Daniel menatap bingung pada wanita yang kini bergelayut pada lengan Vinn. Vinn membalas senyum, sepertinya ini adalah cara termudah untuk masuk ke dalam.
"Hei, kalian sedang apa? Lihat, ini undanganku," hardik wanita tanpa nama pada dua penjaga yang justru terdiam."Oh, maaf Nona. Silahkan."Dua orang itu masuk, menyisakan Daniel yang telah mendapat isyarat mata dari Vinn agar mencari jalan masuk lain. Salah satu penjaga menatapnya tajam, membuat pria itu ingin segera beringsut dan melaksanakan tugas.Di dalam mereka kembali bertemu dua penjaga di pintu selanjutnya. Tugas mereka adalah memberi topeng pada tamu yang hadir. Vinn dan juga wanita iu menerima topeng yang berbeda.Si wanita masih menempel pada Vinn hingga masuk ke dalam. Vinn masih bertanya-tanya tentang acara apa ini sebenarnya. Di sana sudah ada lebih dari dua puluh orang yang tampak bukan dari kalangan biasa. Semua orang memakai topeng, tak terkecuali pelayan dengan setelSuasana yang dingin di ruang makan Mansion Alfredo. Vinn baru saja meminum sedikit kopi hitamnya dengan wajah tak berselera. Ia hanya menatap lurus pada laptop di depannya, acuh pada roti panggang madu yang mulai mendingin. "Vinn, selesaikan sarapanmu." Richard hanya melirik cucunya yang sedari tadi tak memandangnya sama sekali. "Aku sudah selesai," jawab Vinn tanpa mengalihkan pandangan pada layar. "Jangan terlalu memaksakan diri, kau hanya perlu mengawasi kinerja mereka di kantor.""Aku tahu."Bagi Richard, ini bukan pertama kali Vinn bersikap dingin padanya. Namun pagi ini ada yang berbeda. Pewarisnya itu tampak menahan kesal. Richard meletakkan alat makannya dan menyesap teh hijau sebelum bersuara kembali. "Ada yang ingin kau sampaikan?"Seketika pandangan Vinn berpaling. Ia menutup laptop dan menghela napas berat. "Kenapa Kakek memberikan gelang giok milik ibu pada orang asing?"Respon awal, R
Clara menatap gedung tinggi yang merupakan sebuah hotel ternama di kota metropolitan itu. Sejak berangkat, Martin tak benar-benar mengatakan acara apa yang akan mereka datangi. "Kita turun, Teman-temanku pasti sudah menunggu."Meski terpaksa, pada akhirnya Clara ikut turun dengan mengacuhkan uluran tangan Martin yang hendak membantunya. Di pintu masuk menuju lobby, pria itu melirik pasangan palsunya seraya tersenyum kecil. "Ini acara reuni, dan kalau kamu beruntung akan ada Vincent juga di sana."Langkah Clara mendadak melambat dan nyaris terhenti. Perasaannya menjadi campur aduk saat mendengar nama itu. "Kenapa wajahmu tegang? Bukankah kamu sangat ingin bertemu dengannya?" Martin terlihat senang, sangat berbeda dengan ekspresi yang Clara tunjukkan. Senang? Tentu ia akan senang bertemu Vinn. Pria itu masih memiliki hatinya hingga saat ini. Tapi tidak dengan situasi ia harus ber-cosplay menjadi calon istri Martin. "A
Pukul sepuluh lewat lima belas menit. Malam mulai larut dan Martin baru saja meletakkan tubuh Clara secara perlahan di atas ranjang. Wanita itu mabuk hanya dengan segelas wine. Pertemuan mereka yang tak disengaja dengan Adella berakhir dengan minum bersama. Sejak pertama saling mengenal, Martin telah mengetahui jika Adella sudah akrab dengan minuman memabukkan. Berbeda dengan Clara yang langsung kehilangan kesadaran setelah menghabiskan minuman pemberian Adella. "Saat mabuk dia semakin terlihat manis. Ehm, bagaimana aku bisa menuruti perintah kakek untuk tidak menyentuhnya kalau begini?" Netra Martin menjelajahi setiap jengkal bagian tubuh Clara. Wanita itu masih memejamkan mata meski terkadang keluar gumaman tidak jelas dari bibirnya. Martin hampir saja mengecup pelan bibir indah itu saat Clara mendorong dadanya agar menjauh. "Jangan menyentuhku. Dasar cowok gak tahu sopan santun!!" racaunya masih dengan mata terpejam. Tingkah Clara
Usai perbincangan ringan selama hampir tiga puluh menit, Vinn memutuskan untuk pamit. Ia bangkit dan memberi salam pada tuan rumah yang memintanya datang di kemudian hari. "Lain kali kita bicarakan lagi tentang museum rancanganmu. Aku juga akan menunjukkan beberapa koleksi barang antikku.""Terima kasih, Kek."Tuan Ron mengangguk dengan senyum yang membuat netranya semakin terlihat sipit. Kembali seorang pelayan mengantar Vinn melewati beberapa ruang bernuansa klasik dan elegan untuk menuju pintu depan. Ketika sampai di depan tangga menuju lantai dua, Vinn mendengar suara Martin yang sepertinya sedang berbicara dengan seorang wanita. 'Kebetulan, sekalian aku akan berpamitan pada Martin,' batin pria itu. Langkah Vinn terhenti, bersamaan dengan munculnya dua sosok yang menuruni tangga. Sebelah alisnya terangkat, tak yakin dengan penglihatannya sendiri. "Clara?" ucapnya pelan, mirip gumaman. "Hei, Buddy? Suda
GNLangit mulai gelap, lampu-lampu jalan telah menyala. Menuju rumah lama kakek buyut Vinn, kembali Daniel yang menyetir. Ini pertama kali Vinn mengajaknya ke rumah yang memiliki halaman luas itu. Vinn dan Daniel mendatangi pos dan bertemu dua security yang langsung mengenali Vinn. "Maaf, Tuan Vincent tidak diijinkan masuk," ujar salah satu security bertubuh tambun. "Kenapa?" Vinn mengerutkan kening. Dua security saling pandang selama beberapa saat. Mereka seakan berkomunikasi hanya dengan gerakan mata. "Hei, apa maksudnya ini? Kenapa Tuan Vincent tidak boleh masuk?" Daniel yang bersuara. "Kami hanya menjalankan tugas, Tuan.""Tuan, mundurlah. Dua orang ini sepertinya minta diberi pelajaran." Daniel bersiap dengan jurus yang membuat dua security mundur. "Hentikan, jangan membuat mereka takut." Vinn menahan bahu asistennya agar lebih tenang. "Tapi-"Vinn menghentikan ucapan Daniel hanya dengan lirikan. Detik berikutnya ia maju, mendekati s
Pikiran Vinn terasa penuh. Tentang Clara, kematian kedua orang tuanya, juga teka-teki yang seakan ditutupi oleh kakek dan juga pamannya. Kepalanya mendadak pening. Saat Daniel dan Aiden menawarkan untuk membantu, ia hanya mengiyakan. Ditatapnya dua pria yang kurang lebih sebaya dengannya itu. Mereka tampak berdiskusi untuk membuka lemari tua. Vinn mengarahkan senter ke segala sudut ruang dan menemukan cermin seukuran orang dewasa. Sudah cukup usang, tapi mengingatkannya akan sesuatu. Pria itu mendekat, mengamati lekat. Semula hanya ada pantulannya sendiri. Namun lama kelamaan muncul bayangan Clara, wanita yang baru saja membuat hatinya patah. 'Clara?' batinnya sembari menyentuh pantulan itu. Senyum di wajah wanita itu terlihat aneh. Vinn menggeleng dengan memejamkan mata, berharap halusinasi ini segera menghilang. Ia yakin pikirannya hanya sedang kacau. Suara Daniel dan Aiden tiba-tiba membuatnya menoleh. "Jangan lakukan it
Dua hari kemudian. Vinn duduk menyendiri di balkon lantai dua mansion setelah makan pagi. Diam sejenak, ia ingin mengatur langkah selanjutnya untuk meneliti tentang Pakta Hitam dan juga kematian kedua orang tuanya. Menurut informasi yang pamannya berikan, di hari kecelakaan itu orang tuanya menggunakan supir. Vinn juga mengenal sopir itu, Pak Didi namanya. Pria itu belumlah terlalu tua, sekitar awal empat puluhan."Tapi kenapa harus mengundurkan diri? Apa dia tau sesuatu?" Vinn bertanya meski tidak ada yang menjawab. Daniel muncul tak lama kemudian dengan setelan hitam seperti biasa. Ia mengangguk hormat ketika tiba di depan Vinn. "Kau sudah lakukan tugas yang kuberikan?" tanya Vinn. "Sudah, Tuan. Pak Didi saat ini berada di Kota B." Pria itu menyebutkan sebuah kota yang berjarak puluhan kilometer dari tempat mereka sekarang. "Bagus." Vinn bangkit dari kursi. "Apa Tuan akan ke sana sekarang?""Ti
Vinn menikmati makan malamnya tanpa bersuara. Angannya melayang, pada kejadian pagi tadi usai menemukan Pakta Hitam. Lembaran itu kini ada di kamarnya. Tersimpan rapi dalam kotak kecil."Kudengar kau mengunjungi rumah lama." Kakeknya yang sedari tadi diam tiba-tiba mengawali pembicaraan. "Iya.""Apa kau menemukan sesuatu?" Kakek Richard bertanya tanpa melihat ke arahnya. Netra tua itu sedang fokus pada santapan berupa steik salmon. "Aku masuk ke ruang kerja kakek buyut," ungkap Vinn. Ia sedikit ragu untuk mengatakan tentang Pakta Hitam. Mendengar itu, Kakek Richard langsung menatapnya lurus. Pria itu tampak terkejut tapi di saat yang sama tak ingin menunjukkan ekspresi itu. "Untuk apa kau ke sana?" tanyanya dengan nada dibuat setenang mungkin. "Kakek tak suka aku ke sana?" Vinn balik bertanya. Nafsu makannya mendadak hilang. "Vinn, kau bukan anak kecil. Aku tahu kau mencari sesuatu di sana. Pamanmu juga te