Clara melangkah cepat, seakan siap jika tubuhnya akan hancur dihantam kendaraan yang melaju dengan cepat. Wanita itu memejamkan mata, tak mempedulikan suara klakson yang memekakkan telinga. Baginya, hidup sudah tidak ada artinya lagi. Tak disangka, tiba-tiba sebuah tangan menariknya. Dua orang terpelanting ke trotoar tetapi pria itu dengan sigap melindungi kepala Clara. "Nona? Anda baik-baik saja?" Daniel memandang Clara yang masih terpejam. Jarak wajah mereka hanya beberapa centimeter saja. "Kalau mau mati cari tempat lain saja. Dasar wanita gila!!" umpat pengendara mobil putih yang sempat berhenti sebelum melanjutkan perjalanan yang terjeda. Selama hampir satu menit, beberapa pasang mata memperhatikan ke arah mereka, diikuti kasak kusuk melalui bisikan. Clara bangkit dibantu dengan Daniel. Bukannya ingin berterimakasih, ia justru kesal. Seharusnya Daniel tidak perlu ikut campur dan membiarkannya mati tertabrak. Namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir merah mudany
Nyonya Merry tersenyum dan sesekali mengangguk untuk menanggapi tingkah Paman Tino yang tengah berbicara dengan semangat. Pria itu tak henti membela diri, mengatakan jika yang terjadi saat ini adalah konspirasi orang-orang yang iri padanya. Lima menit berlalu, wanita itu melihat jam tangan dengan gelisah. Dalam hati ia mulai berhitung. Seharusnya cairan dalam suntikan sudah memberi efek. Benar saja, tak lama berselang Paman Tino merasakan ada yang tidak beres dengan tubuhnya. "Sayang, aku sedikit pusing. Sebaiknya kau pulang saja. Aku akan langsung tidur." Paman Tino bangkit dari bangku lalu berjalan menuju pintu. Namun baru beberapa langkah, ia jatuh tak sadarkan diri. Tak bergerak. Tak bernapas. Brukk. Tidak ada yang panik, baik Nyonya Merry maupun seorang sipir yang sejak tadi berjaga. Wanita kaya itu bangun dengan cara anggun lalu memberikan segepok uang merah pada si sipir. "Urus dia. Pastikan hanya kau yang tahu tentang ini." Nyonya Merry berkata dengan dingin sebelum berla
Clara membuka mata tapi menutupnya kembali ketika pendar cahaya memaksa masuk ke dalam lensanya. Wanita itu mengerjap, lalu mengitari sekitar dengan pandangan. Perlu waktu beberapa detik hingga ia menyadari jika tempatnya berada sekarang adalah kamar rumah sakit. Cklek. Tap. Tap. Tap. Seseorang memasuki ruang inap royal suite itu. Ingin rasanya menoleh, tapi Clara merasa tubuhnya masih sangat lemah. Ia hanya menunggu, hingga satu sosok muncul memberinya senyum menenangkan. "Briana?" Suara parau milik Clara menyebut sebuah nama. Briana tersenyum, dan meletakkan buket bunga lily putih di nakas sebelum mendekati ranjang. Clara yang belum mempercayai penglihatannya berusaha untuk duduk, tanpa diminta adik perempuannya itu dengan sigap membantu. "Pelan-pelan, Kak," ujarnya lembut.Clara masih memandangi wajah wanita yang tampak mirip dengannya itu. Ia belum mengerti apa yang terjadi. Memorinya hanya bisa memutar kejadian semalam saat ia terjun ke aliran sungai besar yang cukup deras
Pagi yang cerah. Namun tak secerah beberapa wajah di pemakaman itu. Prosesi berjalan cepat dan diadakan tertutup, diiringi suara tangis kecil Nyonya Merry yang seakan berat melepaskan kepergian Paman Tino. "Suamiku, kenapa cepat sekali kau pergi ...." isak wanita dengan setelan hitam itu pilu. Acara duka itu hanya dihadiri orang-orang terdekat, termasuk di antaranya keluarga besar dan beberapa kerabat. Jason menatap kosong pada tanah basah di mana sang ayah. Selama ini hubungan mereka tidak terlalu dekat, Paman Tino juga bukanlah ayah yang baik. Tapi tetap saja kehilangan orang tua adalah hal menyakitkan. Tak jauh darinya, Vinn melirik ke arah Tuan Bara. Banyak yang ingin ia tanyakan, meski tentu sekarang bukan waktu yang tepat. Tuan Bara menatapnya sekilas lalu mengalihkan pandangan sembari membuang napas berat. "Merry, aku tahu ini berat tapi kau adalah wanita tegar. Aku akan siap kapanpun kau membutuhkanku," ucap Bibi Agatha setelah Tuan Bara memberi kode untuk pergi. Tak lupa
"Apa itu Black Circle?"Zac menatap Vinn yang baru saja melontarkan satu pertanyaan dengan wajah datar. Sejak lama, ia tahu harus menjelaskan ini pada pria muda itu. Mewakili Darren. "Aku tidak bisa menjelaskan tentang klub di sini." Zac mengawasi sekitar. "Begini saja, dua hari ke depan kami akan mengadakan pertemuan. Hubungi aku begitu kau sempat," lanjutnya sambil memberikan selembar kartu nama. Vinn menerimanya, membaca tulisan yang tercetak dalam hati. Zachary Dave, seorang konsultan hukum. Namun pertanyaan tentang apa itu 'Black Circle' belum terjawab sama sekali. "Baiklah." Vinn mengangguk. "Ha! Aku harus pergi, Nak. Maaf jika kau tersinggung tapi setidaknya harus ada perayaan untuk kematian pamanmu." Zac tergelak, menunjukkan gigi tanpa ada rasa sungkan sedikit pun. Zac melangkah ke gerbang kompleks pemakaman mewah, disusul beberapa meter di belakangnya. Daniel yang berdiri di dekat mobil dengan segera membuka mobil agar Vinn bisa masuk. Sembari masuk ke kursi kemudi, pri
Kerabat dan tamu undangan mulai memenuhi halaman belakang Mansion Hazard sore itu. Diadakan secara mendadak, tak mengurangi senyum di wajah tirus mempelai wanita. Sedangkan Martin yang berada di nbalkon lantai dua berdiri dengan ekspresi datar, jika boleh ia ingin kabur dari tempat ini sekarang juga. Di saat yang sama di ruang make up pengantin. "Bagian pinggangnya sudah pas?" tanya Sandra, desainer dress putih sekaligus teman Stella. Tangannya membetulkan pita tipis di pergelangan si calon pengantin. "Sudah pas. Terima kasih, San, aku suka dressnya," puji Stella seraya tersenyum.Dua wanita sebaya itu berdiri di depan cermin besar. Bersiap untuk acara sakral yang akan dimulai dua puluh menit lagi. "Sama-sama. Jujur aku masih kaget lho kamu nikah sama Martin. Terakhir kamu cerita lagi dekat dengan Demian.""Ssstt, jangan sebut nama dia lagi," potong Stella. Sesekali wanita itu melihat pintu ruangannya yang tertutup, berharap tidak ada yang mendengar percakapan mereka. "Oke, sorr
Langit berwarna gelap matahari telah terbenam sejak satu jam yang lalu. Sebuah mobil mewah di depan pintu gerbang villa di kawasan perbukitan. Usai si supir menurunkan kaca mobil, dua security mengijinkan mobil itu masuk. Tiba di dekat teras bergaya klasik, supir membuka pintu. Dua wanita keluar sedangkan seorang pelayan pria membawa dua koper dari bagasi mobil menuju ke dalam. "Kenapa kita ke sini, Bri?" Clara melihat sekitar, merasa asing. "Mulai sekarang Kak Clara akan tinggal di sini. Ayo kita masuk," ajak Briana. Tangannya menggandeng Clara memasuki vila bernuansa putih tulang tersebut. Clara tidak bertanya lagi setelahnya. Ia seakan sibuk dengan pikirannya sendiri. Usai mengetahui jika dirinya hamil, Clara merasa menyesal sempet melakukan percobaan bunuh diri. Tanpa sadar tangannya menyentuh perut yang masih datar. Meski membenci Martin, nyatanya ia tak ingin menyalahkan janin tak berdosa itu. "Kakak kenapa? Masih mual?" tanya Briana khawatir. Ia meletakkan tas tangan dan m
Sensor penangkap suhu tubuh seketika aktif saat Vinn dan Daniel memasuki ruangan misterius itu. Tiga lampu menyala bersamaan. Vinn terkejut sementara Daniel takjub kala mendapati barang-barang di depan mereka. Lemari dengan display lampu. Berjejer beberapa senjata pistol berbagai jenis dan bentuk. Di sisi lain, tampak lemari kaca berisi lebih dari sepuluh paspor dengan nama berbeda. Satu yang pasti, foto yang tertera adalah milik Darren Alfredo. Di satu sudut, terdapat peti persegi panjang berwarna hitam. Rasa penasaran Vinn membuatnya membuka peti tersebut. Di sana, akhirnya ia menemukan buku catatan sang ayah yang sejak tadi mereka cari. "Tuan, saya menemukan ini." Daniel mendekati Vinn beserta kartu keanggotaan klub Black Circle di tangannya. "Kerja bagus. Explore sisi lain, mungkin masih ada yang bisa kau temukan." Vinn tersenyum saat menerimanya, tapi entah bagaimana Daniel bisa menangkap sorot kekecewaan di mata itu. Daniel pergi ke ruangan lain yang dipisahkan dengan pintu