"Mama, kenapa, Ma?" Aku dan Mas Rama menghampiri Mama yang tengah berkacak pinggang di depan Bi Mina. Sedangkan wanita itu, ia hanya diam tanpa melakukan apa-apa."Rama, dia kok ...."Mama tidak melanjutkan ucapannya setelah melirik ke arah suamiku. Dari ekor mata, aku bisa melihat jika Mas Rama memberikan isyarat dengan melebarkan mata kepada ibunya itu.Sepertinya Mama tahu sesuatu tentang Bi Mina ini. Jika tidak, tidak mungkin dia langsung marah-marah saat melihat Bi Mina berada di rumahku."Ekhem, aduh, kok sepertinya Mama haus, ya Mel. Kita ke dapur, yuk, Mama mau minum ini," ujar Mama dengan meraba tenggorokannya.Aku hanya mengangguk dan kembali ke dapur sesuai dengan keinginan Mama. "Mama datang ke sini, kok gak bilang-bilang. Tahu gitu, Mel akan masak banyak untuk menyambut kedatangan Mama." Aku memberikan segelas air putih untuk ibu mertuaku."Namanya juga sudah tidak sabar pengen melihat cucu, Mel. Setelah Rama memberi kabar kalau kamu dan bayimu sudah pulang, Mama langsun
"Bi, kamu nangis?" Setelah Mas Rama berangkat ke kantor, aku pergi ke kamar Bi Mina untuk menyuruhnya memasak. Namun, saat aku sampai di depan pintu kamar Bi Mina, ternyata dia tengah menangis sesegukkan di sana."Ny–Nyonya, maaf." Bi Mina berdiri dan menghampiriku yang berdiri di luar kamarnya."Kenapa, kamu nangis?" tanyaku lagi. Bi Mina mengusap matanya. Dia menutup pintu kamarnya dari luar."Saya, cuma ingat anak saya, Nyonya."Dia punya anak? Kok bisa wanita seperti dia melahirkan. Bukannya akan sulit dengan postur tubuh yang kecil bisa melahirkan seorang bayi?"Bibi punya anak juga? Memang bisa?"Pertanyaanku memang tidak sopan, tapi aku sungguh penasaran."Bisa, Nya. Saya melahirkan dengan operasi sesar." Aku membulatkan mulut seraya menganggukkan kepala. "Lalu, sekarang anaknya dengan siapa, Bi?" tanyaku lagi.Bi Mina tak langsung menjawab, dia berjalan dan duduk di kursi meja makan."Anak saya, sekarang bersama ... "Melodi, Sayang ... kamu jangan terus naik turun tangga,
"Assalamualaikum, Melodi!"Aku buru-buru berjalan ke depan setelah mendengar suara salam dari arah pintu utama. Sudah bisa aku pastikan, jika itu suara Mamaku."Kamu dari mana, sih? Bayimu ditinggal sendirian di sini?"Saat aku keluar dari dapur, ternyata Mama dan Papa sudah berada di ruang tv. Tentu saja Mama menegurku karena lalai sudah meninggalkan Raka sendirian."Iya, aku tadi kebelet, jadinya ditinggal sebentar," kataku berbohong.Bukan hanya Mama dan Papa yang datang. Ada juga anak serta menantu perempuannya yang ikut bersama mereka. "Aduh, Mel, gemoy banget, bayimu." Kak Naura mengelus gemas pipi bayiku. Dia adalah istri Mas Adam—Kakak tertuaku.Sedangkan Kak Nada, yang tak lain adalah kakak keduaku, ia langsung duduk dengan wajah datarnya. Entah kenapa dia sepertinya tidak terlalu bahagia dengan kelahiran putraku."Nad, kamu gak pengen pegang atau gendong keponakan barumu? Siapa tahu, kamu jadi ketularan dan ingin segera menikah setelah menggendong bayi." Papa berujar kepada
Darahku berdesir panas, apa mungkin kakakku dan suamiku ....Aku menggelengkan kepala menepis pikiran burukku. Daripada hanya menerka-nerka, lebih baik aku membuktikannya sendiri. Brakk!Aku membuka pintu kamar dengan sedikit kasar, hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Seseorang di dalamnya terlonjak karena kaget."Apa kamu tidak bisa membuka pintu dengan pelan? Bikin orang kaget aja." Kak Nada yang tengah berbaring di atas kasur langsung bangun dengan menatapku tidak suka.Hanya ada Kak Nada di kamar ini. Bukannya tadi kata Azzam, Mas Rama ada bersama Kak Nada? Kok sekarang tidak ada?"Cari apa?" tanyanya lagi yang melihatku hanya celingukan tanpa berkata."Emmm, Mas Rama mana?" Bukannya menjawab pertanyaanku, Kak Nada malah tergelak sembari turun dari tempat tidur."Kamu ngelindur? Ngapain nanya suamimu ke aku. Ya, mana aku tahu." Kak Nada berdiri dengan bersidekap dada."Kata Azzam, dia melihat Mas Rama bersama Kakak, makanya aku nanya sama Kakak.""Anak kecil kamu percaya
"Bibi! Lancang kamu!"Sejurus kemudian aku langsung masuk dan mengambil bayiku dari gendongan wanita itu. Sungguh, aku benar-benar marah saat ini. Beraninya dia melanggar pesan yang sudah aku katakan sebelumnya."Maaf, Nyonya. Tadi Dedek-nya nangis, saya gak tega melihatnya," ujarnya dengan menunduk."Harusnya kamu panggil saya, bukan malah menggendongnya tanpa ijinku. Kalau dia jatuh gimana? Mau tanggung jawab kamu?!" Aku berteriak di depan wanita itu. Demi Tuhan, aku bukan jijik, melainkan takut jika dia akan merebut putraku. Aku tidak ingin dia mendekati anakku seperti dia mendekati suamiku."Ada apa, Mel?" Mama dan Mas Rama masuk ke dalam kamar. Mungkin karena mendengar suaraku yang berteriak kepada Bi Mina."Ini, lho Ma. Dia menggendong Raka, padahal sudah aku kasih tahu dia, jangan menggendong bayiku. Tapi dia lancang, masuk ke kamarku dan menggendong anakku."Mama Tuti melihat Bi Mina dengan sangat tajam. Seperti aku, Mama pun tidak suka dengan kelancangan Bi Mina."Sudahlah,
"Aku ....""Kamu membuatku tidak betah di rumah, Mel."Belum aku menyelesaikan ucapanku, Mas Rama sudah terlebih dahulu berucap dengan kata-kata yang membuat hatiku perih.Bukan aku yang membuat dia tidak betah, tapi dia sendiri yang sudah menghadirkan duri dalam istana idamanku.Aku mendelikkan mata seraya berjalan meninggalkan dia bersama Bi Mina. Aku tidak peduli dia mau berbuat apa pun dengan pembantu itu. Perkataan Mas Rama pada orang di sebrang telepon tadi, sudah membuktikan jika suami yang aku agungkan itu memanglah bukan lelaki yang setia. Mungkin di luar sana sudah banyak wanita yang dikencaninya. Bergonta-ganti pasangan saat aku tidak bisa memberikan kepuasan untuknya. Namun, yang menjadi pertanyaanku adalah, kenapa harus ada Bi Mina, jika dia bisa mendapatkan wanita yang lebih cantik di luar rumah?Atau .... Bi Mina, bukanlah wanita simpanan Mas Rama?Apa ada hubungan lain antara mereka?Otakku dipaksa bekerja keras membongkar satu persatu masalah dalam rumah tanggaku.
"Nangislah dia, apalagi bisanya kalau bukan hanya menangis.""....""Ya, terus saja kamu berbuat kasar sama dia, supaya dia gak betah, dan memilih pergi dari sini. Dengan begitu, kita tidak perlu lagi berbohong untuk menutupi tentang dia kepada Melodi."Aku masih diam di ambang pintu kamarku, mendengarkan Mama Tuti yang sedang berbicara lewat sambungan telepon. Dia tidak menyadari keberadaanku, karena Mama tengah duduk di dekat ranjang Raka dengan membelakangi pintu. "Ingat Ram, Mama yang selalu ada untukmu dari dulu. Mama yang mengobati lukamu, dan Mama juga yang sudah berjuang untuk masa depanmu. Mama tidak akan suka, jika kamu kembali pada dia," pungkas Mama lalu mematikan sambungan telepon.Aku masuk setelah Mama menyelesaikan percakapannya dengan Mas Rama. Bersikap biasa seolah aku tidak mendengarkan apa-apa. "Mel, kamu, kok masuk gak ketuk pintu dulu.""Mengetuk pintu ke kamar sendiri. Haruskah?" tanyaku.Wajah Mama sedikit memucat, dia menyadari apa yang dia ucapkan tidak se
"Pakeeeet!"Aku yang saat ini tengah bersantai menonton tv, merasa terusik dengan teriakan seorang kurir dari depan rumah. "Mel, kamu belanja online?" tanya Mas Rama. Hari ini adalah hari minggu, dia tidak bekerja seperti hari-hari biasanya.Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Mas Rama, dan lebih memilih mangambil ponsel mengangkat panggilan yang masuk."Lo, mau bikin gue jadi patung di sini? Buruan, lo keluar, gue udah bawa yang lo, inginkan!" Segera aku menutup sambungan telepon, melirik pada Mas Rama yang menunggu jawaban dariku."Biar aku aja yang ambil paketnya."Mas Rama berdiri hendak keluar menemui kurir yang ternyata temanku."Jangan!" "Kenapa?" tanyanya dengan menatapku heran."Kamu pegang Raka aja, aku pegel. Biar aku yang menemui kurir itu." Aku memberikan bayi dalam gendonganku kepada Mas Rama. Ia hendak menolak, tapi tidak bisa berkutik saat Raka sudah berada dalam gendongannya.Dengan cepat aku berjalan ke luar menemui seseorang yang berdiri di luar pagar rumahk