Share

Siska Berulah

Cukup lama aku tidak berkomunikasi dengannya. Seingatku terakhir sewaktu hari raya tiga bulan yang lalu. Segera kuangkat panggilan dari Mbak Melani. 

"Halo, assalamu'alaikum, Mbak!" jawabku. 

"Wa'alaikummussalam, Ra!" Mbak Melani membalas salamku. 

"Apa kabar, Mbak? Maaf, jarang nelepon lagi banyak kerjaan," ucapku berbasa-basi. 

"Alhamdulillah, Mbak baik. Kamu sendiri gimana, Ra?" Mbak Melani balik bertanya. 

"Alhamdulillah, Mahira dan keluarga semua sehat, Mbak!"

Mbak Melani ini kakak tertua Mas Nizam. Dia sudah menikah dan tinggal di kota lain mengikuti suaminya. Karena suaminya dipindahtugaskan kembali ke sini makanya Mbak Melani ikut balik ke sini lagi. 

"Ra, Mbak mau ngomong sesuatu sama kamu!" Nada bicara Mbak Melani terdengar serius. 'Aku jadi deg-degan sendiri. Apa yang mau diomongin ya? Kok, tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak begini.'

"Iya, Mbak, mau ngomong apa? tanyaku. 

"Mbak dengar, Ibu dan Siska tinggal di rumah kamu, ya?" tanya Mbak Melani. Aku bingung, kok Mbak Melani malah nanya. Seharusnya dia merasa kalau karena dialah ibu jadi pindah. 

"Iya, Mbak, benar. Kemarin pindahnya. Kan katanya, Mbak yang mau tinggal di rumah ibu. Dan kata ibu lagi karena sempit jadi ibu pindah ke rumah kami,"  jawabku. 

Terdengar helaan napas dari Mbak Melani di seberang. 

"Jadi ibu bikin alasan kayak gitu, ya?" tanya Mbak Melani lagi. 

"Iya, Mbak," jawabku sambil mengangguk walaupun kutau Mbak Melani tidak bisa melihat itu. 

"Ra, Mbak bingung juga mau ngejelasin gimana. Sebenarnya memang Mbak mau pindah ke sana. Dan kami pun sudah dapat rumah dinas, walaupun agak kecil dari rumah ibu. Tapi, ibu memaksa agar kami tinggal di sana. Katanya kan rumah itu sertifikatnya udah ditebus sama Mas Farhan. Dan Ibu bilang biar ibu gak kesepian. Tapi, Mbak menolak. Mbak gak mau tinggal bersama satu atap sama Siska. Mbak gak mau ngulang kejadian dulu lagi, Ra!" suara Mbak Melani terdengar sedikit terisak. 

"Maksud Mbak, gimana? Ira masih belum ngerti, Mbak!" sahutku. 'Jujur aku bingung. Mas Nizam bilang gini! Terus Mbak Melani menjelaskan seperti ini! Kok, semakin ke sini, semakin gak beres!'

"Mbak gak bisa panjang lebar cerita sama kamu, Ra! Mbak cuma pesan tolong kamu selalu awasi gerak-gerik Siska! Jangan sampai kamu kecolongan kayak Mbak! Kalau bisa, secepatnya Ibu dan Siska pergi dari rumahmu! Jangan biarkan mereka lama-lama tinggal bersama kamu!" jelas Mbak Melani. 

"Mbak, tolong jelaskan lagi, Ira beneran bingung, Mbak!" Mendengar peringatan yang dilontarkan Mbak Melani, sepertinya hal ini sudah serius. 

"Nanti pasti Mbak cerita semua sama kamu! Sekarang kamu lakukan apa yang Mbak bilang tadi. Selalu awasi Siska! Mbak kuatir dia berbuat yang tidak-tidak."

'Mengapa serba teka-teki begini sih? Kenapa Mbak Melani gak langsung cerita aja? Kalau kek gini, aku yang pusing! Gak tau alasannya apa tapi aku harus mengawasi Siska.'

"Ra, kamu masih di sana, kan? " tanya Mbak Melani. Mungkin karena dia tak mendengar suaraku.

"Masih, Mbak! Ira cuma penasaran dan bingung, Mbak dengan semua ini!" jawabku lagi. 

"Mbak secepatnya akan pulang ke sana. Mbak bakalan bantuin kamu, Ra!" ucap Mbak Melani. 

"Iya, Mbak. Makasih atas nasehat Mbak!"

"Iya, Sama-sama. Udah dulu ya, Mbak ada urusan penting! Assalamu'alaikum," Mbak Melani mengakhiri panggilan tanpa menunggu jawabanku. Kuucap dalam hati salam dari Mbak Melani. 

'Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana cara mengawasi Siska jika aku sedang tidak di rumah? Ah, kenapa tidak terpikirkan dari tadi ya!'

Kuhubungi seseorang yang kukenal ahli dalam hal itu. 

"Assalamu'alaikum, Zal!" 

"Wa'alaikummussalam, iya, Mbak Ra!" jawab Rizal. Dia adik kelasku dulu sewaktu SMA. Dan sudah kuanggap seperti adikku sendiri. 

"Zal, Mbak mau pasang CCTV di rumah, kamu bisa bantuin, gak?" tanyaku pada Rizal. 

"Kecil mah, CCTV doang! Kapan, Mbak mau pasang?" tanya Rizal. 

"Besok, jam sembilan, kamu ke rumah Mbak ya!" jawabku. 

"Okelah kalau gitu. Mbak tunggu aja besok di rumah!" ucap Rizal. 

"Sip, makasih ya, Zal! Mbak tutup dulu!"

"Oke," jawab Rizal singkat. 

Alhamdulillah sudah beres. Mudah-mudahan dengan aku memasang CCTV, setidaknya aku masih bisa melihat apa yang terjadi di rumah saat aku tidak ada. Entah mengapa aku menurut dan percaya saja apa yang dikatakan Mbak Melani. Walau kami tidak terlalu dekat, tapi dia cukup ramah jika kami bertemu. Apalagi dengan kejadian pagi tadi. Aku memergoki Mas Nizam berduaan dengan Siska membuatku jadi bertambah curiga. 

Kembali aku fokus pada laptop. Belum lama aku berkutat dengan pekerjaanku, Dila tiba-tiba muncul. 

"Mbak, maaf, Dila gak ngetuk pintu dulu! Itu di bawah ada customer ngakunya saudara Mbak," lapor Dila. 

Aku mengernyitkan dahi, berpikir siapa yang ngaku-ngaku jadi saudaraku. 

"Siapa, La?" tanyaku penasaran. 

"Gak tau, Mbak!" jawab Dila. 

Aku segera berdiri dan keluar dari ruangan. Aku turun ke bawah diikuti Dila di belakangku. Sungguh aku terkejut ternyata di bawah sudah ada Siska yang mencak-mencak gak karuan. 

"Kamu ngapain ke sini? Pake cari keributan segala?" tanyaku sinis. 

"Halah, sok banget kamu, Mbak! Baru kerja di gudang aja, sombong!" Siska menimpali tak kalah sinis. Dila hendak berbicara, namun segera kularang. 

"Mendingan kamu pergi deh! Nanti bosku datang liat kayak gini bisa dipecat aku!" jawabku. Dila memandangku dengan tatapan tak mengerti. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang tertutup hijab. 

"Itu tujuan aku ke sini! Biar kamu dipecat! Jadi kamu gak sombong lagi!" jawabnya lagi. 

"Kalau aku dipecat, kamu juga bakalan susah! Gak ada yang bisa kasih kamu makan secara kamu sekarang numpang tinggal di rumah aku! Dan Mas Nizam pun gak bakalan bisa royal lagi ke kamu, karena dia harus ekstra bekerja memenuhi semua kebutuhan di rumah karena aku udah gak ada penghasilan lagi!" jawabku santai. Kulipat kedua tangan di depan dada. Menatap lurus ke arah Siska. 

Siska terlihat berpikir. Wajahnya menyiratkan kebencian yang amat sangat. 

"Kamu itu memang ya, Mbak, wanita gak tau diri! Seenaknya kamu ambil hak aku!" ucap Siska dengan lantang. 

"Hak? Hak yang mana?! Aku gak ngerti maksud kamu apa?" tanyaku pada Siska. 

"Hak aku! Harusnya AC dan tivi itu jadi hak milik aku, tapi kamu rampas! Kamu gak punya perasaan memang!"

Aku tersenyum kecil memandang Siska yang terlihat emosi. Masih belum puas juga dia karena AC dan tivinya kuambil. 

"Kamu gak salah? Gak kebalik? Justru aku mengambil apa yang seharusnya menjadi milik aku dan anak-anak! Sudah cukup, ketika kami masih menumpang di rumah ibu, kami harus selalu mengalah! Jangan harap aku akan diam saja!" balasku lantang. 

"Dasar maling kamu, Mbak! Balikin yang jadi hak aku!" teriak  Siska. Karyawan dan beberapa pelanggan menoleh pada Siska.

"Siska, cukup! Sekarang kamu mau pergi dengan sukarela atau mau dipaksa sama security!" ancamku. 

"Coba saja kalau kamu berani maksa aku!" tantang Siska. 

Aku kembali tersenyum. Kemudian kupanggil Pak Adi, security butik agar segera memaksa Siska keluar dari butik. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si tolol yg g bisa menganalisa hubungan apa antara siska dan lakinya.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status