Share

Bab 3 Jijik

"Oeekk ... oeekk ...!"

Baru saja kakiku hendak melangkah menghampiri Mas Rama, suara tangisan Raka mengurungkan niatku. Aku meninggalkan Mas Rama yang masih berdiri di depan pintu kamar Bi Mina, aku lebih memilih menenangkan Raka yang sedang kehausan.

"Selamat, Mas. Malam ini kamu berhasil. Tapi tidak untuk selanjutnya." Aku bergumam sendiri sembari menyusui Raka.

Kutatap lekat wajah mungil bayiku. Betapa teganya Mas Raka mengkhianatiku yang baru saja berjuang bertaruh nyawa untuk melahirkan darah dagingnya.

Kuusap air mata yang sudah menggenang. Aku tidak boleh menangis. Jika pun mereka benar-benar memiliki hubungan lebih dari sekedar majikan dan pembantu, mereka sendirilah yang akan merugi

Aku tidak akan kalah dan mengalah. Aku akan membalas perbuatan mereka yang menijijikkan itu.

Entah pukul berapa aku tidur semalam, pagi ini aku bangun dengan kepala yang sedikit pusing. Pusing memikirkan suamiku dengan pembantu baru itu, juga pusing karena begadang memomong Raka. Sedangkan Mas Rama, setelah puas dari kamar pembantunya, dia tidur tanpa membantuku mengurus Raka yang terus bangun malam.

Aku sudah membersihkan diri dan berganti pakaian, sedangkan suamiku masih berada di kamar mandi. Gemericik air dari kamar mandi terdengar bagaikan irama di pagi hari ini.

Namun, aku tidak terhibur. Bayangan kemesraan Mas Rama dan Bi Mina, menari-nari di pelupuk matakau. Beberapa kali aku menepis, tapi nyatanya selalu hadir dan mengganggu pikiranku.

"Sayang, kamu sudah cantik."

Kedua tangan Mas Rama menyusup ke pinggangku, memelukku dari belakang. Aku yang tengah berdiri melihat ke luar jendela, merasa sedikit kaget dengan kehadiran dia.

"Dingin, Mas." Aku membuka kedua tangan Mas Rama dari tubuhku.

"Dipeluk masa dingin?"

"Mas, kan baru saja mandi, jadi ... Mas kenapa lehermu pada merah?" tanyaku.

Tenggorokanku tercekat mengucapkan kata itu.

"Oh, ini karena ... Mas masuk angin, jadi dekerokin."

Mas Rama menjauhiku. Dia menghindari tatapanku yang mengarah pada lehernya yang putih.

Bukan, itu bukan bekas kerokan. Itu seperti bekas gigitan kecil yang mereka lakukan semalam.

Tanganku terkepal menahan gejolak dalam dadaku. Aku bukan anak kecil yang tidak paham dengan tanda itu. Aku tahu betul jika itu bekas cup**g.

"Siapa yang kerokin, Mas? Aku berasa gak kerokin kamu, lho."

Mas Rama yang tengah memakai baju kemeja, seketika menoleh dengan wajah piasnya.

"Emm, ini ... aku sendiri yang kerokin, Sayang. Aduh, Sayangnya aku sekarang jadi sensitif gini, ya?" Mas Rama menghampiriku lagi dan memelukku.

Inilah cara dia untuk menenangkanku. Tapi sedikit pun aku tidak merasa nyaman sekarang. Justru sebaliknya, aku merasa jijik dengan tubuh yang sudah memeluk wanita lain selain aku istrinya.

"Jangan cemberut terus dong, Sayang. Jangan cemburuan, ah. Kamu masih mencurigaiku dengan pembantu jelek itu?" Mas Rama menangkup wajahku dengan kedua telapak tangannya.

Jelek dia bilang?

Jelek tapi dimakan juga.

"Dah, ah aku mau mau sarapan. laper," kataku melepaskan diri dari kukungan Mas Rama.

"Jangan lupa buatin aku kopi, ya! Jangan manis-manis, ya Sayang. Karena kamu sudah sangat manis, Istriku!"

Halah, gombalan seperti itu sudah sangat bosan aku dengar. Kalau lagi baik-baik aja, pasti seneng digombalin. Tapi setelah tahu kelakuan dia yang sebenarnya, malah bikin aku muak.

Suara peralatan dapur terdengar oleh telingaku. Sudah aku pastikan, jika saat ini Bi Mina sedang berkutat dengan pekerjaannya.

Benar saja, saat aku masuk dapur, aroma makanan menyeruak menyambutku yang sudah merasakan lapar dari semalam.

"Nyonya, mau sarapan? Sudah saya siapkan, Nyonya," ujar Bi Mina sopan, tapi tidak membuatku terkesan.

Aku memperhatikan dirinya dari ujung kaki, dan mataku berhenti saat melihat kerudung yang dia gunakan sedikit basah di bagian sanggulnya.

"Bi, rambut Bibi, basah?" tanyaku dan disambut dengan tubuh Bi Mina yang tiba-tiba membeku.

"I, iya, Nyonya. Tadi, saya keramas dan belum kering. Maaf, jika Nyonya merasa jijik."

Tentu saja jawaban Bi Mina membuat aliran darahku berdesir panas. Bukan karena jijik, melainkan karena benci. Dugaanku jika semalam mereka melakukan perbuatan hina, semakin kuat dengan tanda-tanda yang ada pada mereka berdua.

"Sayang, kopi buatku mana?" Mas Rama datang dan langsung duduk di kursi meja makan. Sedangkan aku, masih berdiri dengan berpegangan pada sandaran kursi

"Ini Tuan, sudah saya buatkan."

Dengan senyum manis, Bi Minah memberikan segelas kopi kepada suamiku.

Manis sekali.

Sepertinya dia berniat menggantikanku di sini. Baiklah, akan kita lihat, siapa yang akan jadi pemenang.

"Bi, ambilkan saya buah dari kulkas," pintaku kepada wanita itu.

Bi Mina yang hendak mengambilkan nasi untuk suamiku, mengurungkan niatnya dan berjalan ke arah kulkas.

"Sepertinya saya sedang ingin makan telor ceplok, buatkan, ya Bi?"

Lagi, dia yang hendak melayani suamiku, harus kembali terganggu dengan perintah dariku.

Tidak akan aku biarkan dia semakin dekat dengan suamiku.

"Silahkan, Nyonya."

"Terima kasih. Bukakan pintu, Bi, sepertinya ada yang datang."

Dengan patuh, Bi Mina menuruti perintahku. Sedangkan suamiku berdecih sebal, tidak suka dengan apa yang aku lakukan.

Apa dia tidak terima aku menyuruh Bi Mina?

Kenapa harus tidak suka. Dia di sini memang pesuruh, 'kan?

"Hey! Kamu ngapain berada di rumah anakku?!"

Aku dan Mas Rama saling berpandangan mendengar suara dari ruang depan. Aku kenal suara itu. Itu adalah suara Mama mertuaku. Ibunya Mas Rama.

Yang menjadi pertanyaanku ialah, apa Mama mengenal Bi Mina?

Bersambung

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status