Share

Harusnya Untuk Kami, Mas

Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Bergegas aku membereskan barang-barangku dan langsung keluar dari ruangan.

"La, Mbak pulang duluan! Ada keperluan penting!" pamitku pada Dila.

"Siap, Mbak!" jawab Dila.

Aku langsung keluar dan memacu kembali motor ke rumah. Bersyukur saat aku tiba, Siska dan Ibu tidak berada di rumah.

Aku masuk ke dalam rumah dan melangkah menuju kamar belakang. 'Wah, keren! Mas Nizam yang pemalas, demi Siska, rela membersihkan kamar belakang. Dan sempat-sempatnya memasang wallpaper baru," batinku.

"Assalamu'alaikum," Terdengar salam dari depan. Aku segera kembali ke depan. Ternyata, Pak Sugeng tetangga dua rumah dari sini.

"Wa'alaikummussalam, Pak Sugeng! Ada perlu apa, Pak?" tanyaku heran.

"Ini, Bu tadi saya pasang wallpaper di rumah Ibu sama bersih-bersih, terus tadi ada alat saya yang ketinggalan," jelas Pak Sugeng.

'Oh, ternyata nyuruh orang buat bersihkan kamar. Begitu perhatiannya dia sama Siska. Sangat jauh berbeda dengan sikapnya kepadaku dan anak-anak. '

"Kalau begitu ambil saja, Pak! Saya juga gak tau yang mana alatnya," jawabku.

Kupersilahkan Pak Sugeng masuk sedangkan aku menunggu di teras. Tak berapa lama Pak Sugeng keluar sambil membawa kresek hitam.

"Udah, Bu! Maaf merepotkan," ujarnya sungkan.

"Gak papa, Pak," jawabku lagi.

"Kalau begitu saya permisi dulu, Bu! Makasih banyak!"

"Iya, Pak Sugeng, sama-sama," jawabku lagi.

Baru saja Pak Sugeng keluar pagar, tiba-tiba ada mobil pick up berhenti di depan pagar rumah. Aku urungkan niat untuk masuk ke dalam menunggu sopir pick up itu keluar.

"Misi, Bu! Benar ini rumahnya Pak Nizam?" tanya salah satu dari mereka.

"Iya benar," jawabku.

"Kami mau antar AC dan tivi pesanan Pak Nizam, Bu," jelasnya lagi.

"Oh, ya, masuk aja, Mas! Pagarnya gak dikunci."

Salah satu dari mereka membuka pintu pagar kemudian mereka berdua bersama-sama membawa AC dan tivi. Baru saja aku akan menyuruh mereka masuk ke dalam, Kayla dan Bila sudah pulang dari mengaji.

"Assalamu'alaikum, Bu! Tumben, Ibu udah pulang?" tanya Kayla. Anak-anak mencium tanganku dengan takzim.

"Ibu mau pasang AC, ya?" tanya Bila antusias.

"Iya, tapi nanti di kamar Ibu, terus tivi nanti Ibu taruh di kamar kalian!" jawabku.

"Tivi baru, Bu?" Kayla bertanya dengan tatapan tak percaya.

"Iya dong, kan kalian berdua sering berantem sama ayah masalah tivi. Jadi, ibu beli tivi baru buat kalian. Tapi, tetap harus diatur ya, nontonnya!" jawabku.

"Hore, Kak, kita gak rebutan lagi sama ayah. Makasih, Bu!" ucap Bila sambil memelukku.

Aku membalas pelukan Bila dan tersenyum memandangnya.

"Bu, jadi gimana ini?" tanya pengantar AC tadi. Aku hampir lupa, mereka masih menunggu.

"Mari, Mas!" ajakku. Mereka berdua masuk kedalam rumah.

"AC nya di sini pasangnya! Nanti tivi dikamar yang satu lagi!" jelasku seraya menunjuk kamar pribadiku.

Anak-anak antusias melihat karyawan itu memasang AC. Apalagi sewaktu tivi ditaruh di kamar mereka.

Tak butuh waktu lama selesai pemasangan AC dan tivi. Kuucapkan terima kasih pada mereka. Aku tersenyum puas. Terserah nanti gimana reaksi Mas Nizam yang penting aku dan anak-anak menikmatinya terlebih dahulu.

Aku bergegas membersihkan diri sebelum Mas Nizam dan yang lainnya datang. Anak-anak gak keluar kamar dari tadi. Mungkin betah karena ada tivi di kamar.

Terdengar deru mobil berhenti di depan. Aku yang lagi berbaring di kamar segera beranjak untuk membuka pintu. Mas Nizam datang bersama Siska dengan berangkulan. Sedang Ibu tak tampak bersama mereka.

"Mas, beneran ya? Udah dipasang AC dan tivinya," ucap Siska dengan manja sambil melirik-lirik aku yang sedang berdiri di depan pintu.

"Sudah, Mas udah suruh orang tadi!" jawab Mas Nizam.

"Minggir, Mbak, mau lewat, ganggu aja!" bentak Siska seraya menyenggol bahuku. Tubuhku sedikit terhuyung ke samping. Untung saja badanku tertahan di tembok pintu.

Mas Nizam masuk dengan bergandengan tangan dengan Siska menuju kamar belakang. Kuhitung mundur tiga, dua, satu.

"Mahira …mana AC dan tivinya?! teriak Mas Nizam dari dalam. Aku mengulum senyum. Kemudian menyusul mereka ke dalam.

"Ada apa?" tanyaku santai tanpa rasa bersalah. Kulipat kedua tangan di dada.

"Ada apa? Kamu masih nanya?! Mana AC dan tivi yang kubeli?! Gak mungkin belum diantar!" cecar Mas Nizam.

"Emang udah datang!" jawabku lagi.

"Lantas, kemana?!" tanya Mas Nizam geram.

"Ada tuh, di kamar kita. Aku pasang di kamar kita biar kita bisa ngadem. Kita kan, tidur berdua. Sedangkan Siska sendiri! Cukuplah kipas angin, tuh, udah kutaruh juga di situ," tunjukku ke dalam kamar.

"Mas, aku gak mau tau, ya! Pokoknya aku gak mau tinggal di sini kalau gak ada AC!" ancam Siska.

"Bersyukur banget kalau kamu gak mau tinggal di sini! Berkurang sedikit benalu di rumahku!" sindirku.

"Kamu benar-benar ya, Mahira! Aku belikan untuk Siska bukan untuk kamu!" ujar Mas Nizam geram.

"Lho, bukan untuk aku sendiri kok, untuk kita berdua!" jawabku dengan tetap santai.

"Aku tadi bilang kan sama kamu, kalau AC dan tivi untuk di kamar belakang! Kamu ngerti, gak sih?!" Kembali Mas Nizam membentakku.

"Ngerti, tapi sayang aja, kamar utama malah gak pake AC, masak kamar yang di belakang malah ada AC, gak pantas! Jadi aku suruh aja orangnya tadi masang di kamar kita. Nah, kalau tivi, aku taruh di kamar anak-anak, biar gak berebutan lagi sama kamu!"

Mas Nizam membelalakkan matanya. Dia menyugar rambutnya. Siska terduduk di tepi ranjang sambil menangis. Aku yang melihat kondisinya malah ingin tertawa.

"Mas, aku gak mau!" rengek Siska. Setelahnya dia melirik kearahku. Dasar sialan kamu, Mbak!" umpatnya.

Aku menggedikkan bahu kemudian berlalu dari hadapan mereka. Aku masuk ke kamar dan kembali berbaring. Ngadem dulu dengan AC baru. Tiba-tiba pintu terbuka dan Mas Nizam masuk dengan terburu-buru. Kemudian dia menarik lenganku dengan kasar.

"Lepas, Mas, sakit!" ucapku sambil berusaha melepaskan diri dari cekalannya.

"Kamu sekarang harus ganti uang AC dan tivi itu! Aku gak mau tau!" ujar Mas Nizam geram.

"Kenapa aku harus ganti? Yang make kan juga aku sama anak-anak kamu sendiri. Kamu itu aneh, Mas! Aku tuh jadi curiga sama kamu! Kamu itu perhatian ke Siska kok ya berlebih-lebihan, ngalahin perhatian kamu ke aku dan anak-anak.

Padahal, yang ngurus kamu dan bantu kebutuhan rumah tangga kita itu aku. Kamu, gak ada terima kasihnya sama aku! Justru kamu selalu memanjakan Siska! Kadang kupikir kalian itu beneran gak sih saudara kandung? Kok rasanya kayak aneh saja!" ucapku menyelidik.

"Hah, sudah!!! Jangan mengalihkan pembicaraan! Pokoknya —,"

"Pokoknya apa? Kalau kamu masih mau Ibu dan Siska tinggal di sini, kamu jangan banyak tingkah, Mas! Atau aku gak segan-segan nyeret mereka keluar dari sini!" Aku balik mengancam.

"Kamu benar-benar ya, Mahira!" Mas Nizam mengepalkan tangannya menahan emosi. Kemudian dia berlalu dari kamar. 'Ya Allah, maaf aku kasar pada suamiku. Tapi ini semua aku lakukan agar membuat dia sadar ya Allah.'

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
sebagai istri yg tegas dikitlah nyet.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status