“Am-puni saya tuan,” tutur bandit dengan lirih.
“Berisik! Orang lagi berpikir juga,” bentak Indra.“Saya sudah mengatakan semuanya, tolong lepaskan saya tuan,” rengek bandit dengan berderai airmata.“Eh malah nangis. Sudah berisik, cengeng lagi! Giliran mau mati saja nangis, pas hidup mah bebas berbuat kejahatan tanpa memikirkan orang lain yang menjadi korban. Dasar pengecut!” gerutu Indra karena dia tidak bisa berpikir jernih mendengar rintihan si bandit yang menangis tersebut.“Am-pun tuan, saya tidak akan berbuat jahat lagi,” tutur bandit.“Hihihi.. apa jaminannya? Orang sepertimu itu mustahil berubah pikiran. Lihat saja di sekitar tempatmu berada sekarang ini. Berapa banyak nyawa yang sudah kau lenyapkan? Berapa banyak orang yang kau habisi? Orang serakah yang tidak peduli dengan nasib orang lain, tidak akan pernah berubah menjadi orang baik. Keserakahanmu itu akan menutup hatimu dari kebaikan!” ucap Indra.Setelah cukup dekat dengan rumah Ratih, Indra mulai memelankan langkahnya dengan penuh kewaspadaan. Dia mengendap-endap di balik pepohonan kecil sembari memperhatikan keadaan di sekitarnya, setelah di perhatikan secara baik-baik tampaknya tidak ada satupun bandit di sekitar rumah Ratih.“Kelihatannya aman,” kata Indra seraya mulai berjalan mendekati pintu belakang rumah Ratih.Perlahan Indra membuka pintu agar tidak menimbulkan suara berisik. Setelah pintu terbuka, dia segera masuk ke dalam rumah. Terlihat keadaan di dalam rumah sangat berantakan, perabotan, pakaian dan barang-barang lainnya berserakan. Semua pintu kamar juga tampak sudah rusak dengan bekas dobrakan.“Apakah saat kau pergi keadaannya sudah seperti ini?” tanya Indra sembari menurunkan Ratih dari punggungnya.“Tidak Kang,” jawab Ratih yang tampak terlihat sedih mendapati keadaan rumahnya seperti itu.“Mengerikan,
“Kalau kau mah enak, mau diberikan tugas yang sulit juga tinggal merayu Kang Buras biar tidak jadi diberikan tugas,” gerutu pria lain yang ada di sana.“Satu, dua, tiga, empat. Enam orang ya, dua wanita dan empat pria,” pikir Indra sembari memastikan jumlah bandit yang ada di rumah tersebut.“Itumah resiko kalian lah, tugas kami kan sudah jelas,” tutur wanita lain yang ada di sana sambil tertawa.“Cih. Dasar wanita murahan,” gerutu seorang bandit pria.“Apa kau bilang hah? Mau kau aku laporin ke Kang Buras hah! Sudah untuk kami mau menemani kalian juga!” bentak bandit wanita yang tampaknya tidak terima dengan perkataan temannya.‘Brukh’Indra segera menghantam bilik bambu yang dia pijak. Sontak saja enam bandit yang ada di bawahnya terkejut saat melihat plafon rumah yang mereka tempati tiba-tiba jatuh. Dengan cepat mereka berenam seger
Indra terus melompat dari satu atap rumah ke atap rumah lainnya. Dia terus melihat ke depan untuk mencari mana balai desa yang dimaksud, tak lama kemudian dia melihat ada bangunan semi permanen yang jauh lebih besar dibandingkan bangunan di sekitarnya, di depannya juga berdiri pendopo sederhana. Indra pikir mungkin itulah balai desa yang dimaksud sebab tidak ada bangunan lainnya yang lebih menonjol lagi.Dengan hati-hati Indra menggunakan ajian halimunan miliknya hingga wujudnya lenyap dari pandangan para bandit yang ada di sekitar rumah-rumah yang dia lompati. Dengan tenang Indra berhasil menapak tepat di atap bangunan balai Desa Karipuh. Perlahan Indra mulai menggeser genteng-genteng yang dia pijak agar bisa masuk ke dalam atap bangunan. Dia ingin memastikan apakah benar di sana para penduduk dikurung atau tidak.“Darah?” gumam Indra setelah berhasil masuk ke atap. Dia mendadak saja mencium aroma anyir darah dari bawahnya.“
‘Beukh’‘Brakh’Terdengar suara benturan keras saat tendangan Indra dengan telak menghantam punggung si bandit. Tubuhnya terpental menghantam pintu masuk balai desa hingga terdobrak lepas dari engselnya oleh tubuh si bandit. Sontak saja para bandit lainnya yang sejak tadi hanya diam di sekitar rumah penduduk segera mengalihkan pandangan mereka menuju ke arah balai desa.“Ada penyusup!” teriak si bandit sambil meringis kesakitan.“Beritah- heuk!” pekik si bandit sebelum perkataannya selesai. Lehernya di injak oleh kaki kanan Indra sekuat tenaga hingga terkapar meregang nyawa.“Penyusup!”“Kepung-kepung!” terdengar kawanan bandit lainnya mulai berteriak. Satu persatu mereka mulai keluar dari rumah-rumah penduduk yang mereka tempati. Mereka segera bergerak mengepung Indra dari arah depan sembari menghunuskan senjatanya masing-masing.
Ketiga bandit lainnya yang tersisa di sana tidak berani berkata apa-apa lagi, mereka sadar kalau meminta belas kasihan pun tidak ada gunanya saat ini. Bandit lainnya yang sebelumnya terpental dan terbaring di tanah malah pura-pura pingsan karena takut terkena imbas kemarahan Indra. Perlahan Indra mulai berjalan mendekati tiga bandit yang masih bersimpuh di tanah dengan kepala tertunduk.“Apa yang kalian lakukan kepada penduduk desa ini? Apa alasan kalian menghabisi mereka semua hah?” tanya Indra. Namun ketiga bandit itu tidak berani menjawab, mereka hanya bisa gemetar ketakutan.“Jawab keparat!” bentak Indra sambil menjambak rambut seorang bandit dan mendongakan kepalanya hingga menatapnya.“Am-pun tu-an,” rengek bandit seraya berderai airmata.“Jeh, disuruh menjawab malah minta ampun,” gerutu Indra dengan raut wajah kesal.“Apa perlu aku tendang dulu telingamu biar
“Am-pun tu-an,” rintih si bandit.“Katakan siapa yang menghabisi mereka semua!” bentak Indra yang kembali mulai berjalan mendekati si bandit. Tapi baru saja Indra melangkahkan kakinya, mendadak saja dari arah belakangnya dia merasakan ada semilir angin yang bertiup mendekat bersama derap langkah beberapa orang yang datang.“Aku yang menghabisinya!” tiba-tiba saja dari belakang Indra terdengar suara pria paruh baya dengan lantang.‘Beukh’“Khkh..”Tapi Indra pura-pura tidak peduli dan memilih untuk menginjak leher si bandit hingga dia menjerit sekarat. Baru setelah si bandit menggelepar di tanah, Indra membalikan tubuhnya ke belakang. Terlihat ada dua orang pria paruh baya bertubuh kekar tengah menatapnya dengan tajam, di samping mereka berdua juga ada satu orang wanita dewasa yang membawa pedang di pinggangnya. Mereka bertiga tak lain adalah tiga murid keperca
Indra benar-benar bingung, entah kenapa tiba-tiba saja perutnya serasa sakit seakan ditinju dengan tenaga yang sangat kuat. Nafasnya mulai terengah-engah seiring dengan rasa sakit yang masih dia rasakan di area perutnya. Meski begitu, Indra kembali bangkit dan menatap ketiga murid Mbah Kupat yang masih menatapnya dengan tajam di kejauhan. Suasana di Desa Karipuh mulai terasa gelap setelah sang mentari mulai tenggelam di ufuk barat.“Kenapa? Apakah kau lupa bagaimana caranya menggunakan ajian tinju gelap andalanmu itu hah?” ejek Buras sambil menyeringai puas.“Apa yang terjadi? Aku sama sekali tidak merasakan atau melihat pergerakan orang yang menyerangku. Tapi mustahil perutku sakit begitu saja tanpa alasan yang pasti,” batin Indra dengan nafas terengah-engah, dia sama sekali tidak menyadari apa yang sebenarnya sudah terjadi.“Biar aku saja yang menghadapinya, kelihatannya dia hanyalah orang yang lemah,” tuka
Indra dengan cepat berjungkir balik di udara lalu menghantamkan kedua tangannya ke bawah dalam gerakan ketiga pancalima. Para bandit yang ada di bawahnya mencoba menebas tubuh Indra yang melesat ke bawah.‘Trang’‘Brreugh’Suara dentingan senjata beradu terdengar jelas seiring dengan suara benturan keras saat tinju Indra menghantam beberapa bandit hingga mereka menjerit kesakitan. Tidak hanya sampai di sana, Indra yang sudah berhasil melumpuhkan beberapa bandit di bawahnya segera menggunakan kedua kakinya untuk menyapu beberapa kaki bandit yang masih mengelilinginya.‘Deukh’‘Brukh’Beberapa bandit yang kakinya terkena sapuan kaki Indra seketika ambruk ke permukaan tanah. Leupeut tidak tinggal diam, secepat kilat dia melompat dan menghujamkan tumit kaki kirinya dari atas mengincar kepala Indra. Di sisi lain Buras yang melihat beberapa anak buahnya sudah tumba