susu almond, gelatin alami, dan madu hutan, lalu menuangkannya ke
Setelah telepon dari Reva terputus, Moza tidak menyia-nyiakan waktu. Sesudah menyerahkan Kayden pada bibinya, ia segera masuk ke kamar dan membuka. Jemari Moza mengetik cepat meski hatinya berdebar-debar. Formulir lamaran yang dikirim Reva telah ia isi dengan data yang disamarkan. Ia tidak menyebutkan nama suami sebelumnya, tidak mencantumkan alamatnya dulu di ibu kota. Hanya riwayat pendidikan, pengalaman memasak dan membuat kue, serta kota kecil tempat ia tinggal saat ini.Sesudah mengunggah kartu identitas dan foto terbaru, Moza menekan tombol ‘kirim’.Ia pun menarik napas panjang, seperti melepas beban yang ditahan bertahun-tahun. Ini bukan sekadar melamar pekerjaan. Ini adalah tiket masuk ke sarang harimau, tempat di mana kebenaran tersembunyi di balik kemewahan dan kekuasaan. Dengan tekad baru, Moza membuka lemari kayu tua di kamar. Meski belum tahu apakah lamaran pekerjaannya akan diterima, Moza mulai berkemas. Ia memasukkan baju-bajunya ke dalam koper kecil bekas warisan ib
Anak laki-laki berusia empat tahun berlari dengan seragam sekolah yang sedikit kusut. Rambut hitam tebalnya acak-acakan, wajahnya berseri-seri. Moza langsung berjongkok, membuka lengan, dan menyambut pelukan hangat Kayden. Anak itu melompat ke pelukannya, mencium pipi Moza dengan senyum polos. “Mama, hari ini aku dapat bintang lima dari Bu Guru karena rajin!”Moza tertawa kecil, hatinya meleleh. Meski tubuh Kayden sudah mulai besar, Moza menggendongnya dan membawa bocah lelaki itu ke kamar. “Wah, hebat sekali anak Mama. Sekarang, ganti baju dulu.”Di kamar, Moza membantu Kayden melepas seragamnya, lalu menggantinya dengan kaos bergambar dinosaurus. Ia duduk di tepi tempat tidur, menarik Kayden ke pangkuannya.Kayden memang memiliki wajah yang sangat tampan. Alisnya tebal, matanya tajam, hidungnya mancung, dan bibirnya tipis seperti lukisan alami. Setiap kali Moza menatapnya, ada sesuatu yang menusuk hatinya, campuran antara rasa syukur dan luka yang tak pernah sembuh.‘Kamu lahir d