"Bu, ada anak-anak, jangan ngomong kayak gitu!" tegur Nizam pada Bu Hartini. Untung saja Kayla dan Bila sedang asyik menonton di handphone yang dipinjamkan Mahira. "Ibu udah benar-benar benci, Man sama Nizam! Jangankan Mahira, dengan anak-anaknya saja dia bersikap seperti itu! Gak ada yang bisa diharapkan lagi dari laki-laki seperti itu, Ra! Dunia gak apalagi akhirat! Pantas saja almarhum Bapak dari awal menolak Nizam untuk menjadi menantunya! Mungkin beliau sudah feeling Nizam bukan lelaki yang baik. Entah apa yang kamu lihat dari Nizam! Sampe kamu ngotot tetap ingin menikah dengannya!" cecar Bu Hartini. "Bu, udah! Jangan ungkit masa yang telah lalu! Kasihan Mahira!" ucap Rahman. Dia melirik ke arah Mahira yang hanya bisa menundukkan kepala. "Dek, jangan terlalu dipikirkan, ya! Ibu ngomong gitu karena beliau kuatir sama kamu dan anak-anak! Abang serahkan keputusan sama kamu, Dek! Jika kamu merasa tidak bisa bertahan lagi dengan suamimu, lepaskanlah! Tapi, jika kamu yakin, dia akan
Dilihatnya Siska sedang mengomel karena minyak goreng yang tertumpah. "Ngapain kamu?" tanya Bu Hartini. "Ini! Gara-gara anak Ibu yang gak mau masak, jadi saya yang harus turun tangan!" jawab Siska. "Kok jadi salah anak saya?" Bu Hartini balik bertanya. "Ya iyalah! Coba ya, Mbak Mahira itu ikut apa perintah Mas Nizam, jadinya kan gak kayak gini? Saya yang malah disuruh nyiapin makanan!" gerutu Siska. "Eh, Siska! Salahin Mas kamu itu! Jadi suami gak guna! Mau seenaknya saja! Minta dilayani sebagai suami tapi gak pernah memberi hak Mahira sebagai istri!" cecar Bu Hartini. "Siapa yang bilang Mas Nizam gak ngasih haknya sebagai istri? Rumah sudah ada. Kendaraan juga sudah ada. Uang belanja juga dikasih, kan? Apalagi yang kurang? Anak Ibu saja yang keterlaluan sama suami. Ngebangkang terus!" balas Siska. "Rumah ini saya yang kasih Dp bukan Nizam. Kendaraan yang kamu bilang itu, Mahira dapatkan dari sebelum menikah dengan Nizam! Dan uang belanja yang kamu bilang itu, saya mau tanya sa
Pagi ini Mahira sengaja membuat sarapan untuk anak-anak dan Ibunya saja. Seperti kesepakatan yang dia buat dengan suaminya.Mahira membuat sarapan kali ini yaitu nasi goreng dengan topping sosis, bakso dan telur dadar. Ditaburi dengan bawang goreng dan tak lupa kerupuk telah Mahira siapkan untuk Ibu dan kedua anaknya. Mereka menyantap makan pagi dengan gembira. Kayla dan Bila pun merasa senang karena sarapan ini begitu istimewa. Nizam keluar dari kamar setelah selesai mandi dan berpakaian rapi. Nizam melirik ke arah meja makan. Terlihat istri, anak serta mertuanya begitu menikmati nasi goreng buatan Mahira. Dia menelan ludah. Merasa gengsi untuk meminta tapi perutnya keroncongan karena tadi malam tidak makan.Mahira yang melihat Nizam melirik-lirik ke meja makan kemudian berdiri dan mengambil kopi yang telah dibuatkannya untuk Nizam. Walau bagaimanapun kopi tetap disediakan oleh Mahira. "Ini Mas, kopinya udah aku buatin dari tadi. Aku taruh di sini ya!" ucap Mahira seraya meletakka
"Kenapa kamu matikan teleponnya, Sus?" tanya seorang pria di seberang, temannya Bu Susi. Ada Siska! Aku gak mau dia mendengar percakapan kita!" jawab Bu Susi"Oh, ada Siska. Jadi, sampai kapan kita kucing-kucingan sama anak-anakmu?" tanya pria itu lagi. "Nantilah, aku belum tahu sampai kapan! Aku masih nyaman dengan keadaan seperti ini!" jawab Bu Susi lagi. "Terserah kamu aja deh, Sus!" timpal pria itu lagi. "Ya sudah, kalau begitu aku mau mandi dulu, ya! Kamu kerja yang rajin, jangan males-malesan! Tahunya minta uang aja sama aku!" gerutu Bu Susi."Yah, mumpung kamu ada usaha, Sus! Kalau aku kan kerjanya serabutan. Kamu tahu sendiri penghasilanku berapa. Cuma bisa untuk rokok dan pulsa aja!" jawab pria itu. "Iya, bawel! Dah dulu ya! Kamu kerja hati-hati!" pesan Susi. "Oke, sampai ketemu nanti siang!" "Iya, Hen!" jawab Bu Susi lalu mengakhiri teleponnya. Bu Susi beranjak dari pembaringan dan keluar dari kamar menuju dapur. Dilihatnya meja makan bersih tanpa ada apapun di atas m
Mahira menuju kamarnya kemudian meraih handphone yang diletakkannya di dalam tas. Kemudian dia menghubungi Rizal, adik kelasnya yang janji akan memasang CCTV di rumahnya. "Halo, assalamualaikum, Mbak!" jawab Rizal. "Wa'alaikumussalam, Zal! Kamu di mana? Kamu jadi datang, kan hari ini?" tanya Mahira. "Maaf banget, Mbak! Hari ini Rizal gak bisa datang ke rumah Mbak.Kebetulan ada kerjaan yang nggak bisa ditinggalkan. Paling kalau bisa masang besok atau lusa, Mbak! Maaf banget ya, Mbak! Rizal juga baru mau ngabarin ke Mbak!" jawab Rizal. "Oh gitu, ya udah nggak papa, Zal! Mbak pikir kamu lupa. Kalau memang ada kerjaan, Mbak nggak bisa maksa kamu juga. Sesempatnya kamu aja, Zal. Tapi kalau kamu mau datang, kamu kabarin Mbak dulu, ya!" pinta Mahira. "Iya, Mbak! Pasti Rizal ngabarin kalau mau ke rumah Mbak.""Ya udah kalau gitu, Zal! Makasih sebelumnya ya, assalamualaikum!" ucap Mahira mengakhiri panggilan. "Waalaikumussalam, sama-sama Mbak!" jawab RizalMahira kembali menaruh handpho
"Yah, Ibu nggak mau aja nanti buat perkara dan masalah baru! Kamu tahu sendiri gimana Nizam itu! Apa-apa di perkarain, apa-apa dimasalahin! Ibu sampai pusing lihatnya!" gerutu Bu Hartini. "Iya, Bang! Belum lagi kalau nanti Siska datang genit-genit sama Abang! Bikin bete aja!" timpa Mahira. "Ya sudah, kalau gitu abang nggak perlu pamitan lagi sama mereka. Cukup sama ibu dan Mahira aja. Sampaikan aja salam Abang pada mereka ya!" ujar Nizam seraya tersenyum. "Insya Allah nanti Mahira sampaikan, Bang!" jawab Mahira. "Bang, Mahira lanjutin masak dulu ya! Abang ngobrol bareng Ibu aja di ruang tengah!" pinta Mahira."Oke, sip Dek! Masak yang enak ya!" gurau Rahman."Pasti, Bang! Apa sih yang nggak untuk Abangku tersayang!" Mahira balik menggoda Abangnya. Rahman malah terkekeh mendengar godaan dari Mahira. Rahman bersama Bu Hartini melangkah ke ruang tengah sambil menonton TV. "Ada kejadian apa tadi malam, Bu?" tanya Rahman saat mereka sudah duduk di sofa bed. "Kepo juga ya kamu, Man!
"Iya, Man! Kamu doakan saja masalah adikmu ini cepat selesai. Ibu Kasihan juga melihat Mahira seperti ini. Punya suami tapi seperti tidak punya suami!" ucap Bu Hartini. "Pasti, Bu! Pasti Rahman doakan semoga Mahira dapat melalui semua cobaan ini. Agar dia bisa lebih dewasa lagi menghadapi segala masalah. Apapun keputusannya, apapun hasilnya, Rahman akan mendukung Mahira. Dia adik satu-satunya Rahman. Gak akan Rahman biarkan dia tersakiti oleh siapapun termasuk oleh Nizam, suaminya. Bu Hartini tersenyum menatap putra sulungnya. Dia merasa lebih mantap lagi untuk menemani Mahira di rumah ini.Tak terasa waktu menunjukkan pukul dua belas siang. Mahira pun telah selesai memasak sesuai dengan request anaknya. Semur daging, tumis kangkung dan ditambah dengan balado telur campur terong kesukaan Bu Hartini.Rahman pamit untuk salat ke Masjid terlebih dahulu dan nanti akan makan siang di rumah. Mahira dan Bu Hartini pun bersiap-siap untuk melaksanakan salat zuhur. Baru saja Mahira meletakk
"Maksudnya ini apa, Ra? Kok kamu bilang satu porsi dia puluh lima ribu? Emang Nizam bayar makannya?" tanya Rahman dengan polosnya. "Iya, Bang. Mas Nizam sekarang kalau mau makan lauk yang Mahira masak, dia harus membayar. Sama seperti dia membeli di luar karena sekarang Mahira tidak menerima uangnya lagi seperti yang Mahira ceritakan tadi," jawab Mahira. Nizam menatap tajam pada Mahira. 'Mumpung ada Bang Rahman! Biar dia bisa menasehati adiknya!' geram Nizam dalam hati. "Abang lihat sendiri kan, kelakuan adik abang? Suami ingin makan malah disuruh bayar! Coba! Apakah itu yang dinamakan istri solehah? Abang harusnya menasehati Mahira agar jangan perhitungan pada suami! Apa-apa nanti perlu suami juga! Sama saja Mahira itu durhaka sama suami!" sindir Nizam. "Aku, istri durhaka? Lah kamu? Apa bukan suami zolim namanya? Aku melakukan ini karena kamu yang duluan mulai! Aku pengen kamu itu sadar. Tapi kayaknya kamu malahan gak sadar-sadar juga!" jawab Mahira kesal. "Lihatkan, Bang? Mahi