Home / Romansa / Pelayan Lima Tuan Muda Perkasa / Pertemuan Pertama dengan Tuan Muda

Share

Pertemuan Pertama dengan Tuan Muda

Author: Risca Amelia
last update Huling Na-update: 2025-09-29 23:51:11

Dengan langkah lebar, Thalia memimpin Moza keluar dari ruang tamu. Mereka pun tiba di dapur belakang, yang dilengkapi peralatan masak stainless steel canggih, oven berteknologi tinggi, dan dua pelayan muda yang sedang memotong sayuran.

“Ini Moza. Calon pelayan. Dia akan membuat sup dan puding untuk Tuan Markus. Kalian diam saja. Biarkan dia bekerja.”

Tanpa membuang waktu, Moza segera memakai apron dan mencuci tangan. Dengan cekatan, ia mencuci bersih sirip ikan hiu berkualitas tinggi dari lemari pendingin. Merebusnya selama dua jam dengan air jahe segar, daun pandan, dan potongan akar lotus untuk menghilangkan bau amis dan meningkatkan sirkulasi darah.

Kemudian, Moza menumis bumbu rempah dan mencampurnya ke dalam kaldu sirip ikan. Moza mengaduk perlahan dengan sendok kayu, agar tekstur kaldu tetap halus dan tidak pecah.

Untuk puding, Moza menggunakan biji delima segar yang sudah disiapkan Thalia. Ia mencampurnya dengan susu almond, gelatin alami, dan madu hutan, lalu menuangkannya ke cetakan kristal berbentuk bunga mawar.

Setelah didinginkan selama satu jam, Moza menghiasnya dengan daun mint untuk menambah estetika.

Tanpa kata, Thalia datang dengan langkah tegas. Ia memeriksa setiap detail, dimulai dari suhu sup, warna puding, bahkan cara penyajian di piring porselen.

Terakhir, Thalia mengambil sendok kecil dan mencicipi sup terlebih dahulu, sebelum beralih pada puding. Secara perlahan, alisnya naik ketika sedang mengunyah makanan.

Jantung Moza bertalu dengan kencang, saat perempuan paruh baya itu meletakkan sendoknya.

“Kau lolos tahap pertama. Sup dan pudingmu layak disajikan ke Tuan Markus. Sekarang, kau akan memasuki seleksi tahap kedua,” ujar Thalia dengan ekspresi datar.

“Ikut aku ke ke mansion utama. Tuan Muda kami akan melihatmu secara langsung.”

Moza menarik napas panjang. Akhirnya, kesempatan yang ia tunggu-tunggu datang juga.

Untuk pertama kalinya, ia akan bertatap muka dengan salah satu dari mereka. Entah itu Dastan, Rezon, Si kembar atau Kageo, ia tidak peduli. 

Tanpa ragu, Moza mengikuti langkah Thalia meninggalkan dapur. Mereka berjalan menuju sayap timur mansion—tempat para tuan muda tinggal.

Setelah memasuki pintu utama, mereka menuju ruang tengah mansion, yang merupakan pusat dari kegiatan di dalam istana megah itu.

Moza tidak punya waktu untuk menikmati kemewahan yang terhampar di depan matanya, karena Thalia bergerak sangat cepat.

Tok…tok!

Thalia berhenti, dan mengetuk pintu kayu berukir yang tertutup rapat. Sejenak hening, sebelum suara bariton seorang pria terdengar dari dalam.

“Masuk.”

Mendapat izin, Thalia segera membuka pintu itu. Namun, ia tidak langsung masuk, melainkan berpaling ke arah Moza.  

“Kau boleh masuk. Tapi ingat, jaga sikapmu dan gunakan kalimat yang sopan.”

“Baik, Bu,” jawab Moza membungkuk sedikit.

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah masuk dengan punggung tegak. Begitu melewati pintu, Moza mencium aroma kayu cendana yang menguar dari pengharum ruangan.

Bisa dikatakan ruangan itu merupakan perpaduan antara ruang kerja pribadi dan lounge eksklusif. Di satu sisi, terdapat meja kayu hitam dengan laptop dan dokumen-dokumen yang tersusun rapi. Sementara di sisi lain, ada sofa kulit, minibar, dan layar lebar yang menayangkan data pasar saham secara real-time.

Namun, bukan suasana ruangan yang mengejutkan Moza, melainkan keberadaan dua pria kembar yang duduk di balik meja. Mereka begitu mirip, tetapi perbedaan kepribadian mereka terpampang jelas dari penampilan.

Sekali menebak, Moza mengenali mereka sebagai Elbara dan Elzen Limantara. Tak disangka, keduanya hadir bersamaan untuk melakukan seleksi.

Pria yang duduk di kanan, memakai kaus polo putih dan celana jeans. Rambutnya sedikit acak-acakan, memancarkan aura seorang pria casanova.

Tidak salah lagi, dia adalah Elzen, sang pilot penakluk wanita. Matanya langsung menatap Moza, tajam, penuh rasa ingin tahu.

Sementara yang duduk di sebelah kiri, mengenakan setelan jas hitam. Dia adalah Elbara Limantara, pengacara tak terkalahkan, otak hukum keluarga Limantara.

Kacamata tipis melingkari hidung mancungnya, ekspresinya dingin dan waspada. Sungguh, gaya dan penampilan Elbara bagaikan langit dan bumi dengan sang kembaran.

Moza berjalan kaku, lalu berhenti di tengah ruangan. Tanpa sadar tangannya mengepal sedikit, sementara pandangannya lurus ke depan. Diam-diam, ia memperhatikan dua pria itu, mencoba menyamakan mereka dengan sosok misterius yang pernah menyentuhnya. 

“Selamat sore, Tuan Muda, saya Mozarella, calon pelayan yang dipanggil untuk seleksi. Tuan bisa memanggil saya Moza.”

Mendengar Moza menyebutkan namanya, Elzen tertawa pendek seraya mencondongkan tubuh ke depan.

“Nona Keju, kenapa kamu berdiri di situ seperti patung? Duduklah, kalau mau. Kami tidak akan menggigitmu.”

Moza tidak bergeming. “Saya menunggu perintah, Tuan.”

Elzen menyenggol Elbara dengan sikunya, matanya berbinar licik. “Sebagai pengacara ulung yang biasa mendeteksi kebohongan, bagaimana instingmu? Apa kau yakin wanita secantik ini mau jadi pelayan Opa Markus?”

Elbara tidak langsung menjawab. Ia melepas kacamatanya perlahan, menatap Moza secara menyeluruh, seperti sedang menganalisis sidik jari.

“Secara logika tidak masuk akal. Kenapa kamu yang seorang sarjana pendidikan, malah ingin bekerja sebagai pelayan?” tanya Elbara dengan nada rendah.

“Mungkin Nona Keju ini rendah hati, atau dia sedang mencari pelarian dari patah hati,” goda Elzen.

“Saya butuh pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup, Tuan. Saya tidak berasal dari keluarga kaya, tidak punya jaringan bisnis. Yang saya punya hanya tangan ini dan tekad. Bagi saya pekerjaan apa pun boleh dilakukan, selama itu tidak melanggar batasan moral.”

Mendengar jawaban Moza, Elbara mengangkat alis tebalnya, sedangkan Elsen malah tertawa keras. 

“Wah! Aku suka dengan gayamu, Nona Keju.”

“Kalau begitu, aku akan memberikan beberapa pertanyaan. Jawablah dengan jujur,” imbuh Elbara sembari beranjak dari kursi.

Ia berdiri, berjalan tanpa suara mengelilingi Moza seperti predator yang mengamati mangsa. Postur Elbara yang tinggi membuat Moza terlihat begitu mungil saat berada di dekatnya. 

“Pertanyaan pertama: Opa Markus tiba-tiba marah besar karena supnya terlalu asin, dan melempar mangkuk ke lantai, bagaimana reaksimu?”

“Saya akan diam, membersihkan pecahan kaca dengan hati-hati, lalu membuatkan sup baru tanpa membela diri,” jawab Moza mantap.

Seakan belum puas, Elbara melanjutkan. “Jika salah satu dari kami memintamu untuk menyimpan rahasia yang bisa merusak reputasi keluarga, apa yang akan kamu lakukan?”

Ekspresi Moza berubah seketika. Mungkinkah pertanyaan yang diajukan Elbara kali ini ada hubungannya dengan tragedi yang pernah menimpanya di resort?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pelayan Lima Tuan Muda Perkasa   Kau adalah Gairahku

    Dalam kondisi penuh ketidakpastian, Moza akhirnya berhasil menyelesaikan slide presentasinya. Saat dia hendak keluar untuk menyiapkan makan siang Abigail, derap langkah kaki pria terdengar di koridor.Jantungnya berdebar kencang. Itu pasti Kageo. Hanya dia satu-satunya Tuan Muda yang masih berada di mansion pada jam segini. Setelah pernyataan cinta tadi pagi, Moza sama sekali belum siap untuk bertemu dengannya. Dia memutuskan untuk tidak keluar, berharap Kageo akan lewat.Namun, rasa penasarannya menggelegak. Mau ke mana dia? Apa ini jadwal terapinya, atau Kageo sengaja pergi karena patah hati? Moza pun menempelkan telinganya di daun pintu, mencoba menyaring suara. Terdengar samar, langkah kaki itu terus berjalan menjauhi kamar Abigail, dan kemudian menuruni tangga.Dengan berjingkat, Moza membuka pintu dan menyelinap keluar. Dia bergegas menuju balkon di lantai dua yang menghadap halaman depan. Dari atas, Moza melihat Kageo masuk ke mobil dan melaju pergi bersama sopir pribadinya

  • Pelayan Lima Tuan Muda Perkasa   Kejutan yang Menanti

    Sesudah terbebas dari kamar Kageo, Moza bergegas turun ke bawah. Ia berusaha keras untuk terlihat biasa saja, seolah tidak ada pengakuan cinta, tawaran pernikahan, atau penolakan menegangkan yang baru saja terjadi. Jantungnya masih berdebar, tetapi ia mengendalikan langkahnya agar tetap tenang.Ketika ia sampai di meja makan, ternyata Abigail sudah selesai sarapan. Gadis kecil itu sedang mengenakan tas sekolah dan bersiap berangkat."Tante, kenapa lama sekali di atas?" tanya Abigail penasaran.Moza terpaksa berbohong. Tidak mungkin ia berkata jujur, bahwa ia baru saja ditahan oleh Kageo dan menolak lamaran pernikahan."Tante masih harus membersihkan kamar Papa, Nona Kecil. Ada sedikit pekerjaan tambahan." Abigail mengangguk, menerima penjelasan itu."Tante, nanti sepulang sekolah temani aku menggambar wajah Paman Elzen dan Paman Elbara. Kita harus membuat yang paling bagus untuk hadiah ulang tahun.""Tentu, Nona Kecil," jawab Moza seraya tersenyum hangat. "Tante akan siapkan semua ba

  • Pelayan Lima Tuan Muda Perkasa   Maukah Kau Menjadi Nyonya Limantara?

    "Kita mau ke mana, Tuan Muda?" protes Moza, mencoba menahan langkahnya. "Saya belum selesai membersihkan kamar Tuan Muda Dastan. Masih ada tugas lain—""Justru, aku akan membebaskanmu dari semua tugas yang tidak kau sukai,” potong Kageo, tanpa menoleh. Cengkeramannya di pergelangan tangan Moza tidak juga mengendur.“Kita ke kamarku."Kageo menarik Moza agar bergerak, mengarah ke kamarnya sendiri yang terletak di ujung lorong. Wajahnya terlihat jauh lebih bertekad dari biasanya, kontras dengan sifatnya yang pendiam.Dengan cepat, Kageo mendorong pintu kamarnya hingga terbuka dan menguncinya dari dalam.Klik.Suara itu menggema di keheningan ruangan, yang terasa lebih misterius daripada kamar Dastan.Moza terkejut dan merasa was-was. Ia menatap Kageo dengan mata melebar."Ada apa sebenarnya, Tuan Muda?" tanya Moza dengan suata bergetar.Dengan tenang, Kageo menggiring Moza untuk duduk di sofa sudut. Setelah Moza duduk, ia sendiri mengambil tempat di sebelahnya.Kageo mencondongkan tubuh

  • Pelayan Lima Tuan Muda Perkasa   Rintangan Tak Terduga

    Meski Moza menyapa dengan lembut, Dastan tidak menoleh sekali pun. Pria itu tetap menghadap ke cermin, berkonsentrasi untuk merapikan celana panjangnya lalu menyisir rambutnya yang masih lembap. Diam-diam, Moza merasa kesal. Dastan Limantara memang mudah berubah sikap, arah pikirannya sangat sulit untuk ditebak.Semalam, ia begitu hangat dan penuh gairah, tetapi pagi ini kembali menjadi sosok yang dingin dan acuh tak acuh.Mungkinkah ini semua adalah ujian? Sebuah cara bagi Dastan untuk mengukur sejauh mana inisiatifnya dalam melayani.Tak mau tinggal diam, Moza berjalan mendekat. Matanya cepat memindai seisi kamar.Pandangannya lantas tertuju pada kemeja dan jas cokelat yang masih tersampir di sandaran sofa. Tampaknya Dastan memang belum sempat mengenakannya.Tanpa ragu, Moza segera mengambil kemeja itu dan berdiri di depan Dastan yang masih bertelanjang dada."Biar saya bantu memakai kemeja, Tuan Muda," ucap Moza.Dastan tidak menyahut, tetapi matanya menyipit seperti menunggu tind

  • Pelayan Lima Tuan Muda Perkasa   Menguji Kepatuhanmu

    Mendengar tantangan yang dilemparkan Dastan, Moza merasakan getaran halus yang menjalar di punggungnya. Namun, sorot matanya justru memancarkan tekad baja.Ia tahu betul bahwa satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan menyerah. Hanya dengan tunduk pada pimpinan keluarga Limantara, dia bisa mempertahankan kendali atas nasibnya dan Kayden."Saya siap, Tuan Muda. Saya akan membuktikan bahwa saya milik Anda."Suara Moza terdengar lugas, bertentangan dengan irama jantungnya yang memacu cepat di tulang rusuk.Dastan terdiam sejenak, matanya yang tajam menyelidiki. Ia memindai setiap kerutan di wajah Moza, mencari celah kepalsuan atau penyesalan dalam kepasrahan wanita itu.Namun, Moza tidak goyah. Dia telah membangun tembok di sekeliling hatinya. Keputusan telah dibuat, dan ia akan memainkan peran ini sampai tuntas.Akhirnya, bibir Dastan melengkung sangat tipis, menunjukkan gurat kepuasan yang berbahaya. Aura kemenangan memancar kuat dari matanya.“Jika kau sungguh-sungguh dengan ucapa

  • Pelayan Lima Tuan Muda Perkasa   Apa Kau Siap Menjadi Milikku?

    Setelah mengetuk dua kali, Moza menunggu dengan jantung berdebar. Setiap sel sarafnya terasa tegang, menunggu detik-detik pintu akan terbuka.Namun, tidak ada yang terjadi. Entah Dastan sengaja membuatnya menunggu, atau masih berada di kamar mandi.Keberanian Moza mulai menguap, digantikan oleh rasa panik. Jika tidak ada jawaban, ia terpaksa pergi sebelum Abigail terbangun, atau Kageo keluar dari kamar dan mendapati dirinya berdiri di depan kamar Dastan.Tak mau menyerah terlalu cepat, Moza mencoba peruntungannya. Ia mengangkat tangan dan mengetuk sekali lagi, sedikit lebih keras. Ia menunggu sambil menghitung mundur dalam hati. Tepat ketika Moza hampir menyerah, ada suara gerakan dari dalam.Pintu kamar Dastan terbuka. Pria itu berdiri di ambang pintu, mengenakan piyama kimono berwarna hitam yang diikat longgar. Belahan piyama yang terbuka, menampakkan sebagian besar dada Dastan yang bidang dan keras. Rambutnya yang biasanya rapi, tampak sedikit berantakan.Moza menahan napas sejena

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status