Laiba tidak peduli menjadi tontonan banyak siswa yang melintasinya, bagaimana tidak mengundang orang untuk menatapnya? Selain menggunakan seragam untuk hari kemarin, tubuhnya yang banyak luka dan memar membuat orang bertanya-tanya, tapi Laiba tidak mempedulikan pandangan mereka semua.
Pagi ini hanya ingin menunggu kekasihnya datang, dan setelah menunggu beberapa waktu akhirnya pemuda yang ditunggunya tiba, mereka saling bertatapan satu sama lain untuk beberapa saat. Keduanya sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, dan Laiba lebih dulu bergerak untuk menghampiri Dedalu.
Gadis itu hanya ingin memeluk sang kekasih untuk pertama kalinya, di saat-saat seperti ini dukungan dan sandaran orang yang dicintai sangat dibutuhkan untuknya. Namun, langkah itu terhenti ketika Dedalu membuka mulutnya.
"Aku ingin putus."
Dunia Laiba seperti membeku dalam sekejap, sandaran dan semangat hidupnya juga memutuskan untuk mengkhianati dirinya sekarang.
"Aku sudah tidak tahan denganmu aku ingin bebas."
"Oh!" Hanya itu yang keluar dari bibir Laiba.
Tidak sanggup lagi memandang wajah Dedalu, Laiba menurunkan pandangannya kemudian perlahan berbalik untuk pergi, pergi dalam artian pergi yang sebenarnya. Laiba sudah memutuskan langkah apa yang diambilnya tergantung sikap sang kekasih kepadanya, dan ternyata kenyataan pahit harus diterima karena Dedalu tidak menginginkan dirinya ada di sini.
Langkah itu pelan dengan pandangan kosong, keluar gerbang sekolah berpapasan dengan banyak mata menatapnya. Sewajarnya jika saat ini harusnya dia menangis, tapi entah mengapa air mata itu enggan untuk keluar.
Gadis itu hanya merasakan dadanya begitu sesak, bahkan kakinya seperti mati rasa dan berjalan secara otomatis menjauh sejauh-jauhnya dari sekolah itu, di mana biasanya menjadi tempat yang begitu menyenangkan karena di tempat ini ia dapat memandang kekasihnya sepuas hati.
"Bukankah normal jika aku dicampakkan juga olehnya?" Laiba bicara pada dirinya sendiri sambil tersenyum getir. "Ini hanya perasaan yang sepihak."
Mereka memulai hubungan dengan pondasi yang rapuh, dan sewajarnya jika hubungan itu akan tubuh dengan cepat. Perasannya campur aduk ditambah rasa sakit di tubuhnya membuatnya berhenti sejenak. Pandanganya seperti mulai kabur, Laiba merasa jika akan kehilangan kesadaran dan benar saja dunia di matanya seperti sedang berputar, dan menjadi gelap.
Setelah itu Laiba seperti sedang bermimpi, kembali ke masa kecilnya ketika ibunya dengan kejam memukul tangannya dengan rotan hanya karena Laiba lupa tidak membuang sampah. Mimpi itu seperti memori card yang menunjukkan semua masa suram gadis ini. Dari harus mengerjakan pekerjaan rumah, mendapat perlakuan kasar dari orang tuanya, makian seluruh binatang pernah didengar olehnya, hukuman demi hukum pernah dilakoni hanya karena Laiba melakukan kesalahan kecil.
"Ibu ampun, ampun Ibu. Sakit ... ini sakit!"
Hingga puncaknya di mana pamannya mencoba untuk melecehkannya kemarin. Laiba meronta-ronta tidak ingin tangan jahanam itu menyentuh tubuhnya, membuatnya terbangun hingga langsung duduk.
Pertama yang dilihatnya adalah seorang pemuda yang duduk di pinggir jendela memperhatikan dirinya. Pemuda itu tidak bergerak, tapi masih memperhatikan Laiba yang baru saja siuman. Laiba merasa jika pemuda ini tidak asing, tapi ia tidak dapat mengingat siapa pemuda itu. Terlebih dia menggunakan seragam sekolah yang sama dengannya, setelah mengingat sebentar Laiba menemukanya. Pemuda itu satu angkatan dengannya, juga pernah satu kelas, dan beberapa bulan yang lalu dirinya pernah berkonflik dengan teman-temannya.
"Di mana ini?" tanya Laiba sambil memperhatikan sekitar.
"Apartemenku," jawab pemuda itu dengan dingin.
Makky beranjak dari tempatnya mengambil kotak obat dan melemparkannya ke tempat tidur. "Bersihkan dan obati dirimu sendiri."
"Kenapa kamu membawaku kemari?"
"Aku hanya memungutmu di jalan." Pemuda itu mengatakan yang sesungguhnya.
Pagi ini dia berangkat sekolah dan menemukan gadis itu jatuh di jalan begitu saja saat melintasinya, dan keadaannya sangat memperihatinkan.
"Kenapa kamu menolongku? Bukankah seharusnya kalian membenciku?"
"Kamu seperti anjing terlantar di jalan, aku hanya memungutmu jika kamu menggigit, aku akan menendangmu."
Setelah mengatakan itu Makky pergi begitu saja meninggalkan Laiba sendirian di tempat asing ini, Laiba tidak begitu mengenal pemuda yang menolongnya itu. Selain itu juga Laiba tidak tertarik mengetahui masalah orang lain.
Makky juga seorang yang sangat misterius dan jarang bicara hanya berinteraksi dengan circle-nya yang berjumlah lima orang termasuk pemuda itu.
Laiba tidak melakukan apa yang dikatakan oleh Makky jangankan untuk membersihkan diri hanya mengerakkan tubuhnya saja rasa sakit langsung menyerang, dan juga keinginan untuk bergerak tidak ada hanya ingin berdiam diri tanpa melakukan apa pun. Semangat hidupnya benar-benar telah hilang.
***
Malam sudah tiba, Makky kembali mendapati jika Laiba masih di posisinya seperti ketika dirinya pergi.
"Benar-benar tidak berguna," gumam Makky sambil memandang ke arah Laiba.
Pemuda itu datang dengan makanan hangat, meletakkan di samping tempat tidur lalu memandangi Laiba yang meringkuk di dalam kegelapan, meskipun mata gadis itu terbuka lebar tapi tatapannya kosong.
"Makan," ucap Makky.
Tidak ada sahutan dari pihak lain ucapan Makky layaknya sebuah riak di dalam genangan air yang dalam.
"Setidaknya jangan mati di sini jika tidak ingin hidup, makanlah jika ingin tinggal dan pergilah jika ingin mati."
"Aku ingin hidup, tapi tidak nafsu makan. Aku ingin pergi, tapi aku tidak bisa menggerakkan tubuhku." Suara Laiba parau dan lirih, tenggorokannya kering karena sejak kemarin belum menyentuh air setetes pun, hanya darah segarnya sendiri yang membasahi tenggorokan.
Makky menatap gadis yang menyedihkan di atas ranjang itu, jika tidak melakukan apa pun gadis itu mungkin tidak akan bertahan sampai besok. Makky pergi ke kamar mandi menyiapkan air hangat, kemudian mengendong Laiba langsung menaruh tubuh kotor dan penuh luka itu ke bathtub. Laiba meringis ketika luka-lukanya bersentuhan dengan air.
"Kamu tidak ingin menangis?"
"Sepertinya aku tidak memiliki banyak cadangan air mata."
Makky menggeleng pelan kemudian melepaskan dasi yang dikenakannya untuk menutup matanya sendiri. Laiba memperhatikan pemuda itu yang perlahan berjongkok di sampingnya.
"Maaf," gumam Makky kemudian membuka kancing demi kancing pakaian Laiba.
Laiba hanya diam ketika pemuda itu melepaskan semua pakaiannya, selain tidak memiliki kekuatan sama sekali ia pun merasa ada sesuatu di hatinya. Ini adalah pertama kalinya diperlakukan dengan baik oleh orang lain, meskipun mulut Makky tidak ramah tapi perlakuannya berbanding terbalik.
"Terima kasih," ucap Laiba lirih, tapi sepertinya pihak lain tidak mendengarkannya karena suara air lebih keras.
Tiba-tiba mata Laiba terasa panas, dan entah dari mana datangnya air mata itu. Sejak kemarin dirinya kesulitan menangis, meskipun melalui banyak hal yang tidak menyenangkan, tapi kini hanya karena perlakuan lembut dari orang asing membuat Laiba menitihkan air mata dengan mudahnya.
"Mengapa malah orang asing yang tidak tahu datang dari mana ini memperlakukan aku dengan begitu baik? Sedangkan kelurga sendiri begitu tega." Laiba bicara di dalam hati sambil memperhatikan Makky yang masih menutup matanya.
Tangan pemuda itu besar, tapi gerakannya sangat lembut dan berhati-hati sebisa mungkin untuk tidak banyak bersentuhan langsung dengan kulit Laiba dan menghindari area-area yang tidak pantas.
Setelah proses mandi yang singkat dan penuh kecanggungan, Makky juga memberikan pakainya sendiri untuk Laiba. Setelah memastikan jika Laiba menggunakan pakaian dengan benar penutup mata itu dibuka.
Makky berprilaku seperti biasanya kini dirinya mengambil kotak obat dan mengobati luka-luka yang ada di tubuh Laiba tanpa mengatakan apa pun. Laiba jauh lebih baik ketika pemuda itu tidak bertanya mengapa menjadi seperti seekor anjing menyedihkan yang terlantar di jalan.
Justru setelah beres mengobati luka, tetap tanpa kata pemuda itu lantas menyuapi gadis itu, tapi hanya dua suapan Laiba sudah tidak sanggup lagi.
"Kau kenapa?"
Ali cukup terkejut dengan apa yang baru saja dilihatnya namun lebih terkejut lagi melihat Laiba yang hanya diam melihat Dedalu menciumnya, mulut Ali sudah terbuka namun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya hanya sebuah tawa kering membalas senyuman Dedalu padanya setelah menyapa Laiba dengan sebuah kecupan ringan di pipi."Apa yang sedang kalian obrolkan?" tanya Dedalu langsung mengambil duduk di samping Laiba.Laiba hanya diam tidak merespon barulah Ali yang angkat bicara. "Tidak ada hanya mengobrol biasa," jawab Ali yang sedikit canggung. Ini adalah pertama kalinya Ali merasa canggung bicara dengan sahabatnya yang telah belasan tahun berteman."Kamu tidak bekerja?" tanya Dedalu pada Laiba namun Laiba masih cuek dan malah mengambil minumannya namun kopi itu belum mencapai bibirnya Dedalu sudah lebih dulu merebutnya dan meminumnya sendiri alhasil Dedalu langsung membatalkan niatnya meminum kopi itu ketika rasa pahit menyebar ke rongga mulutnya."Minuman apa yang kamu suguhkan
"Kamu?" Laiba menatap tajam kearah Dedalu. "Saat itu kamu masih bersama dengan Ayana bagaimana kamu memiliki pemikiran seperti itu. Apalagi saat itu kalian akan bertunangan?""Aku memang laki-laki bejat dan aku lebih suka kamu memaki aku daripada terus acuh," sahut Dedalu dengan cepat."Pergilah," ucap Laiba sambil berpaling dan menutup matanya, tiba-tiba kepalanya terasa berat memikirkan bagaimana bisa dirinya yang dulu begitu tergila-gila terhadap pria ini.Akan tetapi Laiba segera membuka matanya ketika jemari laki-laki itu memegang sisi wajahnya dan lagi-lagi mencuri sebuah ciuman darinya. Kejadian itu begitu cepat Laiba sampai lupa untuk menghindar bahkan setelah ciuman itu selesai."Bisakah kita bersama lagi? Aku berjanji tidak akan menyakitimu seperti dulu."Laiba membuang napas melalui mulutnya menatap mata laki-laki itu yang nampaknya begitu serius dengan ucapannya namun Laiba sulit untuk dibujuk."Aku tidak mau," jawab Laiba datar."Kenapa? Apakah aku tindak pantas untukmu a
Laiba meminta Namu untuk mengantarkan dirinya kembali ke butik lebih baik menunjukkan tempat kerjanya daripada memberitahukan namun tempat tinggalnya pada orang asing yang baru dikenalnya sehari, sepanjang perjalanan Laiba hanya mengiyakan ataupun menggeleng tiap kali laki-laki itu mengajukan pertanyaan. Senyuman merekah pria itu terus terpancar dari mereka keluar dari kediaman Baswara sampai mobil itu berhenti di depan butik."Kamu tahu Laiba aku sangat senang bisa mengenalmu," ucap Namu sambil menyetir menoleh sekilas pada Laiba menunjukkan senyumannya."Matamu tidak buta bahkan jika kamu tidak mengatakannya itu sudah terpampang nyata di wajahmu," sahut Laiba dalam hati namun mulutnya masih tertutup rapat hanya tersenyum tipis pada Namu.Mobil itu akhirnya berhenti didepan butik, Laiba segera bersiap untuk turun. "Terima kasih," ucap Laiba sambil melepaskan sabuk pengaman dari tubuhnya."Aku akan menghubungimu," sahut Namu.Laiba yang sudah akan keluar kembali lagi ke tempat dudukny
Dahayu belum puas mengintrogasi Laiba, Laiba masih penasaran kenapa perempuan didepannya ini mau-maunya datang kemari padahal di hari pernikahannya Dahayu melihat dengan kepala matanya sendiri bagaimana Bram nampak begitu menyukai Laiba meskipun demikian terang-terangan sudah ditolaknya."Jika kamu tahu jika mereka ayah dan anak, kamu masih akan datang kemari?"Aku akan datang," jawab Laiba lirih, energinya sudah hampir habis setelah melayani 4 orang terlebih Una yang mengajaknya berdebat."Kenapa?" tanya Dahayu tidak percaya dengan jawaban Laiba."Kenapa harus kenapa? Aku tidak memiliki hubungan apapun dengan Bram kami hanya teman tidak perlu merasa takut pada keluarganya karena aku tidak melakukan kesalahan apapun? Aku hanya sedang bekerja," sahut Laiba dengan tidak senang mungkin juga terpengaruh oleh rasa lelahnya, tubuhnya tidak lelah namun perasannya yang lelah ketika banyak orang yang menganggap jika dirinya pernah memiliki hubungan dengan tuan muda itu.Melihat Laiba yang suda
Orang pertama yang diukur tubuhnya adalah Bas yang memiliki nama panjang Baswara laki-laki itu berdiri tegak dan Laiba mengucapkan kata maaf dan permisi sebelum menyentuh tubuh laki-laki itu. Laiba merasa jika Baswara adalah Bram versi tua namun menurut Laiba aura laki-laki ini jauh terpancar dari pada anak itu."Apakah pekerjaan yang kamu geluti melelahkan?" tanya Baswara membuka pembicaraan saat Laiba mengukur panjang lengannya."Semua pekerjaan melelahkan tuan," jawab Laiba pelan dan sopan."Diusia mu sudah waktunya menikah cari laki-laki yang mapan dan kamu hanya perlu menjadi istri dan ibu yang baik tidak perlu bekerja keras lagi."Laiba hanya tersenyum menanggapinya, jika itu orang lain mungkin Laiba akan mengutarakan isi otaknya jika tidak sependapat dengan pemikiran ini namun orang yang bicara adalah orang terpandang terlebih ayah dari orang-orang itu maka Laiba memilih untuk diam dan tersenyum melanjutkan pekerjaannya."Kebetulan Namu sedang mencari seorang istri, dia generas
Asisten Laiba yang bernama Zumi membawa seorang wanita berpakaian formal ke ruang Laiba, Laiba tidak mengenal wanita itu akan tetapi wanita itu nampak sudah tidak asing dengan dirinya. Wanita memperkenalkan dirinya sebagai asisten Pak Bas dan datang karena pemerintah laki-laki itu barulah nama Bas di sebut Laiba mengerti, orang penting dan sibuk seperti itu tidak mungkin memiliki banyak waktu luang untuk datang sendiri lagi ke tempat ini seperti terakhir kali."Atas permintaan tuan besar saya datang untuk mengundang nona ke rumah besok malam secara langsung," ucap wanita itu dengan sangat sopan."Ada keperluan apa?""Tuan besar mengatakan sebelumnya sudah memberitahukan jika akan menggunakan jasa nona untuk acara penting tuan muda.""Aku ingat itu." Laiba mengingatnya jika pak Bas memang pernah mengatakan tentang itu ketika berkunjung beberapa waktu yang lalu."Saya akan datang secara pribadi.""Mobil jemputan akan datang jam 8 malam.""Terima kasih."Setelah berpamitan wanita itu per