"Doakan hatiku kuat, Mas!" jawab Rima dengan suara berat. James langsung mengambil ke dua tangan Rima, dan duduk bersimpuh. Mengatakan doa yang tulus dari atinya, agar pernikahnya dengan Rima akan langgeng dan semua baik-baik saja. "Alhamdulillah, semoga Allah meridhoi. Jika istrimu masih mau di sini, biarkan saja, mungkin bisa menghilangkan rasa yang masih tersimpan di dadanya dan makin menguatkan tekadnya untuk terus menjadi istri dan ibu yang baik," saran Bu Halimah. James hanya mengangguk, tapi setelah Bu Halimah masuk ke dalam, lelaki berjenggot tipis itu merengek dan meminta Rima untuk pulang bersamanya. Terpaksa diiyakan oleh Rima. "Bu Rima harus pulang," pamit Rima dan Bu Halimah mencoba memahaminya. Sebagai ibu, Bu Halimah tidak ingin anaknya menjadi di umur pernikahannya yang baru. Akan tetapi, dia juga merasa kasihan pada anak semata wayangnya. *** "Mas, mampir ke super market, ya. Ada banyak yang mau aku beli, tapi kalau kamu sibuk, aku sendirian saja!" pinta Rima.
"Masa lupa dengan muridnya, Bu? Apa karena sekarang hidup enak, jadi bisa melupakan masa lalu?" ejek remaja yang ada di depannya. Rima mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, mencoba menontrol diri agar tidak kelepasan. "Tubuh Sherly sangat hangat dan aku sangat menikmati desahannya!" bisilk remaja itu. Mendengar itu, tubuh Rima menegang. Matanya mulai berembun, dadanya naik turun. meski sudah berusaha mengatur napas sebaik mungkin. "Jika ibu tidak membuat ulah, maka hal ini tidak akan terjadi! Tubuh Sherly sebagai bayarannya," Rima melayangkan tangannya untuk membungkam mulut remaja yang mulai keterlaluan menurutnya. Namun, sayang. Tanganya langsung di halangi oleh tangan remaja yang menyunggingkan senyuman smirk di wajahnya. "Bu, ibu harus meminta maaf pada kakaku yang depresi akibat ibu tinggal menikah dengan ayah Sherly!" terang remaja yang makin membuat Rima kesal. "Lepas, Sandi!" ronta Rima, mencoba melepaskan tangannya. "Aku tidak ada hubungannya dengan
"Sayang!" tegur James, yang melihat istrinya diam mematung. James menepuk pundak istrinya, saat panggilannya diabaikan. Rima yang menyadari, jika dirinya tidak lagiberbicara pada Sandi, langsung tersadar. "I-iya, Mas!" serunya dengan nada suara yang sumbang. James menanyakan kenapa dia diam mematung dan seperti ketakutan, Rima hanya membalas dengan mengajaknya pulang, tanpa memberi tahu ada apa dan kenapa. "Aku harus menemui Sandi dan keluarganya!" gumam Rima. *** Tiga hari berlalu, bagaikan tiga tahun bagi Rima. Melihat tingkah Sherly yang semakin hari, semakin tidak terkontrol dan juga dirinya selalu mengingat perkataan dari Sandi. "Apakah aku penyebab utama Sherly seperti ini, lalu aku harus bagaimana untuk membayarnya!" oceh Rima. James yang baru pulang dari kantor merasa heran dengan istrinya,yang masih sering melamun setelah pulang dari super market tempo hari. "Assalamualaikum," sapa James, tapi diabaikan oleh Rima. Lelaki bertubuh tegap itu memeluk istrinya yang namp
"Sayang! Aku tidak bisa menjalankan apa yang ingin kulakukan. Aku seperti ayah yang tidak bisa menjaga anaknya dan tidak bisa memberi perlindungan padanya!" lirih James dan Rima hanya bisa mengusap rambut suaminya. Tanpa mereka sadari, Sherly menatap dan mendengar perbincangan mereka dari balik pintu, ada denyut di hatinya yang merasa bersalah kepada kedua orang di depannya. Sherly mengurungkan niatnya untuk mengambil minum, karena keberadaan papa dan ibu sambungnya yang masih belum bisa dia terima. "Mas, besok aku ijin pergi agak lamaan, ya. Ada sesuatu yang harus aku urus!" ijin Rima. "Mau aku anter?" tawar James dan langsung ditolak oleh wanita cantik yang memangkunya. "Enggak, Mas. Aku bisa sendiri, kamu fokus pada kerjaan dan bisnis kamu saja. Apalagi usaha yang mau kamu bangun untuk Sherly di kota Surabaya baru aja di mulai. Masa depan mereka harus kita utamakan setelah ini," ujar Rima. James hanya mengangguk, karena dia cukup lega. Rima mau menerima alasannya tidak menggug
Rima hanya menjawab melalui senyuman dan sentuhan pada tangan James. membuat lelaki itu merasa sangat banga pada istrinya yang masih setia menemainya. Sherly seperti biasa, mengintip melihat ayah dan bunda tirinya. Kemudian kembali ke ranjang, dan memakan makanannya dengan sangat lahap. Dia tau, jika masakan itu adalah karya dari bunda tirinya. Rima segera membersihkan meja tempat dia dan James sarapan, kemudian mengambil buku-buku lamanya yang dia minta ambilkan pada suaminya beberapa waktu lalu. Sembari membaca, dia juga mengawasi Sherly agar tidak melakukan hal yang berada di luar dugaannya. "JIka kalian tidak terjamah oleh hukum, maka aku yang akan membalasnya!" oceh Rima, ketika membaca buku tentang cara meracik racun. "Bu, non Sherly tidak ada!" teriak sang pembantu,ketika akan mengambil pakaian kotor. Rima langsung beranjak dari duduknya dan berlari menuju kamar Sherly, dan benar saja, dia tidak ada di sana, Hati Rima langsung berdenyut, entah ada apa dengan anak sambungny
"Berarti!" Rima seakan baru tersadar dari keterpurukannya.Dengan langkah tergesa, dia mengganti pakaian dan menuju ke lokasi di mana salah satu pelaku meminta Sherly untuk datang. Kaki Rima sudah gemetar, sejak dia membaca cat dari pelaku dan sahabat Sherly, Rima merasakan kesakitan Sherly yang dibully dalam keadaan saat ini. Bukannya memberi semangat, saabat-sahabatnya malah membuat mental Sherly makin down.Rima membaca ulang chat yang masuk di ponsel anaknya itu, kemudian mencari chat yang menunjukkan tempat yang dituju Sherly."Bik, aku pergi dulu," pamit Rima, tanpa menjawab pertanyaan dari pembantunya.Rima mengendari motor miliknya dan melaju dengan kecepatan yang tinggi agar cepat sampai dan bisa menyelamatkan anak tirinya dari para predator. "Di mana mereka!" oceh Rima bingung.Mata Rima fokus pada gedung-gedung sekitar, dan mencari keberadaan anaknya. Lirih terdengar isakan Sherly, yang merancau. Dengan cepat Rima menuju ke asal suara. Seorang lelaki sedang berada di atas
Rima menarik anak sambungnya berdiri di depan lelaki yang sudah tidak berdaya itu, kemudian meminta lelaki b*adab itu menatap Sherly lekat-lekat. Kemudian dia mengambil sesuatu yang membuat mata lelaki itu melotot,"Ma-mau apa?" ucapnya gagap.Dua luka, cukup membuat lelaki bertubuh besar tersebut tidak berdaya. Darah yang mengucur mungkin salah satu penyebabnya.Rima memakai sarung tangan karet dan mendekati laki-laki yang tidak memakai bawahan itu, Memperlihatkan belati yang sangat berkilau, Rima mulai menakuti dengan mengambil sebuah batu kecil dan dibelahnya dengan mudah."Maaf ... Maaf, kan saya. Saya akan menebus kesalahan saya padanya, tapi tolong lepaskan saya!" mohonnya lirih.Rima tersenyum menejek dan makin dekat dengan lelaki itu. Menyumpal mulutnya dan mengatakan sesuatu,"Gigit sekuat yan kamu bisa! Rasakan sensasi saat kamu menjamah tubuh anakku!" Suara Rima terdengar sangat berat dan tertahan,Sherly yang tadinya ketakutan seolah memiliki keberaniannya, dia mendekati l
Rima melepaskan tangannya dari benda pusaka itu dan beralih ke tangan lelaki yang seusia dengannya. Menyeret lelaki yang mulai tidak berdaya itu dengan susah payah.“Kita mulai di sini saja, biar kita bisa sama-sama menikmatinya! Pasti ini akan menjadi kenikmatan yang tiada tara,” ujar Rima dengan senyum yang mulai sadis.Namun, Rima ingat jika Sherly sendirian. Rima mencari tali dan mengikat tangan dan lelaki yang berani-beraninya menoda*i putri sambungnya itu. Rima lalu meninggalkannya dengan keadaan miris, lalu mendekat ke Sherly. Mengusap lembut wajah cantik gadis remaja yang sudah dia anggap seperti putrinya.“Sherly, bangun,” panggil Rima seraya menepuk pipinya berulang kali.Rima memutuskan meminta bantuan pada seseorang, dan satu nama yang terlintas dibenaknya. Tanpa menunggu lama, dia langsung menghubunginya, meminta bantuannya untuk menolong Sherly. Rima sudah memperkirakan waktu kedatangan orang yang dia mintai tolong, dengan cepat dia kembali ke lelaki yang sudah dengan te