Pagi ini, Mas Nizam izin gak masuk kantor. Dia mengeluh badannya sedikit meriang. Setelah menyiapkan sarapan untuk Mas Nizam dan anak-anak pergi ke sekolah, aku segera ke butik. Namun nasib jelek mungkin lagi menghampiriku. Ponsel yang biasa kupakai bekerja ketinggalan di rumah. Aku kuatir nanti Mas Nizam menemukannya dan mengetahui apa yang selama ini aku kerjakan. Bergegas kuputar balik motor. Kumatikan motor di luar pagar agar tidak terlalu berisik. Lalu kugiring motor masuk ke dalam pagar. Saat aku hendak membuka pintu, aku melihat sepasang sepatu perempuan. Bukannya ini milik Siska. Tadi, kan dia sudah pergi sebelum aku. Kubuka pintu perlahan-lahan agar tidak menimbulkan suara. Aku mengendap-ngendap masuk ke dalam rumah. Sepi, tidak terdengar suara apapun. Sebaiknya aku langsung mengambil hape dan melihat keadaan Mas Nizam. Kubuka pintu kamar perlahan-lahan. 'Lah, kok kosong? Kemana Mas Nizam?' Tadi ketika aku melewati kamar ibu sepertinya juga gak ada orang. Bergegas kuambi
Cukup lama aku tidak berkomunikasi dengannya. Seingatku terakhir sewaktu hari raya tiga bulan yang lalu. Segera kuangkat panggilan dari Mbak Melani. "Halo, assalamu'alaikum, Mbak!" jawabku. "Wa'alaikummussalam, Ra!" Mbak Melani membalas salamku. "Apa kabar, Mbak? Maaf, jarang nelepon lagi banyak kerjaan," ucapku berbasa-basi. "Alhamdulillah, Mbak baik. Kamu sendiri gimana, Ra?" Mbak Melani balik bertanya. "Alhamdulillah, Mahira dan keluarga semua sehat, Mbak!"Mbak Melani ini kakak tertua Mas Nizam. Dia sudah menikah dan tinggal di kota lain mengikuti suaminya. Karena suaminya dipindahtugaskan kembali ke sini makanya Mbak Melani ikut balik ke sini lagi. "Ra, Mbak mau ngomong sesuatu sama kamu!" Nada bicara Mbak Melani terdengar serius. 'Aku jadi deg-degan sendiri. Apa yang mau diomongin ya? Kok, tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak begini.'"Iya, Mbak, mau ngomong apa? tanyaku. "Mbak dengar, Ibu dan Siska tinggal di rumah kamu, ya?" tanya Mbak Melani. Aku bingung, kok Mbak Mela
"Sialan, kamu, Mbak!" Siska mengumpat saat tangannya ditarik paksa Pak Adi. Setelah Siska keluar, aku meminta maaf pada pelanggan yang ada di sana atas keributan yang terjadi. Beruntung mereka semua maklum. Aku kembali ke atas dan Dila masih mengekoriku. "Mbak, maksudnya tadi apa? Karyawan gudang? Jelaskan ke Dila, Mbak!" pinta Dila sesampainya kami di ruanganku. Dia langsung duduk dihadapanku dengan raut wajah penasaran. Aku tersenyum memandangnya. "Suami Mbak dan keluarganya menganggap Mbak sebagai karyawan gudang karena Mbak selalu keluar dari pintu samping dekat gudang!" jawabku. Dila masih terlihat belum puas dengan jawabanku. "Terus, kenapa Mbak gak cerita sama mereka, kalau sebenarnya Mbak yang punya butik ini?!" tanya Dila lagi. "Gak, Mbak gak mau! Kamu liat sendiri, kan gimana sikap adik ipar Mbak tadi. Kalau Mbak bilang, justru malah bikin tambah susah. Mereka akan besar kepala dan semena-mena. Biar saja, mereka berpikiran seperti itu," ucapku. "Apa itu juga salah satu
"Emang apa yang saya lakukan?! Udah deh, Bu, Mahira itu dididik yang bener biar jadi istri yang nurut sama suami!" ucap Ibu Mas Nizam dengan lantang. "Sebaiknya kita duduk dulu, harus dicari apa yang jadi masalahnya," ucap Bang Rahman dengan sabar. Kami semua duduk di sofa. Aku duduk di tengah antara Bang Rahman dan Ibuku. Di hadapan kami, Mas Nizam duduk bersebelahan dengan ibunya. "Nah, sekarang Mahira, jelaskan apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Bang Rahman dengan lembut. Kuceritakan semua dari mulai Siska yang datang cari keributan di butik, teriak-teriak gak jelas, hingga disuruh pergi tapi masih ngotot juga. Akhirnya satpam yang membawanya keluar. "Sekarang kamu Nizam, Siska ngadu apa sama kamu?!" tanya Bang Rahman. "Siska nelpon saya, Bang. Katanya, Mahira ngusir-ngusir dia sampe dia malu soalnya dia digiring sama satpam udah kayak tahanan aja. Dia gak mau balik lagi ke rumah ini karena sakit hati sama Mahira!" jelas Mas Nizam. "Tapi, dia gak ada bilang, kan apa yang dia
"Enak saja kamu nyuruh saya dan Siska tinggal di rumah sewa! Kalau Mahira gak suka tinggal bersama saya, dia aja yang pergi, kenapa harus saya? Ini rumah Nizam, lepas dari Mahira, rumah ini juga bakalan jadi milik Nizam!" ucap Ibu mertua dengan lantang. "Maaf ya, Bu! Rumah ini atas nama Ira karena DP dan biaya renovasinya semua murni dari uang Ibunya Ira. Gak ada sedikitpun uang Mas Nizam di sini!" timpalku. "Tapi, aku yang nyicil tiap bulan, kamu jangan lupa itu, Ra!" sungut Mas Nizam. "Kamu nyicil rumah? Coba kamu ingat, tiap bulan kamu kasih aku berapa? Satu juta tiga ratus, Mas. Masih besar uang bulanan yang kamu beri untuk ibu dibanding ke aku!""Iya, kan satu juta untuk rumah, tiga ratus untuk listrik dan air," sahut Mas Nizam tanpa perasaan bersalah. "Terus keperluan yang lain, anak dan makan dari mana?" tanya Ibuku. "Yah, dari Mahira dong, Bu! Dia kan sudah Nizam izinin kerja, wajib baginya bantu keuangan rumah," jawab Mas Nizam lagi. "Hebat bener kamu, Zam! Jadi, jatuhn
"Itu juga yang jadi pikiran Ira, Bu! Tadi ketika di butik, Mbak Melani nelepon Ira!" ucapku sambil berbisik. Takut terdengar Mas Nizam. "Kenapa dia nelepon kamu? Ini juga gara-gara dia, kan?" tanya Ibu dengan pelan-pelan. "Iya, tapi anehnya, Bu, dari cerita mbak Melani, sebenarnya Ibunya yang memaksa mereka tinggal di situ padahal mereka dapat rumah dinas. Dan mbak Melani pesan sama Ira berkali-kali, awasi gerak-gerik Siska. Kalau bisa Ibu mertua dan Siska jangan lama-lama tinggal di rumah ini, begitu pesannya, Bu! Tapi, mbak Melani gak ngejelasin alasan detilnya itu apa!" ucapku panjang lebar. "Benar-benar aneh dan membingungkan, ya?" tanya Ibu. Aku mengangguk membenarkan ucapan Ibu. "Kan pada di dapur, udah abang tebak dari tadi! Ngucap salam gak ada dijawab, asyik banget ngobrolnya," Tiba-tiba Bang Rahman muncul di dapur. "Eh, Bang sudah pulang, ya?" tanyaku. "Iya, Dek! Ibu sama kamu asyik ngobrol, gak tau kalau abang dah pulang!" rajuk Bang Rahman. Aku dan Ibu jadi malu mend
Dari butik, Bang Rahman mengantar kami pulang ke rumahku. Bang Rahman berjanji malam nanti akan mampir dan mengajak kami makan malam di luar. Siang ini dia harus ke hotel tempat acara perusahaannya dilangsungkan. Usai berpamitan pada kami, Bang Rahman langsung menuju hotel. Aku, Ibu dan anak-anak masuk ke dalam rumah. Ketika membuka pintu, kami terkejut melihat pemandangan di ruang tamu. Bekas roti, snack dan minuman soda berserakan di atas meja tamu. Belum bantal sofa yang sudah tergeletak di lantai. Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat keadaan ruang tamu. "Bu, kok berantakan banget ya, Bu? Tadi waktu kita pergi gak kayak gini kan, Bu?" tanya Kayla. "Gak tau ibu, Nak! Entah apa yang terjadi di rumah ini!" sahutku. Kami melangkah ke ruang tengah. Dan pemandangannya tidak jauh beda dengan di ruang tamu. Televisi menyala tanpa ada yang menonton. Sofa bed yang biasa tersusun rapi, berantakan semua. Dan tetap, bekas snack pun berserakan di atas karpet. Aku menarik napas dan memb
POV Author. "Kamu jangan sembarangan, Mbak! Jangan asal bicara!" tukas Siska. Dia terlihat gugup mendengar ucapan Mahira barusan. "Apanya yang sembarangan? Aku lihat sendiri kamu jalan sambil bergandeng mesra dengan pria tua, botak dan perutnya buncit!" jawab Mahira. Mahira tidak berbohong. Dia memang melihat Siska bersama pria tua itu saat dirinya berbelanja minggu lalu. Sebelum mengetahui bahwa Siska dan ibunya akan pindah ke rumahnya. Untung saja, Mahira berinisiatif mengambil foto Siska bersama pria itu. "Dia bos di tempatku bekerja!" jawab Siska. Dia begitu kuatir, Mahira akan mengatakan yang tidak-tidak pada Nizam. Bisa berantakan semua rencana ibunya. "Oh, ya! Jadi, sekarang Bos boleh ajak karyawan jalan, makan bergandengan dan mencium pipi di tempat umum!" ujar Mahira lagi. "A …aku hanya menemaninya makan!" elak Siska. "Oh, nemani makan sambil berpelukan?" sindir Mahira. "Kamu! Cukup, Mbak! Sekarang kamu mau apa, hah?" tantang Siska. "Aku mau kamu bersihkan semua yang k