Sebelum Janice sempat tersadar dari pikirannya, Jason sudah melanjutkan, "Sepertinya cara itu terlalu egois ya? Kalau kamu ikut aku, kamu nggak akan bisa terkenal di dunia desain lagi. Mungkin kamu harus hidup dengan identitas baru.""Apa katamu?" Janice merasa dirinya mungkin salah dengar.Jason merangkulnya. "Aku bilang, ayo kita pergi."Janice terdiam, tenggorokannya terasa pahit. Perkataan itu persis seperti yang dia dengar di kehidupan sebelumnya. Dia bertanya dengan tidak percaya, "Serius?"Jason menggenggam tangannya erat-erat, lalu perlahan membungkuk. Tatapannya dalam seperti langit malam. Tak bisa ditebak, tetapi membuat orang tenggelam di dalamnya."Serius. Mau bukti?"Baru saja Janice hendak menjawab, dia sudah ditarik masuk ke kamar tidur."Tung ... tunggu. Maksudku tadi cuma kalau. Sekarang 'kan nggak ada anak, nggak perlu bukti apa-apa.""Nggak bisa tunggu lagi. Aku sudah nggak tahan sejak di sekolah bela diri tadi." Jason langsung mengunci pintu."Jason, aku lagi bicara
Vega menggambar foto keluarga dengan latar belakang jendela kaca besar di rumah ini. Dia duduk di tengah antara Janice dan Jason, tersenyum bahagia.Namun, di sebelahnya ada satu tempat kosong yang sangat jelas terlihat."Tadi dia sempat bangun sebentar," ujar Jason sambil menunjuk bagian kosong itu. "Katanya itu adik laki-lakinya."Senyuman Janice membeku di bibirnya. Dalam pikirannya, muncul bayangan-bayangan yang menyakitkan.Di kehidupan sebelumnya, dia dan Jason memang pernah punya anak kedua. Itu adalah masa-masa paling dekat mereka dengan kebahagiaan.Saat itu, Jason berkata ingin membawanya pergi. Sayangnya, semua berakhir karena Yoshua ....Bukan hanya kehilangan anak itu, Janice juga kehilangan ingatannya. Bahkan, sempat membenci Jason selama bertahun-tahun.Meskipun dalam kehidupan ini mereka berhasil menghentikan rencana Yoshua, Janice tetap tidak berani mengenang masa lalu itu.Bukan hanya karena luka yang terlalu dalam, tetapi karena dia tidak tahu bagaimana harus mengena
Di rumah sih bisa bebas bercanda, tetapi di tempat seperti ini, Janice belum cukup berani. Jason juga tidak berniat menggodanya.Janice mendengar suara air, lalu bersandar di dekat sekat dan diam-diam mengintip. Setelah memastikan tidak bisa melihat apa pun, barulah dia melepaskan handuk dan menyalakan air.Kamar mandi itu cukup besar, suara air bergema di seluruh ruangan. Meskipun ada pembatas di antara mereka, posisi Janice berdiri tepat di dekat sumber cahaya. Cahaya lampu menyorot tubuhnya dan membentuk bayangan utuh di lantai.Jason menyeka wajahnya yang basah, lalu menatap bayangan tubuh ramping Janice di lantai.Janice mengangkat tangannya, menggulung rambut basahnya menjadi sanggul. Siluet tubuhnya tampak jelas dengan lekukan yang memikat.Jason melirik sekilas, lalu kembali berdiri di bawah shower dan mengatur suhu air.Di sisi lain, Janice mandi sambil menajamkan telinga, mendengarkan pergerakan Jason. Kenapa dia belum selesai juga? Padahal di rumah tidak pernah selama ini wa
Janice memang jarang melihat Jason tersenyum, tetapi dia tahu jelas di dalam hati bahwa semua yang dikatakan pria itu barusan adalah serius.Janice memutar pergelangan tangannya, membuka telapak tangan. Pisau itu jatuh tepat di antara telapak tangan mereka berdua."Aku nggak akan membiarkan itu terjadi. Kamu nggak akan mati, aku pasti akan selamatkan kamu. Ingat ini baik-baik! Jangan pernah berpikir kamu bisa mati semudah itu!"Di kehidupan lampau dan sekarang, Jason berutang terlalu banyak padanya.Mata Jason berkilat, napasnya menjadi semakin berat. "Yakin banget?""Iya! Kamu harus ingat!""Hm, aku ingat."Tangannya menyisir rambut Janice, jemarinya menyentuh lembut telinga gadis itu, lalu mengangkat wajahnya dan menciumnya.Janice tidak melawan, justru membalas ciuman pria itu. Tangannya menyusuri lengan Jason, naik ke bahunya, lalu melingkari lehernya.Jason sempat tertegun. Napasnya menjadi berantakan, ciumannya pun semakin dalam dan dalam.Detik berikutnya, ujung pisau sudah meny
Janice seperti ikan yang kehabisan air, mencengkeram erat kerah baju Jason.Ketika dia hampir kehabisan napas, Jason akhirnya melepaskannya sedikit. Pria itu menempelkan kening mereka dan berbisik, "Masih mau belajar? Kamu yang bertahan, aku belum tentu bisa ....""Kamu ini curang," sela Janice dengan napas terengah-engah.Jason mengusap sudut bibir Janice. "Memang. Sekarang kamu baru tahu rasa, 'kan?"Janice memelototinya dengan marah. "Kamu nggak mau ajari aku ya?"Jason terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara datar, "Aku ajari. Tapi, sekarang kamu cari cara sendiri buat lepas dari tanganku. Dalam posisi kita sekarang, kamu boleh curang karena kamu memang nggak menguasai teknik apa pun."Janice semakin kesal. Dia menunduk, menilai posisi mereka berdua. Jason jelas orang yang terlatih. Tenaganya pas, sudut serangannya tepat, dia sendiri hampir tak mengeluarkan usaha saat membuat Janice setengah mati.Tak heran, selama ini Janice tak pernah bisa lepas dari kendalinya. Namun, tadi J
"Kamu yakin?" Jason menatap Janice dalam-dalam."Ya, kenapa?" Janice tidak mengerti."Aku rasa aku nggak perlu suplemen.""Suplemen apa?" Janice menatap Jason dengan bingung.Jason meletakkan kedua tangannya ke meja, mendekat ke Janice. "Ini ...." Dia berbicara dengan suara yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua."Itu ... juga bisa dimakan?" Alat kelamin kambing! Janice membelalakkan mata. Dia menggigit bibir, lalu meletakkan menu dengan kecewa. "Kamu tahu aku belum pernah makan di sini ya?""Nggak."Siapa yang percaya! Janice menggertakkan gigi, memegang dahinya. Rasanya ingin menghilang ke dalam tanah.Jason tersenyum ringan. Dia menutup kedua menu, lalu memesan makanan dengan terampil. Tidak lama kemudian, makanan pun datang semua.Janice menatap makanan di depannya, tidak langsung makan. Jason meminum air, lalu berucap dengan suara datar, "Nggak ada yang aneh-aneh. Semua ini makanan sederhana yang bisa menambah stamina."Mendengar itu, Janice langsung mengambil peralatan makan