Share

Bab 7

Author: Mrs.Jeon
last update Last Updated: 2025-05-27 00:07:08

Bar itu remang-remang, suara orang-orang bercampur aduk dengan dentuman musik yang mengisi malam yang riuh.

Sebelum Scarlett sempat bicara, gadis itu sudah berkata, “Tristan tidak pulang lagi malam ini. Pasti sedang bermalam dengan Wanita lain.”

Zoe, dengan tangan santai di saku celana, tersenyum sinis. “Camilla, apa kamu kesini juga ingin menenggelamkan diri ke dalam alcohol? Tapi serius, sebaiknya begitu. Karena, selera Tristan berganti lebih cepat dari menu KFC. Kamu bahkan tidak masuk ke dalam daftarnya, bahkan setelah 2 tahun.”

“Zoe, kamu—” Wajah Camilla memerah karena marah. “Lalu kenapa? Kamu pikir Scarlett itu istrinya Tristan? Coba saja telepon Tristan dan panggil dia ‘suami’, lihat apakah dia bakal diakui.”

Camilla merasa dialah yang seharusnya dekat dengan keluarga King. Ayahnya dan ayah Tristan sudah sempat bersulang membicarakan pertunangan mereka. Tapi kemudian Scarlett datang dan mencuri perhatian. Diam-diam, Camilla sudah sering mencoba menjatuhkan Scarlett, menimbulkan berbagai masalah.

Dan sekarang, dengan pertemuan yang tak disengaja ini, Camilla tidak mau melewatkan kesempatan.

Zoe menjawab, “Apakah Tristan akan menjawab saat Scarlett menelponnya, aku tidak tahu. Tapi jika kamu yang menelpon, dia pasti tidak akan peduli.”

Zoe mengangkat alis, nada suaranya tegas. “Camilla, kamu sudah kalah. Hentikan cara-cara licik itu.”

Camilla makin marah. “Kalah dengan dia? Kalau saja Lucian tidak hilang akal sesaat, dia tidak akan punya peluang! Memangnya dia bisa mempertahankan Tristan? Tristan saja tidak menganggapnya istri. Mereka sudah menikah dua tahun, tapi tidak ada pesta pernikahan. Selama itu pula Tristan gonta-ganti perempuan. Scarlett tidak sadar? Ini semua bentuk penolakan Tristan terhadap pernikahan. Jika aku menjadi dirinya, aku sudah bunuh diri. Sangat memalukan!”

Ekspresi Zoe berubah gelap, tapi Camilla masih lanjut, “Dan kamu, Zoe, ibumu pasti kecewa melihat kamu sekarang. Kamu itu apa? Wanita atau pria?”

Awalnya Scarlett bisa menahan diri atas omelan Camilla, sampai dia mulai menghina Zoe. Scarlett langsung mengambil gelas berisi wine penuh di atas meja, tanpa sepatah kata pun, dan menyiramkannya ke wajah Camilla.

Wajahnya basah, Camilla marah, lalu melempar tasnya ke arah Scarlett. “Kamu siram aku pakai minuman?”

Dan akhirnya, perkelahian pun pecah. Scarlett dan Zoe, meski kalah jumlah, menghadapi Camilla dan gengnya. Tapi jumlah bukan segalanya—Camilla dan kawan-kawannya lebih dulu mencium lantai sebelum malam berakhir.

Saat keluar dari bar, Scarlett mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang. “Pak Polisi, ini Scarlett dari United Law LLP. Ada waktu sebentar?”

Pria di ujung telepon adalah wakil kepala kepolisian—seseorang yang sangat menghargai kehebatan Scarlett setelah ia berhasil menyelesaikan perceraiannya yang rumit.

Tiga puluh menit kemudian, saat Scarlett sampai di rumah, berita tentang penangkapan Camilla karena membuat keributan di bar sudah jadi trending di mana-mana. Internet, seperti biasa, berubah arah dengan cepat—mantan teman sekelas mulai bermunculan dan menceritakan bagaimana dulu mereka disakiti atau ditikung oleh Camilla.

Keluarga Oswald sempat turun tangan untuk membebaskan Camilla dan menghentikan trending itu, tapi tidak tanpa teguran keras.

Scarlett merasa cukup puas. Soal hubungannya dengan Zoe, itu sudah terjalin sejak sepuluh tahun lalu—sejak kejadian mengerikan di masa awal SMA yang telah mengubah Zoe selamanya.

Setelah mandi dan siap beristirahat, Tristan tiba-tiba masuk ke kamar. “Scarlett,” katanya, “sepertinya aku harus mulai mendisiplinkanmu kembali.”

Baru saja dia keluar rumah, sudah ada keributan. Bahkan ayahnya sampai menelepon bertanya apa yang terjadi.

Scarlett, yang sudah santai berbaring di ranjang, membalas, “Jangan sok polos. Dan Tristan, tolong jaga kelakuanmu.”

Dia tahu betul alasan Scarlett dan Camilla bersitegang. Dan Scarlett sudah muak diperlakukan tanpa hormat.

Tristan, sambil melepas jaket dan menggulung lengan bajunya, menatapnya sambil tersenyum menyebalkan. “Sekarang kamu nyuruh-nyuruh aku, ya?”

Saat Tristan mendekat, Scarlett berkata dengan tegas, “Aku tidak ingin melihatmu malam ini. Silakan pergi.”

“Jadi, rencana memiliki anak dibatalkan?”

“Ya.”

Senyuman Tristan semakin melebar. “Kau yakin ingin melewatkan kesempatan ini?”

Tenggorokan Scarlett terasa tercekat. Amarah dan kesedihan membuncah dalam dirinya. Seperti inikah pernikahan mereka—di mana keputusan untuk memiliki anak bergantung pada suasana hati suami?

Tatapan Scarlett berubah tajam dan dingin. Ia tahu, sudah saatnya ia mempertahankan harga dirinya. “Pergilah,” ucapnya, tenang namun menusuk.

Tristan menyipitkan mata, seolah tertarik dengan perubahan sikapnya. Ia mengangkat ikat pinggangnya, menggoda, “Ke mana semangatmu yang dulu, Scarlett?”

Semakin Scarlett marah, Tristan justru semakin menikmati situasi. Ia mendekat, menunduk hingga wajah mereka hampir sejajar. “Kebetulan, aku sedang sangat ingin bermain malam ini.”

Dengan sigap, Scarlett meraih benda hias di atas nakas, dan tanpa ragu, memukul kepala kepala Tristan.

“Scarlett!” seru Tristan, sambil buru-buru menghindar. Beruntung, Tristan melihat Gerakan Scarlett.

Scarlett hanya menepuk-nepuk tangannya seolah membersihkan debu. “Sudah kuberi peringatan.”

Keesokan paginya, Scarlett bersiap diri dan langsung menuju kantor pusat King International untuk membicarakan kerja sama hukum. Di ruang resepsionis, sekretaris menyambutnya dengan ramah, “Nona Scarlett, Tuan King sedang ada rapat. Hari ini tidak ada jadwal untuk pembahasan mengenai kerja sama hukum.”

Sekretaris tersebut lalu menginformasikan kepada Tristan bahwa Nona Scarlett dari United Law LLP sedang menunggu. Respons Tristan sangat jelas: ia menolak untuk bertemu. Baginya, sungguh keterlaluan jika Scarlett masih berani datang membawa urusan bisnis setelah kejadian semalam.

Tak lama kemudian, kepala divisi hukum perusahaan muncul dan menyampaikan secara langsung, “Nona Scarlett, grup kami memutuskan untuk tidak melanjutkan pertimbangan terhadap United Law LLP.”

Ini bukanlah sebuah penjelasan—melainkan penolakan secara terang-terangan.

Meskipun Scarlett beberapa kali kembali mengunjungi King International, Tristan tetap menolak untuk menemuinya. Pihak departemen hukum pun enggan menjalin komunikasi lebih lanjut.

Seminggu berlalu. Saat Scarlett hendak meninggalkan kantornya, ia melihat sebuah mobil Maybach hitam yang elegan terparkir tak jauh dari firma hukum. Langkahnya melambat.

Andrew, yang melihatnya, segera turun dan membukakan pintu belakang. “Nona Scarlett.”

Scarlett terdiam sejenak, lalu Andrew berkata, “Tuan Tristan datang untuk menjemput Anda kembali ke rumah keluarga untuk makan malam.”

Scarlett melirik Tristan yang duduk di dalam mobil, lalu menjawab datar, “Maaf, saya sedang sibuk.”

Ia sudah berusaha menemui Tristan berkali-kali sebelumnya, namun pria itu bahkan tak sekalipun menampakkan diri. Dan sekarang dia berharap Scarlett akan kembali bersikap seolah semuanya baik-baik saja? Ia tidak akan bermain dalam sandiwara itu.

Dari dalam mobil, Tristan tetap duduk tenang, ekspresinya sulit ditebak. Ia berkomentar, “Sepertinya kau memang tidak benar-benar ingin menjadi seorang ibu.”

Ucapan itu menusuk. Scarlett menyilangkan tangan dan menatapnya dari atas. “Pernahkah kau memberiku kesempatan?”

Tristan menepuk-nepuk lengannya, seolah menghilangkan debu yang tak terlihat. “Tak melihat usaha darimu saja sudah cukup bagiku menyimpulkan kegagalan.”

Kemudian ia menatapnya, “Scarlett, mulai sekarang, aku akan pulang sekali setiap bulan. Mau kau manfaatkan atau tidak, terserah.”

Sambil merenung, Scarlett mengajukan syarat, “Sekali seminggu. Tidak bisa ditawar.”

Tristan memandangnya beberapa detik, lalu tersenyum tipis. “Masuklah.”

Dan Scarlett pun melangkah masuk, duduk anggun di sampingnya.

Akhir-akhir ini, Lucian terus menekan Tristan, ditambah lagi dengan desakan dari kakek dan neneknya. Masalahnya bukan semata soal punya anak atau tidak, tapi soal sikap yang harus ditunjukkan di hadapan keluarga.

Andrew menutup pintu mobil dengan napas lega dan duduk di kursi pengemudi. Bahkan untuk urusan pulang ke rumah pun harus melalui negosiasi? Hubungan suami istri ini memang unik.

Baru saja Tristan dan Scarlett melangkah masuk ke rumah keluarga, nenek Tristan, Ruby, langsung menyambut dengan antusias. “Wah, Scarlett kecil Nenek sudah pulang! Sini, biar Nenek lihat, ada tanda-tanda hamil belum?”

Tanpa menunggu izin, Ruby membungkuk dan menempelkan telinganya ke perut Scarlett.

Scarlett merasa canggung. “Nenek, belum ada…”

Keceriaan Ruby langsung memudar. Ia berdiri tegak dan berkata, “Scarlett, kamu dan Tristan sudah menikah dua tahun, kenapa belum ada kabar gembira? Sudah periksa ke dokter? Masalahnya ada di kamu atau Tristan?”

“Aku sudah periksa, dan hasilnya baik-baik saja,” jawab Scarlett tenang. Ia sebenarnya sangat ingin memiliki anak, tapi sayangnya ia tidak bisa melakukannya sendiri. Kalau bisa, mungkin sekarang sudah punya banyak anak.

Mendengar hal itu, Ruby langsung menoleh pada Tristan. “Tristan, kalau begitu sepertinya masalahnya ada di kamu. Badanmu tinggi besar begitu, masa tidak bisa punya anak? Semua nutrisi selama ini percuma saja.”

“Nek, kami masih muda,” ujar Tristan santai. “Belum berencana sejauh itu.”

Dua tahun menikah dan masih bilang belum berencana? Siapa yang Tristan coba tipu? Ruby bersiap memberi teguran, namun Lucian turun dari lantai atas dan berkata dengan tenang, “Ibu, Scarlett dan Tristan bisa mengurus rumah tangga mereka sendiri. Tidak perlu ikut campur.”

Setelah hening sejenak, ia beralih kepada Tristan. “Tristan, ikut aku sebentar. Kita perlu bicara.”

Setelah Tristan pergi bersama Lucian, Scarlett tetap di ruang tamu, berbincang ringan dengan kakek-nenek dan menonton televisi.

Saat waktu makan malam tiba dan pembicaraan mereka tampaknya telah selesai, Lucian langsung masuk ke topik utama. “Scarlett, aku dengar kamu sudah mulai membicarakan kerja sama hukum dengan perusahaan?”

Scarlett mengangkat kepala dan menjawab, “Benar.”

Lucian menanggapi lugas, “Besok kamu datang ke kantor dan tandatangani kontraknya.”

Saat Scarlett lulus kuliah, Lucian sebenarnya ingin agar dia bergabung dengan King International dan dibimbing langsung agar menjadi penerus yang layak, namun Scarlett memilih jalannya sendiri.

Mendengar ucapan Lucian, semangat Scarlett pun bangkit. “Terima kasih.”

Selama ini, Lucian selalu memperlakukannya dengan baik—penuh perhatian dan dukungan. Andai saja Lucian tidak jauh lebih tua darinya, dan Audrey (istri Lucian) tidak begitu baik padanya, mungkin Scarlett pernah mempertimbangkan menikah dengan Lucian. Tentu saja, itu akan jauh lebih baik daripada berakhir bersama Tristan.

Sementara itu, Ruby sibuk mengurusi Tristan di meja makan. “Tristan, makan yang banyak. Kamu harus perkuat tubuhmu.”

Scarlett melirik dan tak bisa tidak memperhatikan bagaimana Ruby terus-menerus menambahkan tiram ke piring Tristan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Peluklah aku Seperti Dulu   Bab 84

    Tristan mencubit lembut perut Scarlett dengan gaya bercanda. Scarlett menahan tangannya dan berkata dengan tenang, “Aku menangani kasus perceraian hari ini. Suami-istri ini menikah karena dijodohkan oleh orang tua mereka. Tapi sekarang, cinta pertama sang suami muncul kembali. Setelah anak perempuan mereka masuk kuliah, si suami meminta cerai.”“Aku mewakili sang istri. Dia masih mencintai suaminya dan ingin mempertahankan pernikahan mereka,” lanjut Scarlett. “Tristan, kamu sebagai laki-laki, menurutmu masih ada harapan tidak bagi pernikahan ini? Atau sebaiknya dia berhenti berusaha saja?”Tristan mengelus sisi tubuh Scarlett sambil berpikir, “Kalau setelah bertahun-tahun dia masih belum bisa melupakan cinta pertamanya, akan berat untuknya istrinya. Kecuali ada sesuatu yang benar-benar bisa mengubah cara pandang suami, sepertinya tidak banyak yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan pernikahan itu.”Lalu ia menatap Scarlett dan berkata, “Mereka sudah sampai tahap mau gugat cerai. Kenap

  • Peluklah aku Seperti Dulu   Bab 83

    Nick tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk bertemu Lexi lagi — dan sekalipun itu terjadi, Lexi tetap akan bersikeras untuk bercerai.Dulu, Lexi hidup di bawah kendali Nick, takut akan keselamatan orang tua dan adik perempuannya. Namun kini, setelah Nick dijatuhi hukuman penjara selama 28 tahun, ia tak lagi bisa menyentuh Lexi.Kasus Nick menjadi pelajaran besar bagi Scarlett. Ia tidak habis pikir bagaimana Nick masih punya keberanian untuk menolak perceraian, apalagi menuntut untuk bertemu Lexi.Olivia masuk ke kursi penumpang dengan wajah cemas. “Scarlett, apakah Nick sudah menandatangani surat-suratnya?”Olivia khawatir Nick akan tetap berusaha menyeret adiknya ke dalam penderitaan, menahannya seumur hidup hanya karena dendam. Nick memang tipe pria yang akan melakukan hal semacam itu.Scarlett menyerahkan berkas yang telah ditandatangani. “Sudah.” Ia bahkan tidak menyinggung permintaan Nick untuk bertemu Lexi. Pria seperti itu tidak pantas mendapat kesempatan, apalagi seorang

  • Peluklah aku Seperti Dulu   Bab 82

    "Tidak bisakah aku tidur dengan tenang?" Ucap Scarlett malas.Melihat hal itu, Tristan meletakkan buku yang sedang ia baca, lalu menarik selimut dari tubuh Scarlett. Dalam satu gerakan cepat, ia merengkuh Scarlett ke dalam pelukannya. “Kenapa kamu lebih memilih meminta bantuan Bruce?”Nada suaranya terdengar cemburu, tapi Scarlett justru merasa geli. “Mulai sekarang, apa pun yang terjadi, aku ingin jadi orang pertama yang kamu datangi.”Tristan tidak bisa memungkiri bahwa ia merasa sedikit terganggu—bahkan cemburu—melihat kedekatan Scarlett dengan Bruce, meski Bruce adalah sepupunya sendiri.Scarlett tetap diam tanpa memberi jawaban. Melihatnya hanya terbaring begitu saja, Tristan mengusap pinggangnya perlahan hingga Scarlett akhirnya berucap, “Baiklah, aku akan datang padamu untuk apa pun.”Dengan janji itu, Tristan memeluknya erat dan perlahan tertidur. Tanpa disadari, harapannya terhadap Scarlett semakin besar—ia ingin Scarlett lebih bergantung padanya.Sementara Tristan memeluknya

  • Peluklah aku Seperti Dulu   Bab 81

    Sidang sedang berlangsung dengan intens, dan bukti terus bermunculan. Rekaman drone yang diambil bocah kecil untuk Scarlett menjadi bukti yang memberatkan—rekaman itu tidak hanya menunjukkan Nick sedang melakukan kekerasan dalam rumah tangga, tetapi juga merekam momen mengerikan saat Nick mencekik leher Lexi dan mendorongnya jatuh dari balkon.Prediksi Scarlett terbukti benar mengenai bagaimana Nick menyiksa Lexi dan bagaimana Lexi berusaha menghindar darinya.Dengan bukti yang tak terbantahkan, termasuk adegan saat Nick mendorong Lexi dari balkon apartemen mereka yang terekam kamera, Nick benar-benar hancur, kontras dengan sikap arogan yang sebelumnya ia tunjukkan.Segala rencana dan ambisinya musnah. Ia tidak akan lagi bisa merayu wanita kaya seperti Piper. Sisa hidupnya kemungkinan besar akan dijalani di balik jeruji besi.Setelah pemutaran bukti video selesai, hakim menoleh ke arah pengacara pembela Nick dengan tatapan tegas.“Penasihat hukum, apakah Anda memiliki pembelaan untuk

  • Peluklah aku Seperti Dulu   Bab 80

    Tristan menatapnya dengan sorot mata yang mengandung sebuah pertanyaan.Scarlett, yang hampir saja berkata sesuatu, akhirnya hanya tersenyum menenangkan. “Kita akan punya anak jika sudah waktunya.”Tristan membalas dengan 'Hmm', Ia membungkuk dan mengecup pipi Scarlett. Saat hendak mencium bibirnya, Scarlett menahannya. “Kamu bau alkohol. Mandi dulu, nanti aku buatkan teh untukmu.”“Astaga, sekarang ciuman pun tak bisa?” keluh Tristan sambil bercanda, mencubit pipinya sebelum membawa pakaian yang sudah Scarlett berikan padanya, lalu masuk ke kamar mandi.Melihat punggung Tristan yang menjauh, Scarlett tak kuasa menahan napas lega.Tak lama kemudian, Tristan keluar dari kamar mandi. Scarlett sudah menyiapkan teh hangat dan sepiring buah untuknya, kali ini benar-benar berperan sebagai istri yang penuh perhatian.Tristan melingkarkan lengannya di sekeliling tubuh Scarlett. Saat hendak menciumnya lagi, Scarlett menahan, “Makan dulu sedikit, biar perutmu terisi.”Tristan menatapnya dengan

  • Peluklah aku Seperti Dulu   Bab 79

    Melly awalnya berniat menyapa pasangan itu dengan ramah, namun begitu melihat Scarlett bergegas menuju kamar mandi dengan tangan menutup mulut, ia pun buru-buru menyusul dengan panik.“Ada apa, Nona Scarlett?” tanya Melly, tepat saat Scarlett mulai muntah, lalu ia berspekulasi, "Mungkin keracunan makanan!" Belum sempat selesai berbicara, Scarlett sudah membungkuk di depan toilet, muntah.Tak lama kemudian Tristan muncul membawa segelas air hangat. Setelah berkumur, kondisi Scarlett sedikit membaik.Tristan tetap di sisinya, lembut mengusap punggung Scarlett, sementara Melly bergumam, “Makanan dari luar bisa jadi tidak sehat. Seharusnya kalian minta Pak Lee saja yang mengantar makan siang untuk kalian.”Scarlett mengangguk setuju, mencoba berdiri, namun gelombang mual kembali menyerangnya.Saat Scarlett kembali terhuyung ke toilet, mata Melly berkilat penuh kesadaran. Ia melirik Tristan, lalu kembali menatap Scarlett, pikirannya berputar cepat. Belakangan, Tristan memang sering hadir,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status