"Sialan, kamu, Mbak!" Siska mengumpat saat tangannya ditarik paksa Pak Adi. Setelah Siska keluar, aku meminta maaf pada pelanggan yang ada di sana atas keributan yang terjadi. Beruntung mereka semua maklum. Aku kembali ke atas dan Dila masih mengekoriku.
"Mbak, maksudnya tadi apa? Karyawan gudang? Jelaskan ke Dila, Mbak!" pinta Dila sesampainya kami di ruanganku. Dia langsung duduk dihadapanku dengan raut wajah penasaran. Aku tersenyum memandangnya. "Suami Mbak dan keluarganya menganggap Mbak sebagai karyawan gudang karena Mbak selalu keluar dari pintu samping dekat gudang!" jawabku. Dila masih terlihat belum puas dengan jawabanku. "Terus, kenapa Mbak gak cerita sama mereka, kalau sebenarnya Mbak yang punya butik ini?!" tanya Dila lagi. "Gak, Mbak gak mau! Kamu liat sendiri, kan gimana sikap adik ipar Mbak tadi. Kalau Mbak bilang, justru malah bikin tambah susah. Mereka akan besar kepala dan semena-mena. Biar saja, mereka berpikiran seperti itu," ucapku. "Apa itu juga salah satu alasan, Mbak gak pernah pulang bawa mobil?" Dila bertanya lagi. Masih tidak terima dengan jawabanku. "Yah, salah satunya itu juga. Tapi, lebih ke praktisnya aja, sih! Soalnya kan Mbak sering bolak-balik dari butik ke rumah. Lagian juga gak jauh!" jelasku pada Dila. "Bener-bener deh, Mbak, adik ipar Mbak itu gak ada akhlaknya! Sampe geram jadinya!" Dila emosi. "Sudah biasa seperti itu. Harus banyak stok sabar menghadapinya. Sudah, kamu jangan ikutan geram nanti malah kerjaannya gak konsen," ucapku. "Eh, iya jadi baper, Dila merasa menjadi orang yang tersakiti, Mbak," Dila cengengesan. "Ya sudah, balik sana! Lama-lama kamu di sini malah gak jadi kerja!" ucapku sambil tersenyum. "Siap, Bu Bos! Dila memberi hormat padaku. Aku tertawa melihat tingkah lakunya. Kemudian dia pamit kembali bekerja. Aku pun meneruskan pekerjaan yang tertunda tadi. Siang ini seperti biasa aku pulang untuk memasak makan siang. Saat aku tiba di rumah, ternyata Mas Nizam tidak di rumah. Kemana perginya dia. Bukannya istirahat, malah keluyuran. Aku segera ke dapur mempersiapkan makan siang. Kuatir keburu anak-anak pulang terlebih dahulu. Sedang asyik aku di dapur terdengar teriakan Mas Nizam dari depan. "Mahira, sini kamu!" teriaknya. Kuangkat tempe yang kugoreng dan mematikan kompor. Tergopoh-gopoh aku menuju depan. "Mahira!" teriaknya lagi. "Ada apa, sih Mas? Pulang bukannya ngucapin salam, malah teriak-teriak! Aku lagi masak nih!" jawabku. "Jangan banyak omong kamu! Kamu apain Siska sampe dia gak mau balik lagi ke rumah ini, hah!!!""Aku gak apa-apain dia, kok! Kalau dia gak mau pulang ke rumah ini malah bagus, bebanku berkurang satu!""Kamu!!! Dasar istri gak guna!" maki Mas Nizam. "Kamu kalau ngomong dipikir dulu, Mas! Dari dulu gaji istrimu yang gak guna ini dipake buat ngisi perutmu itu! Jadi berhenti memaki aku! Yang gak guna itu adik kamu! Datang ke butik buat keributan biar aku dipecat! Kamu jangan selalu dengar omongan Siska sampe kamu jadi zolim sama istri sendiri!""Aku lebih percaya pada Siska dibanding kamu! Sudah kubilang dia keluargaku! Kamu mempermalukan dia di depan orang-orang sama saja mempermalukan aku dan ibu!" bentak Mas Nizam. "Dia sendiri yang mau! Disuruh pergi masih ngotot juga! Terpaksa satpam bertindak! Udah ganggu kenyamanan orang lain," jawabku lantang. "Ngejawab terus kamu!" Mas Nizam mendekatiku. Reflek dia melayangkan tangannya ke pipiku. Beruntung aku bisa mengelak. Spontan pula aku mendorongnya hingga dia jatuh tersungkur. Mas Nizam meringis kesakitan. Sambil memegang lututnya, dia mencoba berdiri. "Sialan, istri sialan! Kamu berani ngedorong suamimu sendiri!" Mas Nizam semakin berang. "Kamu duluan yang mau nampar aku, Mas! Demi adik kamu itu, tega kamu mau nampar aku!" balasku tak kalah emosi. "Ada apa ini?" Tiba-tiba ibu pulang dan melihat perang mulut antara aku dan Mas Nizam."Ini, Bu, Mahira. Dia sudah bikin malu Siska di butik hingga Siska gak mau pulang lagi ke sini!"Ibu memandangku dengan tatapan tajam. Beliau mendekatiku kemudian langsung menampar pipiku. Aku yang tak siap terkejut dengan tamparan ibu. Mas Nizam tersenyum puas. "Kamu berani mempermalukan Siska! Dia itu anak kesayangan ibu!" ucap ibu emosi. Aku masih memegangi pipi yang masih terasa panas akibat tamparan ibu tadi. "Ira gak buat malu Siska! Dia sendiri yang datang cari keributan! Harusnya ibu bisa mendidik anak ibu dengan sopan santun!" balasku. Tak kuhiraukan bahwa di depanku ini adalah mertuaku. Gak akan aku segan lagi pada mereka. Gara-gara Siska mereka semua menyudutkanku dan aku gak bakalan terima gitu aja. "Kamu yang harus punya sopan-santun! Gak pernah dididik sama orang tua ya, kamu!" maki Ibu. "Ibu harusnya bercermin sebelum ibu ngomong kayak gitu!" balasku lagi. "Mahira, kamu ngejawab terus dari tadi!" bentak Mas Nizam. "Aku gak akan diam, Mas selama aku gak salah! Kalian yang selalu membuat gara-gara!" jawabku lagi. Mas Nizam berusaha mendekatiku. Sepertinya dia berniat untuk menamparku lagi. "Nizam, apa-apaan kamu!" Suara bentakan seseorang membuat Mas Nizam menghentikan niatnya. Ternyata yang datang Bang Rahman dan ibuku. "Bang …Bang Rahman!" ucap Mas Nizam dengan terbata-bata. Ibu mendekat dan memelukku. Bang Rahman menatap Mas Nizam yang tertunduk malu. "Jangan salahkan Nizam, Rahman! Adikmu itu sudah tidak sopan terhadap saya dan Siska! Udah bikin Siska malu sampe gak mau balik ke rumah ini lagi! Siapa yang gak emosi, adiknya digituin!" jawab ibu sambil memonyongkan bibirnya ke kanan dan kiri. "Ibu, maaf sebelumnya. Saya mengenal betul bagaimana sifat Mahira. Dia gak akan berbuat seperti itu kalau tidak tanpa sebab. Jadi, ibu dan Nizam seharusnya tidak langsung ambil tindakan dan menyalahkan satu pihak saja! Bisa saja Siska sendiri yang buat ulah!" ucap Bang Rahman dengan nada lembut. "Jadi kamu bilang Siska yang cari gara-gara! Siska itu anak baik, sopan gak seperti adik kamu itu!" ucap Ibu masih dengan emosi. "Cukup, Bu! Berhenti menyalahkan putri saya! Saya masih terima, Nizam cuek sama saya, tapi kalau sampai dia menyakiti Mahira saya gak akan diam saja!" timpal Ibuku tiba-tiba. "Nizam cuma mau kasih pelajaran sama Mahira, biar bisa menghormati saya dan Siska, apa itu salah?" tanya Ibu mertua. "Pelajaran apa, kalau hanya menyakiti! Saya yakin, Mahira gak salah, cuma kalian saja yang dasarnya cari masalah terus!" sahut ibuku. "Bela terus, biar besar kepala Mahira! Dibilangin suami malah ngelawan terus! Mau jadi istri durhaka, kamu?!" Ibu Mas Nizam semakin mencecarku. "Cukup, Bu! Ibu gak usah banyak bicara lagi! Saya selama ini diam bukannya saya tidak tau, bagaimana perlakuan ibu sekeluarga kepada anak saya!" balas Ibuku. Sepertinya Ibu benar-benar geram dengan mertuaku. 'Ya Allah, bagaimana ini? Bantu hamba ya Allah,' doaku dalam hati."Emang apa yang saya lakukan?! Udah deh, Bu, Mahira itu dididik yang bener biar jadi istri yang nurut sama suami!" ucap Ibu Mas Nizam dengan lantang. "Sebaiknya kita duduk dulu, harus dicari apa yang jadi masalahnya," ucap Bang Rahman dengan sabar. Kami semua duduk di sofa. Aku duduk di tengah antara Bang Rahman dan Ibuku. Di hadapan kami, Mas Nizam duduk bersebelahan dengan ibunya. "Nah, sekarang Mahira, jelaskan apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Bang Rahman dengan lembut. Kuceritakan semua dari mulai Siska yang datang cari keributan di butik, teriak-teriak gak jelas, hingga disuruh pergi tapi masih ngotot juga. Akhirnya satpam yang membawanya keluar. "Sekarang kamu Nizam, Siska ngadu apa sama kamu?!" tanya Bang Rahman. "Siska nelpon saya, Bang. Katanya, Mahira ngusir-ngusir dia sampe dia malu soalnya dia digiring sama satpam udah kayak tahanan aja. Dia gak mau balik lagi ke rumah ini karena sakit hati sama Mahira!" jelas Mas Nizam. "Tapi, dia gak ada bilang, kan apa yang dia
"Enak saja kamu nyuruh saya dan Siska tinggal di rumah sewa! Kalau Mahira gak suka tinggal bersama saya, dia aja yang pergi, kenapa harus saya? Ini rumah Nizam, lepas dari Mahira, rumah ini juga bakalan jadi milik Nizam!" ucap Ibu mertua dengan lantang. "Maaf ya, Bu! Rumah ini atas nama Ira karena DP dan biaya renovasinya semua murni dari uang Ibunya Ira. Gak ada sedikitpun uang Mas Nizam di sini!" timpalku. "Tapi, aku yang nyicil tiap bulan, kamu jangan lupa itu, Ra!" sungut Mas Nizam. "Kamu nyicil rumah? Coba kamu ingat, tiap bulan kamu kasih aku berapa? Satu juta tiga ratus, Mas. Masih besar uang bulanan yang kamu beri untuk ibu dibanding ke aku!""Iya, kan satu juta untuk rumah, tiga ratus untuk listrik dan air," sahut Mas Nizam tanpa perasaan bersalah. "Terus keperluan yang lain, anak dan makan dari mana?" tanya Ibuku. "Yah, dari Mahira dong, Bu! Dia kan sudah Nizam izinin kerja, wajib baginya bantu keuangan rumah," jawab Mas Nizam lagi. "Hebat bener kamu, Zam! Jadi, jatuhn
"Itu juga yang jadi pikiran Ira, Bu! Tadi ketika di butik, Mbak Melani nelepon Ira!" ucapku sambil berbisik. Takut terdengar Mas Nizam. "Kenapa dia nelepon kamu? Ini juga gara-gara dia, kan?" tanya Ibu dengan pelan-pelan. "Iya, tapi anehnya, Bu, dari cerita mbak Melani, sebenarnya Ibunya yang memaksa mereka tinggal di situ padahal mereka dapat rumah dinas. Dan mbak Melani pesan sama Ira berkali-kali, awasi gerak-gerik Siska. Kalau bisa Ibu mertua dan Siska jangan lama-lama tinggal di rumah ini, begitu pesannya, Bu! Tapi, mbak Melani gak ngejelasin alasan detilnya itu apa!" ucapku panjang lebar. "Benar-benar aneh dan membingungkan, ya?" tanya Ibu. Aku mengangguk membenarkan ucapan Ibu. "Kan pada di dapur, udah abang tebak dari tadi! Ngucap salam gak ada dijawab, asyik banget ngobrolnya," Tiba-tiba Bang Rahman muncul di dapur. "Eh, Bang sudah pulang, ya?" tanyaku. "Iya, Dek! Ibu sama kamu asyik ngobrol, gak tau kalau abang dah pulang!" rajuk Bang Rahman. Aku dan Ibu jadi malu mend
Dari butik, Bang Rahman mengantar kami pulang ke rumahku. Bang Rahman berjanji malam nanti akan mampir dan mengajak kami makan malam di luar. Siang ini dia harus ke hotel tempat acara perusahaannya dilangsungkan. Usai berpamitan pada kami, Bang Rahman langsung menuju hotel. Aku, Ibu dan anak-anak masuk ke dalam rumah. Ketika membuka pintu, kami terkejut melihat pemandangan di ruang tamu. Bekas roti, snack dan minuman soda berserakan di atas meja tamu. Belum bantal sofa yang sudah tergeletak di lantai. Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat keadaan ruang tamu. "Bu, kok berantakan banget ya, Bu? Tadi waktu kita pergi gak kayak gini kan, Bu?" tanya Kayla. "Gak tau ibu, Nak! Entah apa yang terjadi di rumah ini!" sahutku. Kami melangkah ke ruang tengah. Dan pemandangannya tidak jauh beda dengan di ruang tamu. Televisi menyala tanpa ada yang menonton. Sofa bed yang biasa tersusun rapi, berantakan semua. Dan tetap, bekas snack pun berserakan di atas karpet. Aku menarik napas dan memb
POV Author. "Kamu jangan sembarangan, Mbak! Jangan asal bicara!" tukas Siska. Dia terlihat gugup mendengar ucapan Mahira barusan. "Apanya yang sembarangan? Aku lihat sendiri kamu jalan sambil bergandeng mesra dengan pria tua, botak dan perutnya buncit!" jawab Mahira. Mahira tidak berbohong. Dia memang melihat Siska bersama pria tua itu saat dirinya berbelanja minggu lalu. Sebelum mengetahui bahwa Siska dan ibunya akan pindah ke rumahnya. Untung saja, Mahira berinisiatif mengambil foto Siska bersama pria itu. "Dia bos di tempatku bekerja!" jawab Siska. Dia begitu kuatir, Mahira akan mengatakan yang tidak-tidak pada Nizam. Bisa berantakan semua rencana ibunya. "Oh, ya! Jadi, sekarang Bos boleh ajak karyawan jalan, makan bergandengan dan mencium pipi di tempat umum!" ujar Mahira lagi. "A …aku hanya menemaninya makan!" elak Siska. "Oh, nemani makan sambil berpelukan?" sindir Mahira. "Kamu! Cukup, Mbak! Sekarang kamu mau apa, hah?" tantang Siska. "Aku mau kamu bersihkan semua yang k
Selesai juga pekerjaan yang diperintahkan Mahira pada Siska. Dia sekarang merebahkan diri di kamar. Terasa tubuhnya begitu penat membersihkan semuanya. Mahira yang baru saja selesai solat ashar memeriksa hasil kerja Siska. 'Lumayan, menghemat sedikit energiku' gumam Mahira dalam hati. "Wah, udah bersih ya, Bu! Gak berantakan lagi! Ibu juara kalau soal beres-beres!" puji Bila. Kayla, Bila dan Ibunya Mahira memilih duduk di depan tivi sambil selonjoran. "Iya, dong!" jawab Mahira dengan nada menyombongkan diri. Sentak Bila dan Kayla tertawa. Begitu juga dengan Bu Hartini, ibunya Mahira. "Cepat juga kamu nyelesein semuanya, Ra! Gak capek kamu?" tanya Bu Hartini. Mahira mengulum senyum mendengar pertanyaan ibunya. Kemudian dia mendekati Ibunya dan berbisik. Mahira menjelaskan semua yang telah terjadi. Dan memberitahukan Ibunya bahwa semua Siska yang ngeberesinnya. Bu Hartini tertawa mendengar penjelasan Mahira."Bagus, Ra! Hitung-hitung nebus dosa karena udah memfitnah kamu tadi!""Iy
"Kenapa, Mas dengan kulkasnya?" tanya Mahira dengan santai. "Kenapa kulkasnya dikunci? Aku mau minum air dingin!" bentak Nizam geram. "Maaf, Mas! Aku sengaja kunci kulkas karena aku baru saja menuhi isi kulkas itu dengan belanjaan yang dibeli Mas Rahman. Aku gak mau dong, kamu nanti ngambil apa yang udah dibelikan untuk aku dan anak-anak. Kan, sekarang kita makan masing-masing!" jawab Mahira. "Kamu benar-benar perhitungan sama suami!" "Jelas dong harus! Soalnya Mas juga gitu sama aku dan anak-anak! Mas selalu memberi apa yang Siska dan Ibu minta tanpa memikirkan perasaan kami jadi aku hanya meniru apa yang telah kamu ajarkan, Mas!" jawab Mahira. Dia, melipat kedua tangan di depan dada dan danau menikmati wajah kesal Nizam. "Sialan, kamu! Cepat buka kulkas ini!" titah Nizam. "Maaf, Mas gak bisa! Lagipula kulkas itu yang beli Ibu dan listriknya aku yang bayar, jadi kamu gak ada hak!" jawab Mahira. "Kalau begitu, apa gunanya kamu jadi istri? Percuma aku punya istri kalau kamu bers
"Kayla, cerita sama Ibu!" ucap Mahira dengan lembut. "Ayah beli bakso, Bu! Jadi Bila nanya, mana bakso untuk dia? Tapi kata Ayah, cuma beli untuk Tante Siska aja. Jadi Bila nangis. Kenapa Ayah tidak pernah membelikan kami makanan? Selalu Tante Siska saja. Ayah juga sering membentak kita berdua, Bu! Ayah nggak sayang sama kita!" ucap Kayla dengan mata berkaca-kaca sambil memeluk adiknya. "Benar, Mas yang Kayla katakan itu?" tanya Mahira seraya menatap tajam pada Nizam. "Emangnya kenapa kalau aku belikan untuk Siska? Mereka berdua kan tanggung jawab kamu! Jadi kalau mereka mau apa-apa, ya minta sama kamu, bukan ke aku!" jawab Nizam tanpa merasa bersalah. "Kamu itu kalau ngomong dipikir, Mas! Aku dan anak-anak sebenarnya tanggung jawab kamu! Tapi kamunya aja yang zolim sama istri dan anak-anak kamu. Lebih memilih memenuhi kebutuhan keluarga kamu daripada kami! Denger ya, Mas! Rezeki yang kamu berikan kepada keluarga kamu itu ada hak kami bertiga. Jadi jika kami tidak ridho kamu lihat