MasukBar itu remang-remang, suara orang-orang bercampur aduk dengan dentuman musik yang mengisi malam yang riuh.
Sebelum Scarlett sempat bicara, gadis itu sudah berkata, “Tristan tidak pulang lagi malam ini. Pasti sedang bermalam dengan Wanita lain.”
Zoe, dengan tangan santai di saku celana, tersenyum sinis. “Camilla, apa kamu kesini juga ingin menenggelamkan diri ke dalam alcohol? Tapi serius, sebaiknya begitu. Karena, selera Tristan berganti lebih cepat dari menu KFC. Kamu bahkan tidak masuk ke dalam daftarnya, bahkan setelah 2 tahun.”
“Zoe, kamu—” Wajah Camilla memerah karena marah. “Lalu kenapa? Kamu pikir Scarlett itu istrinya Tristan? Coba saja telepon Tristan dan panggil dia ‘suami’, lihat apakah dia bakal diakui.”
Camilla merasa dialah yang seharusnya dekat dengan keluarga King. Ayahnya dan ayah Tristan sudah sempat bersulang membicarakan pertunangan mereka. Tapi kemudian Scarlett datang dan mencuri perhatian. Diam-diam, Camilla sudah sering mencoba menjatuhkan Scarlett, menimbulkan berbagai masalah.
Dan sekarang, dengan pertemuan yang tak disengaja ini, Camilla tidak mau melewatkan kesempatan.
Zoe menjawab, “Apakah Tristan akan menjawab saat Scarlett menelponnya, aku tidak tahu. Tapi jika kamu yang menelpon, dia pasti tidak akan peduli.”
Zoe mengangkat alis, nada suaranya tegas. “Camilla, kamu sudah kalah. Hentikan cara-cara licik itu.”
Camilla makin marah. “Kalah dengan dia? Kalau saja Lucian tidak hilang akal sesaat, dia tidak akan punya peluang! Memangnya dia bisa mempertahankan Tristan? Tristan saja tidak menganggapnya istri. Mereka sudah menikah dua tahun, tapi tidak ada pesta pernikahan. Selama itu pula Tristan gonta-ganti perempuan. Scarlett tidak sadar? Ini semua bentuk penolakan Tristan terhadap pernikahan. Jika aku menjadi dirinya, aku sudah bunuh diri. Sangat memalukan!”
Ekspresi Zoe berubah gelap, tapi Camilla masih lanjut, “Dan kamu, Zoe, ibumu pasti kecewa melihat kamu sekarang. Kamu itu apa? Wanita atau pria?”
Awalnya Scarlett bisa menahan diri atas omelan Camilla, sampai dia mulai menghina Zoe. Scarlett langsung mengambil gelas berisi wine penuh di atas meja, tanpa sepatah kata pun, dan menyiramkannya ke wajah Camilla.
Wajahnya basah, Camilla marah, lalu melempar tasnya ke arah Scarlett. “Kamu siram aku pakai minuman?”
Dan akhirnya, perkelahian pun pecah. Scarlett dan Zoe, meski kalah jumlah, menghadapi Camilla dan gengnya. Tapi jumlah bukan segalanya—Camilla dan kawan-kawannya lebih dulu mencium lantai sebelum malam berakhir.
Saat keluar dari bar, Scarlett mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang. “Pak Polisi, ini Scarlett dari United Law LLP. Ada waktu sebentar?”
Pria di ujung telepon adalah wakil kepala kepolisian—seseorang yang sangat menghargai kehebatan Scarlett setelah ia berhasil menyelesaikan perceraiannya yang rumit.
Tiga puluh menit kemudian, saat Scarlett sampai di rumah, berita tentang penangkapan Camilla karena membuat keributan di bar sudah jadi trending di mana-mana. Internet, seperti biasa, berubah arah dengan cepat—mantan teman sekelas mulai bermunculan dan menceritakan bagaimana dulu mereka disakiti atau ditikung oleh Camilla.
Keluarga Oswald sempat turun tangan untuk membebaskan Camilla dan menghentikan trending itu, tapi tidak tanpa teguran keras.
Scarlett merasa cukup puas. Soal hubungannya dengan Zoe, itu sudah terjalin sejak sepuluh tahun lalu—sejak kejadian mengerikan di masa awal SMA yang telah mengubah Zoe selamanya.
Setelah mandi dan siap beristirahat, Tristan tiba-tiba masuk ke kamar. “Scarlett,” katanya, “sepertinya aku harus mulai mendisiplinkanmu kembali.”
Baru saja dia keluar rumah, sudah ada keributan. Bahkan ayahnya sampai menelepon bertanya apa yang terjadi.
Scarlett, yang sudah santai berbaring di ranjang, membalas, “Jangan sok polos. Dan Tristan, tolong jaga kelakuanmu.”
Dia tahu betul alasan Scarlett dan Camilla bersitegang. Dan Scarlett sudah muak diperlakukan tanpa hormat.
Tristan, sambil melepas jaket dan menggulung lengan bajunya, menatapnya sambil tersenyum menyebalkan. “Sekarang kamu nyuruh-nyuruh aku, ya?”
Saat Tristan mendekat, Scarlett berkata dengan tegas, “Aku tidak ingin melihatmu malam ini. Silakan pergi.”
“Jadi, rencana memiliki anak dibatalkan?”
“Ya.”
Senyuman Tristan semakin melebar. “Kau yakin ingin melewatkan kesempatan ini?”
Tenggorokan Scarlett terasa tercekat. Amarah dan kesedihan membuncah dalam dirinya. Seperti inikah pernikahan mereka—di mana keputusan untuk memiliki anak bergantung pada suasana hati suami?
Tatapan Scarlett berubah tajam dan dingin. Ia tahu, sudah saatnya ia mempertahankan harga dirinya. “Pergilah,” ucapnya, tenang namun menusuk.
Tristan menyipitkan mata, seolah tertarik dengan perubahan sikapnya. Ia mengangkat ikat pinggangnya, menggoda, “Ke mana semangatmu yang dulu, Scarlett?”
Semakin Scarlett marah, Tristan justru semakin menikmati situasi. Ia mendekat, menunduk hingga wajah mereka hampir sejajar. “Kebetulan, aku sedang sangat ingin bermain malam ini.”
Dengan sigap, Scarlett meraih benda hias di atas nakas, dan tanpa ragu, memukul kepala kepala Tristan.
“Scarlett!” seru Tristan, sambil buru-buru menghindar. Beruntung, Tristan melihat Gerakan Scarlett.
Scarlett hanya menepuk-nepuk tangannya seolah membersihkan debu. “Sudah kuberi peringatan.”
Keesokan paginya, Scarlett bersiap diri dan langsung menuju kantor pusat King International untuk membicarakan kerja sama hukum. Di ruang resepsionis, sekretaris menyambutnya dengan ramah, “Nona Scarlett, Tuan King sedang ada rapat. Hari ini tidak ada jadwal untuk pembahasan mengenai kerja sama hukum.”
Sekretaris tersebut lalu menginformasikan kepada Tristan bahwa Nona Scarlett dari United Law LLP sedang menunggu. Respons Tristan sangat jelas: ia menolak untuk bertemu. Baginya, sungguh keterlaluan jika Scarlett masih berani datang membawa urusan bisnis setelah kejadian semalam.
Tak lama kemudian, kepala divisi hukum perusahaan muncul dan menyampaikan secara langsung, “Nona Scarlett, grup kami memutuskan untuk tidak melanjutkan pertimbangan terhadap United Law LLP.”
Ini bukanlah sebuah penjelasan—melainkan penolakan secara terang-terangan.
Meskipun Scarlett beberapa kali kembali mengunjungi King International, Tristan tetap menolak untuk menemuinya. Pihak departemen hukum pun enggan menjalin komunikasi lebih lanjut.
Seminggu berlalu. Saat Scarlett hendak meninggalkan kantornya, ia melihat sebuah mobil Maybach hitam yang elegan terparkir tak jauh dari firma hukum. Langkahnya melambat.
Andrew, yang melihatnya, segera turun dan membukakan pintu belakang. “Nona Scarlett.”
Scarlett terdiam sejenak, lalu Andrew berkata, “Tuan Tristan datang untuk menjemput Anda kembali ke rumah keluarga untuk makan malam.”
Scarlett melirik Tristan yang duduk di dalam mobil, lalu menjawab datar, “Maaf, saya sedang sibuk.”
Ia sudah berusaha menemui Tristan berkali-kali sebelumnya, namun pria itu bahkan tak sekalipun menampakkan diri. Dan sekarang dia berharap Scarlett akan kembali bersikap seolah semuanya baik-baik saja? Ia tidak akan bermain dalam sandiwara itu.Dari dalam mobil, Tristan tetap duduk tenang, ekspresinya sulit ditebak. Ia berkomentar, “Sepertinya kau memang tidak benar-benar ingin menjadi seorang ibu.”
Ucapan itu menusuk. Scarlett menyilangkan tangan dan menatapnya dari atas. “Pernahkah kau memberiku kesempatan?”
Tristan menepuk-nepuk lengannya, seolah menghilangkan debu yang tak terlihat. “Tak melihat usaha darimu saja sudah cukup bagiku menyimpulkan kegagalan.”
Kemudian ia menatapnya, “Scarlett, mulai sekarang, aku akan pulang sekali setiap bulan. Mau kau manfaatkan atau tidak, terserah.”
Sambil merenung, Scarlett mengajukan syarat, “Sekali seminggu. Tidak bisa ditawar.”
Tristan memandangnya beberapa detik, lalu tersenyum tipis. “Masuklah.”
Dan Scarlett pun melangkah masuk, duduk anggun di sampingnya.
Akhir-akhir ini, Lucian terus menekan Tristan, ditambah lagi dengan desakan dari kakek dan neneknya. Masalahnya bukan semata soal punya anak atau tidak, tapi soal sikap yang harus ditunjukkan di hadapan keluarga.
Andrew menutup pintu mobil dengan napas lega dan duduk di kursi pengemudi. Bahkan untuk urusan pulang ke rumah pun harus melalui negosiasi? Hubungan suami istri ini memang unik.
Baru saja Tristan dan Scarlett melangkah masuk ke rumah keluarga, nenek Tristan, Ruby, langsung menyambut dengan antusias. “Wah, Scarlett kecil Nenek sudah pulang! Sini, biar Nenek lihat, ada tanda-tanda hamil belum?”
Tanpa menunggu izin, Ruby membungkuk dan menempelkan telinganya ke perut Scarlett.
Scarlett merasa canggung. “Nenek, belum ada…”
Keceriaan Ruby langsung memudar. Ia berdiri tegak dan berkata, “Scarlett, kamu dan Tristan sudah menikah dua tahun, kenapa belum ada kabar gembira? Sudah periksa ke dokter? Masalahnya ada di kamu atau Tristan?”
“Aku sudah periksa, dan hasilnya baik-baik saja,” jawab Scarlett tenang. Ia sebenarnya sangat ingin memiliki anak, tapi sayangnya ia tidak bisa melakukannya sendiri. Kalau bisa, mungkin sekarang sudah punya banyak anak.
Mendengar hal itu, Ruby langsung menoleh pada Tristan. “Tristan, kalau begitu sepertinya masalahnya ada di kamu. Badanmu tinggi besar begitu, masa tidak bisa punya anak? Semua nutrisi selama ini percuma saja.”
“Nek, kami masih muda,” ujar Tristan santai. “Belum berencana sejauh itu.”
Dua tahun menikah dan masih bilang belum berencana? Siapa yang Tristan coba tipu? Ruby bersiap memberi teguran, namun Lucian turun dari lantai atas dan berkata dengan tenang, “Ibu, Scarlett dan Tristan bisa mengurus rumah tangga mereka sendiri. Tidak perlu ikut campur.”
Setelah hening sejenak, ia beralih kepada Tristan. “Tristan, ikut aku sebentar. Kita perlu bicara.”
Setelah Tristan pergi bersama Lucian, Scarlett tetap di ruang tamu, berbincang ringan dengan kakek-nenek dan menonton televisi.
Saat waktu makan malam tiba dan pembicaraan mereka tampaknya telah selesai, Lucian langsung masuk ke topik utama. “Scarlett, aku dengar kamu sudah mulai membicarakan kerja sama hukum dengan perusahaan?”
Scarlett mengangkat kepala dan menjawab, “Benar.”
Lucian menanggapi lugas, “Besok kamu datang ke kantor dan tandatangani kontraknya.”
Saat Scarlett lulus kuliah, Lucian sebenarnya ingin agar dia bergabung dengan King International dan dibimbing langsung agar menjadi penerus yang layak, namun Scarlett memilih jalannya sendiri.
Mendengar ucapan Lucian, semangat Scarlett pun bangkit. “Terima kasih.”
Selama ini, Lucian selalu memperlakukannya dengan baik—penuh perhatian dan dukungan. Andai saja Lucian tidak jauh lebih tua darinya, dan Audrey (istri Lucian) tidak begitu baik padanya, mungkin Scarlett pernah mempertimbangkan menikah dengan Lucian. Tentu saja, itu akan jauh lebih baik daripada berakhir bersama Tristan.
Sementara itu, Ruby sibuk mengurusi Tristan di meja makan. “Tristan, makan yang banyak. Kamu harus perkuat tubuhmu.”
Scarlett melirik dan tak bisa tidak memperhatikan bagaimana Ruby terus-menerus menambahkan tiram ke piring Tristan.
Sebelum Scarlett sempat membalas, Tristan memotongnya, “Scarlett, jangan pernah berpikir tentang perceraian.” Sejak ia menyetujui pernikahan itu, ia tidak pernah sekalipun mempertimbangkan untuk mengakhirinya.Melihat Tristan yang menolak untuk berpisah, Scarlett hanya menatapnya beberapa saat, lalu dengan santai meletakkan sarapannya ke samping. Setelah itu, ia hanya memalingkan wajah ke arah jendela dan terdiam.Lebih dari sepuluh menit kemudian, mobil berhenti di depan gedung firma hukum. Scarlett turun dan berjalan pergi tanpa menoleh.Setelah melihat Scarlett masuk ke dalam gedung, ponsel Tristan berdering—Helen menelepon.Suara Helen terdengar lembut dan halus, “Tristan, bisakah kita bertemu?”Dua puluh menit kemudian, mereka bertemu di kafe yang sama. Helen awalnya duduk di kursi roda, tetapi ketika melihat Tristan mendekat, ia bertumpu pada sandaran tangan dan berdiri, “Tristan, apa kabar?”“Nona, hati-hati,” pelayan yang menemaninya segera menghampiri untuk membantu Helen ber
Scarlett mendengarkan pertanyaan Tristan. “Jika kamu khawatir, besok kita pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan.”Nada tenang Scarlett justru mengusik hati Tristan. “Kita perlu bicara,” katanya.“Baik, kita bicara di kantor catatan sipil,” jawab Scarlett tanpa ragu.Mendengar kata kantor catatan sipil, Tristan langsung menutup ponselnya tanpa sepatah kata pun. Ini adalah kali kedua ia datang mencarinya atas inisiatif sendiri. Terakhir kali ia datang, itu untuk meminta maaf atas sesuatu yang ia ucapkan dalam kondisi emosi. Namun, Scarlett tetap bersikap keras, dan Tristan berpikir, “Sudahlah, aku tidak mau berurusan dengan ini lagi.” Dengan kesal, ia melemparkan ponselnya ke dashboard, menyalakan mobil dengan wajah masam, berbelok tajam, dan pergi tanpa menoleh.Sudah cukup lama Scarlett tidak kembali ke Bougenville Residence, dan meski banyak hal yang terjadi, ia tetap menginginkan perceraian. Tristan hampir mencapai batas kesabarannya. Ia mengira Scarlett akan melunak seiring waktu,
Tristan sebenarnya tidak berniat bertengkar dengan Scarlett malam itu, tapi ketika perempuan itu dengan santainya mengeluarkan berkas perceraian, seolah-olah ia menyalakan api pada amarah Tristan. Tidak pernah terlintas dipikirannya, bahwa ia ingin bercerai dari Scarlett.Di Celestial Manor, begitu Scarlett dan Zoe masuk, ponsel Scarlett berdering. Ketika ia melihat layar dan mendapati itu panggilan dari Tristan, ia langsung menolaknya dan mematikan ponselnya.Pertengkaran mereka sebelumnya masih punya celah untuk berdamai, tapi kali ini Tristan sudah kelewat batas dengan meminta ayahnya Scarlett mundur demi Helen, dan hati Scarlett sudah membeku. Ia tidak sanggup lagi mendengar suara Tristan, apalagi mengingat Helen ternyata masih hidup.Zoe memperhatikan wajah Scarlett yang langsung mengeras setelah mematikan telepon. “Tristan?” tanya Zoe, nada suaranya penuh kekhawatiran.“Ya,” jawab Scarlett datar.Zoe menatapnya lama sebelum berkata, “Kalau kamu ingin mengakhirinya, lakukan saja.
Scarlett tak bisa menahan diri untuk tertawa sinis saat ia meletakkan bukunya dan menoleh pada Tristan, matanya memancarkan kilatan mengejek. “Tristan, sejak kapan kamu punya hak untuk meminta ayahku membatalkan sebuah proyek?”Sebelum Tristan sempat menjawab, Scarlett melanjutkan, suaranya terdengar acuh tak acuh, “Dan apa tepatnya hubungan pekerjaan terbaru Helen dengan keluarga Wilson?”Sikapnya yang begitu santai membuat Tristan tak mampu berkata-kata, mulutnya terbuka dan tertutup tanpa suara.Saat tatapan mereka bertemu, Scarlett dengan tenang menyingkirkan tangan Tristan dari lengannya, bangkit dari tempat tidur, dan berjalan menuju mejanya. Ia mengambil dua berkas kontrak lalu kembali menatap Tristan. “Karena ayahku sudah berjanji akan memberikan proyek itu padamu, maka meskipun terasa menyakitkan, aku akan menerimanya. Selesaikan administrasinya besok. Mulai sekarang, kita jalani jalan masing-masing dan jangan pernah saling berurusan lagi.”Scarlett merasa ia sudah mengerahka
Beberapa hari yang lalu, Chris sudah mendengar bahwa proyek Silverdawn dipimpin langsung oleh Helen — proyek pertamanya sejak ia bergabung dengan perusahaan.Pikiran tentang hubungan masa lalu Tristan dengan Helen, ditambah dengan kembalinya Helen yang begitu tiba-tiba, secara alami membuat Chris merinding.Sebenarnya, ada hubungan apa antara Tristan dan Helen sekarang? Dan bagaimana status mereka? Chris berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, tetapi ia tidak suka jika urusan pribadi tercampur dengan urusan profesional. Sama seperti beberapa tahun terakhir, meskipun Scarlett sudah menikah dengan Tristan, kedua keluarga tetap menjaga batas antara urusan pribadi dan bisnis.Namun, ketika Tristan datang menemuinya secara langsung, Chris berada dalam posisi yang sulit. Ia hanya menatap Tristan dan bertanya, “Jadi, apa yang sebenarnya kau inginkan, Tristan?”Mendengar pertanyaan itu, Tristan langsung menyampaikan maksudnya tanpa bertele-tele.“Aku berharap Ayah bisa menyerahkan pr
Sebelum Scarlett sempat mengatakan apa pun, Bruce sudah lebih dulu berbicara, “Dengar, Scarlett. Dalam urusan hati, lebih baik kita segera mengambil keputusan tegas, seperti mencabut plester dengan cepat. Kalau kamu berpisah sekarang, mungkin kamu akan sedih—paling lama satu atau dua minggu. Tapi kalau tidak, rasa sakit itu akan terus ada. Untuk apa kamu menyiksa diri sendiri seperti itu? Lagi pula, kamu bukan tidak punya pilihan lain, bukan?”Saat Bruce terus bicara, ekspresi Melly berubah muram, nyaris seperti awan gelap menjelang badai. Ketika pelayan datang membawa teh dan kue, Melly langsung merebut nampan itu dengan wajah tegang.Tak lama kemudian, Melly masuk ke ruang tamu dengan langkah keras, menaruh nampan di depan Bruce dengan kasar, lalu berkata tajam, “Tuan Bruce, saya ingat Tuan Tristan itu sepupu Anda. Dia tidak pernah berbuat salah pada Anda, bukan?”“Bagaimana mungkin, sebagai sepupunya, Anda datang ke rumahnya dan malah mendorong istrinya untuk bercerai? Maaf kalau s







