Sebenarnya waktu masih siang, namun keadaan terlihat gelap. Pohon-pohon menjulang tinggi menjadi penghalang masuknya sinar matahari, daunnya begitu rindang. Daun-daun kering memenuhi setiap jengkal tanah, semua tertutup rapi oleh dedaunan, bahkan juga ranting-ranting yang mengering dan terhempas angin, terjatuh.
“Jangan jauh-jauh dariku, Permata!” kata Danu memperingatkan, mereka tengah berada di pusat jantung hutan. Suara hewan-hewan terdengar menggema. Ada hewan yang Danu mengenalinya, dan selebihnya adalah hewan-hewan yang bahkan ia tidak pernah mendengar suaranya.“Iya, aku juga takut, Danu!” sahut Permata lirih, langkah kuda mereka yang menginjak dedaunan begitu terdengar.Monyet-monyet tampak berlompatan di atas dahan, satu dua membawa pisang matang yang entah mereka dapatkan dari mana. Tidak ada pohon pisang terlihat tumbuh, mungkin mereka membawa dari jauh lalu masuk ke dalam hutan. Sesekali rusa bertanduk panjang lewat, lalu berlarian ketika melihat dua kuda putSiapakah gerangan yang ada atau apa yang ada sehingga Danu dan Permata mampu selamat dari Asap Kematian tersebut?
“Hem, rupanya mereka berdua bisa sedikit bangga karena bisa mengelak jurus pertama kita, Satu!” kata kepala sebelah kanan.Kepala sebelah kiri menjawab, “Iya, aku kira juga begitu, Dua. Mereka mengira akan bisa melawan kita. Mari kita lanjutkan dan jangan buang-buang waktu, Dua!”Danu dan Permata bingung sendiri mendengar cakap-cakap dua kepala itu. Satu kepala menamakan diri dengan sebutan Satu, sedang kepala satunya lagi menamakan diri dengan Dua.“Hai, apakah kalian juga mempunyai nama sendiri-sendiri?” tanya Danu, ia berusaha tertawa mengingat sepertinya Permata masih sedikit takut.“Kau menertawakan kami?” tanya Satu sinis.“Oh, tidak, tidak! Aku tidak menertawakan kalian. Hanya saja aku tidak kuat menahan kelucuan ini. Ada satu manusia, eh, entahlah, kalian manusia atau bukan, mempunyai dua kepala dan dua nama. Itu sangat lucu bagiku!” Danu mengangkat tangan. Permata di sampingnya be
Perkataan Danu benar-benar membuat sebuah pandangan baru untuk Satu dan Dua. Dia telah salah jika mengira semua manusia adalah hati kejahatan. Mereka tersadarkan bahwa manusia juga ada yang baik. Air mata bening meleleh dari empat mata itu, bersinar, tersiram cahaya yang menerobos dedaunan hutan.Dua Oprus itu telah menjadi makhluk yang berbentuk lebih baik. Lihatlah! Mereka sekarang menjadi makhluk yang mirip dengan manusia. Matanya bening, bersinar-sinar. Rambutnya lurus, berwarna kuning menyala, lebih tinggi dari Danu. Satu dan Dua telah menjadi dua Oprus yang rupawan, telinganya lebih indah dari telinga manusia. Kakinya menjadi kaki yang normal, menjadi dua kaki manusia. Pakaian mereka seperti pakaian pangeran-pangeran kerajaan.“Siapa namamu, Manusia?” tanya Satu sembari menghapus air matanya bersalahnya.“Namaku Danu, dan ini Permata!” jawab Danu. Permata tersenyum tipis kepada mereka.Darah segar tampak masih mengalir dari s
Danu dan Permata memasuki sebuah halaman rumah yang begitu luas. Banyak kuda terparkir di sana. Plang besar terpampang, mengatakan bahwa itu adalah sebuah rumah atau bangunan yang digunakan untuk penginapan.Dua orang bertugas sebagai penjaga di bawah tangga, terselip sebuah pedang di pinggangnya, mereka berpakaian hitam-hitam.“Selamat datang, apa yang bisa kami bantu?” tanya salah seorang dari mereka ketika Danu dan Permata akan melintas.Mereka berhenti, lalu Danu menjawab, “Apakah ada ruangan yang masih kosong?”Orang itu tertawa, “Penginapan ini selalu menyediakan yang terbaik untuk semua tamu-tamunya. Masih banyak sekali kamar yang kosong, silakan datangi orang itu!” Dia menunjuk sebuah meja, di baliknya ada seorang wanita muda yang memegangi alat tulis. Sepertinya dia adalah petugas bagian administrasi.“Baik. Terima kasih!” kata Danu. Dua penjaga itu memberi jalan, Danu dan Permata meneruskan
Tiba-tiba Danu terbangun dari tidurnya, teringat dengan sebuah hal. Dia ingat bahwa Permata tidur sendiri, dia tidak mengunci pintunya, dan tempat itu adalah lokalisasi.“Permata!” seru Danu kepada dirinya sendiri.Dia berjalan setengah berlari menuju kamar nomor 14. Matanya berkunang-kunang sebab baru saja bangun dari tidur, tapi dia sama sekali tidak mengantuk. Bintang-gemintang di atas sana sepertinya menertawakan Danu yang lupa mengunci pintu, sedang rembulan memandangnya prihatin.“Ha...!” Danu mendengar suara teriakan, dan benar itu adalah suara Permata.“Kenapa kamu tidak bersedia melakukannya denganku, cantik? Apakah harga yang aku tawarkan kurang mahal?” Sebuah suara genit berkata.Danu semakin mempercepat langkah. Ketika sampai di depan pintu Danu mencoba membukanya dengan baik, tapi sepertinya pintu itu ditutup dan dikunci dari dalam. Perasaan Danu semakin tidak karuan ketika mendengar suara teriakan P
Pagi-pagi benar Permata bangun, bangkit dari pangkuan dan dekapan Danu. Sekejap Permata kaget tengah berada di pangkuan Danu, matanya memandangnya beberapa lama, kemudian membangunkan Danu.Matahari belum sepenuhnya muncul, hanya semburat merah yang tampak mengudara di atas awan timur. Danu bangun, mengerjap-erjapkan matanya, matanya memandang Permata dari ujung kepala sampai ujung kaki.“Kenapa melihatku seperti itu?” tanya Permata yang kebingungan.“Syukurlah, tidak ada yang berkurang darimu!” ucap Danu samar, menghilangkan sisa-sisa kotoran pada sudut mata.“Aku tidak apa-apa!” sahut Permata. Dia bangkit dari duduknya, berjalan menuju kuda, berniat melanjutkan perjalanan.Danu berjalan mengiri di belakangnya. “Kamu benar-benar sudah siap melanjutkan perjalanan, Permata?” tanya Danu, dia masih khawatir dengan keadaan Permata pasca kejadian tadi malam.Permata membalik badan, tersenyum simpul,
Keduanya melanjutkan perjalanan dengan kuda, tidak terlalu cepat, mereka mengawasi kanan-kiri jalan berbatu itu, semua rumah tampak dipagari dengan bambu kering, tidak ada yang tidak. Anehnya lagi sejauh ini Danu dan Permata tidak melihat ada penduduk yang berada di depan rumah, atau bahkan berjalan-jalan di jalanan depan rumah. Ini mirip dengan keadaan Desa Mati yang membuat mereka masuk penjara beberapa malam.“Ini aneh, Danu!” kata Permata ketika kuda melewati pos ronda yang seluruhnya terbuat dari kayu. Ada papan tulis hitam lebar di sana, namun tidak ada tulisan sama sekali.“Iya, aku teringat dengan Desa Kematian, Permata!” sahut Danu lirih, matanya memandangi pos ronda yang kosong itu.Kuda kembali berjalan, kecepatan yang seperti biasanya. Ayam-ayam tampak berlarian memasuki pagar bambu ketika Danu dan Permata melintas.Dari kejauhan mata Danu memandang pemandangan yang sangat memilukan. Ada seorang wanita dengan anaknya, a
“Uangku hilang, Ibu!” kata seorang gadis itu keluar kamar, mengadu kepada ibunya.“Memangnya kamu menaruh uang itu di mana?” tanya ibu.“Di bawah kasur!” jawab anak gadis.“Ah, masak ada pencuri yang datang kemari. Barangkali kamu lupa menaruhnya?”“Tidak mungkin, Ibu. Aku benar-benar yakin bahwa aku menaruhnya di bawah kasur!”Permata mendengarkan semua percakapan itu, batinnya mulai tidak enak. Pasalnya sejak tadi hanya Permata dan gadis itu yang ada di dalam kamar, sesekali lelaki yang sepertinya adalah kalanya menengok sebentar. Permata takut kalau ibu itu menuduh dirinya sebagai pencuri.Pelan-pelan Permata keluar kamar, menghampiri Danu. Di luar sana hujan deras masih mengguyur.“Danu, aku takut!” kata Permata merajuk kepada Danu.“Ada apa, Permata!” tanya Danu mengelus rambu Permata tanpa ragu. Akhir-akhir ini ia lebih dekat dengan Permat
Kuda berjalan cepat pada keremangan malam yang menemani. Burung-burung hantu mulai menyuarakan pilunya diri yang keluar tiap malam. Suara derap kuda menggema pada seluruh penjuru desa. Sayup-sayup Danu mendengar teriakan minta tolong dari kejauhan.“Tolong, tolong, anakku di gigit ular!”Suara teriakan membuat Danu menghentikan kudanya. “Apakah kamu mendengar itu, Permata?”“iya, aku mendengarnya!” sahut Permata.Suara teriakan meminta tolong terdengar lagi beberapa kali. “Ayo kita ke sana, Permata!” ajak Danu, kudanya berjalan santai pada keremangan malam menuju asal suara.“Danu, aku takut kalau itu adalah jebakan!” ujar Permata beberapa saat kemudian, di depan sana tampak seorang ibu memegangi kaki anaknya yang tergigit ular. Entah benar-benar digigit ular atau tidak.“Kamu merasakan begitu? Aku juga. Tapi hari kecilku mengatakan bahwa kita harus menolongnya. Bagaimanapun d