Share

Pembalasan Istri yang Terbuang
Pembalasan Istri yang Terbuang
Author: Piscisirius

Bab 1 : Penuh Rahasia

Surai rambut coklat sepanjang telinga ia usap ke belakang, menampilkan alis tebalnya yang terukir tegas di wajahnya yang rupawan. Cahaya rembulan menembus kaca besar yang terpasang di sepanjang lorong layaknya dinding, menyinari sesosok pria bertubuh tegap yang dengan gagahnya berjalan. 

Bagai malaikat, tubuhnya itu disinari dengan indah, ditambah mata abu-abu gelapnya ikut tersenyum ketika kedua sudut bibirnya terangkat, semakin menambah level ketampanannya. Siapa yang tidak tahu Baron? Anak tunggal kaya raya yang siap mewarisi harta turunan sang ayah yang saat ini sedang sakit-sakitan. 

Kaki panjangnya melesat masuk ke dalam sebuah ruangan, harum aroma mawar menyerbak masuk ke dalam indera penciuman. Ruangan yang hanya mengandalkan sinar rembulan sebagai penerangan tersebut menampilkan siluet seorang perempuan yang berdiri menghadap jendela. 

“Apa kamu sudah siap?” tanya Baron, baritonnya yang serak dan berat menggema dalam ruangan yang diselimuti keheningan. 

Siluet perempuan itu bergerak, tampaknya ia sudah berbalik, menghadap pada Baron. Rambut panjangnya yang bergelombang ia kibas ke bahu kiri, menunjukkan lehernya yang jenjang. 

Baron berjalan mendekat padanya, perlahan mengikis jarak antara tubuh keduanya. Bukan lagi aroma mawar yang tercium, melainkan nafas hangat yang menguarkan aroma mint, berpadu dengan parfum lembut yang harumnya seperti citrus dan beraroma rempah segar. 

“Terima kasih sudah berkunjung.” Lengan perempuan itu menyentuh dada bidang Baron, tubuhnya agak mencondong ke depan, kakinya sedikit berjinjit saat akan mengincar leher Baron, ia kecup mesra. 

“Malam ini, biarkan aku melayanimu, suamiku.”

Baron menyeringai dalam gelap ketika mendegar pernyataan tersebut, ekspresi senyum yang memiliki banyak arti itu tidak bisa dilihat oleh lawan bicaranya. Lengan yang penuh dengan urat-urat yang menonjol itu sudah melingkar posesif pada pinggul sang istri. 

“Lakukan yang terbaik. Beri hadiah pada suamimu ini, Dorothy,” bisik Baron, sebelah tangannya memegang ujung dagu perempuan tersebut. Bibir mereka nyaris bersentuhan, hangat dari nafas keduanya saling menyapu paras masing-masing. 

Satu per satu Dorothy mulai melepas pakaiannya, menjatuhkan kain tipis yang semula melapisi tubuh indahnya ke lantai. Dorothy melakukan apa yang dirinya bisa, sejujurnya ia baru pertama kali melayani suaminya dengan cara seperti ini. 

Seminggu yang lalu, Baron meminta agar hubungan ranjang antara dirinya dengan Dorothy tidak terasa membosankan. Selalu, Baron yang memulai semuanya dan Dorothy hanya berperan sebagai penerima saja. 

Beberapa bulan terakhir ini, Dorothy mulai menanamkan rasa percaya pada Baron dan pelan-pelan mulai menyadari ada rasa yang tumbuh dalam hatinya. Jadi Dorothy berinisiatif untuk memberi kesenangan pada suaminya itu dalam hal ini. 

Dorothy menaruh kedua tangannya pada bahu Baron, memutar tubuh suaminya sebelum akhirnya ia dorong untuk jatuh ke atas ranjang. Baron terkekeh puas, dengan senang hati ia membiarkan wanita itu melakukan apa saja. 

“Bi-biarkan malam ini aku yang memegang kendali!” ujar Dorothy sedikit agak gugup, nafasnya yang tak beraturan itu terdengar nyaring menderu-deru dalam kesunyian. 

Baron berbaring dengan tangan telentang. “Puaskan aku malam ini, sayang,” pintanya dengan suara serak pasrah. 

“... Sebelum nantinya kamu tidak bisa lagi bercinta dengan lelaki setampan, segagah dan seperkasa diriku ini,” sambung Baron dalam gumam yang hanya bisa ia dengar sendiri. 

Dorothy perlahan naik ke atas tubuh Baron, duduk di antara kedua paha pria itu. Jemari lentiknya bermain-main di atas perut kotak-kotak milik Baron, sebelum akhirnya Baron menarik Dorothy hingga bibir mereka saling berbenturan, kemudian disambung dengan memberi lumatan-lumatan ganas yang memicu suhu tubuh keduanya naik. 

Decak-decak yang mengisi keheningan menjadi pengiring permainan panas mereka. Gerakan-gerakan erotis Dorothy semakin terlihat lihai tak kaku lagi, membuat Baron kian bersemangat menuntaskan hasratnya pada malam yang panjang. 

***

“Hubungan kalian harmonis, 'kan?”

Pertanyaan yang dilontarkan Matteo — ayah kandung Baron membuat sepasang suami istri yang sedang khidmat menyantap sarapan pagi langsung terhenti. Atensi mereka berdua diambil alih pria tua yang selalu membawa tongkat ke mana-mana. 

Di meja panjang yang diisi oleh banyak hidangan lezat, hanya ada tiga kursi saja yang terisi. Baron dan Dorothy yang duduk saling berhadapan, lalu Matteo yang duduk di ujung meja, di tengah-tengah mereka berdua. 

“Tentu saja. Memangnya kami terlihat tidak harmonis di mata Ayah?” Baron membalikan pertanyaan, merasa bingung. 

“Bukan begitu,” kekeh Matteo pelan, “Maksud Ayah hubungan intim kalian berjalan lancar kan?”

Mendengar pertanyaan yang diperjelas barusan, membuat Dorothy langsung tersedak. Dengan penuh perhatian buru-buru Baron memberikan segelas air putih pada istrinya tersebut, tangannya menepuk pelan punggung Dorothy. 

“Apa aku harus memberitahu Ayah setiap kami selesai melakukannya?” Baron tertawa singkat, “Tidak tahu saja malam tadi seganas apa Dorothy melayaniku.”

Ucapan Baron tersebut langsung dihadiahi pelototan dan pukulan ringan pada bahu oleh Dorothy. Bisa-bisanya Baron mengatakan hal itu secara terang-terangan pada sang ayah. 

“Syukurlah kalau hubungan di antara kalian berjalan baik-baik saja. Hanya saja Ayah sangat menunggu kehadiran bayi kecil di keluarga kita yang sedikit ini. Sayang sekali kan rumah seluas ini jika tidak diisi oleh suara tangisan dan tawaan bayi,” kata Matteo yang dibubuhi gelak tawa tipis. 

Baron mengangguk-angguk paham. “Benar, Ayah. Tapi kami pun sedang mengusahakannya. Kami sangat bersemangat untuk menghadirkan anggota baru dalam keluarga ini.”

Dorothy menunduk malu. Sedikit merasa tidak enak hati juga tidak nyaman, takut dipandang bahwa dirinya bukan istri yang baik sebab belum juga diberi keturunan setelah dua tahun pernikahan. 

Lengan Baron mendekap tubuh kecil Dorothy, seolah paham dengan perasaan istrinya. Tapi pandangannya tak ia alihkan dari Ayahnya. “Fokus saja dulu pada kesembuhan Ayah. Kami pastikan keluarga ini memiliki penerus.”

Matteo tersenyum tipis sembari manggut-manggut. “Bukan bermaksud memaksa ataupun memojokkan kalian agar segera memiliki anak. Ayah juga tahu bahwa itu di luar kendali kita, sebab Tuhan sudah mengatur semuanya. Tapi Ayah hanya berpikir, jika sudah memiliki anak, Baron bisa menjadi pribadi yang lebih baik.”

Baron yang merasa tersinggung langsung menautkan alisnya. “Maksud Ayah apa?”

“Mau sampai kapan kamu terus berleha-leha dan menunda pekerjaan? Baron, sekarang kamu itu sudah menjadi kepala keluarga. Kamu anak satu-satunya dan kamu adalah pewaris utama keluarga ini. Tapi harta yang akan kamu dapatkan nanti tentu harus kamu kelola agar tidak habis begitu saja. Ayah ini sudah tua, Baron. Tidak mampu lagi menjalankan usaha keluarga kita seperti dulu,” pesan Matteo yang hampir tiap hari diucapkan pada putranya itu. 

Kepala Baron langsung angguk-angguk, meng-iyakan. Dalam hati ia merasa jengkel, tapi bisa tertutup dengan ekspresinya tenangnya. “Baik, Ayah. Aku paham.”

***

Kepulan asap yang keluar dari ujung cerutu, mulut dan juga hidung Baron menguar ke udara, lalu mulai menghilang dalam langit-langit malam. Pria berumur 30 tahun itu tengah menunggu kedatangan seseorang, duduk manis di bangku taman belakang kediaman mewahnya. 

Meski angin malam begitu dingin, terasa menusuk-nusuk tulang, Baron sama sekali tidak terusik. Pikirannya penuh dengan suatu hal, dan sewaktu-waktu bisa meledak jika terus dipendam. 

Daun telinga Baron bergerak-gerak, menangkap suara derap langkah kaki seseorang yang datang mendekat padanya. Baron bisa menebak seseorang itu adalah orang yang ditunggunya sejak tadi. 

“Tuan Baron,” panggil seseorang tersebut. 

Kepala Baron menoleh, disusul dengan tubuhnya yang beringsut dari kursi. “Berhasil?”

Pria bertubuh kurus berpakaian ala kadarnya tanpa mengenakan alas kaki, bagian dada yang mencetak tulang selangka dibiarkan terbuka. Kemeja lusuh tak berkancing yang dikenakannya menampilkan bahwa dia dari kalangan biasa. 

Tubuhnya membungkuk, tangannya menyerahkan sebuah botol kecil yang entah apa isinya. “Ini ramuan dari tumbuhan wilayah timur yang Tuan minta.”

Baron menerima barang pemberian pria lusuh tersebut. “Berapa lama efek reaksinya?”

“Langsung seketika saat ramuan itu bekerja, Tuan. Ramuan ini diracik khusus sehingga tidak mengeluarkan aroma apapun bahkan tidak berwarna,” jawabnya masih dengan posisi membungkuk penuh hormat. 

Baron merogoh sesuatu dari dalam saku celananya, segunduk uang logam emas ia berikan pada pria itu sebagai imbalan. “Sisanya menyusul setelah kabar yang ditunggu-tunggu menyebar. Sisa uang yang dikirimkan pakai untuk berpesta satu kampung. Makan-makanlah yang enak dan berpesta sepuasnya.”

“Baik, Tuanku.”

Dikira aktivitas dan percakapan itu hanya mereka saja yang tahu, tapi ternyata Dorothy diam-diam memantau dari jendela lantai atas untuk melihat transaksi yang dilakukan mereka berdua. Batinnya bertanya-tanya, benda apa yang dibeli Baron hingga rela menguras banyak uang? 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status